Jumat, 04 November 2011

RENUNGAN FILOSOFIS DARI AT-THABATHABA'I


Salah satu tema kajian dalam filsafat Islam adalah masalah ketuhanan. Dalam masalah tersebut, yang dikaji oleh para filofof Muslim biasanya berkisar pada upaya menetapkan adanya Tuhan berdasarkan argument rasional, hubungan zat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, hubungan perbuatan Tuhan dengan manusia, hakikat qadha’ dan qodar Tuhan, serta hakikat kejahatan dan hubunganya dengan Tuhan.
Kajian filosofis yang dilakukan oleh para filosof Muslim terhadap masalah keTuhanan tersebut, tentunya memunculkan pertanyaan dibenak kita; mengapa para filosof Muslim itu harus melakukan kajian filosofis terhadap masalah ketuhanan? Bukankah telah jelas bahwa informasi tentang Tuhan dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya telah diuraikan dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-quran dan dadist? Tidak ccukupkan uraian-uraian tentang Tuhan yang terekam dalam wahyu, sehingga diperlukan pencarian filosofis?
Jawaban-jawaban para filosof terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas adalah sebagai berikut; para filosof Muslim bukannya tidak percaya akan kebenaran informasi tentang Tuhan yang diberikan oleh wahyu ataupun hadist, tetapi bagi mereka, kebenaran informasi tentang Tuhan yang diberikan oleh kedua sumber itu perlu ditopang dengan argumen-argumen rasional yang berpijak pada kekuatan berpikir akal, sehingga keterangan-keterangan yang diberikan oleh sumber tersebut bisa dirasionalkan dan mudah dipahami bagi para penganutnya. Disamping itu, perbincangan filosofis tentang Tuhan merupakan sebuah tuntunan tak terhindarkan dari disiplin filsafat yang mereka tekuni. Sebab filsafat, seperti ditegaskan oleh Lois Leahey, “ filsafat merupakan teknik refleksif yang diterapkan kepada apa yang dihayati.
Berdasarkan dua alasan diatas, dapat dimengerti mengapa para filosof Muslim itu melakukan kajian filosofis tentang masalah ketuhanan. Seperti dapat dilihat dalam sejarah filsafat Islam, filosof-filosof Muslim seperti Al-Kindi (w.252H/866M), Al-Farabi (w.339H/950M), Ibnu Sina (w.428H/1031M), Ibnu Rusyd (w.598H/1198M), Suhrawardi Al-Maqtul (w.587H/1191M), Mulla Shadra (w.1050H/1641M), selalu memunculkan kajian tentang Tuhan dalam karya-karya filsafat mereka.
Akan tetapi, mengapa para filosof Muslim selalu berupay mengkaji tema tentang Tuhan, bukankah apa yang diungkap oleh Al-Kindi telah cukup dan memadai? Menanggapi pertanyaan ini, Harold Titusmenyatakan bahwa kajian filsafat tentang Tuhan yang dilakukan oleh seorang filosof, tidak ada yang dianggap sebagai hasil perenungan filosof yang final dan memadai karena sulit untuk menemukan orang yang mampu menguraikan hasil pemikirannya secara maksimal. Senada dengan Harold Titus, Mulyadi Kartanegaramenyatakan bahwa pandangan seorang tentang Tuhan harus dipandang sebagai suatu pandangan yang tidak final. Pandangan seseorang tentang Tuhan harus dipandang relative. Dari kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa pandangan satu filosof tentang Tuhan bukan merupakan pandangan yang absolute, sehingga tidak memungkinkan para filosof yang akan dating kemudian untuk menkritiknya, atau bahkan merumuskan pandangan baru tentang Tuhan. Kenyataan inilah yang mendorong para filosof untuk menuangkan pandangan tentang Tuhan dalam karya-karya filsafat yang mereka tinggalkan.
Kenyataan bahwa para filosof selalu tidak puas dengan apa yang telah diuraikan oleh para filosof sebelumnya tentang masalah keTuhanan, juga masih berluku hingga saat ini, di era modern. Hal itu dapat dilihat atau ditemukan dalam karya-karya filosofis yang muncul diera modern itu sendiri. Salah satu filosofis yang muncul diera rersebut dan memiliki karya yang didalmnya mengkaji masalah keTuhanan adalah ‘Allamah Thabathaba’i,(w.1981), seorang filosof Islam tradisional yang berpengaruh di Iran modern.
Karya-karya filsafatnya yang memuat kajian tentang Tuhan adalah, Bidayat Al-Hikmah, Nihayat Al-Hikmah, ‘Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyyah, dan Ushul Al-Falsafah wa Al- Manhaj Al-Waaqi’i. Menurut Mehdi Amin Rezavi, Bidayat Al-Hikmah dan Nihayat Al-Hikmah, merupakan karya filsafat ‘‘Allamah Thabathaba’i yang terakhir. Dalam kedua karya tersebut, ‘‘Allamah Thabathaba’i mengkaji tentang metafisika atau yang lazim dikenal dengan istilah Al-Ilahiyyat. Pada bagian akhir dari karya tersebut, ‘‘Allamah Thabathaba’i menguraikan masalah ketuhanan yang terangkum dalam satu judul besar “Ma Yata’allaq bi Al-Wajib Al-Wujud”.
Dalam karya ‘Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyyah, ‘‘Allamah Thabathaba’i juga berbicara tentang Tuhan, tapi berbeda dengan denggan dua karya yang pertama, dalam Ali wa Al-Falsafah Al-Ilahiyyah, uraian ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan dibangun berdasarkan ucapan-ucapan imam ‘Ali a.s. karya ini bisa disebut sebagai syarah atau komentar ‘‘Allamah Thabathaba’i atas hadis imam ‘Ali.
Adapun Ushul Al-Falsafah, merupakan karya ‘‘Allamah Thabathaba’i yang berasal dari karyanya yang berbahasa Persia, “Ushul  Al-Falsafi Rawish Realism”. Konon karya itu ditulis sebagai respon terhadap filsafat meterialisme yang ketika itu sedamg menjadi mode pemikiran kaum muda Iran. Karya ini diberi komentar oleh Murthadha Muthahhari, murid cemerlang ‘‘Allamah Thabathaba’i. seperti halnya dalam ketiga karya terdahulu, dalam karya yang disebut terakhir inipun ‘‘Allamah Thabathaba’i mengkaji masalah ketuhanan.
Adanya karya-karya filsafat yang ditinggalkan oleh ‘‘Allamah Thabathaba’i menarik minat penulis untuk melakukan kajian untuk melakukan kajian terhadap pemikiran filosofisnya. Tapi, karena keterbatasan penulis, kajian terhadap pemikiran filosofis ‘‘Allamah Thabathaba’i dibatasi pada satu karya terakhirnya, yakni Nihayat Al-Hikmah, dengan pertimbangan bahwa sebagai karya terakhir dari ‘‘Allamah Thabathaba’i, di bidang filsafat, karya tersebut dapat dinilai sebagai yang mewakili keseluruhan perenungan filosofis ‘‘Allamah Thabathaba’i, dan memang jika dibandingkan dengan Bidayat Al-Hikmah, karya Nihayat Al-Hikmah tampak lebih lengkap dan sempurna.
Seperti telah disebut diatas, Nihayat Al-Hikmah secara khusus mengkaji masalah-masalah metafisika. Karena luasnya lingkup bahasan metafisika, kajian ini dibatasi pada suatu bab kajian ‘‘Allamah Thabathaba’i dalam Nihayat Al-Hikmah yang berbicara tentang Tuhan.
Beragam persoalan yang bias muncul dari masalah ketuhanan yang diuraikan oleh ‘‘Allamah Thabathaba’i dalam Nihayat Al-Hikmah, misalnya, bagaimana ‘‘Allamah Thabathaba’i membuktikan adanya Tuhan? Bagaimana pandangan ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang hubungan zat Tuhan dangan sifat-ssifat-Nya? Siapa filosof yang mempengaruhi ‘‘Allamah Thabathaba’i sehingga ia dapat memiliki konsepsi tentang Tuhan sebagaimana yang tertuang dalam Nihayat Al-Hikmah? Apakah konsepsi ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan sama dengan konsepsi para pendahulunya? Bagaimanakah posisi Tuhan dalam konsepsi ‘‘Allamah Thabathaba’i, imanen ataukah transinden?
Beragam persoalan dapat dirumuskan dalam satu tema kajia, yakni “ Tuhan dalam Filsafat ‘‘Allamah Thabathaba’ii”. Kata sifat disini sengaja disertakan karena yang ditelaah adalah karya-karya filosofis ‘‘Allamah Thabathaba’i, meskipun nantinya pembahasan tentang Tuhan yang yang dilakukan oleh ‘‘Allamah Thabathaba’i terkesan merip atau sama dengan bahasan-bahasan yang dilakukan oleh para teolog. Uraian-uraian ‘‘Allamah Thabathaba’i itu, tidak dapat dikatakan sebagai hasil perenungan teologis. Sebab ada beberapa perbedaan mendasar antara kajian filosofis dan kajian teologisterutama dari segi metode kajiannya.
Kajian demikian, memang bisa terjadi dalam kajian filsafat Islam. Ibn Rusyd misalnya ketika berupaya memadukan (tawfiq) antara agama dan filsafat juga menkaji objek kajian yang sama dengan objek kajian teolog. Tapi para pengkaji Ibn Rusyd tidak menyebut karya Ibn Rusyd sebagai pandangan teologis Ibn Rusyd melainkan menyebutnya sebagai filsafat Ibn Rusyd.
Ruang Lingkup Kajian
Masalah utama yang hendak dikaji dalam buku ini adalah pemikiran filosofis ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan. Jika masalah utama itu dirinci, akan terlihat sebagai berikut: (1) Bukti yang diajukan oleh‘‘Allamah Thabathaba’i tentang adanya Tuhan; (2) Pandangan ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang hubungan zat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya; (3) Pandangan ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang beberapa zat Tuhan, seperti pengetahuan Tuhan, kekuasaan dan kehendak Tuhan, hubungan kehendak Tuhan dengan manusia, al-miyah, qadha’ dan qadar, al-‘inayah al-ilahiyyah, kebaikan dan kejahatan.
Studi Tentang ‘‘Allamah Thabathaba’i
‘‘Allamah Thabathaba’i adalah filosof yang melahirkan beragam karya, baik dalam kajian filsafat maupun dalam disiplin keilmuan lain seperti teologi, tafsir, fiqih, dan hadist. Banyaknya karya yang lahir dari filosof ini membuat banyak peneliti yang berminat untuk memahami pemikirannya.
Di Indinesia, khususnya di Aceh dan Jawa, sepanjang pengetahuan penulis, telah ada beberapa studi pendahuluan yang dilakukan untuk memahami pemikiran ‘‘Allamah Thabathaba’i dibidang tafsir, kalam, filsafat, dan akhlak.
Dalam bidang tafsir, ada tiga kajian yang telah dilakukan, pertama, dilakukan oleh  Wildan Susanto, kedua, dilakukan oleh Islah Gusmian, dan ketiga, dilakukan oleh Isngatin. Sedangkan dibidang kalam, penelitian dilakukan oleh Abdul Qasim. Dari penelitian-penelitian tersebut, ditemukan dua peneliti yang berbicara masalah ketuhanan, yaitu Islah Gusmian dan Abdul Qasim. Tapi, dikatakan bahwa kedua peneliti itu mengkaji pemikiran ketuhanan ‘‘Allamah Thabathaba’i yang tersebar dalam karya tafsirnya, bukan pada karya filsafatnya.
Dibidang filsafat, Musa Kazim pernah menulis tentang “Teori Kesatuan Wujud (Wahdat Al-Wujud) dalam filsafat Islam : sebuah kajia awal”, tulisan ini meskipun menjadikan karya ‘‘Allamah Thabathaba’i seperti Nihayat Al-Hkmah dan Bidayat Al-Hikmah sebagai acuan penelitian, akan tetapi seperti tergambar dalam judulnya, tulisan itu hanya menelaah teori ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang “Wujud”. Disamping Musa Kazim, penelitian tentang filsafat ‘‘Allamah Thabathaba’i juga dilakukan oleh Prihananto. Tapi, perlu ditegaskan bahwa tulisan Prihananto tersbut sama sekali belum menjadikan karya-karya filsafat ‘‘Allamah Thabathaba’i sebagai rujukan utama. Penelitian lainnya tentang Akhlak dilakukan oleh Baqirshahi dengan judul “Dasar-Dasar Nilai Moral: Studi Komparatif atas Pandangan ‘‘Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Murtatha Muthahhari” penelitian ini, secara khusus mengkaji tentang filsafat moral ‘‘Allamah Thabathaba’i, bukan pemikiran ketuhanannya.
Berdasarkan kajian-kajian diatas, dapat dikatakan bahwa sekali lagi sepengetahuan penullis belum ada peneliti yang secara khusus menelaah tentang ketuhanan dalam filsafat ‘‘Allamah Thabathaba’i, terutama yang titik tekannya seperti yang terdapat dalam kajian ini. Oleh karena itu,  guna mengisi kekosongan tersebut penulis berpendapat bahwa perlu diadakan kajian yang spesifikasi kajiannya adalah persoalan keruhanan dalam filsafat ‘‘Allamah Thabathaba’i.
Namun haru dikatakan bahwa kajian tentang masalah ketuhanan dalam wacana filsafat Islam. Dapat disebut sebagai sesuatu yang tidak lagi baru sebab hamper seluruh filosof  Muslim sejak Al-Kindi (w. 260H/873M) pada abad ke-9 hingga Mulla Shadra (w.1050H/1640M) pada abad ke-17, tak satupun yang melepaskan kajian mereka dari persoalan ketuhanan. Berdasarkan kenyataan demikian, dapat dipastikan bahwa konsep ketuhanan ‘‘Allamah Thabathaba’i yang hendak dikaji dalam buku ini tidak terlepas dari pengaruh filosof-filosof Muslim yang dating sebelumnya. Dengan kata lain, pemikiran ketuhanan ‘‘Allamah Thabathaba’i pada hakikatnya merupakan pergulatan pemikiran filosofis dengan pemikiran-pemikiran para filosof Muslim sebelumya.
Untuk menelusuri pemikiran ‘‘Allamah Thabathaba’i sebagai sebuah hasil pergulatan pemikiran filosofis dengan pemikiran-pemikiran para filosof Muslim sebelumnya, dalam buku ini, sebelum memaparkan pemikiran filosofis ‘‘Allamah Thabathaba’i tentang Tuhan, akan dipaparkan terlebih dahulu kajian tentang Tuhan menurut para filosof Muslim sebelum ‘‘Allamah Thabathaba’i, yaitu : Al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan Mulla Shadra. Kajian tentang Tuhan dari keempat filosof itu nantinya akan digunakan sebagai bahan perbandingan dalam menganalisis pemikiran ketuhanan ‘‘Allamah Thabathaba’i.

 ‘‘ALLAMAH THABATHABA’I
Kehidupan dan Karya-Karyanya
Kehidupan
‘Allamah Al-Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dikenal sebagai filosof tradisional Persia, lahir di Tabriz pada tahun 1321H/1904M dalam sebuah keluarga ulama. Nama lengkapnya Muahammad Husain bin Al-Sayyid Muhammad bin Al-Sayyid bin Mrza ‘Ali Ashghar Syaikh Al-Islam Al- Thabathaba’i Al-Tabrizi Al-Qadhi. Tapi, ia lebih populer dengan nama ‘‘Allamah Thabathaba’i. Kedua orang tuanya meninggal dunia saat  ‘‘Allamah Thabathaba’i masih sangat kecil.
Pendidikan dasar dan menengah ia tempuh di Tabriz, kota kelahirannya, yang berlangsung sejak tahun 1911 M Sampai dengan 1917 M. Seperti layaknya kebanyakan pelajar pendidikan dasar di Persia saat itu, ‘‘Allamah Thabathaba’i, berupaya mengkaji berbagai aspek keilmuan dasar seperti Al-Quran, bahasa Persia, serta berbagai karya klasik tentang kesusastraan dan sejarah. Disamping menerima pelajaran-pelajaran dasar dari pendidikan formal tersebut, ‘‘Allamah Thabathaba’i juga memperoleh tambahan materi pelajaran dari guru privat yang sengaja didatangkan kerumahnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ‘‘Allamah Thabathaba’i tidak melanjutkan pendidikannya melalui jalan formal, tapi tidak berarti pendidikannya berhenti sama sekali. Sebab, ia memilih melanjutkan pendidikannya melalui jalur otodidak. Oleh karena itu, sejak tahun 1918-1925, ia mulai mengkaji buku-buku teks dari berbagai disiplin ilmu. Dalam disiplin kajian gramatika, ia menelaah Ketab Amsela, Sarf-e Mirr, dan Tashrif. Sementara dalam kajia sintaksis, ia mempelajari Ketab-e Avamel, Enmuzaj, Samadia, Sayuti, Jami’, dan Moghanni. Sedangkan dibidang retorika, ia berkenalan dengan Ketab-e Motovval. Adapun dibidang fiqih, ia mempelajari Syarh-e Lama’a dan Makaseb, selanjutnya dibidang ushul fiqh ia mempelajari Ketab-e Ma’alem, Qavanin, Rosa’il, dan Kafaya. Dalam bidang manthiq, ia mempelajari Kobra, Hasyiyam, dan Syarh-e Syamsiya, dan dalam disiplin filsafat ia mempelajari Syarh-e Esyarat, sementara dalam disiplin teologi, ia mengkaji Kaysf Al-Murad.
Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1925, ‘‘Allamah Thabathaba’i hijrah menuju Najaf, Irak, untuk melanjutkan studi pada Universitas Syi’ah terbesar disana. Pada universitas ini, ia mendalami ilmu fiqih dan filsafat. Penguasaannya terhadap kedua ilmu itu menjadikannya layak menyandang predikat Mujahid. Bahkan menurut Nasr, penguasaan ‘‘Allamah Thabathaba’i terhadap disiplin ilmu fiqih dan sejarah Islam dapat mengantarkannya pada predikat Mujtahid besar yang memiliki pengaruh dibidang politik dan social.
Seperti telah disebutkan di atas, disamping mendalami disiplin ilmu keagamaan, ‘‘Allamah Thabathaba’i juga sangat tekun mengkaji filsafat. Selama enam tahun bersama gurunya Sayyid Husain Badkuba’i, ia mempelajari teks-teks filsafat Islam tradisional seperti Al-Syifa’ karya Ibn Sina, Tahdzib Al-Akhlaq milik Ibn Maskawayh (w.360/970) Al-Asfar Al-Arba’ah karya Mulla Shadra, Tahmhid Al-Qawa’id karya Ibn Turkah sampai dengan Manzhumah karya Mulla Hadi Sabziwari (w.1289/1878). Melihat minat besar ‘‘Allamah Thabathaba’i terhadap filsafat, Sayyid Husain Badkhuba’i menganjurkannya untuk belajar matematika. Anjuran gurunya itu ia wujudkan dengan mengkaji matematika, logika analitik, ilmu ukur bidang dan ruang bersama Sayyid Abu Al-Qasim, seorang guru matematika ternama di kota itu. Disamping menekuni kajian filasafat, ia juga mendalami ilmu ma’rifat. Dalam disiplin ilmu ini, ia bertemu dengan Mizra ‘Ali Qadhi, seorang guru besar dalam ilmu ma’rifat Islam. Pertemuan dengan Mizra ‘Ali Qadhi mengantarkan ‘‘Allamah Thabathaba’i untuk menguasai Fushhush Al-Hikam, salah satu karya monumental Ibn ‘Arabi (w.638/1240), sang penggagas konsep Wahdat Al-Wujud.
Masa studi Thabathaba’i yang cukup panjang di Najaf, dapat dikatakan sebagai masa yang sangat menentukan karier intelektualnya di kemudian hari. Sebab, seperti diungkap Nasr, di Najaf,” ‘Allamah Thabathaba’i tidak saja mencapai kematengan intelektual, tapi juga kematengan spiritual (keruhanian) yang memungkinkannya untuk mencapai keadaan perwujudan kerohanian yang sering disyaratkan dengan tajrid atau pelepasan dari kegelapan batas-batas kebenaran. Kondisi ini ia capai setelah beberapa lama manjalani praktik kezuhudan dan kerohanian.
Pada tahun 1935, ‘Allamah Thabathaba’i kembali ke kota kelahirannya, Tabriz. Di kota ini, ia hidup bertani. Bias dibayangkan sebagai seorang yang telah terbiasa berkiprah dalam aktivitas keilmuan, kondisi itu tentu terasa sebagai sesuatu yang sangat berat. Tapi untungnya, di sela-sela kehidupannya sebagai petani, ia masih dapat mengajar sejmlah kecil murid. Seperti diakuinya sendiri, kehidupan yang jauh dari aktivitas ilmiah, ia rasakan sebagai kehidupan yang kering, yang ia sebut sebagai “kekeringan spiritual”. Berkat ketabahan dan kepasrahannya, kehidupan di kota kelahirannya itu ia jalani selama kurang lebih sebelas tahun. Ketika Persia diduduki Rusia pada Perang Dunia II, ‘Allamah Thabathaba’i hijrah dari Tabriz menuju Qum. Kota Qum saat itu dan hungga kini adalah pusat studi keagamaan di Persia. Di kota suci ini pula, ia mendapat kepercayaan untuk mengajar Tafsir Al-Qur’an, filsafat, dan teosofi Islam tradisional, dua materi yang disebut terakhir adalah materi baru bagi studi keagamaan di Qum, hingga tidak berlebihan bila dikatakan ‘Allamah Thabathaba’i adalah peletak dasar materi filsafat di pusat kajian itu. Tidak hanya itu, ia bahkan mejadikan ajaran-ajaran Mulla Sadra sebagai bagian penting dan kurikulum tradisional di tempat tersebut. Tidak seperti kehidupan di Tabriz, di kota Qum, ‘Allamah Thabathaba’i kembali menemukan apa yang selama sebelas tahun hilang dari bagian kehidupannya, yaitu aktivitas ilmiah, baik mengajar, berdiskusi, maupun menulis.
Ada tiga kelompok yang menjadi sasaran utama pengajaran ‘Allamah Thabathaba’i di Qum. Pertama, sejumlah besar murid-murid tradisional di pusat studi keagamaan Qum. Kedua, sekelompok murid terpilih yang ia ajari ilmu-ilmu ma’rifat dan tasawuf. Kegiatan ini biasanya berlangsung setiap hari kamis sore di rumahnya atau di tempat pribadi lainnya. Ketiga, sekelompok orang-orang Iran yang berpendidikan modern dan terkadang bukan orang Iran yang ia temui di Teheran. Posisi ‘Allamah Thabathaba’i yang demikian, menjadikannya seabagai seorang intelektual yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam bagi kalangan terpelajar di Iran, baik yang tradisional maupun yang modern.
Puncak karier intelektual ‘Allamah Thabathaba’i, tampaknya terjadi saat ia bermukim di kota Qum. Sebab, di kota itulah ia mengekpresikan seluruh totalitas intelektualnya untuk mengajar dan menulis, hingga ia wafat pada tahun1360H/1981M.  Guna mengenang kebesaran ‘Allamah Thabathaba’i, di Iran, kini ditemukan satu universitas yang menggunakan namanya.
Sedangkan karya-karyanya terus menerus dikaji bahkan diterjamahkan kedalam bahasa Inggris. Kini, ia tidak hanya dikenal di dunia Syi’ah tapi juga ke beberapa belahan dunia Islam yang mayoritas pemeluknya bermazhab Sunni.

1 komentar: