Kata Kunci :
Sunnah(Qauliyyah & ‘Amaliyyah), Delegalisasi Kredibelitas Sahabat, Delegitimasi
Sunnah
A. INTRODUCTION
Untuk kekinian, dinamika legitimasi dan delegitimasi
sejak era ‘ulūmuddīn/Islamic konowledge, era al-Fikr al-Islami/Islamic
thought hingga era sekarang Dirāsat al-Islāmiyyah/Islamic studies
terasa masih segar terngiang di telinga kita, terkait dengan dinamika
legitimasi dan delegitimasi sunnah dalam pengertian seluarluasnya. Di Mesir di
sekitar delapan puluh tahun terakhir, wacana sunnah kerap menjadi perbincangan
yang kemudian melahirkan akseptabel dan inakseptabel. Mereka pun bervarian,
sebagaian menolak secara mutlak-holistik, sebagian lagi semi-holistik dan
sebagian lagi menerima secara keseluruhan tanpa membedakan elemen-elemenn yang
sarat dengan hadis itu sendiri dan sebagian lagi bersikap elektis dalam arti
mempersyaratkan sejumlah hadis yang legitimatif.
Muhammad Abduh(1849-1905)_untuk menyebut salah satu
pemikir ternama kelahiran Mesir, menjadikan otentisitas literatur hadis sebagai
public-issus. Isu aktual ini paling tidak ‘terdekati” dari dua sudut yang
berbeda yakni: pertama, tekanan terhadap status hadis sebagai hujjah.
Hal ini dipandang sangat membahayakan otentisitas sebuah hadis. Konsekuensinya,
bila demikian, maka hadis tersebut kehilangan hujjiyahnya. Adanya ketidak
puasan terhadap model keilmuan ajaran Syariat yang dianggap rigid, yang hanya
dibatasi oleh hadis. Kedua, Hadis-hadis yang tidak berkaitan dengan
ajaran-ajaran hukum, namun memberikan informasi historis tentang Nabi, telah
dicampakkan oleh sebagian orang yang mempersoalkannya karna informasi secara
historisnya tidak benar atau bertentangan dengan persepsi inderawi. Akhirnya
Abduh sendiri mulai merekonstruksi karateristik hadis-hadis yang valid sebagai
bentuk perlawanan kritis terhadap mainstream klasik.tradisional.[1]
Namun demikian, hemat penulis baik yang secara
terang-terangan memploklamirkan “ketidakterimaannya” secara mutlak-holistik
maupun “keterterimaannya” secara elektis, adalah upaya untuk menghidupkan
gairah keilmuandalam pemikiran sunnah. Karna hemat penulis kesemuannya memiliki
atma masing-masing di zamannya untuk kemudian dijadikan sebagai solusi dalam
menyelesaikan problematika sosial yang mengitarinya.
Selain dari Abduh, terdapat satu tokoh
yang sangat kritis yakni Abu Rayyah(yang menjadi objek materil tulisan ini).
Berbekal penguasannya terhadap keilmuan yang mapan, ia mengritik keras terhadap
pemikiran Ulama Mesir yang masih dianggapnya terkungkung kepada empat imam
Mazhab. Ulama Mesir enggan melakukan penelitian terhadap persoalan-persoalan yang berkembang dan terjadi
pada umat Islam. Hal ini diperparah dengan sikap tidak kritis terhadap setiap perkataan yang
dinisbatkan kepada Nabi. Namun memang keberanian Abu Rayyah ini, yang dalam
perkembangannya mendapatkan kritikan yang tajam dikalangan ulama al-Azhar itu sendiri.
Menyambung aformis di atas, tulisan ini bermaksud
sekaligus memperkenalkan kembali, bagaimana pemikiran Muhammad Abu Rayyah, yang
amat terkenal dengan sikapnnya terhadap delegitimasi Sunnah yang kemudian orang
sering menyebutnya dengan ‘ingkaru Sunnah”. Namun demikian, terlepas benar atau
tidak, bagi penulis tentu ada persoalan yangk menghantui diri Abu Rayyah yang
kemudian membuat dirinya menarik diri untuk “menerima” hadis yang menurutnya
bertentangan dengan atma al-Quran.
Di samping itu, ada poin-poin atau kata kunci yang
menarik dari Muhammad Abu Rayyah, dimana the mainstream of Muslims
meyaknini bahwa elemen hadis itu meliputi tiga bagian utama ; Qauliyyan,
fi’lān dan taqririyyan. Namun beda dengan Abu Rayyah sendiri, justru
ia mereduksinya menjadi dua bagian saja dengan alasan-alasan representatif.
Sehingga kemudian, konsep ilmu hadisnya melahirkan sebuah sikap yang kebanyakan
orang menyebutnya sebagai ‘ingkar as-Sunnah”. Namun kemudian, apakah memang
bener Abu Rayyah sebagai pengingkar Sunnah? Atau jika bener, apakah kemudian
sunnah secara keseluruhan ataukah parsial? Atau bisa saja unit-unit hadis yang
,memang bertentangan dengan atma al-Quran itu sendiri/
Hal inilah yang penulis coba untuk dielaborasi secara
kanonik, untuk mendapatkan ide dasar atau preokupasi dalam memahami hadis
tersebut. Untuk itu, di sini sangat perlu dilampirkan selayang pandang sketsa
historiusnya dalam kerangka mendapatkan data-data faktual mengenai ada tidaknya
keterpengaruhann terhadap pemikir sebelumnhnya sehingga membuat sikap Abu
Rayyah demikian. Kemudian, poin inti tulisan ini akan membahs tiga elemn saja
yakni terkait tentang Sunnah itu sendiri, delegalisasi kredibelitas Sahabat dan
delegitimasi Sunnah.
B. DELEGITIMASI SUNNAH ABU RAYYAH
Perkenalan pertama kalinya Abu Rayyah kelahiran 1889 ini
dengan dunia Hadis, bermula dari pembacaan pertamanya dengan suatu unit hadis
yang sangat kontradiktif(dalam perspektifnya). Hadis tersebut sangat mengganggu
intelensia Abu Rayyah seorang pemikir Islam yang ternama(tanpa bermaksud
berlebih-lebihan). Menghantui fikirannya itu diriwayatkan oleh tokoh
ternama dalam mainstrema Muslim yakni Abu Hurairah.[2]
Hadis-hadis terinklinatif pada sebuah pesan-pesan kontradiktif-anomalisti,
tidak bermoral atau kasar. Itulah yang kemudian barang kali Abu Rayyah mencoba
menawarkan satu gagasan penting yang harus diyakini oleh seorang Muslim Gagasan
tersebut kemudian ditelurkan melalui karyanya Adwa’ ‘ala al-Sunnah
al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits. Walaupun kemudian proyek
pemikirannya dalam karya tersebut mendapat komentar kontroversial di hadapan
para pemikira keilmuan, namun juga ada yang mengamininya.
Hal ini tidaklah mengherankan, dimana satu sisi Abu
Rayyah kerap kali berhubungan dengan salah satu pemikira ternama Mesir yakni
Muhammad Abduh dan muridnya. Persentuhan dan hubungan timbal balik dengan kedua
tokoh tersebut semakin erat baik melalui diskursusnya maupun kegiatan-kegiatan
intlektual yang dikutinya. Sebagaiman diuraikan G.H.A Juynboll, Abu Rayyah sangat simpatik dan
terkagum dengan pemikir ternama Mesir yakni Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid
Ridha. Ia Abu Rayyah sangat apresiatif terhadap proyek anti taklid dan
fanatisme terhadap suatu Mazhab tertentu.
Bagaimana kemudian pemikiran Abu Rayyah terkait dengan
tiga elemen di atas? Di bawah ini akan diuraikan secara sistematis yakni
sebagia berikut:
1. Sunnah: Sebuah Penegasan Sunnah Qauliyyah/oral dan Sunnah ‘Amaliyyah/Aplikatif.
Dalam pembacaan Abu Rayyah, dalam konteks defenitif ia
sendiri masih mengakui dan mengapresiasi sebagaimana mainstream Muslim
mengartikannya yakni sunnah diartikan sebagai “segala sesuatu
yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapannya”[3].
Begitu juga denga pemosisian Hadis, ia juga mengamini bahwa hadist tersebut
terdudukkan pada posisi ke dua setelah al-Quran dalam konteks pungsional dan
sekaligus mengakui kemutawatirannya. Namun kemudian Abu Rayyah membedaknnya
dengan sunnah, dimana sunnah merupakan keterbalian dari proses hadis itu
keluar.
Dan yang menjadi persoalan bagi Abu
Rayyah, adalah sangat menyayangkan ketidakadanya kritik sanad terhadap kutub
as-Sittah itu sendiri. Juga tidak terlalu memperhatikan kritik matan sebagai
kritik yang sah, apakah matan tersebut benar-benar layak atau tidak. Inilah
yang kemudian membuat benak pemikiran Abu Rayyah seolah-oleh ajaran Islam amat
membosankan karna diperbuat rigid oleh pemikir Islam.
Untuk itulah kemudian Abu Rayyah
sendiri telah memilah bahkan membedakannya dengan Sunnah. Konteks Sunnah itu
sendiri oleh Abu Rayyah diklasifikasikannya menjadi dua bagian utama yakni :
a). Sunnah Oral/Qaliyyah, b) Sunnah Aplikatif.Amaliyyah. Menurutnya Sunnah Oral
memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan sunnah qauliyyah, sebab
sunah amaliah sudah jelas perbuatan tersebut dilakukan secara langsung
oleh Rasulullah Saw, akan tetapi keduanya tetap sebagai sumber kedua setelah
Alquran.
Abu Rayyah nampaknnya lebih menkannkan
pada penguatan terhadap al-Quran itu sendiri, bahkan mungkin bisa berarti
al-Quran sudah mencukupi tanpa harus membebani diri dengan hadis. Dalam
urainnya selannjutnya, persentuhan pemikirannya atau penolakannya terhadap
hadis-hadis tertentu, Abu Rayyah sempat menyinggung mengenai “ketertulisan”
sebuah hadis, dimana pada hakikatnya Nabi sangat melarang menulis sebuah hadis.
Statemen ini diperkuat oleh kutipan hadisnya yakni hadis yang diriwayatkan
Ahmad, Muslim dll.[4]
Namun kemudian Abu Rayyah juga meyakini
bahwa ada sejumlah hadis yang memang mengisyaratkan untuk menulisnya. Jadi di
sini terdapat dua hadis yang bertentangan antara perintah menulis dan larangan
menulis. Abu Rayyah sendiri dalam menganalisis hadis tersebut lebih menekankan
pada pemilihan hadis yanhg melarang dikarnakan hadis ini datang belakangan dari
Hadis yang memberikan izin penulisan Hadis, alasannya: (a) sahabat tidak
menulis Hadis sebab adanya pelarangan ini setelah wafatnya Rasulullah Saw,
sedangkan Hadis yang membolehkan menulis Hadis terjadi pada peristiwa fathul
makkah dan khutbah Haji Wada’, (b) sahabat tidak membukukan dan menyebarkan
Hadis. Seandainya mereka melakukan ini tentunya terdapat riwayat yang mutawatir
yang menyatakan mereka telah melakukannya.[5]
Konsekuensi dari asumsi tersebut,
mengarah dan merembet pada peristiwa penulsian suatu hadis secara tekstuak atau
“tertulis”, dimana ia sangat tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu bisa
terjadi dan itu sangat menyulitkan bila berpegang pada cara pencatatan Hadis
setelah dua ratus tahun. Dalam pada itu, ditambah lagi dengan percampuran
naskah dengan yang bukan Hadis. Walaupun kemudian para ulama berusaha memilah
dan memilihnya sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Musnad dan
lain-lain.[6]
2. Delegalisasi Kredibelitas Sahabati dari tulisan iiga elemen ni akan
membahas.
Dalam konteks memperkukuh persepsinya, Abu Rayyah sendiri
mulai merelasikannya dengan para periwayat hadis atau saksi-saksi hadis yakni
para sahabat. Ia sendiri sangat mempersoalkan bagaimana keadilan sahabat itu
bisa terjadi, atau mungkin ia sebut dengan “ketidakmungkinan” (dalam pengertian
tidak semuannya adil secara mutlak) terjadinya kredibelitas sahabat. Namun, Abu
Rayyah tidak mengartikan secara keseluruhan.
Berbeda dengan mainstream Muslim yang meyakini bahwa
sahabt diperhukumkan “adil”. Namun tidak dijelaskan apakh semua atau terdapat
orang-orang yang termasuk wilayah “adil” tersebut. Yang jelas mainstream Muslim
dengan berlandaskan ayat al-Baqarah[2]:143
“Demikianlah kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
melainkan agar kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membangkang, sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia”.
Kemudian dalam
ayat lain:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka
dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Akan tetapi dalam penilaian Abu Rayyah,
tidaklah demikian. Hal ini dibuktikan dengan temuannya yakni salah satu sahabt
periwayat terbanyak dalam hadis yakni Abu Hurairah. Dimana Abu Rayyah sendiri
menggugat keras mengenai kredibilitas serta kualitas yang imiliki Abu Hurairah
itu sendiri. Seperti misalnya keganjalan dalam periwayatan hadis yang begitu
banyak, terdapat sejumlah statement yang memang diperuntukkan untuk kepentingan
personalitasnya. Belum lagi isu-isu ketidak jujuran serta proyek Muawwiyah yang
dikonstruksikan dalam konteks meruntuhkan kredibelitas Ali dan lain-lain.
Dalam masalah ‘adalat al-shahabah, Rayyah juga
memberikan keterangan yang, menurutnya, baru mengenai hadis “man kadzdzaba”.
Ia menyatakan bahwa kata muta‘ammidan, yaitu dengan sengaja, tidak
terdapat dalam versi-versi yang sampai kepada kita dari para sahabat pembesar
semisal al-Khulafa’ al-Rasyidun. Adalah sahabat-sahabat seperti Anas bin
Malik, Abu Hurairah, dan lainnya yang meriwayatkan perkataan ini dengan kata muta‘ammidan.
Rayyah menyatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj,
dengan alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan, karena secara tidak
disengaja mereka telah mereka-reka sabda Nabi Muhammad saw., atau mereka yang
telah mereka-reka hal-hal tentang Nabi Muhammad saw dengan alasan memajukan
jalan Islam.
Semua ini ditujukan untuk menyatakan bahwa al-kidzb
telah terjadi dikalangan para sahabat. Dan jika memang demikian, maka semua
hadis dari mereka harus diuji, sedangkan itu merupakan hal yang sangat
mustahil. Argumen lain yang coba dikemukakan untuk mengugurkan sistem ta‘dil
kolektif para sahabat adalah adanya perdebatan para sahabat yang terjadi karena
adanya kecurigaan terhadap pemalsuan dan iktsar al-hadits
Bagi Abu Rayyah, banyak hal yang
menjadi sorotan utama terkait dengan keadilan para sahabat. Sehingga perlu
untuk dikroscek kembali sejauh mana kebenaranan serta kejujuran yang dimiliki
sahabat.
Selain statement di atas, ada banyak
sorotan khususnya yang ditujukan sekaligus menjadi sampel terhadap
ketidakadilan beberapa sahabat seperti Abu Hurairah(persepsi Abu Rayyah) yakni
mulai dari a). kualitas hafalan[7],
nominalitas hafalan Abu Hurairah dan tuduhan korupsi.
Wilayah nominalitas hafalan misalnya,
salah satu tuduhan yang amat keras, dari sikap Abu Hurairah yang sangat mendalami
hadis adalah tuduhan, mungkinkah Abu Hurairah yang hanya tinggal bersama Nabi
kurang lebih selama 3 (tiga) tahun atau 21 bulan, telah mampu
meriwayatkan hadis yang begitu besar. Imam
Ahmad bin hanbal dalam musnad-nya, meriwayatkan 3.848 hadis dari Abu Hurairah.
Imam Baqi bin Makhlad, dalam musnad-nya, meriwayatkan 5.374 hadis dari
Abu Hurairah. Dalam Shahihain dimuat 325 hadis, Imam Bukhari sendiri juga
meriwayatkan 93 hadis dan Muslim meriwayatkan 189 hadis. Dalam bukunya Abu Rayyah meragukan hadis yang
diriwayatkan Abu Hurairah, dengan menumbuhkan kecurigaan terhadap kenyataan
bahwa jumlah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang
disibukkan oleh persoalan-persoalan pemerintahan dan politik.[8]
3. Delegitimasi Sunnah
Statement Abu Rayyah terhadap Haidi, nampaknya
berpengaruh sekali terhadap pemikirannya yang sanghat berlawanan dengan apa
yang sudah menjadi keyakinan ummat Muslim umumnya. Inilah kemudian yang membuat
diri Abu Rayyah dilabelkan sebagai salah satu pengingkar Sunnah. Seperti
misalnya tulisan Ali Mustafa Ya’kub yang menguarikan mulai dari ulama klasik,
modern terdapat ulama-ulama yang mengkirai Sunnah dalam pelbagai alasan dan
tinjauan dari masing-masing ulama tersebut. Untuk kalangan klasik misalnya,
ulama yang dikategorikan sebagai pengingkar sunnah cikal bakalnya mulai dari
Irak, kalangan Kahwarij, Muktazilah. Kemudian kalangan modern disebu-sebut nama
Muhammad Abduh, Rida, Ahmad Amin, Organisasi Ahl al-Quran dan lain-lain.[9]
Sebagaimana disinggung pada uraian di atas, kelahiran
kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah tahun 1958 adalah tidak lain dari orasi pemikirannya
terkait dengan apa yang menjadi persoalannya yang berisi kajian
hadits yang pada beberapa Bab diantaranya membahas tentang sebagian dari
Kitab-kitab Hadits yang diduga atau menurut Abu Rayyah Tidak menyampaikan
kata-kata dan perbuatan Nabi Saw. Namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan
oleh orang-orang sezaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk
menciptakan Hadits. Lebih
jauh menurutnya Hadits Ahad tidak boleh diberlakukan pada komunitas Muslim
sepanjang zaman, jika Hadits tersebut tidak dipraktikkan oleh generasi Islam
terdahulu. Dalam Buku tersebut Abu Rayyah juga banyak menggunakan banyak
argumen yang terkadang diambil dari disiplin ilmu modern.
Walaupun kemudian pada perkembangan
selanjutnya Abu Rayyah sendiri mendapat perlawanan secara serentak dari
sejumlah kalangan Ulama seperti Muhammad Abu Syuhbah dalam Majallat al-Azhar,
Muhammad as-Samahi dalam Abu Hurairah fil Mizan, Musthafa as-Siba’i
dkk dalam kumpulan esai Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawi wa-Tafnid Syubhat
Khushumih, Abdu ar-Razzaq dalam Zhulumat Abi Rayyah Imam Adhqa’
as-Sunnah al-Muhammadiyah, Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani
dalam al-Anwar al-Kasyifah li ma fi Kitab Adhwa’ ‘alas-Sunnah min az-Zalal
wat-Tadhil wal-Mujazafah, Musthafa as-Siba’i dalam As-Sunnah wa
Makanatuha fi Tasyri’, Muhammad Ajjaj al-Khathib dalam Abu Hurairah
Rawiyat al-Islam dan As-Sunnah Qablat-Tadwin, Muhammad Abu Zahrah
dalam berbagai tulisan dan lain sebagainya.[10]
C. EPILOG
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa preokupasi
Abu Rayyah dalam konteks protes praktisnya terhadap beberapa sahabat sekaligus
penolakannya terhadap beberapa jenis hadis yang diangapnya bertentangan dengan
al-Quran dan ide moral. Dalam hal ini akan diuarikan secara singkat:
1. Konsepsi Abu Hurairah tentang Sunnah. Dalam analisisnya khususnya terkait
dengan definisi sunnah, Abu Rayyah masih sejalan dengan apa yang mengaku dan
meyakini apa yang didefinisikan kuam Muslim umumnya. Kemmudian dalam konteks
sunnah ia sendiri membaginya menjadi dua bagian utama yakni Sunnah Oral dan
sunnah aplikatif.
2. Terkait dengan delegalisasi kredibelitas sahabat. Dalam hal ini ia memiliki
catatn sendiri, dan tidak mengakui sepenuhnya keadilan yang dimiliki sahabat.
Terlebih lagi dengan periwayatan Abu Hurairah yang menurutnya banyak memiliki
pertentangan yang kontradiktif.
3. Terkait dengan sunnah, ia menegaskan akan penolakannya terhadap beberapa
bagian sunnah yang menurutnya bertentangan dengan al-Quran dan akalnya serta
ide moralnya. Namun perlu dicatat, tidak semua hadis yang ditolak melainkan
hanya hadis ahad saja
D.
DAFTAR PUSTAKA
Juynboll, G.H.A The Authenticity of The Tradition Literature Discussion
in Modern Egypt, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Penerbit Mizan, cet. I, 1999),
M.M. Azami, Studies in
Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan
Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994)
Rayyah, Abu, Adwa’ ‘ala al-Sunnah
al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif,
1957 M)
Ya’qub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
cet. III, 2000)
Dinamika ini secara panjang lebar diuraikan oleh G.H.A Juynboll. Lihat
G.H.A Juynboll The Authenticity of The Tradition Literature Discussion in
Modern Egypt, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Penerbit Mizan, cet. I, 1999), hlm. 13-14
[2] Abu Rayyah menilai bahwa ada sejumlah
bahkan banyak unit-unit hadis yang sangat tidak relevan baik dalam
konteks studi kandungan matn-nya, walaupun kemudian hadist tersebut
valid berlabel Shoheh. Abu Rayyah sendiri dalam uarainnya memberikan salah satu
contoh hadis yang dimaksudkan tersebut yakni; Pertama : “Bila Setan mendengar seruan untuk
Shalat, maka dia lari seraya terkentut-kentut”. Kedua : “Barangsiapa
yang mengatakan: Tiadak ada Tuhan selain Allah akan masuk surga. Adapun
pertanyaan para Sahabat tentang apakah pintu surga akan dibuka bagi orang yang
mengucapkannya tetapi ia berzina dan berzina dan mencuri, nabi mengiyakannya.
Dalam hal ini hemat Abu Rayyah, hadis ini tidak sejalan dengan ide moral
dan sulit untuk diakui.
Apakah Nabi benar-benar menggunakan kata-kata yang kurang sopan. Lihat Ibid..G. H. A. Juynboll, Kontroversi
Hadis Nabi di Mesir. hlm. 58
[3] Lebih jelasnya lihat Abu Rayyah Adwa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah aw Difa‘ ‘an al-Hadits, (Makkah: Dar al-Ma’arif, 1957 M), hlm. 38-39.
[4] Dalam pelapalan indonesiannya berbunyi “Jangan kalian tulis sesuatu dariku sama dengan Alquran maka barangsiapa
menulis tentangku selain Alquran maka hapuslah ia”. Lebih jelasnya Ibid,. hlm. 46.
[5] Lihat kembali M.M. Azami, Studies in
Eraly Hadith literature, terj. Ali Musthafa Yaqub, Hadits Nabi dan
Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 337.
[7] Dalam hal ini Abu Hurairah sangat memperhitungkan kualitas Abu Hurairah
itu sendiri dan akhirnya berimplikasi pada kredibelitas kitab 9 yang telah lama
diyakini ummat Islam sekarang.
[8] Selengkapnya bisa juga baca O. Hashem, Saqifah, (Yogyakarta: Rausyan Fikr,
cet. V. 2010), hlm. 75, 86, 88, 99 dll.