A. LATAR BELAKANG
Penurunan
al-Quran secara mutawatir[1] sekaligus petunjuk bagi kehidupan
manusia telah membuka
lebar-lebar mata manusia agar mereka menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di pentas bumi ini. Keautentikannya selalu terjaga oleh Yang Maha Rohman
dengan tidak adanya tagyir,tazyd maupun taqsir[2],
telah mampu menggelitik fikiran manusia yang
ingin menyesuaikan sikap dan perbuatannya dengan apa yang dikehendaki Allah dan berkonsekuensi agar dapat memahami maksud-maksud Allah
yang tertuang dalam Kitab Suci al-Qur’an.
Upaya-upaya memahami maksud firman-firman Allah inilah yang kemudian disebut
dengan tafsir.[3]
Sepanjang
sejarah manusia, pemikiran-pemikiran al-Quran, Tafsir dan Ta’wil telah
dikenal sejak proses tanzilul al-Quran itu sendiri. Dan di sini
Rasulullah sendiri adalah mufassir pertama yang kemudian dilanjutkan dengan
sahabat-sahabat berikutnya. Pemikiran pemikiran beliau dalam memahami al-Quran
serta tafsiran dan penakwilannya bener bener mengembalikan fitrah manusia
berada jalan pada yang diingikan Allah. Dengan demikian, sejarah penafsiran
al-Quran sudah dimulai seiring dengan lahirlnya Islam itu sendiri. Sebagai
pembawa risalah, maka Nabi
Muahmmad Saw harus faham dan mengerti terlebih dahulu atas pesan wahyu yang
harus disampaikan kepada umatnya, ketika sasaran wahyu (umat) menghadapi
kesulitan tertentu dalam memahami teks wahyu, pasti mereka akan menanyakan
langsung isi pesannya kepada Nabi sebagai intergralator dari tugas risalah.
Dalam
konteks ini, kita bisa mengelompokkan ada tiga unsur terpenting yang menjadi
pelaku utama dalam konteks Tafsir sebagai penjelas. Pertama
adalah Allah sendiri sebagai pemilik kalam, kedua Nabi
Muhammad sebagai utusan, dan yang ketiga adalah manusia itu sendiri sebagai sasaran penurunan al-Quran[4]. Pemahaman
al-Quran yang sebenar-benarnya
sudah barang tentu Allahlah yang Maha Tahu seluk-beluk serta
rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dia adalah
penafsir utama dan terutama yang lebih mengetahui apa yang diinginkan.
Keinginan tersebut kemudian di sampaikan melalui dogma-dogma dalam bentuk
bahasa arab agar manusia mengetahui hakikat keinginan tersebut walau pemahaman
di antara manusia sendiri masih terdapat banyak kekurangan yang saling
bertentangan antar sesama. Sebagai konsekuensi logis dari realita jati diri
manusia yang penuh dengan kekurangan, maka di utuslah seorang utusan yang
disebut dengan Nabi sebagai pentunjuk awal dalam memahami keinginan Allah
melalui teks-teks al-Quran tersebut. Penugasan utusan Allah ini dimaksudkan
agar manusia memiliki paradigma sekaligus sebagai landasan pemikiran generasi
penerus. Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan disebutlah Rasulullah
sebagai penafsir pertama mengenai apa yang ada dalam al-Quran tersebut. Namun
perlu dicatat, penafsiran Rasulullah ini, tidak bermaksud memasung sahabat
sahabatnya berfikir statis, melainkan rasulullah memberikan arahan serta
bimbingan baik dalam bentuk hadis Qudsi, Qauli, Fi’li bahkanm Tajriri-nya.
Dan karna memang begitulah al-Quran yang amat terbuka bagi siapa saja yang membacanya
sebagai rohmah sekalian alam.
Terhitung
sejak wafatnya Beliau, perbedaan penafsiran pun mulai bermunculan seiring
dengan kafasitas yang dimiliki mufassir sampai pada akhirnya memasuki abad pertengahan.
Kemunculan doktrin-doktrin libralisme dengan dalih islam progresif pun ikut
mewarnai abad ini, yang kemudian sangat menaruh influintik besar di dada
muslim. Perbedaan antara yang sakral dan profan pun hampir pupus dengan rambu-rambu
libralisme. Disamping itu, hegemonisasi aliran semakin menguat dan memerah
hingga bergeser pada perbedaan epistemologi tafsir. Realita ini pun
mengakibatkan bangkitnya pemikiran pemikiran revivalis terhadap ajaran
keislaman. Karna menurut penganut revivalis ini, manusia tidak akan pernah
mendapatkan kemajuan yang hakiki, kecuali kemauan untuk kembali kepada risalah
kenabian. Gerakan revivalis inipun kemudian berusaha menenun kembali benang-benang
utama sebagai pembatas dalam memahami ajaran Islam. Batasan-batasan ini dimulai
dari sumber ajaran itu sendiri yaitu al-Quran dengan melakukan penafsiran apa
adanya sesuai dengan penafsiran Nabi dan para sahabat. Dan dalam hal ini adalah
Syaikhul Islam ibn at-Taimiyah (1263-1328 M), yang oleh aliran Wahabi menyebutnya sebagai Syaikh al-Hujjatul Islam.
Memandang
perlu bahwa penafsiran serta pentakwilan tetap dilakukan, terlebih lagi dengan
tingkat pemahaman manusia yang cenderung berbeda, maka penulis bermaksud untuk
menjelaskan bagaimana pemikiran Ibn Taimiyah dalam memahami al-Quran serta
tafsiran dan takwilannnya untuk kemudian dijadikan sebagai bahan perbandingan
dengan konsep- konsep yang ada dari para pemikir lainnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berangkat
dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang penulis maksud adalah sebagai
berikut.
1.
Bagaimana konsep al-Quran menurut Ibn Taimiyah?
2.
Bagaimana konsep Tafsir menurut Ibn Taimiyah?
3.
Bagaimana konsep Ta’wil menurut Ibn Taimiyah?
C.
TUJUAN DAN KEGUNAAN
Tujuan-tujuan
yang dimaksud adalah ingin mengetahui bagaimana konsep ibn Taimiyah mengenai al-Quran,
Tafsir dan Ta’wil. Kesemuanya ini diarahkan pada pengenalan diri penulis
terhadap konsep-konsep ibn Taimiyah mengenai al-Quran, Tafsir dan Ta’wil
sekaligus sebagai kontribusi penulis. Disamping itu, sebagai kahzanah ilmu
pengetahuan bagi para penulis berikutnya yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai
pemikiran ibn Taimiyah tentang al-Quran, Tafsir dan Ta’wil.
D.
METODOLOGI
Memandang
bahwa, metodelogi
merupakan “Ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh dalam mencari tujuan dengan
hasil yang efektif dan efisien”.[5] Dengan demikian, Metodologi yang digunakan dalam
tulisan ini adalah Deskriptifi-analaitik. Dimana deskriptif itu sendiri
diartikan kepada suatu yang bersifat menggambarkan, menguraikan satu hal
menurut apa adanya.[6] Sedangkan analisis berarti menjelaskan data data yang
sudah terdeskrifsikan secara mendetail.
Kemudian barulah menyimpulkan kehendak deskrifsi yang sudah teranalisis.
E.
KEPUSTAKAAN
Untuk
memudahkan penulis dalam menemukan data, maka penulis menggunakan dua sumber
yaitu primer dan skunder. Primer itu sendiri merujuk pada kitab karya ibn
Taimiyah, baik dalam bentuk asli maupun terjemahannya. Adapun sekunder merujuk
pada buku-buku, serta tulisan lainya yang mencakup pembahasan pemikiran ibn
Taimiyah.
F.
PROFIL IBN TAIMIYAH
- Pertalian Darah Keturunan
Dalam
catatan sejarah, nasab ibn Taimiyah terbilang cukup panjang yang nama
lengkaplnya adalah Taqiyuddin Abu Abbas bin Syihabuddin abi Mahasin
abd Halim bin Mujiddin abi Barakat Abdus Salam bin abi Muhammad Abdullah bin Abi
Qasim al-Khudri bin Ali bin Abdulla ibn Muhammad ibn Taimiyyah[7]. Beliau oleh para pengikutnya menyebut sebagai Imam tauladan, ilmuan dan
penyeru ajaran Muhammad serta Mujahid Besar. Kepopulerannya menjadikan ia
terkenal dengan sebutan ibn Taimiyyah serta telah mampu membawa perubahan dengan
konsep revivalisnya.
- Kelahiran dan Pendidikan
Kelahiran
seorang diri ibn Taimiyah dipastikan lahir pada hari
senin tanggal 10 Rabiul Awwal 661 H / 22 Januari 1263 M di Harran[8]
dekat Damascus Syiria dan meninggal dunia tanggal 20 Dzulqaidah 727 H / 26 September
1328 M[9]. Beliau berhijrah
ke Damaskus (Damsyik) bersama
orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil, disebabkan serbuan
tentara Tartar atas negerinya. Mereka menempuh perjalanan hijrah pada malam
hari dengan menyeret sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan kitab-kitab
ilmu, bukan barang-barang perhiasan atau harta benda, tanpa ada seekor binatang
tunggangan-pun pada mereka. Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan
di tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam keadaan
seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan) kepada Allah
Ta`ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat selamat.
Kepandaian
ibn Taimiyah merupakan karunia yang terbesar yang diberikan Allah pada dirinya.
Kecerdasan yang dimiliki telah mampu membuat dirinya hafal al-Quran dalam kurun
waktu kurang dari sepuluh tahun. Hal ini tidak aneh karna beliau memang
dibesarkan di tengah-tengah kehidupan para ulama’ ‘Ulama’ besar. Sehingga dalam
kurun waktu belasan tahun Ia pun telah menguasai ilmu-ilmu usuludin serta bdang
bidang tafsir lainya, hadis, bahasa dan sastra serta akidah[10].
Disamping itu, kitab-kitab musnad pun sudah mulai dikaji dengan baik terutama
Musnad Imam Hambal, kemudian kitab al-Sittahdan Mu’jam al-Thabarani al-Kabir.
Kecerdasan
yang dimiliki Ibn Taimiyah telah mampu menggiurkan pihak pembesar Ulama’
Damaskus dan berkeinginan untuk mengunjungi bocah kecil itu. Akhirnya setelah
bertemu, Ulama itu pun menguji kafsihan ibn Taimiyah dan Ia pun melihat cahaya
fasih dan kejelasan serta kepandaian dalam berhujjah, Hingga ulama
tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai
kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia”[11]. Bahkan
pada sebelumnya di usia 17 tahun sudah ditawarkan menjadi mufti akan tetapi ibn
Taimiyah menolaknya. Bahkan Beliau
pernah berkata :
" Jika dibenakku sedang
berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku,
maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku
menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar,
di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan
beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku ".
Kesungguhan
beliau pada disiplin ilmu terus berlanjut sampai pada akhirnya beliau beranjak
dewasa. Tepatnya pada usia yang ke 22 Ia menggatikan ayahnya menjadi guru hadis
di berbagai madrasah terkemuka di kota Damaskus serta memberikan pelajaran
tafsir. Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah,
selalu sungguh-sungguh dan tiada putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau
sudah menjadi tokoh fuqaha` dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran
tertinggi.
- Karir dan Karya
Sejak
muda ibn Taimiyah ia sudah menjadi Dai terkemuka di masanya dan dihapan lawan
politiknya. Beliau terkenal dengan ketabahannya dalam menghadapi masalah,
wara`, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang ahli
berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman
musuh dengan pedangnya,
seperti halnya beliau adalah pembela aqidah umat dengan lidah dan
penanya. Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada
umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam
dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan mereka dalam kancah
pertempuran. Sangat luar biasa, tidak hanya di lapangan ahli ilmu
pengetahuan saja ia terkenal, ia juga pernah memimpin sebuah pasukan untuk
melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada
tahun 1299 Masehi dan beliau mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari
1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan
sesudah karirnya itu, beliau tetap mengajar sebagai profesor yang ulung. beliau harus mengalami berbagai tekanan di pejara,
dibuang, diasingkan dan disiksa.
Ibn Taimiyah dengan semangat revivalisnya berusaha mengkikis habis dengan nalar
kritiknya dengan berusaha mengembalikan nilai keislaman[12].
Ia mengkritik beberapa pemikir fikih, tasawuf, serta mazhab mazhab aliran
logika lainya. Ketegasan dan sikap keras yang dimilikinya membuat dirinya
keluar-masuk penjara. Akan tetapi hal itu tidak membuat ia jera dari da’wahnya,
malah semakin kuat dan besemangat[13].
Dan pada akhirnya sikap ketegasan ibn Taimiyah ini memiliki pengaruh besar bagi
pembaharu-pembaharu berikutnya seperti Syaikh Waliyullah, Abd Wahhab, Abduh dan
Ridha dll.
Ketekunan
Beliau dalam bidang ilmu, membuat ia semakin semakin terkenal dan produktif
bahkan mencapai hingga kurang lebih mencapai 4 ribu naskah, yang mencapai 300
jilid, bahkan ada yang mengatakan sampai 500 jilid[14].
Kitabnya yang populer adalah Ar-Radd alal Manthiqiyyin (kontra Terhadap
Kelompok Logika) merupakan salah satu dari karyanya yang terkenal. Bahkan
seandainya hanya kitab ini saja yang lahir dari karyanya, niscaya sudah cukup
untuk mengangkatnya sebagai ulama besar dan pemikir. Sebab, kitab tersebut
berpengaruh luas hingga kepada generasi sesudahnya.
Beberapa karya yang bisa kita
himpun melalui sumber yang ada diantaranya:
a)
Tafsir : 1). Tafsir Ibn Taimiyah[Bombay,1954], 2). Tafsir Sirah
al-Ikhlash[1324], 3). Tafsir Surah al-Kautsar [1334], 4). Muqaddimah
fi Usulit Tafsir, dll
b)
Akidah : 1). Al-‘Aqidah al-Hamawiyah al-Kubra, Berlin 1996, 2). Bayanul
Mujmal ’an Ahlil Jannah wan Nar, 3). Al-Jawabusssalih Liman Baddala
Diinil Masih [1322-1325], 4). Kitabun Nubuwwah [1346], 5). Al-Karamul
Haqiqah al-Islam wal Iman [1917], 6). Ma’arijul Wusul Ila anna Furu’iddi
wa Usuliha Mimma Bayyanahu al-Rasul, 7). Risalatun fil Qada’ wal Qadar,
8). Risalatul Jihad, 9). al-Sarim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul
[1322], 10). Yajibu lillah min Sifat al-Kamal, 11). Al-Wasiitun
Bainal Khalaq wal Haqq, [Berlin 1944], dll.
c)
Hadits : 1). Arba’un Haditsan Riwayah ibn Taimiyah [1341], 2). Al-‘Abdul
‘Awali, 3). Risalatun fi Syarhil Hadits Abu Zar [1324]
d)
Fiqih : 1). Majmu’r Rasail Kubra,II,[1323], 2). Majmu’ul Fatawa
V[1326], 3). Jawami’ul Kalim at-Tayyibun fil ‘Adiyyah waz-Zikr[1326],
4). Majmu’ur Rasail Ibn Taimiyah [1323], 5). Al-Masailul Fiqhiyyah, 6).
Al-Mazhabul Wadih fil Mas’alatil Jawaiz, 7). Qoidatul Jalilah fit
Tawassul wal Wasilah[1348], 8). Al-Qiyas bisysyar al-Islam [1346],
9). Qaidatun fil ‘Ibadah [1895], 10). Ar-Risalatul Washitiyyah
[1346], 11). Risalatun Fis Sunnah al-Jumuah, dll
e)
Tasawuf :
1). Risalatun Fissuluk, 2). Qaidatun fis
Sabri, 3). Qaidatun fir Raddin ‘alal Gazali fi Mas’alatit Tawakkul, 4).
As-Sufiyyah wal Fuqara’, dll
f)
Filsafat
:1). Ar-Raddu ‘ala Falsafah ibn Rusyd
al-Hafidi,[1328], 2). Nasihatul Imam fi Raddi ‘Alal Mantiqil yunan,
dll
g) Politik : 1). as-Siyaysatusy-Syariah
fil Islahir Ra’I war Ra’iyyah, 2). Al-Hisbah fil Islam, 3). Minhajussunnah
an-Nabawiyah fi Naqdil Kalam as-Syiah wall Qadariyyah, 4). Al-Ikhtiyarat
al-Islamiyah, dll.
Selain kitab-kitab yang disebut di atas, sebenarnya
masih banyak yang barang kali belum sampai pada kita baik dalam bentuk naskah
pencaran ataupun terbukukan. Namun kiranya yang demikian bisa mewakili dari
sejumlah karya-karya yang dihasilkan ibn Taimiyyah.
G.
KONSEP AL-QURAN
1.
Pengertian
Dalam
pandangan Ibn Taimiyah, al-Quran merupakan kalam Allah yang sebenarnya,
bukan yang lainnya atau majazi, yang diturunkan kepada Muhammad saw sebagai
petunjuk bagi manusia yang wajib diikuti sekaligus merupakan dalil aksiomatik yang
tidak boleh dibantah dengan alasan apapun. Allahlah yang berfirman dengan al-Quran
dan dari Dia al-Quran itu diperdengarkan. Allah tidak menciptakan al-Quran
di luar Zat-Nya dan teks al-Quran serta Sunnah bukan hanya berita
semata, melainkan sebagai petunjuk, penjelas bagi manusia dan ia adalah satu-satunya
pedoman yang dipakai berhukum pertama kali.[15]
Pemaknaan Ibn Taimiyah ini hampir mirip dengan perkataan
Imam Thahawi rahimahullah[16], yaitu Beliau berkata: "Sesungguhnya al-Qur`an
adalah kalam Allah, dari-Nya ia muncul sebagai perkataan, tanpa boleh
dipertanyakan kaifiyah (bentuk)nya”.
Artinya
bahwa, pandangan ibn Taimiyah ini al-Quran merupakan perkataan Allah
yang sebenarnya bukan dalam arti majazi sebagaiman pendapat yang lainnya yang
mengatakan kalam Allah itu hanya pada ma’na saja yang ada pada Zat Allah,
sedangkan teks yang dibaca itu hanyalah ungkapan tentang ma’na yang ada pada
Zat Allah.
2.
Kedudukan al-Quran
Ibn
Taimiyah dalam pemikirannya, menjadikan al-Quran sebagai paradigma utama dan
paling utama dan mewajibkan untuk berhukum dengannya. Bahkan ia mengatakan Al-Qur`an adalah "imam" (pemimpin) yang
harus selalu diikuti, oleh karenaya al-Qur`an sama sekali tidak
menyalahi pendapat akal, qiyas, perasaan dan instink. Orang yang menyalahi al-Qur`an
baik dalam tindakan atau pun ucapan dan pendapat yang keliru melalui akal, sudah dikatagorikan kufur. Berdasarkan
konsep-konsep yang sangat keras tentang al-Qur`an, maka tak heran dengan
sikapnya yang sangat keras, menentang
orang-orang yang dengan sengaja meremehkan al-Qur`an, diantara para filosuf
yang beranggapan bahwa al-Qur`an tidak lain hanyalah berisi dalil-dalil yang
tidak pasti . Dengan demikian, tidak heran kalau dalam
rumusan fikirnya bermaksud mengembalikan manusia kejalan al-Quran
sebagaimana jalan yang dilalui Nabi dan generasi Sahabat pengikutnya[17].
Dalam
memahami al-Quran, ibn Taimiyah menegaskan pengaplikasian wahyu lebih
diutamakan ketimbang akal itu sendiri. Walaupun akal pun memiliki peran, hanya
sanya possisinya lebih sedikit dibandingkan wahyu. Akan tetapi pada kebanyakan
ibn Taimiyah berusaha menyelaraskan antara akal wahyu. Untuk menghilangkan
pertentangan antara keduanya, Ibnu Taimiyah juga mengakui akal
sebagai unsur yang berdiri sendiri di dalam unsur aqidah dan tidak pula akal
itu mempunyai kekuatan untuk mengahadapi seluruh urusan agama, sehingga
mengesampingkan nas al-Qur`an. Adapun
peranan akal menurutnya adalah akal harus memahami al-Quran tampa menorah hal
hal yang baru. Hal ini dikarnakan Islam telah lahir secara sempurna dan tidak
memerlukan penambahan dalam kaitannya dengan ajaran al-Quran. Maka, akal hanyalah diberi wewenang untuk memikirkan bukti-bukti dan dali-dalil
tesebut. Taimiyah dalam memahami al-Qur`an, Ia memaknakannya sebagai
sesuatu yang dibawa Rasul dan telah menunjukkan kepada segala sesuatu yang
termasuk akal dan kelak menunjukkan kepada jalan yang baik. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logisnya adalah segala sesuatu yang
bertentangan dengan al-Quran dalam pandangan teks dianggap sebagai
sesuatu yang bid’ah dan menyesatkan.
3.
Isi al-Quran
Ibn
Taimiyah dalam hal ini dengan tegas menyatakan bahwa al-Quran secara
keseluruhan mengandung ayat-ayat muhkamat dan hampir tidak ada ayat-ayat
yang mutasyabih. Bahkan sebagaimana yang dinyatakan sendiri dalam
Kitabnya Tafsir Kabir, bahwa ayat-ayat
Al-Quran semuanya adalah Muhkamat dan ayat Mutasyabihat
itu tidak ada[18].
Intinya bahwa ayat-ayat al-Quran itu sudah jelas dan memang harus
dimaknai seperti teksnya tampa harus memaksakan diri dengan sesuatu yang memang
manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencari tau akan hal itu. Dan implikasi
dari pemahaman ini, maka kita sering menemukan pemahamannya dalam memahami ayat
dengan apa adanya semisal Allah bersemayam, Allah punya tangan, mata dan
sebagainya.
Kaitannya
dengan itu, kandungan isi al-Quran menurutnya sudah sempurna dan
mencakup semua masalah Syar’i dengan segala cabangnya, usuludin dengan segala
cabangnya, akhlak dan cabangnya dengan jelas dan rinci serta kisah-kisah.
Dengan demikian tidak memungkinkan untuk dimaknai secara berlebihan dengan
memiwali teks al-Quran itu sendiri.
4.
Kemu’jizatan al-Quran
Seiring
dengan berkembangnya intlektualitas manusia, dari zaman ke zaman yang kemudian
berpengaruh sekali terhadap pemaknaan al-Quran itu sendiri sebagai kitab
yang penuh dengan mukjizat. Kemu’jizatan al-Quran ini sendiri oleh kaum
muslimin secara umum diakui adanya tampa banyak pertentangan yang
menyelimutinya. Terlebih lagi ketika Allah meligitimasi al-Quran dengan
jaminan penjagaan-Nya yang tiada mampu manusia satupun untuk mencegahnya. Dan
ini merupakan satu keunggulan dari kitab kitab sebelumnya sebagaimana yang
diturunkan pada Nabi terdahulu.
Namun
kemudian titik mu’jizat inti dalam al-Quran itu sendiri manusia masih
berselisih terkait dengan penguasaan ilmu yang dimiliki masing masing atau
dengan aliran yang mengikatnya. Di sinipun terjadi hegemonisasi
superior-inferior antar sesama muslim. Namun yang jelas al-Quran dilihat
dari sisi mana saja, ia tetep memperlihatkan sisi kemu’jizatan itu sendiri
bahkan bila tidak, itu menujjukan satu kekurangan bagi al-Quran. Dengan
demikmian, al-Quran secara keseluruhannya mengandung mu’jizat baik sisi
teks dan konteks serta hal-hal yang terkait dengan rahasia rahasia al-Quran.
Kaitannya
dengan itu, ibn Taimiyah dalam rumusan pemikirannya telah menggaris bawahi
bahwa kemu’jizatan al-Quran tidak hanya terletak pada itu saja
Ibnu Taimiyyah justru memandang bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada aspek yang beliau sebut dengan ayat, bayyinah dan burhan. Al-uran adalah ayat, bayyinah dan burhan bagi umat manusia seluruhnya. Tiga aspek inilah yang Ibnu Taimiyyah sebut dengan inti kemukjizatan Al-Quran[19]. Namun ia menambahkan, sebenarnya tidak ada kata mu’jizat dalam al-Quran melainkan yang ada hanya istilah ayat bayyinah dan burhan. Ia melandaskan pada ayat 174 dari surat an-Nisa’ yakni :
Ibnu Taimiyyah justru memandang bahwa kemukjizatan Alquran terletak pada aspek yang beliau sebut dengan ayat, bayyinah dan burhan. Al-uran adalah ayat, bayyinah dan burhan bagi umat manusia seluruhnya. Tiga aspek inilah yang Ibnu Taimiyyah sebut dengan inti kemukjizatan Al-Quran[19]. Namun ia menambahkan, sebenarnya tidak ada kata mu’jizat dalam al-Quran melainkan yang ada hanya istilah ayat bayyinah dan burhan. Ia melandaskan pada ayat 174 dari surat an-Nisa’ yakni :
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# ôs% Nä.uä!%y` Ö`»ydöç/ `ÏiB öNä3În/§ !$uZø9tRr&ur öNä3ös9Î) #YqçR $YYÎ6B ÇÊÐÍÈ
“Hai manusia,
Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad
dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang
benderang (Al Quran)”.
Begitu juga
dengan para Nabi, mereka tidak memiliki mu’jizat melainkan mereka memiliki ayat
bayyinan dan burhan itu sendiri. misalnya dalam surat al-An’am:
124
#sÎ)ur öNßgø?uä!%y` ×pt#uä (#qä9$s% `s9 z`ÏB÷sR 4Ó®Lym 4tA÷sçR @÷VÏB !$tB uÎAré& ã@ßâ «!$# ¢ ª!$# ãNn=ôãr& ß]øym ã@yèøgs ¼çmtGs9$yÍ 3 Ü=ÅÁãy tûïÏ%©!$# (#qãBtô_r& î$tó|¹ yYÏã «!$# Ò>#xtãur 7Ïx© $yJÎ/ (#qçR%x. tbrãä3ôJt ÇÊËÍÈ
124. apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata:
"Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada Kami yang serupa dengan
apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. orang-orang yang berdosa,
nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan
mereka selalu membuat tipu daya.
Dari sini
kita lihat bahwa Ia cenderung memperlakukan Al-Quran bukan pada materi dan simbol-simbol
Al-Quran, tapi lebih
pada paparan pesan Al-Quran untuk umat
manusia secara keseluruhan.
H.
KONSEP TAFSIR
1.
Pengertian
Sebenarnya
kita belum mendapatkan definisi yang jelas mengenai tafsir oleh ibn Taimiyah.
Ini semua tidak terlepas dengan adanya perbedaan pendapat mengenai keharusan
mendifinisikan istilah tafsir atau tidak. Karna satu sisi tafsir itu adalah
penjelas, dan ini pun hampir sama dengan takwil. Namun demikian dari
pemikiran ibn taimiyah yang cenderung mengartikan al-Quran sebagai kitab
bayyinan dan burhan itu berarti tafsir itu hanyalah
penjelas saja. Lebih jelasnya ibn Taimiyah mengatakan tafsir adalah sinonim kata
ta`wil yang berarti menjelaskan makna pembicaraan, baik makna tersebut
sesuai dengan lahiriah pembicaraan itu atau tidak.
Tafsir dengan
pengertian ini termasuk jenis pembicaraan dalam
arti menjelaskan pembicaraan dengan pembicaraan lain yang menjelaskannya dan
juga termasuk jenis ilmu. Di sini tampaknya ibn
Taimiyah menyamakan istilah tafsir dengan takwil, namun
sebenarnya kalau kita cermati sinonimitas yang diungkapkan ibn taimiyah itu sebenarnya
memiliki perbedaan yang mendasar. Oleh karena itu tafsir oleh ibn Taimiyah mengatakan memiliki tiga
wujud yakni dalam pikiran, dalam lisan dan dalam tulisan. Simpulannya bahwa ibn Taimiyah secara umum belum memberikan batasan
pengertian mengenai tafsir karna ia hanya mengartikannya sebagai bayyinan
dan burhan dan ini sama dengan takwil
2.
Prinsip dan Metodologi Penafsiran
Mencermati
kajian tafsir yang disemarakkan ibn Taimiyah kita akan menemukan adanya
rumusan-rumusan yang berbeda dari lainya tatkala menafsirkan al-Quran.
Rumusan ini sudah barang tentu menjadi satu konsekuensi beliau dalam
merevlisasi ajaran Islam dengan tetap bersandar pada teks-teks al-Quran
itu sendiri. Menurutnya dalam koteks penafsiran, al-Qur`an adalah suatu kemestian yang mengungguli
segala bentuk penafsiran terhadap teks-teks selain al-Qur`an. Menurutnya
lagi dari setiap perkataan, pemahaman makna-lah yang menjadi target utama,
bukan konstruksi lafaz dan redaksi. Adat kebiasaan juga menunjukan bahwa sebuah
komunitas yang membaca sebuah karya tertentu seperti kedokteran dan ilmu hitung
mesti menuntut atau mencari penjelasan . Al-Qur`an jelas lebih dari itu.
Pemahaman akan maknanya merupakan kebutuhan mendesak bagi umat Islam, karena,
dia adalah pegangan hidup dan jalan keselamatan baik di dunia dan di akhirat
sebagaimana disyaratkan dalam al-Qur`an.
Prinsip-prinsip
ibn Taimiyah dalam menapsirkan al-Quran ini tetap merujuk pada teks al-Quran
itu sendiri baru kemudian merujuk pada khabar sahabat dan atsar tabiin. Lebih
jauh lagi Ibn Taimiyah menjelaskan, bahwa penafsiran al-Quran itu meliputi
semua komponen ayat termasuk yang tegolong mutasyabihat bila orang
menyebutnya mutasyabihat. Diantara prinsip prinsip tersebut adalah ;
a)
Tidak menggunakan nalar sebagai sumber
yang mutlak dalam menentukan hukum.
b)
Tidak berpihak hanya pada satu
pendapat saja, bagi Ibnu Taimiyah tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali
baginya bersumber dari al-Qur'an, as-Sunnah dan Atsar para ulama salaf
yang mengikuti Nabi saw.
c)
Syari’ah itu bersumber dari al-Qur’an,
nabi Muhammadlah yang menjelaskan dan memperaktekkannya kepada umat terlebih
kepada para shahabat pada masa Nabi saw. Sehingga bagi orang yang mengikuti
Nabi saw. lewat tafsir, penjelasan, dan penyampaian para shahabat berarti
merekalah sejatinya orang-orang yang mengikuti syari'at Allah dari nabi
Muhammad saw. merekalah (para Sahabat) yang menjaga ajaran Nabi saw. karena
mereka yang langsung mendengar dan memahami Syari’at Allah langsung dari Nabi
saw. begitupun para Tabi’in yang mendapatkan penyampaian dan pemahaman langsung
dari para sahabat.
d)
Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang
fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu Taimiyah selalu melepas dirinya dari
segala apa yang mengikatnya, kecuali yang sesuai dengan al-Qur'an, Sunnah dan Atsar
Salaf.
Dalam kaitannya dengan metodologo
Taimiyah, Ia sering meguatkan dengan bukti dalil dalil dari al-Quran dan
Sunnah, kemudian mendekatkan sunnah dengan nalar, menggunakan dan
menentukan nalar hanya sekedar untuk nasihat bukan untuk gubahan, dan
pendekatan bukan untuk petunjuk. Oleh karena itu, kita akan menemukan dan
menentukan sebuah kesatuan sifat, tanda dan kepribadian yaitu kesatuan dalam
satu metodologi saja.
Beberpa metodologi penafsiran yang dilakukan ibn Taimiyah sebagai berikut[20]
:
a)
Tafsirul Quran bil Quran
b)
Tafsirul Quran bis Sunnah
c)
Tafsirul Quran biqaulis
Shohabah
d)
Tafsirul Quran biqaulit
Tabi’in
Penggunaan
metode ini tentu bukan asal asalan, melainkan dengan satu keyakinan dan
konsisten terhadap apa yang menjadi jalan kita itu sendiri. Disamping itu dalam
keyakinan Taimiyah, Beliau Nabi saw tidak terlewatkan oleh satu ayat pun
melainkan beliau sampaikan pada pengikutnya dengan penjelasan yang
sangat gamblang dan tidak menyisakan pertanyaan lagi. Begitu pula para sahabat,
mereka adalah generasi pertama dan juga generasi terbaik Islam, yang mengetahui
peristiwa turunnya wahyu dan mendengar secara langsung penjelasan-penjelasan
Rasul atas wahyu-wahyu Allah yang telah diturunkan kepadanya.
Al-Qur`an sebagai sumber penafsiran
berarti menafsirkan ayat al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an yang
lain. Ayat al-Qur`an dalam penunjukannya terhadap makna dibatasi, ada
yang umum dan khas. Karena itu, orang yang akan menafsirkan al-Qur`an
hendakalah pertama merujuk pada al-Qur`an itu sendiri.
3.
Apilkasi Penafsiran
Menurut Ibnu Taimiyyah, hendaklah
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dalam satu tema, selanjutnya bandingkanlah
antara ayat yang satu dengan yang lainya . Ibnu Taimiyyah juga menyarankan agar
orang yang akan menafsirkan al-Qur`an terlebih dahulu mengenali dan
mencermati bahasa al-Qura`n dan penggunaanya dalam berbagai ayat. Jangan
berpaling dulu pada bahasa Arab dalam konteks umum, tetapi berpaliglah pada
bahasa Arab dalam konteks khusus, yaitu konteks al-Qur`an. Jangan pula
menengok kitab-kitab kamus, filsafat dan kalam sebelum menengok al-Qur`an.
Beberapa
contoh penafsiran ibn Taimiyah yang dimaksud, dalam hal ini kami rangkai dalam
beberapa tema berdasarkan metodologi yang digunakan :
a)
Teori tafsir
quran bil-quran
Misalnya dalam menafsirkan
ayat pernikahan dengan orang yahudi dalam surat al-Bqarah(2):221
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt
“Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran”.
Permasalahnnya adalah pada
boleh tidaknya menikahi wanita Yahudi atau Nasrani, yang kemudian berimplikasi
pada apakah orang Yahudi dan nasrani termasuk Musyrik?
Di sini ibn Taimiyah
menjelaskan kebolehan menikahi wanita tersebut boleh dengan mengambil firman
Allah surat al-maidah(5):5
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sÎ) £`èdqßJçF÷s?#uä £`èduqã_é& tûüÏYÅÁøtèC uöxî tûüÅsÏÿ»|¡ãB wur üÉÏGãB 5b#y÷{r& 3 `tBur öàÿõ3t Ç`»uKM}$$Î/ ôs)sù xÝÎ6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÎÅ£»sø:$# Ç
“pada hari ini
Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat Termasuk orang-orang merugi”.
Di samping itu, Ia
menegaskan bahwa ahlul Kitab itu tidak termasuk musyrik. Hal ini Beliau
dasarkan pada firman Allah surat al-Baqarah (2):62
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ
62.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Shabiin siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada
Allah hari kemudian dan beramal saleh mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.
Pun misalnya dalam surat
Fatihah, kata ihdina as-Shirat al-Mustaqim beliau beliau mengutif
sejumlah ayat yang cakupannya mengenai hidayah dan as-Shirat al-Mustaqim.
Dengan demikian kata tersebut Beliau tafsirkan sebagai tafsiran al-Quran
berdasarkan QS. Al-An’am(6):153[21],
kemudian bisa juga dengan agama Islam berdasarkan QS. Ash-Shaf
(37):117-118[22],
dan bisa juga dengan jalan ibadah kepada Allah berdasarkan QS. Al-Fath
(48):1-3[23].
Dll
b)
Tafsirul
Quran bis Sunnah
Misalnya
ketika
menafsirkan surah al-Fatihah, اهد نا الصراط المستقيم beliau mengutip hadis Nabi Saw
dari `Abdullah ibnu Mas`ud yang berbunyi: Bahwa Nabi Muhammad saw membuat
sebuah garis, lalu membuat beberapa garis lagi di kanan dan dikirinya, kemudian
berkata, "Ini sabillah dan yang ini jalan-jalan yang diatasnya terdapat syaitan-syaitan yang menyeru kepadanya.
Siapa memenuhi panggilan Syaitan ia dilemparkan ke dalam neraka". Lalu beliau
membaca ayat وان هذا الصرطى المستقيما (al-An`am: 153).
Begitu juga dalam
menafsirkan doa dari ayat QS. Al-Baqarah (2):286
….3 $oY/u w !$tRõÏ{#xsè? bÎ) !$uZÅ¡®S ÷rr& $tRù'sÜ÷zr& 4 $oY/u wur ö@ÏJóss? !$uZøn=tã #\ô¹Î) $yJx. ¼çmtFù=yJym n?tã úïÏ%©!$# `ÏB $uZÎ=ö6s% 4 $uZ/u wur $oYù=ÏdJysè? $tB w sps%$sÛ $oYs9 ¾ÏmÎ/ ( ß#ôã$#ur $¨Ytã öÏÿøî$#ur $oYs9 !$uZôJymö$#ur 4 |MRr& $uZ9s9öqtB $tRöÝÁR$$sù n?tã ÏQöqs)ø9$# úïÍÏÿ»x6ø9$# ÇÑÏÈ
286. ……(mereka
berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau
Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami
memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
Ia
mengutip semua hadis yang diriwayatkan at-Turmuzi dengan mengemukakan keutamaan
doa itu sendiri.
c)
Tafsirul
Quran biqaulis Shohabah
Selanjutnya
dalam menafsirkan potongan surat an-Nas, Beliau merujuk kepada sahabat Nabi
yang bernama Ma`mar dari Qatadah mengenai lafaz "minal Jinnati
wannas" bahwa "Sesungguhnya di kalangan Jin terdapat
syetan-syetan. Karena itu kita mohon perlindungan kepada Allah dari godaan
syaitan-syaitan golongan manusia dan golongan Jin". Selanjutnya
Qotadah menjelaskan mengenai pengertian ayat diatas bahwa permohonan
perlindungan dari syaitan-syaitan golongan jin dan golongan manusia.
d)
Tafsirul Quran biqaulit
Tabi’in
Kemudian dalam pada itu, dalam
menafsirkan al-Qur`an beliau merujuk kepada perkataan tabi`in. Ia berasumsi bahwa tabi`in mendapatkan keterangan al-Qur`an
dari para sahabat Nabi, sedangkan para sahabat telah mendapatkannya dari
Rasulullah Saw. Jadi, penafsiran
mereka bersambung sampai ke Rasullah Saw dengan jalan yang kuat. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Mujahid, sesungguhnya dia pernah
berkata, "saya perlihatkan suhuf (Al-Qur`an) kepada Ibn `Abbas tiga kali,
dari pembukuannya sampai dengan
penutupannya, setiap ayat saya berhenti dan minta keterangan tentang makna ayat
tersebut".
Namun demikian, Ibnu
Taimiyyah tidak selamanya merujuk ke Penafsiran tabi`in kecuali apabila
penafsiran tabi`in itu dengan penafsiran bil ma`sur. Ia berhenti menafsirkan
jika tidak menemukan yang diriwayatkan para sahabat dan tabi`in. Terkadang juga
Ibnu Taimiyyah dalam menafsirkan al-Qur`an menggunakan akal, beliau
berasumsi bahwa antara wahyu dan akal tidak berseberang. Artinya bahwa, ketika sejumlah jawaban dari Rasulullah, Sahabat, Tabiin dalam
konteks penafsiran tidak beliau temukan, maka beliau berpendapat dengan
pendapatnya sendiri tampa terpengaruh oleh pendapat orang lain.
4. Karatristik Penafsiran
Dalam
hal tafsir, ibn Taimiyah pernah menjelaskan seperti ini, bahwa tafsir itu
memiliki empat golongan atau model: pertama tafsir yang diketahui oleh
bangsa Arab terkait dengan penurunan al-Quran dengan bahasa mereka, kedua
tafsir al-Quran yang dapat diketahui oleh sesorang dengan kadar
keilmuannya, ketiga tafsir yang hanya difahami oleh Ulama’ dan yang ke empat
tafsir yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allah.[24]
Ciri
pokok yang dapat kita amati secara keseluruhan dalam menafsirkan al-Quran adalah sebagai berikut :
a)
Melihat satu surat dengan satu kesatuan yang utuh
Dalam konteks penafsiran
ayat, Ibn Taimiyah terlebih dahulu menjelaskan kekdudukan ayat tersebut,
misalnya surat al-Fatihah beliau menyebutnya sebagai Ummul Kitab,
Fatihatul KiTAB, as-Sab’ul Matsani, al-Wajibah fis-Sholah, al-Kaifiyyah.
Setelah itu, baru menjelaskan keutamaan surat tersebut, pokok-pokok
kandungannya dan mengorientasikan penafsiran penafsiran pada ayat yata yang
kiranya membutuhkan penafsiran serta menjelaskan hubungan ayat tersebut dengan
ayat yang lainya. Dalam surat al-Ikhlash misalnya, terlebih dahulu
beliau menjelaskan perbedaan penggunaan kata Ahad & as-Shomad.
Dimana masing masing memliki perbedaan dalam penulisan, as-Shomad bi alif
Lam wa Ahad bidunihi. Menurutnya penggunaan kata Ahad, tidak boleh
disifatkan selain pada Allah, kalaupun boleh harus dibarengi dengan huruf nafyi.
b)
Menekankan sumber al-Quran sebagai sumber akidah
Kembali dalam menafsirkan al-Fatihah
tadi, ibn Taimiyah menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang disembah. Lafal
Allah tersebut lebih tepat digunakan dalam konteks beribadah, dengan demikian
dikatakan : Allahu Akbar, walhamdulillah, Subhanallah, La Ila ha Illallah dll.
Sedangkan kata ar-Rab adalah yang memelihara, mencipta, memberi,
menolong serta memberi petunjuk. Oleh karna itu, lafal tersebut lebih tepat
digunakan dalam konteks berdoa, dengan demikian ,surat al-Fatihah
tersebut mengandung tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah.
c)
Teliti dalam memahami redaksi ayat dan lafal lafalnya
d)
Pembasan ayat yang luas dengan ayat yang serupa
Misalnya dalam menafsirkan
kalimat “matsal” dalam QS.(2):17,
öNßgè=sVtB È@sVyJx. Ï%©!$# ys%öqtGó$# #Y$tR !$£Jn=sù ôNuä!$|Êr& $tB ¼ã&s!öqym |=yds ª!$# öNÏdÍqãZÎ/ öNßgx.ts?ur Îû ;M»yJè=àß w tbrçÅÇö6ã ÇÊÐÈ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar