Jumat, 21 Oktober 2011

TAFSIR RASIONAL : Pendekatan Rasionalisme-Trasendental


A.    TAQDIM
Kehadiran al-Quran(membaca,baaan)[2] merupakan karunia terbesar bagi kelansungan interaksi manusia dengan Tuhannya dan sosialnya. Ia adalah satu satunya Ruhiyyatun ‘Aqliyyatun[3] sebagai paradigma sentral aksiomatik terhadap estimasi manusia dalam kehidupannya. Al-Quran ini diturunkan pada RasulNya secara mutawatir[4] melalui proses inzal & tanzil[5] sekaligus kitab terakhir dari kitab sebelumnya[6] sebagai dusturan wal huda[7], serta Rohmatan Lil’alamin[8]. Kerelevanya bukan saja dalam laju ilmu keislaman, namun juga merupakan inspirator, pemandu gerakan gerakan ummat sepanjang 14 abad[9] karna keautentikannya selalau terjaga oleh Yang Maha Rohman dengan tidak adanya tagyir,tazyd maupun taqsir[10].
Sebagai kitab aksiomatik, tidaklah heran bila al-Quran disakralisasikan manusia yang harus diterima sebagai doktrin tertinggi atas lainnya baik secara idiologis, dogmatis, maupun rasionalis. Perananya sebagai sentral pemikiran telah banyak membuahkan hasil sejak abad Nubuwwah, sohabah,tabiah dan khilafah. Varian metodologi dan pendekatan dari generasi ke generasi selalu relevan tanpa paradox anatara teks dan realita. Varian varian tersebut tidak terlepas dari pengaruh prilaku estimasi manusia dengan kepentingannya sehingga mengalami pasang surut sejak meninggalnya Rosulullah saw. Dimana kekuatan politik Islam melemah dan menguat terutama sejak khlalifah ke 3, 4. Namun mengalami kemenangan emas pada dinasti Muawwiyah dan Abbasiyah serta kembali melemah dengan runtuhnya kekhalifahan Utsmani yang berakibat pada maju mundurnya ragam sector baik pemikiran, doktrin, ilmu keisalman maupun ilmu pengetahuan[11]. Dan pada akhirnya kaum Muslimin mulai terkotak kotak dalam varian mazhab dalam ragam sector; kalam, Hadits, Tafsir, Fiqih dll. Namun demikian, keasemuanya itu adalah rohmat yang harus kita syukuri sebagai postulat untuk melangkah lebih maju dalam berbagai bidang.
Hal yang sama dialami dalam mazhab Tafsir, dimana para mufassir berusaha sekuat mungkin mengembalikan citra Islam yang sempat mengalami pasang surut keilmuan dan sivilisasi. Usaha usaha ini terus berlanjut secara systemis singkron dengan perkembangan zaman serta hal hal yang dapat mempengaruhi pengetahuan dalam pemikiran terutama dalam mensosialisasikan maksud Allah dalam al-QuranNya untuk kelansungan hidup manusia. Hal yang tidak bisa kita pungkiri adalah banyknya ayat ayat al-Quran yang melahirkan ambiguitas makna sehingga menurut Mufassir harus mendapat sentuhan esoteris. Perangkat perangkat esoteris ini melahirkan ragam interpretasi implementatif teks sehingga sebagain memfokuskan dirinya dalam menelaah lebih lanjut wacana wacana teks itu dan mepungsikan nalar sebagai solusi yang soluftif terhadap ayat ayat al-Quran.[12]Realita ini pada ahirnya
            Kaitannya dengan itu makalah yang kami coba ulas ini adalah bagaimana corak Tafsir Rasional dalam pemikirannya mengenai ayat ayat al-Quran oleh sejumlah pemikir Islam serta relevansinya dengan kehidupan manusia di zaman modern ini. Jadi kami tidak membahas corak pemikiran satu tokoh tafsir sehingga berupa biliografi namaun bagaimana mekanisme akal rasio dalam terapannya sebagai pendekatan untuk memahami al-Quran beserta prngkat prangkatnya. Namun demikian saya perlu juga menyinggung beberapa tokoh sebagai titik sambung muculnya pemikiran ini.
B.     SETING HISTORIS
Fenomena rasional sebenarnya sudah dialami setiap agama terdahulu, dimana mereka menempatkan akal sebagai landasan berfikir terhadap problem problem yang mereka temukan sepanjang kehidupan beragama. Setting ini dapat kita lihat dalam kasus Muaz bin Jabal[13] yang mempungsikan akal sebagai media olah fikir terhadap problem yang dialami saat itu, dan ini merupakan acuan orisinil dalam masalah rasional. Tradisi rasional ini dapat kita amati misalnya dalam ilmu kalam yang dikembangkan Mu’tazilah walau agak ekstrim juga kalangan Ahlussunnah wal Jamaah sendiri yang kemudian lebih banyak dikembangkan oleh Matuduriyyah sendiri[14].
Sebelumnya memang sejumlah mufassir enggan[15] menggunakan pendekatan rasional sebagai metodologi dalam konteks penafsiran. Dengan demikian sejumlah mufassir menolak segala corak tafsiran rasional semata kecuali yang memenuhi standarnisasi dalam penafsiran masing masing. Namun ketidak puasan mereka terhadap metode ma’tsur mereka mulai terkotak kotak sehingga cendrung memiliki tingkat pemahaman al-Quran sesuai dengan aliran yang mereka ikuti dengan landasan akal. Tepatnya pada abad ke-13 Islam mengalami perluasan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Penguasaan terhadap sejumlah disiplin ilmu baik secara global maupun sfesifik seperti fiqih, bahsa, filsafat, falak, kedokteran, kalam, hadits, dan sejumlah rumusan ilmu lainya semakin matang. Sehingga terlihatlah corak pemikiran dulu dengan sekarang.
Dari keahlian masing masing cendikiawan, muncullah corak corak penafsiran yang lebih menonjolkan pembahasan berdasarkan ilmu ilmu yang dikuasainya[16]. Berbagai corak aliran ini muncullah pemikiran yng saat ini sudah dikembangkan Ulama’ Mutaakhkhirin dengan corak rasionalitas dalam menafsirkan al-Quran.
C.    TOKOH TOKOH MUFASSIR RASIONAL
a.       Sekilas Pembukuan Tafsir
Secara global kesimpulan yang bisa kita ambil dalam pembukuan hadits bisa kita ulaskan bawa prosesi pembukuan itu dilakukan dalam lima priode sebagai berikut: “a). Periode Muawwiyah dan Permulan Abbasiyah: format tafsiran masih dimasukkan dalam sub bagian dari Hadits, b). Periode Pemisahan[17]:memisahkan tafsir dengan hadits yang kemudian dibukukan secara terpisah menjadi buku sendiri dengan pencantuman sanad samapai kerasulullah saw, sahabt dan tabiin, c). membukukan tafsir dengan peringksan sanadtanpa penyebutan nama d). Pembukuan tafsir berdasarkan corak keahlian mufassir dalam bidang ilmunya e). serta corak corak lainnya yang berkembang memngikuti alur perkembangan zaman.[18] .
b.      Tokoh
Seiring dengan varian corak tafsir Mengelompokkan golongan golongan criteria sebiuah tafsir merupakan sesuatu yang rumit disamping mengetahui isinya serta corak pemikiran dari mufassirnya. Namun demikian menurut para pengamat tafsir ada sejumlah tokoh tokoh yang termasuk golongan tafsir rasional sebagaimana ulasan as-Shobuni dlama pengantar tafsirnya menyebutkan sebagai berikut[19]:
a.       Ar-Rozi (606 H): Mafatihul Ghaib ; “Tafsir ar-Roziy”
b.      Al-Baidhaowi (685) : Anwaru Tanzil ; “Tafsir al-Baidhowiy”
c.       Al-Khozin (743): Lubat Ta’wil fi Ma’anit Tanzil ; “Tafsir al-Khozin”
d.      An-Nasafiy (701) : Madarikut Tanzil ; “Tafsir an-Nasafiy”
e.       An-Naisaburiy (727) : Goroibul Furqan ; “Tafsir an-Naisaburi”
f.       At-Tohawiy (952) : Irsyadul ‘aqlis Salim ; “Tafsir Abi Suud”
g.      An-Dalusi (745) : Bahrul Muhit ; “Tafsir Abi Hayyan”
h.      Al-Alusiy (1275) : Ruhul Ma’ani ; “Tafsir Alusiy”

              Dalam pada itu terdapat tokoh yang lebih ekstrim lagi dalam penerapan akal sebagai pendekatan dalam penafsiran, terutama ulama’ ulama’ mu’tazilah seperti[20] :
a.       Al-Hamzani (415) : Tanzihul Quran ‘Anil Mathon ; “Tafsir al-Hamzaniy”
b.      Ali Ahmad Husain (432) : Amalisy Syariif al-Murtadha : “Tafsirul Murtadha”
c.       Az-Zamakhsyariy (538) : al-Kasysyaf ; “Tafsir az-Zamakhsyariy”

Pun pada abad kontemporer misalnya[21] :
  1. Muhammad Abduh (1266 H/1850 M): Tafsir al-Quranul Karim:Tafsir Juz’Amma
  2. Muhammad Rasyid Ridha (1282 H./1865.M) :Tafsir al-Quranul Hakim;Tafsir al-Mannar
  3. Ahmad Musthafa al-Maragi (1300.H/1883.M):Tafsir al-Quranul Karim;Tafsir al-Maragi
  4. Jamaluddin al-Qasimi(1283.H):Mahasinut Ta’wil Fi Tafsiiril Quranil Karim
  5. Muhammad Amin asy-Syanqithi(1325.H) :Adwa’u Bayan fi Idhail Quran bil Quran dll.;Tafsir Adwa’ul Bayan
Dalam pada itu Ulama tafsir yang tersambung dengann pemikiran Abduh di Indonesia adalah ;
  1. Ahmad Hassan (1887.M): Tafsir al-Furqan
  2. Mahmud Yunus (1316.H/1899.M): Tafsir al-Quranul Karim
  3. Buya HAMKA (1908.M) : Tafsir al-Azhar

Disamping itu ada beberapa keterangan pengamat tafsir mengemukakan ada sejumlah tokoh tokoh yang ternama yang dijadikan rujukan mufassir lainya dalam mengembangkan model tafsir rasional seperti Syeikh Muhammada Abduh dalam tafsir Juz’amma nya, Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Mannar nya, as-Syami, Syeikh Mustofa al-Marogiy serta beberapa tokoh lainnya. Tokoh tokoh inilah yang kemudian dianggap memiliki pengaruh besar iada mufassir lainnya. Syeikh Muhammad Abduh misalkan tokoh yang cukup disegani zamannya, ia telah banyak melahirkan karya karya besar baik melalui majalhnya yang terkenal urwatu wutsqo. Beliau telah memulai kjiannya sejak awal Muharram 1317 H/ 1897 M. dan berakhir ketika menafsirkan firman Allah (an-Nisa’.4:126)[22] pada pertengahan Muharram 1323 H karna meninggal dunia pada 8 Jumadil Ula 1323 H.[23] Kemudian nalar fikira Abduh ini dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rosyid Rida sang pecinta Abduh yang beliau tuangkan dalam muqoddimah tafsir al-Mannarnya serta beberapa pengikut lainya yang semisi dengannya.

D.    DINAMIKA AKSEPTABILITAS TAFSIR RASIONAL
Kehadiran tafsir rasional memang melahirkan sikap pro-kontra para intera fakar tafsir sendiri. Dimana masing masing menghegemoni bahwa pendekatannyalah yang paling mendekati kebenaran. Hal ini bisa kita amati dari prodak hokum yang mereka keluarkan terutama yang melarang misalnya, mengeluarkan fatwa keharaman dan ketidak bolehan mengkosumsi tafsir rasional sebaga. Fenomena ini sebagai garis tengahnya sejumlah Ulama’ membuat beberapa rumusan sebagai syrat diterimanya penggunaan akal sebagai sumber penafsiran diantaranya sebagaimana yang diulaskan para ahli mufassir misalnya:
a.       Mengacu pada maksud al-Quran
b.      Menguasai ilmu ilmu al-Quran serta ilmu yang berkaitan dengannya Memiliki Aqidah yang benar

c.       Memiliki kekuatan fikiran yang jernih dan jauh dari tindakan hawa nafsu serta fikiran sesat

Disamping sjumlah rumusan yang dianjurkan ada bebarapa hal yang harus dijauhi mufassir dalam rangka menafsirkan al-Quran, sebagaimana yang ditambahkan Dr. Ali Hasan sebagai berikut : a). Memaksakan diri mengetahui kehendak Allah pada suatu ayat tampa memiliki pengetahuan pada dirinya b). Mencoba menafsirkan ayat ayat pada wilayah otoritas Tuhan c). Menafsirkan dengan hawa nafsunya d). Menafsirkan ayat ayat yang tidak dikandungnya e). Mempolitisir ayat sebagai pendukung mazhab atau aliran tertentu f). Menafsirkan disertai dengan memastikan.
Lebih jelasnya, ada sejumlah dalil dalil yang digunakan baik dari pihak yang membolehkann maupun yang tidak membolehkan. Diantara dalil yang digunakan bagi yang membolehkan adalah sebagai berikut :
a)      Allah mendorong manusia untuk berkontemplasi, meditasi dan menangkap isyarat isyaratnya serta menyuruh manusia untuk taat memebacanya [ash-Shad.38:29][24][Muhammad.47:24][25].
b)      Allah membagi manusia dalam dua kelompok;awam dan ulama’. Ada perintah untuk merujuk kepada ahli ilmu bila terdapat perbedaan pendapat.
c)      Jika tafsir bil-Itihad tidak dibenarkan, berarti melakukan ijtihad juga tidak boleh dan jika demikian banyak juga hokum hukium yang menjadi statis
d)     Sebenarnya para sahabt mengkaji al-Quran dan kadang bebrbeda dalam penafsiran
e)      Rosulullah pernah berdoa khusus untuk ibn Abbas [اللهم فقه في الدين و علمه التعويل]

Hal yang sama juga dilakukan oleh sejumlah ulama’ yang tidak membolehkan dengan alsan sebagai berikut :
a)      Tidak memiliki pengetahuan yang cukup [al-A’raf.7:33][26]
b)      Ada salah satu riwayat dalam hadits mengenai peringata Nabi terhadap prilaku rasional dalam penafsiran al-Quran “ Barang siapa yang menafsirkan a;-Qurandengan akal fikiran, maka bersiaplah tempat tinggalnya di neraka[27]
c)      Allha memberikan otoritas kepada Rasulullah saw dalam menafsirkan wahyu yang hal ini tidak dibebaskan pada manusia.[amn-Nahl.16:44][28]
d)     Para sahabat telah membatasi diri dan menghindari diri mereka dari mengatakan sesuatu tentang al-Quran berdasarkan pemikiran mereka

Disamping itu ada sejumlah batasan batasan yang diulas oleh Muhammad al-Gazali[29] yang hampir dengan syarat di atas sebagai berikut;
 a). Mampu melihat al-Quran dari sisi dialegtika b). bersandarkan Hadits Shohih serta menghindari yang tidak lurus dan jauh dari hawa nafsu c). mengerti tentang asbabun nuzul sebagai media penjelasan karna banyaknya macam pendapat dan menempatkan nas sesuai dengan realitas kehidupan d). tidak keluar dari kaidah kaidah logika dan akal, dengan demikian harus sejalan dengan fitrah yang benar dan tidak bertentangan dengan arti makna yang dikandung lafaz e). Pemikiran atau pendapat yang dihasilkan tidak bertentangan dengan tujuan umum yang telah digariskan al-Quran f). Memamfaatkan kegiatan ilmiah dan hakikat pengetahuan yang ada di tengah tengah kehidupan social dalam mengkaji ayat ayat dan pada waktu yang sama ayat tersbeut dapat dijadikan landasan umum untuk mengarahkan sebuah kajian pemikkiiran.

Namun hemat kami, terlepas dari prokontra di atas aliran ini memilik potensi akademik untuk tetap dikembangkan seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Disamping itu tetap menjunjung tinggi supermasi tafsir rasional ini mutlak diperlukan serta pengembanganya sanagt dimungkinkan terutama dengan mengandalkan kekuatan bahsa al-Quran yang bener bener  bersifat luas dan elsatis. Keluasan ini dapat kita lihat dari sisi keunikan pilihan kosa katayang selaluup to date serta merupakan basis utama pengembangan tafsir rasional.

E.     TAFSIR RASIONAL
a.       Pengertian
Untuk mengetahui secara jelas pengertian Tafir Rasional barang kali perlu kita memilah dua kalimat yang diintegrasikan menjadi sebauh istilah dalam menyebutkan maksud esensi tersebut. Yakni klasifikasi definisi Tafsir, Rasional kemudian prinsip prinsif serta hal hal yang terkait dengannya.
Term tafsir berasal dari wazan “taf’il”[30] yang secara etimologisnya berarti al-Idhah:penjelasan, dan al-Bayan:keterangan[31]. Sedangkan secara terminologinya berarti penjelasan tentang kalamullah yang menyangkut tartib makiyah madaniyah, muhkam mutasyabih, nasikh mansukh, halal haram, janji ancaman, amar nahi, serta ungkapan dan perumpamaan[32]. Selaras dengan itu abul Hayyan dalam tafsirnya juga memberikan devinisi yang agak luas yakni ilmu yang membahas bagaiman cara mengucapkan lafaz lafaz al-Quran, menerangkan apa yang ditunjukkan dan hukumnya, baik secara fardiyah maupun tersusun, serta makna yang terkandung dalam susunan kalimatnya.
Sedangkan istilah rasional[33] atau ro’yu[34]:fikiran bisa berarti Qiyas atau Ijtihad  yang berada dalam koredor kesohehan, bukan pada akal semata apalagi hawa nafsu[35]. Dengan demikian kesimpulan yang dapat kita ambil adalah Tafsir Rasional merupakan tafsir yang berlandaskaan ijtihad akal fikiran tanpa ada penyimpanagan pengetahuan serta singkron dengan kaidah kaidah bahsa arab serta unsure unsure lainya.
            Namun ada pengertian yang lebih khusus sebagai mana yang ditandaskan Dr. Abd Hayyi al-Farmawi. Namun sebelumnya beliau menklasifikasi tafsir rasional ini menjadi dua kategori; a). Tafsir Rasional Mahmudah: yaitu tafsir yang dapat diterima bila mana mufassirnya memenuhi sprangkat syarat stndarnisasi mufassir umunya. b). Tafsir Mardudah: tafsir yang tertolak dikarnakan mUfassirnya tidak memnuhi criteria dalam pensyaratanya sebagai penafsir serta masih melakukan lima hal yang terlarang. Seiring dengan itu, al-Qattan justru lebih bertolak pada stu titik saja tanpa mengkaitkan dengan pertimbangan sebagaimana yang digariskan al-Farmawi di atas yaitu : tafsir yang hanya menggunakan akal semata tanpa mempertimbangkan ruh syariat serta dasr dasar yang shahih[36].
b.      Peranan akal dalam olah fikir
Akal sebagaimana HAMKA katakana, merupakan karunia terbesar dari Tuhan kepada manusia yang dipilihnya yang menjadi dasar sebagai pembeda antara manusia dngan makhluk lain[37]. Persinggungan akal secara sintaktik kerap kali disebut dalam al-Quran[38], bahkan akal merupakan ciptaan pertama yang diciptakan Allah[39], dimana Allah bersumpah bahwa Dia tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia dari  akal yang kmeudian diberi amanat serta tugas dan tanggung jawab yang lebih berat ketika langit dan bumi tidak mampu serta gunung gunung tidak mampu mengembannya [al-Ahzab.33:72][40]. Pemahaman tentang beberapa ayat ayat kauniyah misalnya [al-Hujurat.49:4], [ar-Rum.30:24], [an-Nahl.16:66-67], [ al-Jatsiyah.45:5], [ ar-Ra’du.13:4]  serta kandungan ayat lainya tidak mungkin kita fahami secara tepat bila akal tidak berfungsi serta tidak melakukan penelitian dan kontemplasi. Oleh karna itu, al-Quran mewajibkan kita untuk berfikir serta mengamati secara mendalam terhadap ayat ayat yang tersurat maupun tersirat[ash-Shad.38:29][41], dengan demikian secara sadar manusia akan tahu sebuah kebenaran yang menjadikan kita takut pada Allah[42].
Memandang bahwa sentral kekuatan manusia dalam berfikir, bertindak serta menentukan sesuatu yang baik dan buruk ada pada akalnya, karna akalnya memiliki kesanggupan untuk memahami wahyu Tuhan, mampu memilah dan memilih serta memenmpatkannya pada posisi yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Menyambung hal ini lebih jauh HAMKA menulis[43]:
Yang terpenting dari pada kelebihan manusai dengan akalnya adalahkesanggupannya membedakan dan menyisihkan diantara yang buruk dan yang benar. Manusai melihat kepada alam sekeliling dengan panca indranya maka menggetarlah yang kelihatan atau yang kedengaran itu kedalam jiwa tadi dan menjadi kenangan. Dengan melihat dan mendengar,, tergambar dan mengenang itulah manusia membentuk persendiannyamenempuh hidup. Dengan itu pulalah ia dapat mengenal mana yang baik mana yang buruk, mana yang jelek dan mana yang indah”
Kalau kita cermati konsep akal by HAMKA di atas, menjadi teranglah sinar akal memiliki posisi terpenting bagi kecerdasan manusai dalam menentukan hidupnya. Dimana akal menjadi pembeda dengan makhluk lainya, karna manusia mempunyai kesanggupan serta kemampuan mengungkap, dan menangkap berbagai rahasia alam yan tersembunyi. Jelasnya bahwa lanjut HAMKA[44], akal mampu menangkap suatu perbuatan yang diakatakan baik dan buruk meskipun dalam zat perbuatan itu sendiri tidak kelihatan keburukannya. Sebaliknya ada perbuatan baik, karna baik akibatnya, meskipun dalam zat perbuatan itu tidak kelihatan baiknya.
F.     APLIKASI DALAM PENAFSIRAN
Sebagaimana yang saya sudah ulaskan tadi, akal sangat potensial dalam memahami, memaknakan, memutuskan serta menentukan seuatu yang ada dibalik tersurat dan tersirat. Dalam al-Quran misalnya perintah Allah dalam mempungsikan akal untuk merenungi ayat ayat-Nya sehingga dengan demikian manusia tidak lagi berada dalam kesesatan dan kebodohan. Disamping itu, paparan HAMKA mengenai kekuatan akal sebagai sentral dalam memahami ayat ayat Allah cukup menjadi postulat untuk menindaklanjutinya ke tahapan berikut ini. Barang kali yang menjadi pertanyaan sederhana adalah : bagaimana cara mengaplikasikan akal dalam memahami ayat ayat Allah?, metodologi apa saja yang dibutuhkan dalam konteks pengaplikasian?, serta pertanyaan penting adalah apakah akal memiliki batasan batasan dalam memahami ayat Allah, dan siapa yang membatasinya?
            Pertanyaan pertanyaa inilah yang kami coba uraikan pada pembahasan berikut, sehingga kita akan mengetahui lebih jelas systematika kerja akal dalam memahami ayat ayat Allah sebagaimana yang digunakan para fakar tafsir rasional. Dan sebagai sampel untuk menjawab pertanyaan di atas, kami cukupkan dengan systematika yang digunakan Muhammad Abduh dan aliran Mu’tazilah pada umumnya serta tokoh tokoh rasionalisme Indonesia yang sudah kita kenal.


  1. Al-Qad ‘Abdul Jabbar[45]
Konsef Rasional : Akal adalah landasan pehamana al-Quran serta sebagai alat penjelas. Penyampai berita adalah Rasul Allah dan sumber berita adalah Allah. Penyampai berita dipastikan tidak bohong dan itu bisa kita ketahui dari kejadian kejadian di luar hukum manusia. Dan ketidak bohongan sumber brita (Allah) bisa diketahui melalui penyimpulan dari alam lahir atas yang gaib[46].
Terapan : satu hal yang sangt menarik bagi kami adalah bagaimana teori antropomorfisme teologinya Jabbar dalam menginterpretasi hal hal yang trasenden. [هو االذي خلق لكم ما في الارض جميعا ثم استوى الى السماء....]. dalam ayat ini menurut Jabbar telah terjadi penyimpangan tafsiran beberapa aliran dimana mereka menyebut Allah adalah jisim yang memiliki tempat dan kedudukan yang kemudian berimplikasi pada penyerupaan dengan makhluk. Jabba kemudian meolak pendapat tersebut dengan argumen rasionalnya melalui pendekatan bahasa. Kata Istiwa memilki varian arti dalam konteksnya; penguasaan atas wilayah{al-Istila wal Istiqaadi}, kesamaan bagian yang tersusun, kehendak, hilangnya cacat dan sakit dan keadaan tegak dalam duduk, naik kendaraan atau berdiri. Kemudian ayat [الذين يظنون انهم ملاقو هم ربهم وانهم اليه راجعون]. Pertemuan disini menurutnya bukanlah pertemuan dalam arti lahiriah saja sebagaimana lazimnya. Kemudina Jabbar mengartikan dengan” mereka tahu bahwa mereka akan bertemu dengan pahala yang dijanjikan kepada mereka dan bahwa mereka akan kembali pada suatu waktu yang di dalamnya tiada yang memiliki perkara selain Allah. Dan penyebutan diriNya itu adalah dimaksudkan pada perbuatanNya. dll
Hemat saya dalam pemikiran Jabbar ini adalah bagaimana ia merasionalitaskan ayat ayat mutasyabbihat sehingga tidak berimplikasi pada penyerupaan Allah dengan makhluknya. Karna bila demikian bearrti kita menyamakan Tuhan dengan hal yang tidak pantas.
  1. Az-Zamakhsyari[47]
Konsef Rasional : “sebagai konsef resmi aliran Mu’tazilah akal lebih mngungguli dari pada wahyu dalam memahami dan menangkap ayat ayat Allah serta kandungannya. Dimana akal mampu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui-Nya, mengetahui baik dan jahat serta kewajiban untuk melaksanakan perintah dan menjauhi laranag-Nya. Namun demikian dalam al-Kasyyaf sendiri tanpak bahwa az-Zamakhsyari juga menggunakan naqli srta riwayat pendapat Ulama’ sebagai pendukung penafsirannya. Jadi systematikanya mendahulukan rasionalitas kemudian diikuti dengan nash serta riwayat atau pendapat Ulama.
Terapannya : “tafsiran [al-Baqarah.2:115,]. Kata al-Masyriq dan al-Magrib dimaknai sebagai makna hakikinya yaitu timur dan barat serta seluruh penjuru dunia semuanya milik Allah. Pada ayat-ayat ambigu Zamakhsyariy berusaha menalarnya sesuai dengan konsef alirannya. Misalnya وجوه يومئذ ناضرة, الى ربّها ناظرة ] ][48]. Kata Nadzirah ini oleh Beliau mengartikan dengan makna “ar-Roja’;menunggu, mengharap”. Disamping itu dalam mengmbalikan domir yang memungkinkan maroji’ domirnya pada dua tempat, Ia lebih melihat pada konteks yang dibicarakan seperti halnya [وان كنتم في ريب ممانزّلنا على عبدنا فأتوا بسورةٍ من مثله.....], menurutnya maroji’ domir pada kalimat di sini yang lebih tepat adalah kembali pada kalimat ma nazzalna, karna yang dibicarakan di sini adalah al-Quran buka Muhammad saw.[49]
  1. Syeikh Muhammad Abduh al-Misri[50]
Konsef Rasional[51] : kemampuan akal dalam memahamai ragam persoalan, dikarnakan ajaran Islam merupakan ajaran yang sangat rasional relevan dengan akal manusia serta IPTEK moderen. Dengan demikian bila ada ayat tidak sesuai dengan akal, maka akal berusaha mencari kesesuaiannya dengan akal itu sendiri. Dan bila terdapat ayat ayat yang menurut kebanyakan sulit dipahami, melainkan ketidakmampuan seorang dalam menggunakan akalnya
Terapannya : disamping penyandaran akal juga berpedoman pada pada stilistik dan semantik bahasa serta mengkaitkannya dengan persoalan manusia serta penemua penemua sain yang diketahuinya sebagai penjelas dalam memahami ayat ayat Tuhan terutama pada permasalahan ambiguitas. Misalnya [al-Fiil.105:1-5]. Kalimat yang menunjukkan burung ababil dengan lemparan batunya ditafsirkan dengan apa yang dikenal sekarang dengan “mikroba” serta batu batu tersebut disebut dengan “virus sebagian penyakit”.[52] Kemudian ayat [al-Fajri.89:1-2],[53], Abduh memandang sintaksis kedua kalimat ini adalah nakirah sehingga lebih rasional tafsirannya dengan kejadian alam pada umunya. Al-Fajr: merupakan cahaya siang yang datang menghampiri mengusik kegelapan malam yang selalu terulang setiap hari. Sedangkan Layalin ‘asyrin: malam malam dimana cahaya bulan mengusik kegelapan malam dan berlaku setiap bulan[54]. Ini sanggahan terhadap penafsiran ayat tadi dengan fajr dam layal tertentu.
Disamping itu ada beberapa ayat menurutnya harus dipahami secara allegoris dengan pendekatan simbolik. Hal ini terlihat dlam tafsiran [al-Baqarah.2:30].dan seterusnya. Dalam ayat ini memaparkan pengutusan khalifah, kemudian penyebutan Malaikat, Surga neraka dan keterlibatan Syetan. Semua peristiwa-peristiwa dalam kisah itu, yang pada kebanyakan menafsirkan peristiwa itu bener bener terjadi secara zahir dan nyata, namun Abduh lebih melihatnya hanya sebagai symbol misalnya surga sebagai lambang keni’matan, adanya pertumpahan darah sebagai symbol bahwa manusia sangat potensial untuk berlaku jahat, pengajaran nama nama sebagai isyarat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengolah alam, ketidak mampuan Malaikat menjawab sebagai isyarat adanya keterbatasan hokum alam, sujudnya Malaikat menggambarkan kemampuan manusia memamfaatkan hokum alam dalam konteks pengembangan, kesombongan iblis digambarkan sebagai kelemahan manusia untuk tunduk dan sebagainya…
  1. Rasyid Ridha[55]
Konsef Rasional : “akal berperan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebut secara rinci dalam al-Qur’an dan hadits serta untuk mengetahui ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalat atau kehidupan duniawi...Namun demikian dalam bidang ibadah khassah akal tidak mampu mengetahuinya. Menurutnya objek Ijtihad hanyalah wilayah kemasyarakatan saja yang dinamis sedangkan ibadah khassah statis. Dan akal memiliki peranan penting dalam konteks interpretasi terhadap ayat ayat teologis, hadis hadist Nabi dan pendapat sahabat. Akal tidak dapat mengetahui Tuhan dan segala kewajiban terhadap-Nya, namun akal mempunyai pungsisignifikan serta peranan tinggisetelah memperoleh hikmah dan hujjahserta kemantapan pemahaman ketuhanan setelah mengikuti wahyu”.[56] . Ini berarti Wahyu lebih berfungsi sebagai informasi dari pada konfirmasi, dan berimplikasi bahwa Wahyu lebih Tinggi dari pada Akal. Tendesi yang lain di sisni bahwa Rasyid Ridha sanagt tradisionalis dalam beberapa hala namaun rasionalis dalam hal perbuatan dan keadilan Tuhan.
Terapannya :  Klasifikatif-dogmatis ; Ridha memilah wilayah sentuh akal pada ranah muamalah, bukan pada ibadah khassah serta kebanyakan menafsirkan ayat secara literlik zahiri. Selanjutnya dalam menafsirkan ayat ayat Teologis; Asma’ was Shifah, Af’al, serta Qudrat Iradah dan Keadilan Allah. Mengenai sifat, Rida menetapkan sifat sifat Allah yang azali dan kekal-yang terlikiskan dalam Asam’-Nya, karna tidak dapat dipisah dengan zat-Nya.  Sifat sifat serta ilmu dan Afal Allah tidak sama dengan ilmu,sifat sifat yang ada pada manusia. Oleh karna itu akal tidak bisa menjangkaunya serta ayat ayat tajassum harus diimani tanpa mempersoalkannya. Mengenai Af’al Tuhan, Ridha mengatakan Allah selalu aktif bukan fasif serta tidak ada secuilpun gerakan gerakan alam ini melainkan ada dalam penglihtan dan pengawasan-Nya. Sedangkan mengenai Qudrah Iradah dan Keadilan Tuhan, Ridha mengatakan: tidak berlaku semutlak mutlaknya, sebab kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi Sunatullah, Qada’ dan Qadar serta hukum kausalitas yang telah ditetapkan-Nya. Dalam berkehendak, Tuhan tidak menjalankan semena mena namun dengan sunatullah yang telah berlaku pada makhluk dan alam-Nya.
Contoh tafsiran: [an-Nisa’.4:165][57], Dan [al-Isro’.17:15][58]. Dalam tafsirannya, pada surat an-Nisa’ :“bahwa hikmahnya Allah mengutus para rasul antara lain agar di akhirat nanti orang-orang yang dihisabkan Allah tidak dapat berdalih atas perbuata dosa mereka. Kaitannya dengan surat al-Isro’: “seandainya Allah tidak mengutus Rosul rosul, niscaya mereka akan protes kenapa mereka dihukum di dunia dan di akhirat, padahal hukuman itu akibat dari kelaliman dirisendiri”[59] itu karna sesuai dengan maksud al-Isro’ itu sendiri. Sedangkan Tafsiran teologis misalnya sifat [al-A’raf.7:180][60]. Dalam tafsirannya :” bahwa al-Asma’ adalah jama’ dari Ism yang berarti nama. Ism adalah lafal yang hanya menunjukkan zat atau menunjukkan bersama salah satu dari sifat yang dimiliki-Nya; ar-Rahman. Sedangkan al-Husna adalah jama’ dari al-Ahsan yang berarti baik. Dengan demikian maksud firman Allah adalah: hanya Dia yang meniliki semua nama yang menunjukkan kepada sifat yang paling baik dan paling sempurna[61], sedangkan Qudrah Tuhan [Yunus.10:99][62] dalam menafsirkan kehendak Tuhan dari kata “Syaa”, Ridha mengatakan: ringkasnya adalah keimanan sesorang tidak dapat ditentukan hanya dengan kehendaknya dan ilmunya melainkan ada izin Allah yakni yang sesuai dengan kehendak-Nya dan sunnah-Nya dalam kemampuan mentarjih salah satu diantara dua hal yang kontradiktif. Hal inii dikarnakan manusia hanya mampu memilih hal hal yang kausalis karna terikat dengan dan dibatasi oleh sunatullah dan taqdirn-Nya[63].
  1. HAMKA[64]
Konsef Rasional: “Yang terpenting dari pada kelebihan manusai dengan akalnya adalahkesanggupannya membedakan dan menyisihkan diantara yang buruk dan yang benar. Manusai melihat kepada alam sekeliling dengan panca indranya maka menggetarlah yang kelihatan atau yang kedengaran itu kedalam jiwa tadi dan menjadi kenangan. Dengan melihat dan mendengar,, tergambar dan mengenang itulah manusia membentuk persendiannyamenempuh hidup. Dengan itu pulalah ia dapat mengenal mana yang baik mana yang buruk, mana yang jelek dan mana yang indah”
Terapannya : Jelas sekali dalam mengulas konsef iman yang terdiri dari 2 unsur; Qaulan dan ‘Amalan. Misalnya dalam tafsiran [al-Baqarah.2:3][65] HAMKA menegaskan tiga pokok pensyartan seorang ikatakan beriman;percaya pada yang goib, mendirikan solat, dan mendermakan sebagaian rizki yang dianugrahkanTuhan itu[66]. Kemudian tafsiran ayat ayat teologis; bahwa Qudrat Iradah Allah berlaku bersamaan dengan Hikmah yakni kebijaksanaan Yang Maha Tinggi dari Allah Yang Mahakuasa danMahaberkehendak mutlak. Misalnya [al-Buruj.85:16][67]. Disini menurut HANKA tidak ada yang dapat menghalangi kehendak Tuhan secuilpun baik kebaikan maupun keburukan karna kesemuanya hak mutlak Allah baik kehendak-Nya secara lansung dalam sekejap mata maupun bertahap, oleh karna itu kemanapun manusia melangkah nscaya akan menemukan kekuasaan-Nya mutlak. Selanjutnya masalah keadilan Tuhan, misalnya tafsiran [al-Anbiya’.21:47][68]. Menurutnya bahwa Allah akan meletakkan neraca perimbanagan yang sangt adil tanpa kecurang secuilpun, sehingga kebaikan dan kejahatn sebesar zarrah akan kelihatan. Selanjutnya dalam [Yasin.36:54] menurutnya perbuatan Tuhan berlaku menurut nama Tuhan itu sendiri yakni al-‘Adl sehingga keadilan Tuhan bukan diletakkan pada hak Allah, tetapi pada hak manusia. Dengan demikian hukuman yang diteriman manusia harus menyandarkan pada dirinya,bukan pada Tuhan karna ia tidak melaksanakan perintahNya. Juga pahala yang diterimanya adalah sesuatu yang patut sesuai dengan rahman rahimNya kepada hamba yang taat.[69]
G.    KELEBIHAN DAN KELEMAHAN
Kelebihan :a).dengan adanya metodologi rasional dalam dunia tafsir, seseorang dapat menafsirkan komponen ayat secara dinamis relevan dengan perkembangan zaman dimana ia berada. b). Seseorang akan memngalami akselerasi kecerdasan dalam berfikir dan bertindak sehingga kontribusi yang diberikan dapat diterima masyarakat dari berbagai tingkai dan golongan. c). Menambah keyakinan pada diri seseorang dalam menjaga hubunganya dengan Tuhannya serta sosialnya. d). Sebagai kontribusi besar dalam khazanah keilmuan masa kini, e). dalam berbagai sisi sesorang dapat memiliki akidah yang benar danjauh dari khurapat tahayyul dan sebagainya.
Kelemahan : a). Adanya kesalahan penafsiran dan cendrung terjadinya pemaksaan terhadap beberapa ayat terutama ayat ayat mutasyabihat, b). Adanya kebenaran subyektifitas pada diri penafsir sehingga bertendensi membela diri atau klompok, c). Sulit membedakan antara rasio murni dan percampurannya dengan hawa nafsu, d). Memberikan peluang bagi orang yang berniat jahat terhadap sendi sendi ilmu  keislaman untuk menghancurkannya melalui tafsiran  rasional pribadinya, e). berpotensi kuat terhadap konflik individu atau sosial dikarnakan masing masing memiliki nalar yang berbeda, f) kaburnya mana kalimat yang dikatakan Nabi, Sahabat dan ulama’ ulama ternama karna hanya menampilakan fikiran pribadinya dll.
H.    VISI TAFSIR RASIONAL
            Bila kita amati lebih mendalam sebenarnya visi misi sebuah tafsir baik dari priode klasik, abad kemajuan, abad kebangkitan, abad moderen sampai kontemporer sekarang dalah sama yakni menjelaskan maksud maksud Allah serta identitasNya yang terangkum dalam akidah beserta uud dan peraturan bagi manusia dalam kehidupann yan terangkum dalam syariah serta bagaiman beretika dan berestetika selama ia hidup yang terangkum dalam akhlak. Kesemuanya ini adalah ada pada diri penafsir ketika menafsirkan ayat ayat Allah dan memang kesemuanya mengacu pada teks teks al-Quran. Dan kemudian menjadi berbeda dengan adanya perbedaan adalah prinsif prinsif dalam mengnalisis teks, prosedur pemaknaan dan metodenya, asumsi konsef dan pungsi teks, kemudian status kalimat teks baik dari elemen eksternal dan internal teks selanjutnya pengambilan sumber dalam menerapkan teori dan metode masing masing serta tidak luput dengan problem problem yang masing masing alami dimana ia berada dan situasi keagamaan.
            Namun tidak bisa kita pungkiri juga dibalik penafsiran tersimpan kepentingan kepentingan individu maupun kelompok sehingga bertendensi politik atau hegemonitatif superior-inperior. Akan tetapi kejadian seperti ini hanyalah sedikit sekali dan itu merupakan tindakan orang orang yang berusaha melumpuhkan sendi sendi Islam melalui tafsir palsunya atau keislaman mayanya. Yang jelas bahwa masing masing tafsir tidak terlepas dari varian problem yang berlaku saat ia hidup serta kelihaian memompa semanagat muslim untuk menjadi muslim sejati, sehingga masing masing meiliki corak yang berbeda dengan yang lainnya, misalnya kalangan mutakallimin lebih bercorak teologis atau rasionalis, kalangan muhadditsin bercorah hadis, kalangan fiqih lebih bercorak hukum, kalangan failosuf bercorak filsafat, kalangan semantikus bercorak balagoh, dll.
Dengan demikian pada saat yang sama tafsir rasional pun memiliki varian visi tergantung dari pembawanya. Muhammad Abduh misalnya terkenal dengan usaha kompromi antara Islam dengan peradaban Barat. Ia berusaha membangunkan kaum muslimin dari lelapnya yang sduah mengalami kemunduran drastis. Ia memandang kemunduran tersebut diakibatkan karna adanya kebekuan berfikir sehingga cendrung fasif dan menyerah diri, disamping itu usaha usaha non muslim memamfaatkan situasi itu dalamrangka menyebarkan misi agamanya. Dikarnakan tiga tantang terbesar yang dihadapinya internal maupun eksternal serta upaya kompromi, maka Ia memandang perlunya memabangun gerakan gerakan sebaga sentral perjuangan dalam rangka mengislahkan dan memperbaiki keadaan ummat dalam memahami agamanya. Begitupun Ridha yang menindak lanjuti pergerakan gurunya. Sama halnya di Indonesia, bila kita amati misi tafsir al-Azhar misalnya oleh HAMKA sendiri diakuinya ragam problem yang terjadi di Indonesia sendiri baik kalangan islam itu sendiri; adanya ajaran wihdatul wujud yang membuat ummat muslim menjadi statis, praktik praktik khurafat,bidah serta panatisme mazhab dll. Disamping itu juga konta ganti penjajah mulai dari perancis, Belanda, Jepang yang sydah berabad abad tahun membodohi Indonesia sehinggan ummat Islam di Indonesia menjadi poradis. Kesemuanya ini merupakan problem problem yang harus diselesaikan. Dan kemudian problem itu Ia sentuh dalam tafsirnya untuk memopa semangat Ummat Islam untuk memperjuangkan Agama Allah serta mengusir para penjajah dan bagaiman seharusnya manusia menjadi manusia yang merdeka sesuai dengan ajaran Isalm. Begitulah kurang lebih. Dan pada kesimpulan ahir kita bisa menilai bahwa visi misi tafsir moderen adalah membangun semangat baru dalam diri Islam itu dari semua spek sehingga tidak kehilangan ruh islam dan tujuannya.
I.       EPILOG
Dari beberapa ulasan yang saya uraikan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa akal merupakan realita karunia yang ada dalam diri manusia. Dimana manusia dituntut secara terus menerus untuk mengasah akal sebagai modal dasar dalam memilih dan memilah sesuatu sehingga manusia bisa menemukan nilai baik dan buruk. Akal dalam al-Quran memiliki persinggungan yang amat banyak dengan format kata kerja, bukan masdar. Hal itu dikarnakan akal bersifat dinamis dan bisa dikembangkan sedalam mungkin sekaligus merupakan perintah Allah untuk selalu mengolahnya sebagai media memperkuat keimanan pada Allah. Jikalau memakai masdar, niscaya itu hanya bersipat imformasi dan kemungkinan berpotensi untuk dibiarkan begitu saja berjalan mengikuti alur dan manusia tidak ada usaha dalam menggerakkan dirinya dengan akalnya. Dikarnakan manusia memiliki kelemahan maka Allah menggunakan kata kerja sebagai isyarat untuk selalau diolah dalam konteks menangkap rahasia rahasia al-Quran beserta petunjuk langsungnya. Sebab itulah para Ulama’ tidak menyia nyiakan karunia ini sehingga dimediasisasi sebagai alat menangkap pesan pesan Tuhan yang ada dalam al-Quran. Yang kemudian mereka namakan dengan tafsir ro’yi atau tafsir rasional.
Tafsir Rasional merupakan realita dinamis dan terus berkembang mengikuti alur  zaman dan problem yang dialami masyarakat pada umunya. Sehingga seseorang memerlukan keahlian sendiri dalam mengolah akal dalam berfikir dan merenungkan kalimat kalimat Allah. Disamping itu manusia juga perlu mengetahui cara kerja akal dalam olah fikir sehingga akalnya tidak keluar dari kaidah kaidah dasar akal itu sendiri. Dengan demikian rasionalitas tafsir tidak berbau hawa nafsu melainkan sesuatu yang relevan dengan esensi al-Quran serta tujuannya bagi kemaslahatan ummat.
Cita-cita para mufassir dalam dalam menyuarakan rasionalitas sebagai sentral dalam berbagai bidang memang belum maksimal, dikarnakan pro-kontra interen mufassir serta pengikut masing masing aliran. Namun demikian, kita tidak bisa mengelak bahwa apa yang mereka persembahkan telah member gerak bagi para pejuang Muslim dimasing masing tempat dimana mereka mengalami problem yang sangat berat sehingga mereka memerluka cara untuk menggerakkan ummat dalam mempertahankan keimanannya. Maka tidak heran tokoh tokoh gerakan kita baik dunia timur umunya serta Indonesia husunya telah banyak menaruh fikirannya terhadap rasionalitas pemikiran sehingga manusia menemukan jati dirinya sebagai insane berakan sesuai tuntutan al-Quran. Tokoh tokoh tafsir rasional sebenarnya masih banyak namjun apa yang kami sebutkan di atas hanyalah sebagai perwakilan dalm mengungkap cara kerja akal dalam dunia tafsir serta peran dan kedudukannya dalam al-Quran itu sendiri juga dalam ditri ummat itu sendiri. Hal ini terlihat dari ayat ayat tersurat dalam bentuk kata kerja yang menunjukkan akal harus diolah setajam tajamnya sehingga manusia menemukan hakikat kebenaran dalam ukuran akal itu sendiri.
Jelasnya bahwa  tafsir rasional adalah salah satu solusi yang tepat dalam beberapa permaslahan untuk dijadikan sebagai landasan memahami al-Quran yang relevan dengan realita problem kemasyaratan dan tuntutan zamannya serta perkembangan ilmu pengetahuan moderen dalam konteks maslahatil ummah, keadilan, kesejahteraan, pemerataan hak, dan peneguhan iman pada Allah swt. Dengan demikian, penggunaan hukum berbasis barat misalnya selama mekanisme serta sytemnya relevan dengan tuntunan al-Quran dan tuntutan zaman maka tadak ada salah lagi kita mengambilnya, sebagaimana kasus di India oleh Abduh memfatwakannya agar berhukum dengan hukum Inggris.
WALLAHU A’LAM




J.      DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Quran Digital
2.      Athaillah Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manâr, (Jakarta: Erlangga, 2006)
3.      Abdurrahman, Muhammad Mu’jizatun wa ‘Ajibun’ (Bairut Libanon:Darul Fikri,1995)
4.      Abduh, Muhammad Tafsir al-Qur’an al-karim, Juz amma (t.t:Dar wa mathabial-syab)[ Digital Books]
5.      al-Farmawi, Abdul Hayyi al-Bidayah fi Tafsiiril Maudu’ (Maktabah alhadratul Arabiyah,cet.II.1977). [Digital Books]
6.      al-Gazali, Muhammad al-Ma’hadul ‘alami lil Fikril Islam. terj. Berdialog dengan al-Quran.(Bandung:al-Mizan,cet.VII1999)
7.      al-Husaini Syeikh Khalaf Muhammad al-Quran Yuqowwimul ‘Aqla wan Nafsal Lisan terj. Luruskanlah Akal,Jiwa dan Lisan anda dengan al-Quran(Mesir:Darun Nahdhah)
8.      al-Juwaini, Musthafa al-Sawi Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsiiril Quran (Mesir:Darul Ma’arif). [Digital Books]
9.      al-Kholaf, Abdul Wahhab ‘Ilmul Usulil Fiqhiyyah(Kuwait:Darul Qolam,1977)
10.  al-Qattan Manna Mabahtsun fi ‘Ulumil Quran (Riyadh:Maktabah Ma’arif,1981)
11.  al-Qardawi, Yusuf al-‘Aqlu wal ‘Ilmu fil Quranil Karim (al-Qahirah:Maktabah Wahbah,cet.I,1996). [Digital Books]
12.  as-Shobuni, Ali at-Tibyan fi ‘Ulumil Quran, (Jakarta:Darul Ihya’,cet.I 2003)
13.  as-Suyuti al-‘Itqan fi ‘Ulumil Quran (Kairo:Musthafa Babil al-Halabi,1951)
14.  az-Zarqoni, Muhammad Abdul Adzim Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Quran, (Bairut Libanon:Darul Kutub ‘ilmiyyah,cet 1.2003)
15.  Azmi, M.M.al The History of the  Qura’nic Text,from relevation to compilation,terj. sejarah teks al-Quran (digital book)Utsmaini, Syaikh Muhammad ibn Sholeh Tafsirul Quranil Karim, (ttp:tp) [digital Books]
16.  azd-Dzahabi Muhammad Husain at-Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Darul Kutub al-Haditsah,1976) [Maktabah Syamila]
17.  Bakhtiar, Amsal Filsafat Agama,(Jakarta: Logos,Cet. Ke-1,1417 H/1997 M)
18.  Bik, Hudari Tarikh Tsyri’ al-Islam,terj.sejarah pembinaan hukum Islam,(Semarang:Darul Ihya’)
19.  Ghafur, Saiful Amin Profil Para Mufassir Quran (Yogyakarta:Pustaka Insan Madani,2007)
20.  Hamka, Pelajaran Agama Islam (Jakarta:Buan Bintang,1984)
21.  _______ Kenang-kenangan Hidup (Jakarta:Bulan Bintang,1979)
22.  Hasan, Muhammad Tolhah Islam dalam persfektif sosio kulturan (Jakarta:Lantabora Press,cet.III.2005)
23.  Machasain, al-Qadi Abdul Jabbar Mutasyabbih al-Quran: Dalih Rasionalitas al-Quran (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta,cet.I,2000)
24.  M Dimyati Huda, Akhmad Taufik Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005)
25.  Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam Ittihajatut Tafsir fi al-Aslir Rohin. Terj. Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer (Jatim:al-Izzah,cet,I.1997)
26.  Ridhâ, Rasyîd Tafsîr al-Manâr (Beirut:Dar al-Ma’rifah,cet.ke-2.t.th) [Digital Books]
27.  Shahrur, Muhammad al-Kitab wal Quran;Qiroa’atun Mu;assharah. Terj. Hemeneutika al-Quran Kontemporer (Yogyakarta:eLSAQ Press,cet.IV,2008)
28.  Yahya, Harun Bagaiman Seorang Muslim Berfikir (Jakarta:Robbani Press,2001)[Digital Books]
29.  Zaid, Nashr Hamid Abu Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz Dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003)
30.    Yunus M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta: Penamadani, cet.II. 2003)


[1] . Makalah dipresentasekan pada seminar mata kuliah Studi Quran dan Hadits
[2]. Syaikh Muhammad ibn Sholeh Utsmaini, Tafsirul Quranil Karim, (ttp:tp) juz 1. [digital Books]
[3] . Ali as-Shobuni, at-Tibyan fi ‘Ulumil Quran, (Jakarta:Darul Ihya’,cet.I 2003),hlm.8
[4] . Muhammad Abdurrahman, Mu’jizatun wa ‘Ajibun’ (Bairut Libanon:Darul Fikri,1995),hlm.13
[5]. Rincian masalah systematika Inzal dan Tanzilul Quran baca Muhammad Shahrur, al-Kitab wal Quran;Qiroa’atun Mu;assharah (Digital Books)
[6] . Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni,Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Quran, (Bairut Libanon:Darul Kutub ‘ilmiyyah,cet 1.2003)hlm.5   
[7] . Abdul Wahhab al-Kholaf, ‘Ilmul Usulil Fiqhiyyah(Kuwait:Darul Qolam,1977),hlm.17
[8]. Hudari Bik, Tarikh Tsyri’ al-Islam, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri, sejarah pembinaan hukum Islam, (Semarang:Darul Ihya’)hlm. 5
[9] . Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, (Mesir:Madbuliy,1989),hlm..77.
[10] . M.M.al-;Azmi,The History of the  Qura’nic Text,from relevation to compilation,terj.sejarah teks al-Quran(digital book)
[11] . Lebih rinci masalah ini dibahas pada kitabnya Taqiyyuddin an-Nabhani ad-Daulah al-Islamiyyah, hlmn. 132.  dan lihat pula ad-Daulah al-Utsmaniyah wa syarq al-Gharbi, hlm. 140. [Digital Books]
[12] . Nashr Hamid Abu Zaid, Menalar Firman Tuhan; Wacana Majaz Dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Bandung: Mizan, 2003), hlm.22.
[13] . Kasus Muaz ini banyak dijadikan landasan estimasi dalam hal Ijtihad,istimbat dan corak lainya. Lebih jelasnya dalam masalah ini baca Hudari Bik, Tarikh at-Tasyri’ul Islamiy
[14]. Muhammad Tolhah Hasan, Islam dalam persfektif sosio kulturan (Jakarta:Lantabora Press,cet.III.2005),hlm.35
[15] . Dikarnakanada sebuah asumsi Atsar “Barang siapa yang menafsirkan al-Quran dengan nalar akalnya dan ia benar makan ia salah”
[16] . misalnya sisi balgahnya oleh az-Zamahsyari, hokum syarak oleh al-Qurtubi atau as-Shobuni, kaidah bahsa dan susunannya oleh abi Suud, ilmu Qiraat oleh an-Nasafi, atau kalam filsafat oleh ar-Rozi serta corak lainya. Lihat Abdul Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi Tafsiiril Mudu’ (Maktabah alhadratul Arabiyah,cet.II.1977),24.
[17] . seperti yang dilakukan ibn Jarir at-Thobary, Abu Bakar an-Naisabury, ibn Hatim
[18] . Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405)
[19] . Ibid,,, Ali as-Shobuni, at-Tibyan fi hlm.195
[20] . Ibid…hlm.203
[21].Saiful Amin Ghafur. Profil Para Mufassir Quran (Yogyakarta:Pustaka Insan Madani,2007),hlm.139-209
[22]. “ kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu”.
[23]. Abdul Majid Abdussalam Muhtasib, Ittihajatut Tafsir fi al-Aslir Rohin. Terj. Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer (Jatim:al-Izzah,cet,I.1997),hlm.105-109
[24]. “Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”
[25] . “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci”.
[26]. “Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”
[27]. HR.at-Turmuzi
[28]. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan”
[29]. Muhammad al-Gazali, al-Ma’hadul ‘alami lil Fikril Islam. terj. berdialog dengan al-Quran.(Bandung:al-Mizan,cet.VII1999),hlmn.248-249
[30]. Demikian yang diungkapkan al-Qattan dalam Mabahisnya; dari kata fassara: menerangka, membuka, dan menjelaskan makna yang ma’qul atau dari lafaz yang sulit. Baca Manna al-Qattan Mabahtsun fi ‘Ulumil Quran (Riyadh:Maktabah Ma’arif,1981),hlm.20
[31] . inilah makna yang digambarkan dalam [al-Furqon.25:33] oleh Muhammad Husain azd-Dzahabi at-Tafsir wal Mufassirun (Mesir:Darul Kutub al-Haditsah,1976),hlm.13 [Maktabah Syamila]
[32]. Demikian penjelasan as-Suyuti al-‘Itqan fi ‘Ulumil Quran (Kairo:Musthafa Babil al-Halabi,1951),hlm.174
[33] . ini sebenarnya istilah yang dikembangkan di Indonesia yang dinisbahkan pada penggalian akal sebagai sumber penafsiran.
[34].  Berasal dari kata ro’aya yang berarti melihat dengan akal fikiran
[35] . ibid,,Ali as-Shobuni at-Tibyan,,,, hlm.155
[36] . Ibid al-Qattan Mabahits..hlm.488
[37]. Hamka, Pelajaran Agama Islam(Jakarta:Buan Bintang,1984),185
[38].  Sebagaimana ulasan al-Qardawi  Terem akal secara tekstual tertulis sebanyak 49 kali kacuali satu dengan format fiil mudari’  dengan rincian sigat fi’l mudari’ dengan wawul jamaah{تعقلون} sebanyak 24 kali, sedangkan teks{يعقلون }sebanyak 24 kali,kemudian kata{ عقل }satu kali, kata{نعقلون }satu kali, dan {يعقل }satu kali. Baca Yusuf al-Qardawi, al-‘Aqlu wal ‘Ilmu fil Quranil Karim (al-Qahirah:Maktabah Wahbah,cet.I,1996),hlm.13-20
[39]. Sabda Nabi:” Pertama kali yang diciptakan Allah adalah akal,maka Allah berkata kepadanya:datanglah!, maka ia dating,”Demi kemuliaan-Ku, Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia dalam pandangan-Ku dari pada kamu(akal), karenamu Aku menyiksa, member, membalas dan menghukum”. Hadis ini dikutip oleh Syeikh Khalaf Muhammad al-Husaini dalam bukunya al-Quran Yuqowwimul ‘Aqla wan Nafsal Lisan (Mesir:Darun Nahdhah)
[40] . Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh
[41].  Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran
[42].  Harun Yahya, Bagaiman Seorang Muslim Berfikir (Jakarta:Robbani Press,2001),hlm.13-14
[43].  Ibid,,,HAMKA ,,, Pelajaran Agama,,,hlm.182
[44].  Ibid...hlm.184
[45]. Nama aslinya adalah ‘Imaduddin Abu al-Hasan Qadi al-Qudah ‘Abdul Jabbar bin Ahmad bin ‘Abdul Jabaar al-Hamazani. Lihat Machasain, al-Qadi Abdul Jabbar Mutasyabbih al-Quran: Dalih Rasionalitas al-Quran (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta,cet.I,2000),hlm.9
[46] . Ibid…hlm.60-75
[47]. Tokoh demonstrator Mu’tazilah, lengkapnya ‘Abd Qasim Mahmud ibn Muhammad ibn Umar az-Zamakhsyari kelahiran 27 Rajab 467/18 Maret 1075 M.Karyanya adalah Tafsir al-Kasysyaf. Demikian yang dikutip Fauzan Naif dalam Musthafa al-Sawi al-Juwaini, Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsiiril Quran (Mesir:Darul Ma’arif),hlm.25-26
[48]. “wajah wajah(orang mu’min) pada hari itu berseri seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat”
[49]. Ini adalah nuqilan dari Fauzan Naif dalam Studi Kitab Tafsir. Pengantar oleh Hamim Ilyas dan saya tambahkan keterangan sebagai pelengkapnya
[50]. Seorang Ulama yang terpuji; “pelopor kemajuan” oleh al-Ustadz Ahmad Amin, “pelopor pemikiran Mesir” oleh Dr.Utsman Amin , “Abqoriul Islah wat-Ta’lim” oleh al-Ustadz ‘Abbas al-‘Aqqad , “pelopor warna sastra sosial masa kini” oleh az-Zahabi, dll. Sejumlah laqob tersebut diberikan oleh orang terkemuka. Karyanya adalah Tafsir Juz’amma
[51]. Kerasionalan Abduh memeang lebih dominan kompromi antara Islam dengan sivilisasi Barat
[52]. Penjelasan mengenai permasalahan ini, luasnya pada tafsir al-Mannar
[53]. Demi fajar@dan malam yang sepuluh”
[54].  Muhammad Abduh, Tafsir al-Qur’an al-karim, Juz amma (t.t:Dar wa mathabial-syab)h.60. Digital Books
[55]. Murid setia Muhammad Abduh nama aslinya adalah al-Sayyid Muhammad Rasyîd bin Ali Ridhâ bin Muhammad Syama Al bin Al-Kalamuny , kelahiran 27 Jumadil Ula 1282/Oktober 1865 disebuah desa Qolamun dekat dengan kota Tripoli Libanon Suriah. Karyanya adalah Tafsir al-Mannar. Baca Akhmad Taufik, M Dimyati Huda, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005). hal. 102.
[56].  Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama,(Jakarta: Logos,Cet. Ke-1,1417 H/1997 M),I:.375-
[57].  “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
[58].  Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul
[59].  A. Athaillah Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manâr, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 388
[60].  Hanya milik Allah asmaa-ul husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya[586]. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan
[61].  Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr (Beirut:Dar al-Ma’rifah,cet.ke-2.t.th),IX: 429-430. Digital Books
[62]. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya
[63]. Ibid...484
[64].  HAMKA gabungan daru nama Beliau dan ayahnya  H.Abd Karim bin H.Abdullah. Nama aslinya adalah H.Abdul Malik kelahirann 13 Muharram 1362/16 Februari 1908 di Tanah Sirah dalam Nagari Sungai Batang Sumatra Barat. Karyanya adalah Tafsir al-Azhar. Lihat HAMKA Kenang-kenangan Hidup (Jakarta:Bulan Bintang,1979),hlm.9
[65].  الذين يوء منون بالغيب ويقيمون الصلآة ومما رزقناهم ينفقون
[66]. Demikian hasil pengamatan M.Yunan Yunus dalam bukunya Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar (Jakarta:Penamadani,cet.II.2003),hlm.150-151
[67]. فعاّل لّما يريد
[68].  Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan
[69]. Demikian pengamatan Yunan Yunus dengan susnan kalimat saya sendiri...Ibid, hlm.170-171

1 komentar: