Minggu, 22 Januari 2012

MUHAMMAD ABU RAYYAH Rekonstruksi Abu Rayyah Terhadap Legalitas Sunnah


Kata Kunci :
Sunnah(Qauliyyah & ‘Amaliyyah), Delegalisasi Kredibelitas Sahabat, Delegitimasi Sunnah


A.    INTRODUCTION
Untuk kekinian, dinamika legitimasi dan delegitimasi sejak era ‘ulūmuddīn/Islamic konowledge, era al-Fikr al-Islami/Islamic thought hingga era sekarang Dirāsat al-Islāmiyyah/Islamic studies terasa masih segar terngiang di telinga kita, terkait dengan dinamika legitimasi dan delegitimasi sunnah dalam pengertian seluarluasnya. Di Mesir di sekitar delapan puluh tahun terakhir, wacana sunnah kerap menjadi perbincangan yang kemudian melahirkan akseptabel dan inakseptabel. Mereka pun bervarian, sebagaian menolak secara mutlak-holistik, sebagian lagi semi-holistik dan sebagian lagi menerima secara keseluruhan tanpa membedakan elemen-elemenn yang sarat dengan hadis itu sendiri dan sebagian lagi bersikap elektis dalam arti mempersyaratkan sejumlah hadis yang legitimatif.
Muhammad Abduh(1849-1905)_untuk menyebut salah satu pemikir ternama kelahiran Mesir, menjadikan otentisitas literatur hadis sebagai public-issus. Isu aktual ini paling tidak ‘terdekati” dari dua sudut yang berbeda yakni: pertama, tekanan terhadap status hadis sebagai hujjah. Hal ini dipandang sangat membahayakan otentisitas sebuah hadis. Konsekuensinya, bila demikian, maka hadis tersebut kehilangan hujjiyahnya. Adanya ketidak puasan terhadap model keilmuan ajaran Syariat yang dianggap rigid, yang hanya dibatasi oleh hadis. Kedua, Hadis-hadis yang tidak berkaitan dengan ajaran-ajaran hukum, namun memberikan informasi historis tentang Nabi, telah dicampakkan oleh sebagian orang yang mempersoalkannya karna informasi secara historisnya tidak benar atau bertentangan dengan persepsi inderawi. Akhirnya Abduh sendiri mulai merekonstruksi karateristik hadis-hadis yang valid sebagai bentuk perlawanan kritis terhadap mainstream klasik.tradisional.[1]
Namun demikian, hemat penulis baik yang secara terang-terangan memploklamirkan “ketidakterimaannya” secara mutlak-holistik maupun “keterterimaannya” secara elektis, adalah upaya untuk menghidupkan gairah keilmuandalam pemikiran sunnah. Karna hemat penulis kesemuannya memiliki atma masing-masing di zamannya untuk kemudian dijadikan sebagai solusi dalam menyelesaikan problematika sosial yang mengitarinya.
Selain dari Abduh, terdapat satu tokoh yang sangat kritis yakni Abu Rayyah(yang menjadi objek materil tulisan ini). Berbekal penguasannya terhadap keilmuan yang mapan, ia mengritik keras terhadap pemikiran Ulama Mesir yang masih dianggapnya terkungkung kepada empat imam Mazhab. Ulama Mesir enggan melakukan penelitian terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dan terjadi pada umat Islam. Hal ini diperparah dengan sikap tidak kritis terhadap setiap perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi. Namun memang keberanian Abu Rayyah ini, yang dalam perkembangannya mendapatkan kritikan yang tajam dikalangan ulama al-Azhar itu sendiri.
Menyambung aformis di atas, tulisan ini bermaksud sekaligus memperkenalkan kembali, bagaimana pemikiran Muhammad Abu Rayyah, yang amat terkenal dengan sikapnnya terhadap delegitimasi Sunnah yang kemudian orang sering menyebutnya dengan ‘ingkaru Sunnah”. Namun demikian, terlepas benar atau tidak, bagi penulis tentu ada persoalan yangk menghantui diri Abu Rayyah yang kemudian membuat dirinya menarik diri untuk “menerima” hadis yang menurutnya bertentangan dengan atma al-Quran.
Di samping itu, ada poin-poin atau kata kunci yang menarik dari Muhammad Abu Rayyah, dimana the mainstream of Muslims meyaknini bahwa elemen hadis itu meliputi tiga bagian utama ; Qauliyyan, fi’lān dan taqririyyan. Namun beda dengan Abu Rayyah sendiri, justru ia mereduksinya menjadi dua bagian saja dengan alasan-alasan representatif. Sehingga kemudian, konsep ilmu hadisnya melahirkan sebuah sikap yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai ‘ingkar as-Sunnah”. Namun kemudian, apakah memang bener Abu Rayyah sebagai pengingkar Sunnah? Atau jika bener, apakah kemudian sunnah secara keseluruhan ataukah parsial? Atau bisa saja unit-unit hadis yang ,memang bertentangan dengan atma al-Quran itu sendiri/
Hal inilah yang penulis coba untuk dielaborasi secara kanonik, untuk mendapatkan ide dasar atau preokupasi dalam memahami hadis tersebut. Untuk itu, di sini sangat perlu dilampirkan selayang pandang sketsa historiusnya dalam kerangka mendapatkan data-data faktual mengenai ada tidaknya keterpengaruhann terhadap pemikir sebelumnhnya sehingga membuat sikap Abu Rayyah demikian. Kemudian, poin inti tulisan ini akan membahs tiga elemn saja yakni terkait tentang Sunnah itu sendiri, delegalisasi kredibelitas Sahabat dan delegitimasi Sunnah.

B.     DELEGITIMASI SUNNAH ABU RAYYAH
Perkenalan pertama kalinya Abu Rayyah kelahiran 1889 ini dengan dunia Hadis, bermula dari pembacaan pertamanya dengan suatu unit hadis yang sangat kontradiktif(dalam perspektifnya). Hadis tersebut sangat mengganggu intelensia Abu Rayyah seorang pemikir Islam yang ternama(tanpa bermaksud berlebih-lebihan). Menghantui fikirannya itu diriwayatkan oleh tokoh ternama dalam mainstrema Muslim yakni Abu Hurairah.[2] Hadis-hadis terinklinatif pada sebuah pesan-pesan kontradiktif-anomalisti, tidak bermoral atau kasar. Itulah yang kemudian barang kali Abu Rayyah mencoba menawarkan satu gagasan penting yang harus diyakini oleh seorang Muslim Gagasan tersebut kemudian ditelurkan melalui karyanya Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits. Walaupun kemudian proyek pemikirannya dalam karya tersebut mendapat komentar kontroversial di hadapan para pemikira keilmuan, namun juga ada yang mengamininya.
Hal ini tidaklah mengherankan, dimana satu sisi Abu Rayyah kerap kali berhubungan dengan salah satu pemikira ternama Mesir yakni Muhammad Abduh dan muridnya. Persentuhan dan hubungan timbal balik dengan kedua tokoh tersebut semakin erat baik melalui diskursusnya maupun kegiatan-kegiatan intlektual yang dikutinya. Sebagaiman diuraikan G.H.A Juynboll, Abu Rayyah sangat simpatik dan terkagum dengan pemikir ternama Mesir yakni Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha. Ia Abu Rayyah sangat apresiatif terhadap proyek anti taklid dan fanatisme terhadap suatu Mazhab tertentu.  
Bagaimana kemudian pemikiran Abu Rayyah terkait dengan tiga elemen di atas? Di bawah ini akan diuraikan secara sistematis yakni sebagia berikut:
1.      Sunnah: Sebuah Penegasan Sunnah Qauliyyah/oral dan Sunnah ‘Amaliyyah/Aplikatif.
Dalam pembacaan Abu Rayyah, dalam konteks defenitif ia sendiri masih mengakui dan mengapresiasi sebagaimana mainstream Muslim mengartikannya yakni sunnah diartikan sebagai “segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya[3]. Begitu juga denga pemosisian Hadis, ia juga mengamini bahwa hadist tersebut terdudukkan pada posisi ke dua setelah al-Quran dalam konteks pungsional dan sekaligus mengakui kemutawatirannya. Namun kemudian Abu Rayyah membedaknnya dengan sunnah, dimana sunnah merupakan keterbalian dari proses hadis itu keluar.
Dan yang menjadi persoalan bagi Abu Rayyah, adalah sangat menyayangkan ketidakadanya kritik sanad terhadap kutub as-Sittah itu sendiri. Juga tidak terlalu memperhatikan kritik matan sebagai kritik yang sah, apakah matan tersebut benar-benar layak atau tidak. Inilah yang kemudian membuat benak pemikiran Abu Rayyah seolah-oleh ajaran Islam amat membosankan karna diperbuat rigid oleh pemikir Islam.
Untuk itulah kemudian Abu Rayyah sendiri telah memilah bahkan membedakannya dengan Sunnah. Konteks Sunnah itu sendiri oleh Abu Rayyah diklasifikasikannya menjadi dua bagian utama yakni : a). Sunnah Oral/Qaliyyah, b) Sunnah Aplikatif.Amaliyyah. Menurutnya Sunnah Oral memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan sunnah qauliyyah, sebab sunah amaliah sudah jelas perbuatan tersebut dilakukan secara langsung oleh Rasulullah Saw, akan tetapi keduanya tetap sebagai sumber kedua setelah Alquran.
Abu Rayyah nampaknnya lebih menkannkan pada penguatan terhadap al-Quran itu sendiri, bahkan mungkin bisa berarti al-Quran sudah mencukupi tanpa harus membebani diri dengan hadis. Dalam urainnya selannjutnya, persentuhan pemikirannya atau penolakannya terhadap hadis-hadis tertentu, Abu Rayyah sempat menyinggung mengenai “ketertulisan” sebuah hadis, dimana pada hakikatnya Nabi sangat melarang menulis sebuah hadis. Statemen ini diperkuat oleh kutipan hadisnya yakni hadis yang diriwayatkan Ahmad, Muslim dll.[4]
Namun kemudian Abu Rayyah juga meyakini bahwa ada sejumlah hadis yang memang mengisyaratkan untuk menulisnya. Jadi di sini terdapat dua hadis yang bertentangan antara perintah menulis dan larangan menulis. Abu Rayyah sendiri dalam menganalisis hadis tersebut lebih menekankan pada pemilihan hadis yanhg melarang dikarnakan hadis ini datang belakangan dari Hadis yang memberikan izin penulisan Hadis, alasannya: (a) sahabat tidak menulis Hadis sebab adanya pelarangan ini setelah wafatnya Rasulullah Saw, sedangkan Hadis yang membolehkan menulis Hadis terjadi pada peristiwa fathul makkah dan khutbah Haji Wada’, (b) sahabat tidak membukukan dan menyebarkan Hadis. Seandainya mereka melakukan ini tentunya terdapat riwayat yang mutawatir yang menyatakan mereka telah melakukannya.[5]
Konsekuensi dari asumsi tersebut, mengarah dan merembet pada peristiwa penulsian suatu hadis secara tekstuak atau “tertulis”, dimana ia sangat tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi dan itu sangat menyulitkan bila berpegang pada cara pencatatan Hadis setelah dua ratus tahun. Dalam pada itu, ditambah lagi dengan percampuran naskah dengan yang bukan Hadis. Walaupun kemudian para ulama berusaha memilah dan memilihnya sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Musnad dan lain-lain.[6]

2.      Delegalisasi Kredibelitas Sahabati dari tulisan iiga elemen ni akan membahas.
Dalam konteks memperkukuh persepsinya, Abu Rayyah sendiri mulai merelasikannya dengan para periwayat hadis atau saksi-saksi hadis yakni para sahabat. Ia sendiri sangat mempersoalkan bagaimana keadilan sahabat itu bisa terjadi, atau mungkin ia sebut dengan “ketidakmungkinan” (dalam pengertian tidak semuannya adil secara mutlak) terjadinya kredibelitas sahabat. Namun, Abu Rayyah tidak mengartikan secara keseluruhan.
Berbeda dengan mainstream Muslim yang meyakini bahwa sahabt diperhukumkan “adil”. Namun tidak dijelaskan apakh semua atau terdapat orang-orang yang termasuk wilayah “adil” tersebut. Yang jelas mainstream Muslim dengan berlandaskan ayat al-Baqarah[2]:143
Demikianlah kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membangkang, sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.

Kemudian dalam ayat lain:

 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Akan tetapi dalam penilaian Abu Rayyah, tidaklah demikian. Hal ini dibuktikan dengan temuannya yakni salah satu sahabt periwayat terbanyak dalam hadis yakni Abu Hurairah. Dimana Abu Rayyah sendiri menggugat keras mengenai kredibilitas serta kualitas yang imiliki Abu Hurairah itu sendiri. Seperti misalnya keganjalan dalam periwayatan hadis yang begitu banyak, terdapat sejumlah statement yang  memang diperuntukkan untuk kepentingan personalitasnya. Belum lagi isu-isu ketidak jujuran serta proyek Muawwiyah yang dikonstruksikan dalam konteks meruntuhkan kredibelitas Ali dan lain-lain.
Dalam masalah ‘adalat al-shahabah, Rayyah juga memberikan keterangan yang, menurutnya, baru mengenai hadis “man kadzdzaba”. Ia menyatakan bahwa kata muta‘ammidan, yaitu dengan sengaja, tidak terdapat dalam versi-versi yang sampai kepada kita dari para sahabat pembesar semisal al-Khulafa’ al-Rasyidun. Adalah sahabat-sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan lainnya yang meriwayatkan perkataan ini dengan kata muta‘ammidan. Rayyah menyatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj, dengan alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, karena secara tidak disengaja mereka telah mereka-reka sabda Nabi Muhammad saw., atau mereka yang telah mereka-reka hal-hal tentang Nabi Muhammad saw dengan alasan memajukan jalan Islam.
Semua ini ditujukan untuk menyatakan bahwa al-kidzb telah terjadi dikalangan para sahabat. Dan jika memang demikian, maka semua hadis dari mereka harus diuji, sedangkan itu merupakan hal yang sangat mustahil. Argumen lain yang coba dikemukakan untuk mengugurkan sistem ta‘dil kolektif para sahabat adalah adanya perdebatan para sahabat yang terjadi karena adanya kecurigaan terhadap pemalsuan dan iktsar al-hadits

Bagi Abu Rayyah, banyak hal yang menjadi sorotan utama terkait dengan keadilan para sahabat. Sehingga perlu untuk dikroscek kembali sejauh mana kebenaranan serta kejujuran yang dimiliki sahabat.
Selain statement di atas, ada banyak sorotan khususnya yang ditujukan sekaligus menjadi sampel terhadap ketidakadilan beberapa sahabat seperti Abu Hurairah(persepsi Abu Rayyah) yakni mulai dari a). kualitas hafalan[7], nominalitas hafalan Abu Hurairah dan tuduhan korupsi.
Wilayah nominalitas hafalan misalnya, salah satu tuduhan yang amat keras, dari sikap Abu Hurairah yang sangat mendalami hadis adalah tuduhan, mungkinkah Abu Hurairah yang hanya tinggal bersama Nabi kurang lebih selama 3 (tiga) tahun atau 21 bulan,  telah mampu meriwayatkan hadis yang begitu besar. Imam Ahmad bin hanbal dalam musnad-nya, meriwayatkan 3.848 hadis dari Abu Hurairah. Imam Baqi bin Makhlad, dalam musnad-nya, meriwayatkan 5.374 hadis  dari Abu Hurairah.  Dalam Shahihain dimuat 325 hadis, Imam Bukhari sendiri juga meriwayatkan 93 hadis dan Muslim meriwayatkan 189 hadis. Dalam bukunya Abu Rayyah meragukan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, dengan menumbuhkan kecurigaan terhadap kenyataan bahwa jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang disibukkan oleh persoalan-persoalan pemerintahan dan politik.[8]

3.      Delegitimasi Sunnah
Statement Abu Rayyah terhadap Haidi, nampaknya berpengaruh sekali terhadap pemikirannya yang sanghat berlawanan dengan apa yang sudah menjadi keyakinan ummat Muslim umumnya. Inilah kemudian yang membuat diri Abu Rayyah dilabelkan sebagai salah satu pengingkar Sunnah. Seperti misalnya tulisan Ali Mustafa Ya’kub yang menguarikan mulai dari ulama klasik, modern terdapat ulama-ulama yang mengkirai Sunnah dalam pelbagai alasan dan tinjauan dari masing-masing ulama tersebut. Untuk kalangan klasik misalnya, ulama yang dikategorikan sebagai pengingkar sunnah cikal bakalnya mulai dari Irak, kalangan Kahwarij, Muktazilah. Kemudian kalangan modern disebu-sebut nama Muhammad Abduh, Rida, Ahmad Amin, Organisasi Ahl al-Quran dan lain-lain.[9]
Sebagaimana disinggung pada uraian di atas, kelahiran kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah tahun 1958 adalah tidak lain dari orasi pemikirannya terkait dengan apa yang menjadi persoalannya yang berisi kajian hadits yang pada beberapa Bab diantaranya membahas tentang sebagian dari Kitab-kitab Hadits yang diduga atau menurut Abu Rayyah Tidak menyampaikan kata-kata dan perbuatan Nabi Saw. Namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan oleh orang-orang sezaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan Hadits. Lebih jauh menurutnya Hadits Ahad tidak boleh diberlakukan pada komunitas Muslim sepanjang zaman, jika Hadits tersebut tidak dipraktikkan oleh generasi Islam terdahulu. Dalam Buku tersebut Abu Rayyah juga banyak menggunakan banyak argumen yang terkadang diambil dari disiplin ilmu modern.
Walaupun kemudian pada perkembangan selanjutnya Abu Rayyah sendiri mendapat perlawanan secara serentak dari sejumlah kalangan Ulama seperti Muhammad Abu Syuhbah dalam Majallat al-Azhar, Muhammad as-Samahi dalam Abu Hurairah fil Mizan, Musthafa as-Siba’i dkk dalam kumpulan esai Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawi wa-Tafnid Syubhat Khushumih, Abdu ar-Razzaq dalam Zhulumat Abi Rayyah Imam Adhqa’ as-Sunnah al-Muhammadiyah, Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani dalam al-Anwar al-Kasyifah li ma fi Kitab Adhwa’ ‘alas-Sunnah min az-Zalal wat-Tadhil wal-Mujazafah, Musthafa as-Siba’i dalam As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’, Muhammad Ajjaj al-Khathib dalam Abu Hurairah Rawiyat al-Islam dan As-Sunnah Qablat-Tadwin, Muhammad Abu Zahrah dalam berbagai tulisan dan lain sebagainya.[10]


C.    EPILOG
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa preokupasi Abu Rayyah dalam konteks protes praktisnya terhadap beberapa sahabat sekaligus penolakannya terhadap beberapa jenis hadis yang diangapnya bertentangan dengan al-Quran dan ide moral. Dalam hal ini akan diuarikan secara singkat:
1.      Konsepsi Abu Hurairah tentang Sunnah. Dalam analisisnya khususnya terkait dengan definisi sunnah, Abu Rayyah masih sejalan dengan apa yang mengaku dan meyakini apa yang didefinisikan kuam Muslim umumnya. Kemmudian dalam konteks sunnah ia sendiri membaginya menjadi dua bagian utama yakni Sunnah Oral dan sunnah aplikatif.
2.      Terkait dengan delegalisasi kredibelitas sahabat. Dalam hal ini ia memiliki catatn sendiri, dan tidak mengakui sepenuhnya keadilan yang dimiliki sahabat. Terlebih lagi dengan periwayatan Abu Hurairah yang menurutnya banyak memiliki pertentangan yang kontradiktif.
3.      Terkait dengan sunnah, ia menegaskan akan penolakannya terhadap beberapa bagian sunnah yang menurutnya bertentangan dengan al-Quran dan akalnya serta ide moralnya. Namun perlu dicatat, tidak semua hadis yang ditolak melainkan hanya hadis ahad saja

D.    DAFTAR PUSTAKA
Juynboll, G.H.A The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egypt, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Penerbit  Mizan, cet. I, 1999),
M.M. Azami, Studies in Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994)
Rayyah, Abu, Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1957 M)
Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 2000)


[1] Makalah di sampaikan dalam seremonial Seminar Pemikiran Hadis Orientalis di UIN Sunan Kalijaga.
Dinamika ini secara panjang lebar diuraikan oleh G.H.A Juynboll. Lihat G.H.A Juynboll The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egypt, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Penerbit  Mizan, cet. I, 1999), hlm. 13-14
[2] Abu Rayyah menilai bahwa ada sejumlah bahkan banyak unit-unit hadis yang sangat tidak relevan baik dalam konteks studi kandungan matn-nya, walaupun kemudian hadist tersebut valid berlabel Shoheh. Abu Rayyah sendiri dalam uarainnya memberikan salah satu contoh hadis yang dimaksudkan tersebut yakni; Pertama : “Bila Setan mendengar seruan untuk Shalat, maka dia lari seraya terkentut-kentut”.  Kedua : “Barangsiapa yang mengatakan: Tiadak ada Tuhan selain Allah akan masuk surga. Adapun pertanyaan para Sahabat tentang apakah pintu surga akan dibuka bagi orang yang mengucapkannya tetapi ia berzina dan berzina dan mencuri, nabi mengiyakannya. Dalam hal ini hemat Abu Rayyah, hadis ini tidak sejalan dengan ide moral dan sulit untuk diakui. Apakah Nabi benar-benar menggunakan kata-kata yang kurang sopan. Lihat Ibid..G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis Nabi di Mesir. hlm. 58


[3] Lebih jelasnya lihat Abu Rayyah Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1957 M), hlm. 38-39.

[4] Dalam pelapalan indonesiannya berbunyi “Jangan kalian tulis sesuatu dariku sama dengan Alquran maka barangsiapa menulis tentangku selain Alquran maka hapuslah ia”. Lebih jelasnya  Ibid,. hlm. 46.
[5] Lihat kembali M.M. Azami, Studies in Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 337.

[6] Ibid... Abu Rayyah Adwa’ ‘ala  hlm. 38-39.
[7] Dalam hal ini Abu Hurairah sangat memperhitungkan kualitas Abu Hurairah itu sendiri dan akhirnya berimplikasi pada kredibelitas kitab 9 yang telah lama diyakini ummat Islam sekarang.
[8] Selengkapnya bisa juga baca O. Hashem, Saqifah, (Yogyakarta: Rausyan Fikr, cet. V. 2010), hlm. 75, 86, 88, 99 dll.
[9] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 2000), hlm.39-52
[10] Ibid... G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis Nabi di Mesir, hlm. 60.

Jumat, 04 November 2011

TAFSIR BASMALAH :Sebuah Terobosan Baru dalam Membumikan Basmalah(Seri Hermenutika)


A.    PENDAHULUAN
Sengaja saya memberikan pendahuluan ini, dengan maksud memberikan penjelasan secara klarifikatif mengenai konteks kompleksitas releventatif dari teori yang kami gunakan_dalam hal ini adalah “Hermenutika Pasca-Strukturalisme” dengan memakai Linguistik Strukturalisme” yang dikembangkan Ferdinan de Saussure.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, metodologi aplikatif mainstream yang digunakan para mufassir meliputi “Tahlily”(‘analitis), “Ijmaly”(global), “Muqaran”(perbandingan), dan “Maudhu’i”(tematik), sebenarnya juga masih memerlukan teknik operasionalitatif. Oleh karna itu, rancangan Linguistik Struktural yang dimotori Ferdinan de Saussure yang kemudian dikembangkan Bloomfield dan sebagainya, dapat dijadikan sebagai alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur’an. Misalnya mulai dari teknik Substitusi(ganti), teknik Ekspansi(perluas), teknik Intrupsi(sisip), teknik Delisi(lesap), dan teknik Permutasi. Inilah yang kemudian kami coba untuk kami aplikasikan secara hirarki berdasarkan sinkron dengan pendekatan yang digunakan dalam hal ini adalah Linguistik Strukturalisme F.D Saussure.

B.     PENDEKATAN DAN METODOLOGI
Sebagaimana yang kami ulaskan di atas, proses penafsiran ini menggunakan teori Lingusitik Strukturalisme yang oleh Sahiron menyebutnya bagian dari Hermenutika yang tergabung dalam aliran Subyektif:pasca Strukuralisme[1]. Dalam hal ini kami akan menguraikan sedikit cara kerja dari pendekatan yang dipakai.
1.      Metode Dan Tehnik[2]
Metode dalam ilmu pengetahuan adalah cara yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditemukan. Sistem merupakan suatu susunan yang berfungsi dan bergerak; ilmu memiliki objek yang dapat dikaji secara sistematis[3]. Metode berarti cara yang harus dilaksanakan dan teknik adalah cara melaksanakan metode. Sebagai cara, kesejatian teknik ditentukan adanya oleh alat yang dipakai[4].
2.      Bentuk metode
Bentuk yang dimaksud adalah Linguistik Strukturalisme F.de Saussure. Dimana metode ini sebenarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap metode yang pada umumnya dipakai di dalam linguistik tradisional. Karena cara bekerjanya berdasarkan logika yang bersifat spekulatif, maka metode tersebut ditentang habis-habisan oleh linguistik struktural. Tujuan yang dinginkan adalah menganalisis sistem bahasa atau keseluruhan kaidah yang bersifat mengatur di dalam bahasa berdasarkan perilaku atau ciri-ciri khas kebahasaan satuan-satuan lingual tertentu.
3.      Tehnik
Beberapa tehnik yang umumnya dipakai dalam Linguistik Strukturalisme adalah berupa: a). ‘Ultimate Constituent Analysis’ (UCA): Teknik Urai Unsur Terkecil[5], b). ‘Immediate Constituent Analysis’ (ICA):Teknik Pilah Unsur Langsung[6], c). Teknik Lesap (delisi)[7], d). Teknik Ganti (substitusi)[8], e). Teknik Perluas (ekspansi)[9], f). Teknik Sisip (interupsi)[10], g). Teknik Balik (permutasi)[11].      Inilah sejumlah tehnik yang akan coba kami oprasinolkan dalam ayat Basmalah. Dan sebelum dilakukan analisa, akan dilakukan identifikasi ayat yang memuat status ayat, asbabu nuzul dan muatan lainnya yang perlu dipaparkan. Barulah kemudian dilakukan penafsiran secara hermenutik dengan menggunakan Linguistik Strukturalisme F.D Saussure melalui beberapa langkah yang disebut di atas.  Namun dalam hal ini, akan dilakuakn beberapa tehnik saja dalam arti tidak menerapkan ke-7 tehnik tersebut secara keseluruhan dalam bagian ayat.


C.    APLIKASI PENAFSIRAN
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” [al-Fatihah(1):1]

1.      Pendahuluan
Ayat ini merupakan  ayat pertama dari surat al-Fatihah yang sekaligus tergabung dalam kategori Ayat Makiyah sebagaimana diungkap jumhur tafsir[12]. Namun ada juga yang masih mepermasalahkannya dengan melihat realitas dan sisi terminology Makiyah dan madaniyah dalam konteks defenitif, juga mepermasalahkan apakah “basamalah” termasuk bagian dari al-Fatihah ataukah tidak[13]. Dan barang kali wajar sebagaimana diungkap Syaikh Zamakhsyari sebagiannya ada yang turun di Makkah dan sebagiannya ada yang turun di Madinah[14]. Namun, terlepas dari perbedaan ini, jelasnya bahwa basmalah merupakan bagian dari al-Fatihah yang termasuk ayat pertama dari surat tersebut, yang juga merupakan surat yang memiliki banyak nama sebagai sebutan yang dinisbahkan pada ke-7 ayat tersebut, mulai dari as-Sab’ul Matsani, Ummul Kitab, Fatihatul Kitab dll.[15]
Dalam pandangan Ibn Mas’ud sebagaimana tulis Abi Su’ud[16], bahwa lafal basmalah ini pada dasarnya bukan termasuk ayat al-Quran yang kemudian pendapat ini juga yang dipegang oleh mazhab Maliki dan kalangan Hanafi pendapat ini sagangt terkenal yang kemudian dijadikan landasan hukum khususnya dalam sholat. Namun sebaliknya_lanjut Abi Su’ud, menurut ahli Qiraah Madinah, Basrah, Syam, Fuqaha’ lafal basmalah merupakan ayat tersendiri yang sekaligus menjadi bagian dari ayat al-Quran.
Namun terlepas dari perbedaan tersebut, jelasnya bahwa ayat ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari al-Quran itu sendiri, sehingga para Ulama yang pada kebanyakan menjadikan ayat tersebut sebagai bagian terpenting ketika dalam melakukan aktifitas termasuk dalam melakukan aktifitas baca al-Quran dengan rincian wajib pada al-Fatihah dan sunnah pada surat surat yang lain serta makruh pada surat Baraah secara khusus.
Sepintas kita lihat, ayat ini sangatlah pendek dan semua orang menghafalnya. Namun demikian, tafsiran dan ta’wilan ternyata membuat kita toidak berhenti untuk menuangkan ribuan rangkaian makna yang terkandung didalamnya dalam bentuk dan pendekatan apapun namanya. Alasan yang sangat mendasar oleh beberapa Ulama, dijadikannya basmalah sebagai ayat yang sangat penting posisinya dalam konteks aktifitas apapun adalah karna pada dasarnya sebagaimana diulas para ulama bahwa semua ayat al-Quran tercakup dalam basmalah ini. Dan kandungan basmalah ini tercakup dalam huruf “ba” dan ba tersebut tercakup dalam titik yang ada pada huruf ba tersebut.
Hal yang serupa diuraikan Ali ash-Shobuni, bahwa “basmalah” ini merupakan ungkapan yang terbaik dalam membuka atau memulai segala macam bentuk aktifitas baik duniawi maupun ukhrawi[17]. Selain itu ayat ini memiliki keunikan tersendiri dibandaingka dengan beberapa ayat yang lainnya. Keunikan tersebut terletak pada beberapa hal seperti struktur kalimat yang digunakan, pilihan kata, keterkaitannya dengan kalimat satu deengan kalimat lainnya, pluralitas makna dari masing masing kata, konotatif dari masing masing kata, serta kandungannya yang menyeluruh mencakup keseluruhan isi al-Quran dan masih banyak lagi yang Insya Allah akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Basmalah yang oleh Abu Zahra’ dalam Tafsir Abu Zahra’[18] dikatakan bahwa ”Ini adalah ayat yang dipakai untuk memulai proses pembacaan surat dari seluruh surat yang ada dalam al-Quran terkecuali surat al-Baraah”. Hal yang serupa juga oleh Dr. Jamil Ghjazi, dkk dalam Tafsir Nasamat[19] mengatakan “Sangat ditekankan agar sitiap aktifitas yang dilakuakan hendaknya dibuka dengan kalimat basmalah ini, dikarnakan ada perkataan Nabi bahwa setiap aktifitas yang dilakuakn tampa diawali dengan ucapan basmalah, maka aktifitas itu tidak sempurna”.
Intinya bahwa kalimat basmalah ini adalah kalimat yang merupakan bagian utuh yang mencakup keseluruhan aspek materi al-Quran, sehingga Allah memulai al-Quran dengan ayat ini. Di samping penegasan Nabi bahwa aktifitas yang tidak diawali dnegan lafaz basmalah, akan sangat berpengaruh pada kesempurnaan aktifitas tersebut. Dengan demikian, basmalah di samping merupakan ayat uatam juga menjadi symbol dan tanda sebagai proses dimulainya satu aktifitas baik dalam bentuk acara resmi maupun aktifitas individu.

2.      Asbabu an-Nuzul
Kaitannya dengan sebab diturunkan ayat ini, terdapat perbedaan pendapat yang masing masing mengkaitkan dengan peristiwa tertentu. Menurut catatan Abi Zamanin alasan mendasar diturunkan ayat ini erat kaitannya dengan peristiwa penulisan kalimat tersebut katika diturunkan ayat 110 dari surat al-Isra(17). Kemudian juga ketika diturunkan ayat ke-30 dari surat an-Naml(27) dan mereka menulis lafas basmalah tersebut[20].

3.      Analisis
بسم الله الرحمن الرحيم
dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Menurut catatan beberapa Ulama, bahwa pembentukan istilah basmalah ini merupakan pecahan dari kata kerja Basmala (Fiil Ruba’i): kata kerja yang terdiri dari empat huruf, menjadi bentuk masdar Basmalatan. Hal ini sewazan dengan Hauqalah yang terbentuk dari kata kerja Hauqala menjadi bentuk dasar Hauqalatan[21]. Istilah ini kemudian menjadi mainstream digunakan untuk menyebutkan kalimat tersebut, shingga ketika sesorang mendengar kalimat basmalah secara langsung yang dimaksud adalah kalimat Bismillahirrahmanirrahim.
Dan barang kali istilah ini juga sering kita dengar di berbagai acara baik dalam konteks resmi maupun unresmi seorang MC ketiak membuka satuan acara, ia mengatakan “marilah kita buka acara ini dengan sama-sama membaca basmalah yang berarti mengucapkan kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Dan istilah ini dijadikan sebagai symbol serta petunjuk dalam memulai aktifitas baik secara individu maupun kelompok.
Sebagaimana uraian pada pendahuluan di atas, tehnik penafsiran ini dilakuakn dengan megukuti system yang sudah dibangaun oleh Linguistik Tradisional itu sendiri yang kemudian akan diaplikasikan secara hirarki dan berurutan. Namun untuk tehnik yang pertama dan kedua, barang kali kami tidak perlu untuk menerapkannnnya, terkait dengan beberapa hal. Dengan demikian, kami hanya menerapkan lima dari tujuh tehnik tersebut dengan mengikuti kaidah kaidah masing masing.
                Umumnya ayat ini ditafsirkan pada peranan dan posisi serta sisi aplikatifnya dalam konteks ibadah mahdah yakni sholat. Sebagai contoh penafsiran biasanya ditafsirkan dengan sebagai berikut :
“saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya”.

Kurang lebih seperti ini tafsiran yang biasanya kita temukan pada tafsir berbasis Ma’tsur, juga Ro’yi. Namun kemudian pertanyaan pertanyaan berikutnya yang barang kali belum kita jawab bersama adalah apa esensi serta kandungan paradigma bagi kelansungan hidup manusia sebagai pelaku amali mengani hukum hukm al-Quran itu sendiri. Atau adakah makna makna yang lebih tajam dari kalimat yang amat pendek ini sehingga manusia menemukan jati diri dan ruh kehidupannya sebagai khalifaatullah di muka bumi ini. Dan bagaimana kandungan “basmalah ini teraplikasikan bagi non muslim sehingga ayat ini tidak berlaku bagi ummat Islam semata. Dan lain sebagainya.
Inilah maksud utama dalam analisis ini, berusaha menemukan kembali makna-makna yang lebih utuh khususnya bagi ummat Islam dan bagi non Muslim. Sehingga ayat ini bener bener memberi mamfaat bukan hanya untuk ummat Islam melainkan non muslim juga memberi pengaruh positif sehingga mereka merasakan keramahan Islam itu sendiri
Sebagai langkah awal dalam penafsiran ini, akan dilakukan penafsiran dalam empat kategori yang meliputi :1). kategori partikel, baik berupa harf maupun isim dlamir dhahir, 2). kategori fi’il (verba), 3). kategori isim (nomina), dan 4). kategori idlāfah (bentuk frasa nomina).
Dalam ayat ini, terdapat partikel hurf yakni huruf “bi” sebagai awal atau yang menjadikan permulaan kalimat “basmalah” tersebut. Partikel “bi” (dengan) di sini berkoalisi dengan kalimat “ism” yang makna “ism” itu sendiri kembali pada lafzul Jalalah. Partikel “bi” dengan label huruf jar memiliki varian varian arti yang ditunjukkannya. Lazimnya para ahli bahasa menyebut partikel “bi” ini dengan huruf al-Ilsaq, atau harfu al-Isti’anah[22]. Sebagiannya lagi menyebutnya dengan ba’ Sababiyah.
Lebih komplit lagi Abi Hayyan dalam Bahruln-ya memaknakan dalam berapa bentuk seperti huruf jar, al-Ilsaq, al-Isti’anah, as-Sababiyah, al-Hal, al-Qasam, az-Zarfiyah, dan an-Naql.[23] Namun dalam hal ini, Zahir Tsawin lebih memandangnya sebagai Huruf Ibda’ yang berarti proses pemulaian aktifitas bak dalam konteks membaca atau berkarya atau telah melakukan aktifitas[24] Namun ada juga yang lebih melihatnya sebagai huruf tambahan saja(Harfu az-Zaidah) yang semata mata tambahan saja tampa memiliki makna yang lebih spesifik.
Dalam tafsir Ulama mainstreamatif, partikel “Bi” di muka kalimat basmalah ini menunjukkan makna Isti’anah yang berati media yang digunakan dalam memulai katifitas, yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kalimat :dengan”. Seperti kalimat “saya makan dengan sendok” yang berarti saya makan menggunakan sendok. Selain itu ada makna yang metaforisnya yakni dengan Ilsaqiyah yang berarti “dengan” seperti ucapan seseorang “saya jalan-jalan dengan paman”. Kalimat ini berarti “saya jalan bersama paman” dengan maksud ia pergi bersamanya.
Dengan demikian secara substituif partikel “bi” pada kalimat tersebut dialihkan atau digantikan dengan makna yang lebih nyata yakni dengan arti alat sebagaimana pada contoh yang sudah kami sebutkan di atas.
Kemudian dalam ayat ini terdapat nomina yang berbentuk nakirah dan ma’rifat. Nakirah itu sendiri dari nomina Ism yang terletak setelah partikel bi yang berarti  ragam nama-nama. Nama-nama di sini secara global bisa berarti bentuk lain dari nama-nama Allah seperti Razaq, Fattah, ‘Alim dan lain lain. Ism itu sendiri sebagaimana tulis as-Shobuni terbentuk dari kalimat as-Sumu yang berarti ar-Raf’ah wal ‘Uluw.[25] Akan tetapi ada juga yang menyebutnya dari kata as-Sam’ah yang berarti al-‘Allamah.
Nomina Ism ini, dalam penulisannya pada kalimat Basmalah tidak menggunakan alif dalam arti alifnya dihilangkan. Alasan penghilangan dikarnakan lafal Basmalah pada konteks ini katsratul A’mal(lebih banyak digunakan) dalam konteks apapun. Berbeda dengan kalimat Bismirabbika pada surat al-‘Alaq_dan alsannya sangat sederhan yakni Qillatul Isti’mal(penggunaanya sangat sedikit) yang merupakan kebalikan dari bismillah itu sendiri. Lebih spesifik lagi, nomina Ism digandengkan dengan lafal Allah yang memberi arti khusus yakni nama Allah yang kemudian dijadikan hubungan Ism dengan lafal Allah menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Lafal Allah oleh beberapa catatan Ulama, terdapat perbedaan mengenai bentuk dasarnya. Sebagiannya mengatakan lafal Allah memang menjadi istilah tersendiri yang tidak memiliki pecahan secara structural. Sebagian lagi mengatakan lafal Allah_sebagaimana tulis Muhyiddin berasal dari bentuk Ilahun yang setimbang dengan Fi’alun.  Kemudian hamzah pada lafal tersebut dihilangkan sebagai bentuk keringanan saja dan digantikan dengan alif dan lam. Kalimat Allah merupakan kalimat yang paling tinggi dan mulia di antara beberapa nama yang dinisbahkan pada Allah itu sendiri. Dan kalau kita cermati, memang lafal Allah ini seoalh menjadi tumpuan segala nama atau menjadi satu nama yang menyangkut keseluruhan nama dari nama nama Allah. Di samping banyaknya ungkapan Allah dalam al-Quran bahkan sehingga menurut penghitungan ahli bahasa lafal ini termaktub sebanyak .
Setelah kalimat atau Lafzul Jalalh ini, kemudian diikuti dengan nomina yang memiliki bentuk sama yakni menunjukkan “isim ma’rifat”. Dua kalimat ini yang kemudian disebut sebagai sifat yang mengikuti lafal Allah memiliki makna dan corak yang berbeda dalam konteksnya. Ar-Rahman oleh Abdul Wahid, menyatakan bahwa kalimat tersebut lebih dahulu ditulis dari pada kalimat ar-Rohim. Karna ar-Rohman ini merupakan sifat yang khusus bagi Allah, sedangkan ar-Rohim banyak digunakan oleh beberapa orang. Namun ada juga yang menyebutnya kedua kalimat ini madalah kalimat yang lembut namun ar-Rohman lebih lembut dari ar-Rahim[26].
Dalam catatan Muhyiddin kalimat ar-Rahman “pengasih” termaktub dalam bentuk sighat mubalaghah yang berarti adanya kelebihan yang melebihi dari semua hal yang ada. Dalam hal ini adalah sifat kasih dari Allah merupakan sifat kasih yang melebihi dari sifat kasih yang ada pada manusia itu sendiri. Dalam arti Allah jauh memiliki sifat kasih ketimbang sifat kasih yang dimiliki seoarang manusia. Sifat lebih itu sendiri_tulis Muhyiddin digambarkan dari bentuk kalimatnya yakni format Fi’lani yang menunjukkan suatu sifat yang melebihi segalanya[27]. Begitu juag dnegan kalimat ar-Rohim menunjukkan sifat yang melebihi dari segala sifat yang dimiliki siapapun. Dalam pada itu, Zahir Tsawin yang mengutip pendapat al-Khattabi bahwa ada perbedaan orientatif mengenai pembagian rahmah dari kedua kalimat tersebut. Secara spesifik rahmah Allah memalui ar-Rahman ditujukan pada semua manusia yakni muslim dan non muslim. Sedangkan rahmah Allah melalui ar-Rohim ini secara khusus diperuntukkan untuk orang mukmin saja. Inilah makna
dari al-Ahzab:45 :
4 tb%Ÿ2ur tûüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ $VJŠÏmu ÇÍÌÈ  
dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”.[al-Ahzab(33):43

Selain itu juga dilakukan teknik ekspansi atau perluasan makna dengan dipperluaskannya makna dengan kosa kata dengan “unsur” satuan lingual tertentu. Perluasan bisa terjadi ke sebelah kiri atau ke kanan. Teknik ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) bentuk perluas ke sebelah kiri, dan (2) bentuk perluas ke sebelah kanan. Dalam arti adanya bentuk kemungkinan terjadi makna yang lain dari masing maisng kalimat tersebut dalam hal ini adalah semisal Ism, ar-Rohman, ar-Rohim. Atau singkatnya dari makna leksikal dalam arti makna secara singlronis yang memang digunakan pada waktu dulu menuju makna diakronis dengan.
Ismu yang arti bahasanya bermakna nama, bila diperluas maka bisa berarti sesuatu yang menyipati Allah itu sendiri. Dan tidak berarti semata-mata nama nama bagi Allah itu saja. Akan tetapi sifat sifat Allah juga tercakup dengan kalimat ism itu. Hal ini didasarkan adanya penyandaran ismu pada lafal Allah yang menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki Allah itu sendiri. Seperti halnya nama-nama yang memang dimiliki Allah, makaterdapat juga sifat-sifat yang dimiliki Allah itu sendiri. Inilah kemudian dalam struktur akidah disebut dengan Asma’ wa Sifat yang memiliki kemiripan namun berbeda orientasi.
Sedangkan ar-Rohim yang diartikan dengan “Yang Maha Pengasih”, dapat diperluas dengan makna “Yang memberi segala sesuatu kebutuhan makhluk tersebut sebagai wujud cinta kasih Allah pada hamba-Nya. Pemberian Allah ini tidak terbatas pada materi saja, namun lebi dari itu, yakni meliputi cara berfikir yang cemerlang, kekuatan intlektual, ketajaman ingatan, keterampilan kreatifitas serta keraligiusan dan lain lain. Inilah sebenarnya yang dimaksud kata-kata pengasih dari kalimat tersebut, dimana Allah telah memberikan segala sesuatu dari apa yang dibutuhkan manusia baik menyangkut kehiduapn dunianya maupun menyangkut kehidupan akhiratnya. Dalam pada itu, pemberian Allah sebagai wujud kasi-Nya tidak hanya terbatas pada orang mukmin saja, namun semua manusia. Dan bahkan saya mengatakan semua makhluk, manusia, hewan, tmbuh-tumbuhan serta alam sekitarnya. Kesemuanya diberikan rohmah dalam bentuk dan ciri dari masing masing makhluk secara spesifik.
Manusia baik muslim maupun non muslim diberikan rohman dalam segala bentuk mulai dari kemampuan intlektualnya, religisunya, serta pemberian keamanan dll. Hewan tampa membedakan dengan manusia juga mendapatkan apa yang didapatkan manusia secara umum, hanya sanya berbeda pada ciri khusus dan sifat sifat yang dimiliki. Begitu juga dengan tumbuh tumbuhan, Allah memberi rahman dengan segala kebutuhannya sebagaimana manusia itu sendiri. Jadi menurut saya ar-Rahman ini adalah seluruh bentuk perhatian Allah pada semua makhluk sehingga tidak terbatas pada mansuia saja, namun pada alam dan segala isinya. Sedangkan ar-Rohim yang diartikan “Yang Maha Penyayang” juga hampir mirip dengan perluasan makna dari ar-Rohman. Hanya sanya ada perbedaan orientatif dan kepemilikan sebagaimana dibedakan Ulama, bahwa ar-Rohim Allah ini khusus diberi pada orang-orang mukmin saja. Dengan demikian, selain mukmin tidak mendapatkan ar-Rohim dari Allah. Dan pemberian Rohim ini berlaku pada hari yang ke dua yakni hari akhirat.
Namun bila demiakian, ada pertanyaan yang mengganjal dalam benak saya sendiri-bagaimana penerapan hikmahnya di dunia khusus kata ar-Rohim itu sendiri untuk orang non muslim. Karna hakikatnya saya memandang berdasarkan cita-cita al-Quran itu sendiri, bahwa al-Quran ini ditujukan untuk semua orang dalam klas dan label apapun termasuk di sini Mukmin, Kafir, Fasik, Munafik an lain lain. Di samping itu Islam dengan al-Qurannya berlaku untuk seluruh zaman dalam arti sholihun likulli zamanin yang berarti sebagai pedoman bagi kelangsungan hidupa mansuia secara keseluruhan.
Menurut saya, ar-Rohim di sini barang kali yang dimaksud adalah pemberian sayang Allah yang dijanjikan pada seluruh manusia dan siapa saja yang ingin beriman pada al-Quran itu sendiri. Dalam arti ada hikmah bahwa agar orang orang non muslim juga termotifasi untuk mengimani al-Quran dengan segala kebenarannya sehigga mereka juga mendapatkan janji-janji Allah sebagaimana yang dijanjikan pada al-Quran tersebut.
Selanjutnya adalah tehnik Interupsi, dimana tehknik ini memungkinkan untuk menyisipkan suatu unsur atau satuan lingual baik berupa partikel (huruf jar, huruf nasab, dan lain sebagainya) tertentu terhadap suatu konstruksi ayat Alqur’an. Unsur atau satuan lingual yang dimaksud dapat berupa harf (partikel), fi’il (verba), isim (nomina), jumlah (kalimat). Teknik intrupsi dari bentuk fiil (verba) bisa berupa (1) sisipan preposisi+verba dan intrupsi dari bentuk isim (nomina).
Ini hampir sama dengan penafsiran pada pada tafsiran awal di atas. Bahw aada kemungkinan diberikannya sisipan yang relevan dengan konteks ayat tersebut. Dan ini yang dilakukan para Ulama sebagaimana kita lihat dalam beberapa tafsir.
Pada lafal Basmalah, yakni pada huruf “ba” dari “bismillah”, disini disisipi dengan kalimat sebelumnya. Dengan demikian tafsiran sisipannya adalah “(Dengan inilah saya membaca, memulai melakukan aktifitas baik dunia maupun akhirat yakni dengan membaca)Bismillahirrahmanirrahim. Boleh juga sebelum kata ar-Rohman itu disisipkan kalimat “yang memiliki” atau “yang mempunyai sifat” juga bisa disisipkan “Yang Memberikan”. Begitu juga dengan kata ar-Rohim dalam arti bentuk penysisipan katanya. Namun demikian pemberian sisipan ini tentu tidak dilakukan dengan sebuah ketergesaan sehingga tidak memiliki relevansi dengan qarinah qarinah kalimat tersebut.
 
 

DAFTAR PUSTAKA

1.      ad-Daritsi Muhyiddin I’rabul Quran wa Bayanuhu(Beirut:Darul Irsyad,cet.VII, 1999)
2.      Al-Baghawi Ma’alimut Tanzil(Maktabah Syamila)I:49. Ibn ‘Uthaiyyah al-Muharr al-Wajiz fi Tafsiril Kitabil ‘Aziz (BeirutDarul Kutub Ilmiyah,cet.I,2001)
3.      Al-Baidhawi Anwarut Tanzil(Maktabah Syamila)
4.      Al-Halabi ad-Durul Mashun fi Kitabil Maknun (Dimasyqi:Darul Qalam,t.th)
5.      Ash-Shiddieqy Al-Bayan(Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra,cet.I,2002)
6.      ash-Shobuni Ali Rawai’ul Bayan fi Tafsiril Quran(Jakarta:Darul Kutub al-Islamiyah,cet.I, 2001)
7.      Ar-razi Mafatihul Ghaib(Riyadh:Maktabah Musthafa al-Baz,cet,1997)
8.      Ats-Tsa’labi Tafsir ats-Tsa’labiy(Beirut:Dar al-Ihya’ wat Turats al-‘Arabi,cet. I,1997)
9.      Djajasudarma Fatimah Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.(Bandung: Eresco,993)
10.  Faraj Abi Zadal Masir fi ‘Ilmit Tafsir(t.tp:t.p)
11.  Ghazi, Jamil dkk dalam Tafsir Nasamat(t.tp:Daru as-Salam,t.th)
12.  Hayyan Abi Bahrul Muhit(Beirut:Darul Kutub al-‘Ilmiyah,cet,I,1993)
13.  Ibn Katisr Tafsir al-Quranul Adzim(t.tp:Maktabah Aulad lit Turats,t.th)
14.  Sholeh Abdul Wahidu al-I’rab al-Mufashshol Li Kitabillah al-Murattal(t.tp:Darul Fikri,t.th)
15.  Sudaryanto Metode Linguistik: Ke Arah Memahami Metode(Yogyakarta:Duta Wacana University Press,1992)
16.  Su’ud Abi Irsyadil ‘Aqlis Salim Ila Mazayal kitabil Karim(Riyadh:Maktabah Riyadh al-Hadits,cet.I,t.th)
17.  Syamsuddin Sahiron Hermenutika Dan Pengembangan Ulumul Quran (Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press,cet.I,2009)
18.  Tsawin Zawir Zadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir(t.tp:t.p,t.th)
19.  Zahra’ Abu Tafsir Abu Zahra(Mesir, Darul Fikril ‘Arabi,1987)
20.  Zamakhsyari al-Kasysyaf(Riyadh:Maktabah al-Abikan,cet.I,1998)
21.  Zamanin Ibn Abi Tafsirul Quranal-‘Aziz(Qahirah:al-Faruq al-Haditsiyah,cet .I,2002)


[1] Sahiron Syamsuddin Hermenutika Dan Pengembangan Ulumul Quran (Yogyakarta:Pesantren Nawesea Press,cet.I,2009),hlm.63
[2] Metode dan teknik adalah dua istilah yang digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung satu sama lain.
[3] Fatimah Djajasudarma Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian.(Bandung: Eresco,993),hlm.57
[4] Sudaryanto Metode Linguistik: Ke Arah Memahami Metode(Yogyakarta:Duta Wacana University Press,1992),hlm.9
[5] Ini dimaksudkan untuk mengurai suatu satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya. Unsur terkecil yang mempunyai makna biasanya disebut “morfem”. Dalam bahasa Arab unsur terkecil biasa disebut dengan istilah harf.
[6] Teknik ini berdekatan dengan teknik urai unsur terkecil, yaitu memilah atau mengurai suatu konstruksi tertentu (morfologis atau sintaksis) atas unsur-unsur langsungnya.
[7] Teknik delisi adalah suatu unsur atau suatu satuan lingual yang menjadi unsur dari sebuah konstruksi (morfologis atau fraseologis) dilesapkan atau dihilangkan serta akibat-akibat struktural apa yang terjadi dari pelesapan itu.
[8] Teknik ganti (substitusi) yaitu menyelidiki adanya kepararelan atau kesejajaran distribusi antara satuan lingual atau antara bentuk linguistik yang satu dengan satuan lingual lainnya.
[9] Teknik perluas adalah teknik memperluas satuan lingual tertentu (yang dikaji atau yang dibahas) dengan “unsur” satuan lingual tertentu baik perluasan ke kiri atau ke kanan. Teknik berguna untuk: (a) mengetahui identitas satuan lingual tertentu, dan (b) mengetahui seberapa jauh satuan lingual yang dikaji itu dapat diperluas baik ke kiri maupun ke kanan.
[10] Teknik sisip adalah kemungkinannya menyisipkan suatu unsur atau satuan lingual tertentu terhadap suatu konstruksi yang sedang kita analisis.
[11] Teknik balik ialah kemungkinannya unsur-unsur (langsung) dan sebuah satuan atau konstruksi (morfologis atau fraseologis) dibalikkan urutannya. Teknik ini bertujuan menguji tingkat keketatan relasi antar unsur (langsung) suatu konstruksi atau satuan lingual tertentu.
[12] Hal inilah yang diungkap oleh sekelompok Ulama tafsir yang tergabung dalam kategori Tafsir bil Ma’tsur seperti Ats-Tsa’labi Tafsir ats-Tsa’labiy(Beirut:Dar al-Ihya’ wat Turats al-‘Arabi,cet. I,1997),hlm.161. Al-Baghawi Ma’alimut Tanzil(Maktabah Syamila)I:49. Ibn ‘Uthaiyyah al-Muharr al-Wajiz fi Tafsiril Kitabil ‘Aziz (BeirutDarul Kutub Ilmiyah,cet.I,2001),I:65. Ibn Katisr Tafsir al-Quranul Adzim(t.tp:Maktabah Aulad lit Turats,t.th),I:151dst. Ar-razi Mafatihul Ghaib(Riyadh:Maktabah Musthafa al-Baz,cet,1997),20 dst. Al-Baidhawi Anwarut Tanzil(Maktabah Syamila),I:13 Abi Su’ud Tafsir Abu Su’ud(Maktabah Riyadh al-Hadits,cet.I,t.th),I:11 dst.
[13] Sebagian Ulama dalam hal ini terdapat perbedaan mengenai apakah Basamalah merupakan bagian dari al-Fathihah atau kah tidak, sekaligs terdapat permaslahan apakah ia termasuk ayat Makiyah ataukah Madaniyah. Baca Abi Faraj Zadal Masir fi ‘Ilmit Tafsir(t.tp:t.p),I:7
[14] Permasalahan ini juga yang ia singgung dalam mengawali penafsiran surat al-Fatihah. Baca Zamakhsyari al-Kasysyaf(Riyadh:Maktabah al-Abikan,cet.I,1998),I:99
[15] Ash-Shiddieqy Al-Bayan(Semarang:PT.Pustaka Rizki Putra,cet.I,2002),I:3
[16] Abi Su’ud Irsyadil ‘Aqlis Salim Ila Mazayal kitabil Karim(Riyadh:Maktabah Riyadh al-Hadits,cet.I,t.th) ,I:9-11
[17] Ali ash-Shobuni Rawai’ul Bayan fi Tafsiril Quran(Jakarta:Darul Kutub al-Islamiyah,cet.I, 2001),hlm.32
[18] Abu Zahra’ Tafsir Abu Zahra(Mesir, Darul Fikril ‘Arabi,1987),hlm.43
[19] Jamil Ghazi, dkk dalam Tafsir Nasamat(t.tp:Daru as-Salam,t.th),hlm.2
[20] Ibn Abi Zamanin Tafsirul Quranal-‘Aziz(Qahirah:al-Faruq al-Haditsiyah,cet.I,2002),I:117
[21] Al-Halabi ad-Durul Mashun fi Kitabil Maknun (Dimasyqi:Darul Qalam,t.th),I:13
[22] Abdul Wahidu Sholeh al-I’rab al-Mufashshol Li Kitabillah al-Murattal(t.tp:Darul Fikri,t.th),I:7. Lihat juga Muhyiddin ad-Daritsi I’rabul Quran wa Bayanuhu(Beirut:Darul Irsyad,cet.VII,1999),I:23
[23] Abi Hayyan Bahrul Muhit(Beirut:Darul Kutub al-‘Ilmiyah,cet,I,1993),I:123
[24] Zawir Tsawin Zadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir(t.tp:t.p,t.th),I:7
[25] Ibid… Ali ash-Shobuni Rawai’ul Bayan.hlm.15
[26] Ibid… Abdul Wahidu Sholeh al-I’rab al-Mufashshol. Hlm.8
[27] Ibid…. Muhyiddin ad-Daritsi I’rabul Quran. Hlm.24