Minggu, 22 Januari 2012

MUHAMMAD ABU RAYYAH Rekonstruksi Abu Rayyah Terhadap Legalitas Sunnah


Kata Kunci :
Sunnah(Qauliyyah & ‘Amaliyyah), Delegalisasi Kredibelitas Sahabat, Delegitimasi Sunnah


A.    INTRODUCTION
Untuk kekinian, dinamika legitimasi dan delegitimasi sejak era ‘ulūmuddīn/Islamic konowledge, era al-Fikr al-Islami/Islamic thought hingga era sekarang Dirāsat al-Islāmiyyah/Islamic studies terasa masih segar terngiang di telinga kita, terkait dengan dinamika legitimasi dan delegitimasi sunnah dalam pengertian seluarluasnya. Di Mesir di sekitar delapan puluh tahun terakhir, wacana sunnah kerap menjadi perbincangan yang kemudian melahirkan akseptabel dan inakseptabel. Mereka pun bervarian, sebagaian menolak secara mutlak-holistik, sebagian lagi semi-holistik dan sebagian lagi menerima secara keseluruhan tanpa membedakan elemen-elemenn yang sarat dengan hadis itu sendiri dan sebagian lagi bersikap elektis dalam arti mempersyaratkan sejumlah hadis yang legitimatif.
Muhammad Abduh(1849-1905)_untuk menyebut salah satu pemikir ternama kelahiran Mesir, menjadikan otentisitas literatur hadis sebagai public-issus. Isu aktual ini paling tidak ‘terdekati” dari dua sudut yang berbeda yakni: pertama, tekanan terhadap status hadis sebagai hujjah. Hal ini dipandang sangat membahayakan otentisitas sebuah hadis. Konsekuensinya, bila demikian, maka hadis tersebut kehilangan hujjiyahnya. Adanya ketidak puasan terhadap model keilmuan ajaran Syariat yang dianggap rigid, yang hanya dibatasi oleh hadis. Kedua, Hadis-hadis yang tidak berkaitan dengan ajaran-ajaran hukum, namun memberikan informasi historis tentang Nabi, telah dicampakkan oleh sebagian orang yang mempersoalkannya karna informasi secara historisnya tidak benar atau bertentangan dengan persepsi inderawi. Akhirnya Abduh sendiri mulai merekonstruksi karateristik hadis-hadis yang valid sebagai bentuk perlawanan kritis terhadap mainstream klasik.tradisional.[1]
Namun demikian, hemat penulis baik yang secara terang-terangan memploklamirkan “ketidakterimaannya” secara mutlak-holistik maupun “keterterimaannya” secara elektis, adalah upaya untuk menghidupkan gairah keilmuandalam pemikiran sunnah. Karna hemat penulis kesemuannya memiliki atma masing-masing di zamannya untuk kemudian dijadikan sebagai solusi dalam menyelesaikan problematika sosial yang mengitarinya.
Selain dari Abduh, terdapat satu tokoh yang sangat kritis yakni Abu Rayyah(yang menjadi objek materil tulisan ini). Berbekal penguasannya terhadap keilmuan yang mapan, ia mengritik keras terhadap pemikiran Ulama Mesir yang masih dianggapnya terkungkung kepada empat imam Mazhab. Ulama Mesir enggan melakukan penelitian terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dan terjadi pada umat Islam. Hal ini diperparah dengan sikap tidak kritis terhadap setiap perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi. Namun memang keberanian Abu Rayyah ini, yang dalam perkembangannya mendapatkan kritikan yang tajam dikalangan ulama al-Azhar itu sendiri.
Menyambung aformis di atas, tulisan ini bermaksud sekaligus memperkenalkan kembali, bagaimana pemikiran Muhammad Abu Rayyah, yang amat terkenal dengan sikapnnya terhadap delegitimasi Sunnah yang kemudian orang sering menyebutnya dengan ‘ingkaru Sunnah”. Namun demikian, terlepas benar atau tidak, bagi penulis tentu ada persoalan yangk menghantui diri Abu Rayyah yang kemudian membuat dirinya menarik diri untuk “menerima” hadis yang menurutnya bertentangan dengan atma al-Quran.
Di samping itu, ada poin-poin atau kata kunci yang menarik dari Muhammad Abu Rayyah, dimana the mainstream of Muslims meyaknini bahwa elemen hadis itu meliputi tiga bagian utama ; Qauliyyan, fi’lān dan taqririyyan. Namun beda dengan Abu Rayyah sendiri, justru ia mereduksinya menjadi dua bagian saja dengan alasan-alasan representatif. Sehingga kemudian, konsep ilmu hadisnya melahirkan sebuah sikap yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai ‘ingkar as-Sunnah”. Namun kemudian, apakah memang bener Abu Rayyah sebagai pengingkar Sunnah? Atau jika bener, apakah kemudian sunnah secara keseluruhan ataukah parsial? Atau bisa saja unit-unit hadis yang ,memang bertentangan dengan atma al-Quran itu sendiri/
Hal inilah yang penulis coba untuk dielaborasi secara kanonik, untuk mendapatkan ide dasar atau preokupasi dalam memahami hadis tersebut. Untuk itu, di sini sangat perlu dilampirkan selayang pandang sketsa historiusnya dalam kerangka mendapatkan data-data faktual mengenai ada tidaknya keterpengaruhann terhadap pemikir sebelumnhnya sehingga membuat sikap Abu Rayyah demikian. Kemudian, poin inti tulisan ini akan membahs tiga elemn saja yakni terkait tentang Sunnah itu sendiri, delegalisasi kredibelitas Sahabat dan delegitimasi Sunnah.

B.     DELEGITIMASI SUNNAH ABU RAYYAH
Perkenalan pertama kalinya Abu Rayyah kelahiran 1889 ini dengan dunia Hadis, bermula dari pembacaan pertamanya dengan suatu unit hadis yang sangat kontradiktif(dalam perspektifnya). Hadis tersebut sangat mengganggu intelensia Abu Rayyah seorang pemikir Islam yang ternama(tanpa bermaksud berlebih-lebihan). Menghantui fikirannya itu diriwayatkan oleh tokoh ternama dalam mainstrema Muslim yakni Abu Hurairah.[2] Hadis-hadis terinklinatif pada sebuah pesan-pesan kontradiktif-anomalisti, tidak bermoral atau kasar. Itulah yang kemudian barang kali Abu Rayyah mencoba menawarkan satu gagasan penting yang harus diyakini oleh seorang Muslim Gagasan tersebut kemudian ditelurkan melalui karyanya Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits. Walaupun kemudian proyek pemikirannya dalam karya tersebut mendapat komentar kontroversial di hadapan para pemikira keilmuan, namun juga ada yang mengamininya.
Hal ini tidaklah mengherankan, dimana satu sisi Abu Rayyah kerap kali berhubungan dengan salah satu pemikira ternama Mesir yakni Muhammad Abduh dan muridnya. Persentuhan dan hubungan timbal balik dengan kedua tokoh tersebut semakin erat baik melalui diskursusnya maupun kegiatan-kegiatan intlektual yang dikutinya. Sebagaiman diuraikan G.H.A Juynboll, Abu Rayyah sangat simpatik dan terkagum dengan pemikir ternama Mesir yakni Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha. Ia Abu Rayyah sangat apresiatif terhadap proyek anti taklid dan fanatisme terhadap suatu Mazhab tertentu.  
Bagaimana kemudian pemikiran Abu Rayyah terkait dengan tiga elemen di atas? Di bawah ini akan diuraikan secara sistematis yakni sebagia berikut:
1.      Sunnah: Sebuah Penegasan Sunnah Qauliyyah/oral dan Sunnah ‘Amaliyyah/Aplikatif.
Dalam pembacaan Abu Rayyah, dalam konteks defenitif ia sendiri masih mengakui dan mengapresiasi sebagaimana mainstream Muslim mengartikannya yakni sunnah diartikan sebagai “segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya[3]. Begitu juga denga pemosisian Hadis, ia juga mengamini bahwa hadist tersebut terdudukkan pada posisi ke dua setelah al-Quran dalam konteks pungsional dan sekaligus mengakui kemutawatirannya. Namun kemudian Abu Rayyah membedaknnya dengan sunnah, dimana sunnah merupakan keterbalian dari proses hadis itu keluar.
Dan yang menjadi persoalan bagi Abu Rayyah, adalah sangat menyayangkan ketidakadanya kritik sanad terhadap kutub as-Sittah itu sendiri. Juga tidak terlalu memperhatikan kritik matan sebagai kritik yang sah, apakah matan tersebut benar-benar layak atau tidak. Inilah yang kemudian membuat benak pemikiran Abu Rayyah seolah-oleh ajaran Islam amat membosankan karna diperbuat rigid oleh pemikir Islam.
Untuk itulah kemudian Abu Rayyah sendiri telah memilah bahkan membedakannya dengan Sunnah. Konteks Sunnah itu sendiri oleh Abu Rayyah diklasifikasikannya menjadi dua bagian utama yakni : a). Sunnah Oral/Qaliyyah, b) Sunnah Aplikatif.Amaliyyah. Menurutnya Sunnah Oral memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan sunnah qauliyyah, sebab sunah amaliah sudah jelas perbuatan tersebut dilakukan secara langsung oleh Rasulullah Saw, akan tetapi keduanya tetap sebagai sumber kedua setelah Alquran.
Abu Rayyah nampaknnya lebih menkannkan pada penguatan terhadap al-Quran itu sendiri, bahkan mungkin bisa berarti al-Quran sudah mencukupi tanpa harus membebani diri dengan hadis. Dalam urainnya selannjutnya, persentuhan pemikirannya atau penolakannya terhadap hadis-hadis tertentu, Abu Rayyah sempat menyinggung mengenai “ketertulisan” sebuah hadis, dimana pada hakikatnya Nabi sangat melarang menulis sebuah hadis. Statemen ini diperkuat oleh kutipan hadisnya yakni hadis yang diriwayatkan Ahmad, Muslim dll.[4]
Namun kemudian Abu Rayyah juga meyakini bahwa ada sejumlah hadis yang memang mengisyaratkan untuk menulisnya. Jadi di sini terdapat dua hadis yang bertentangan antara perintah menulis dan larangan menulis. Abu Rayyah sendiri dalam menganalisis hadis tersebut lebih menekankan pada pemilihan hadis yanhg melarang dikarnakan hadis ini datang belakangan dari Hadis yang memberikan izin penulisan Hadis, alasannya: (a) sahabat tidak menulis Hadis sebab adanya pelarangan ini setelah wafatnya Rasulullah Saw, sedangkan Hadis yang membolehkan menulis Hadis terjadi pada peristiwa fathul makkah dan khutbah Haji Wada’, (b) sahabat tidak membukukan dan menyebarkan Hadis. Seandainya mereka melakukan ini tentunya terdapat riwayat yang mutawatir yang menyatakan mereka telah melakukannya.[5]
Konsekuensi dari asumsi tersebut, mengarah dan merembet pada peristiwa penulsian suatu hadis secara tekstuak atau “tertulis”, dimana ia sangat tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi dan itu sangat menyulitkan bila berpegang pada cara pencatatan Hadis setelah dua ratus tahun. Dalam pada itu, ditambah lagi dengan percampuran naskah dengan yang bukan Hadis. Walaupun kemudian para ulama berusaha memilah dan memilihnya sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Musnad dan lain-lain.[6]

2.      Delegalisasi Kredibelitas Sahabati dari tulisan iiga elemen ni akan membahas.
Dalam konteks memperkukuh persepsinya, Abu Rayyah sendiri mulai merelasikannya dengan para periwayat hadis atau saksi-saksi hadis yakni para sahabat. Ia sendiri sangat mempersoalkan bagaimana keadilan sahabat itu bisa terjadi, atau mungkin ia sebut dengan “ketidakmungkinan” (dalam pengertian tidak semuannya adil secara mutlak) terjadinya kredibelitas sahabat. Namun, Abu Rayyah tidak mengartikan secara keseluruhan.
Berbeda dengan mainstream Muslim yang meyakini bahwa sahabt diperhukumkan “adil”. Namun tidak dijelaskan apakh semua atau terdapat orang-orang yang termasuk wilayah “adil” tersebut. Yang jelas mainstream Muslim dengan berlandaskan ayat al-Baqarah[2]:143
Demikianlah kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membangkang, sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.

Kemudian dalam ayat lain:

 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Akan tetapi dalam penilaian Abu Rayyah, tidaklah demikian. Hal ini dibuktikan dengan temuannya yakni salah satu sahabt periwayat terbanyak dalam hadis yakni Abu Hurairah. Dimana Abu Rayyah sendiri menggugat keras mengenai kredibilitas serta kualitas yang imiliki Abu Hurairah itu sendiri. Seperti misalnya keganjalan dalam periwayatan hadis yang begitu banyak, terdapat sejumlah statement yang  memang diperuntukkan untuk kepentingan personalitasnya. Belum lagi isu-isu ketidak jujuran serta proyek Muawwiyah yang dikonstruksikan dalam konteks meruntuhkan kredibelitas Ali dan lain-lain.
Dalam masalah ‘adalat al-shahabah, Rayyah juga memberikan keterangan yang, menurutnya, baru mengenai hadis “man kadzdzaba”. Ia menyatakan bahwa kata muta‘ammidan, yaitu dengan sengaja, tidak terdapat dalam versi-versi yang sampai kepada kita dari para sahabat pembesar semisal al-Khulafa’ al-Rasyidun. Adalah sahabat-sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan lainnya yang meriwayatkan perkataan ini dengan kata muta‘ammidan. Rayyah menyatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj, dengan alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, karena secara tidak disengaja mereka telah mereka-reka sabda Nabi Muhammad saw., atau mereka yang telah mereka-reka hal-hal tentang Nabi Muhammad saw dengan alasan memajukan jalan Islam.
Semua ini ditujukan untuk menyatakan bahwa al-kidzb telah terjadi dikalangan para sahabat. Dan jika memang demikian, maka semua hadis dari mereka harus diuji, sedangkan itu merupakan hal yang sangat mustahil. Argumen lain yang coba dikemukakan untuk mengugurkan sistem ta‘dil kolektif para sahabat adalah adanya perdebatan para sahabat yang terjadi karena adanya kecurigaan terhadap pemalsuan dan iktsar al-hadits

Bagi Abu Rayyah, banyak hal yang menjadi sorotan utama terkait dengan keadilan para sahabat. Sehingga perlu untuk dikroscek kembali sejauh mana kebenaranan serta kejujuran yang dimiliki sahabat.
Selain statement di atas, ada banyak sorotan khususnya yang ditujukan sekaligus menjadi sampel terhadap ketidakadilan beberapa sahabat seperti Abu Hurairah(persepsi Abu Rayyah) yakni mulai dari a). kualitas hafalan[7], nominalitas hafalan Abu Hurairah dan tuduhan korupsi.
Wilayah nominalitas hafalan misalnya, salah satu tuduhan yang amat keras, dari sikap Abu Hurairah yang sangat mendalami hadis adalah tuduhan, mungkinkah Abu Hurairah yang hanya tinggal bersama Nabi kurang lebih selama 3 (tiga) tahun atau 21 bulan,  telah mampu meriwayatkan hadis yang begitu besar. Imam Ahmad bin hanbal dalam musnad-nya, meriwayatkan 3.848 hadis dari Abu Hurairah. Imam Baqi bin Makhlad, dalam musnad-nya, meriwayatkan 5.374 hadis  dari Abu Hurairah.  Dalam Shahihain dimuat 325 hadis, Imam Bukhari sendiri juga meriwayatkan 93 hadis dan Muslim meriwayatkan 189 hadis. Dalam bukunya Abu Rayyah meragukan hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, dengan menumbuhkan kecurigaan terhadap kenyataan bahwa jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang disibukkan oleh persoalan-persoalan pemerintahan dan politik.[8]

3.      Delegitimasi Sunnah
Statement Abu Rayyah terhadap Haidi, nampaknya berpengaruh sekali terhadap pemikirannya yang sanghat berlawanan dengan apa yang sudah menjadi keyakinan ummat Muslim umumnya. Inilah kemudian yang membuat diri Abu Rayyah dilabelkan sebagai salah satu pengingkar Sunnah. Seperti misalnya tulisan Ali Mustafa Ya’kub yang menguarikan mulai dari ulama klasik, modern terdapat ulama-ulama yang mengkirai Sunnah dalam pelbagai alasan dan tinjauan dari masing-masing ulama tersebut. Untuk kalangan klasik misalnya, ulama yang dikategorikan sebagai pengingkar sunnah cikal bakalnya mulai dari Irak, kalangan Kahwarij, Muktazilah. Kemudian kalangan modern disebu-sebut nama Muhammad Abduh, Rida, Ahmad Amin, Organisasi Ahl al-Quran dan lain-lain.[9]
Sebagaimana disinggung pada uraian di atas, kelahiran kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah tahun 1958 adalah tidak lain dari orasi pemikirannya terkait dengan apa yang menjadi persoalannya yang berisi kajian hadits yang pada beberapa Bab diantaranya membahas tentang sebagian dari Kitab-kitab Hadits yang diduga atau menurut Abu Rayyah Tidak menyampaikan kata-kata dan perbuatan Nabi Saw. Namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan oleh orang-orang sezaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan Hadits. Lebih jauh menurutnya Hadits Ahad tidak boleh diberlakukan pada komunitas Muslim sepanjang zaman, jika Hadits tersebut tidak dipraktikkan oleh generasi Islam terdahulu. Dalam Buku tersebut Abu Rayyah juga banyak menggunakan banyak argumen yang terkadang diambil dari disiplin ilmu modern.
Walaupun kemudian pada perkembangan selanjutnya Abu Rayyah sendiri mendapat perlawanan secara serentak dari sejumlah kalangan Ulama seperti Muhammad Abu Syuhbah dalam Majallat al-Azhar, Muhammad as-Samahi dalam Abu Hurairah fil Mizan, Musthafa as-Siba’i dkk dalam kumpulan esai Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawi wa-Tafnid Syubhat Khushumih, Abdu ar-Razzaq dalam Zhulumat Abi Rayyah Imam Adhqa’ as-Sunnah al-Muhammadiyah, Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani dalam al-Anwar al-Kasyifah li ma fi Kitab Adhwa’ ‘alas-Sunnah min az-Zalal wat-Tadhil wal-Mujazafah, Musthafa as-Siba’i dalam As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’, Muhammad Ajjaj al-Khathib dalam Abu Hurairah Rawiyat al-Islam dan As-Sunnah Qablat-Tadwin, Muhammad Abu Zahrah dalam berbagai tulisan dan lain sebagainya.[10]


C.    EPILOG
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa preokupasi Abu Rayyah dalam konteks protes praktisnya terhadap beberapa sahabat sekaligus penolakannya terhadap beberapa jenis hadis yang diangapnya bertentangan dengan al-Quran dan ide moral. Dalam hal ini akan diuarikan secara singkat:
1.      Konsepsi Abu Hurairah tentang Sunnah. Dalam analisisnya khususnya terkait dengan definisi sunnah, Abu Rayyah masih sejalan dengan apa yang mengaku dan meyakini apa yang didefinisikan kuam Muslim umumnya. Kemmudian dalam konteks sunnah ia sendiri membaginya menjadi dua bagian utama yakni Sunnah Oral dan sunnah aplikatif.
2.      Terkait dengan delegalisasi kredibelitas sahabat. Dalam hal ini ia memiliki catatn sendiri, dan tidak mengakui sepenuhnya keadilan yang dimiliki sahabat. Terlebih lagi dengan periwayatan Abu Hurairah yang menurutnya banyak memiliki pertentangan yang kontradiktif.
3.      Terkait dengan sunnah, ia menegaskan akan penolakannya terhadap beberapa bagian sunnah yang menurutnya bertentangan dengan al-Quran dan akalnya serta ide moralnya. Namun perlu dicatat, tidak semua hadis yang ditolak melainkan hanya hadis ahad saja

D.    DAFTAR PUSTAKA
Juynboll, G.H.A The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egypt, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Penerbit  Mizan, cet. I, 1999),
M.M. Azami, Studies in Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994)
Rayyah, Abu, Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1957 M)
Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 2000)


[1] Makalah di sampaikan dalam seremonial Seminar Pemikiran Hadis Orientalis di UIN Sunan Kalijaga.
Dinamika ini secara panjang lebar diuraikan oleh G.H.A Juynboll. Lihat G.H.A Juynboll The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in Modern Egypt, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Penerbit  Mizan, cet. I, 1999), hlm. 13-14
[2] Abu Rayyah menilai bahwa ada sejumlah bahkan banyak unit-unit hadis yang sangat tidak relevan baik dalam konteks studi kandungan matn-nya, walaupun kemudian hadist tersebut valid berlabel Shoheh. Abu Rayyah sendiri dalam uarainnya memberikan salah satu contoh hadis yang dimaksudkan tersebut yakni; Pertama : “Bila Setan mendengar seruan untuk Shalat, maka dia lari seraya terkentut-kentut”.  Kedua : “Barangsiapa yang mengatakan: Tiadak ada Tuhan selain Allah akan masuk surga. Adapun pertanyaan para Sahabat tentang apakah pintu surga akan dibuka bagi orang yang mengucapkannya tetapi ia berzina dan berzina dan mencuri, nabi mengiyakannya. Dalam hal ini hemat Abu Rayyah, hadis ini tidak sejalan dengan ide moral dan sulit untuk diakui. Apakah Nabi benar-benar menggunakan kata-kata yang kurang sopan. Lihat Ibid..G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis Nabi di Mesir. hlm. 58


[3] Lebih jelasnya lihat Abu Rayyah Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1957 M), hlm. 38-39.

[4] Dalam pelapalan indonesiannya berbunyi “Jangan kalian tulis sesuatu dariku sama dengan Alquran maka barangsiapa menulis tentangku selain Alquran maka hapuslah ia”. Lebih jelasnya  Ibid,. hlm. 46.
[5] Lihat kembali M.M. Azami, Studies in Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 337.

[6] Ibid... Abu Rayyah Adwa’ ‘ala  hlm. 38-39.
[7] Dalam hal ini Abu Hurairah sangat memperhitungkan kualitas Abu Hurairah itu sendiri dan akhirnya berimplikasi pada kredibelitas kitab 9 yang telah lama diyakini ummat Islam sekarang.
[8] Selengkapnya bisa juga baca O. Hashem, Saqifah, (Yogyakarta: Rausyan Fikr, cet. V. 2010), hlm. 75, 86, 88, 99 dll.
[9] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 2000), hlm.39-52
[10] Ibid... G. H. A. Juynboll, Kontroversi Hadis Nabi di Mesir, hlm. 60.