A. Latar Belakang Masalah
Agama islam adalah agama yang mampu mengakomodir segenap peran rasa dan
rasio secara proporsional, terbukti dari beberapa pembahasan-pembahasan tentang
ajaranya mampu melibatkan kedua anugerah agung ini, salah satu contoh mungkin
dalam ilmu fiqh dan ushul, kolaborasi antara keimanan dan pemikiran menjadi
landasan utama dalam menelorkan rumusan hukum-hukumnya, Semua paparan di atas
tentunya tidak terlepas dari pengaruh dua pegangan suci umat islam, yaitu
alqur’an dan hadis.
Kedua dokumen suci yang diyakini sebagai sumber utama umat islam ini
haruslah bersifat universal, sifat inilah yang akan menjadikan dokumen ini akan
selalu tampak tegar dan segar ketika dihadapkan pada perubahan situasi dan
kondisi yang berbeda-beda, Fungsi dan peran di atas tentunya tidak akan
terealisir tanpa peran dari intelektual indifidu yang di amanati sebagaimana
teguran dalam firman alloh:
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Lantas sejauhnamakah peran akal (ro’yi) dalam mengawal perjalanan
teks-teks suci ini? Kalau kita melihat realita dikalangan umat islam,
kita akan mendapati mayoritas ulama’ mengunakan penalaran ketika tidak
ditemukan keterangan yang jelas dalam teks-teks suci. Banyak kalangan menduga bahwa
keputusan tersebut berdasarkan statemen nabi dalam hadis yang diriwayat oleh
beberapa kolektor hadis dari sahabat Muadz Bin Jabal yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي
بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي
كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
Rosululloh ketika akan mengutus muadz ke yaman bersabda: bagaimanakah
kamu akan mengambil keputusan ketika dihadapkan pada permasalahan?muadz
menjawab: aku akan memutuskan dengan kitabulloh(jawab muadz). Jika tidak kau
temukan dalam kitabulloh? Dia menjawab: dengan sunnah utusaNYA S.A.W. jika
tidak kau temukan dalam sunah utusaNYA S.A.W. dan dalam kitabNYA? Dia menjawab:
aku akan berusaha dengan nalarku dan tidak akan keluar dari jalan yang luru. Rosul
menepuk pundak muadz seraya bersabda: segala puji milik alloh yang memberi
petunjuk utusan rasulNYA terhadap perkara yang membuatnya ridho.
Dari paparan hadis di atas penulis akan mencoba melakukan tinjauan kembali
mengenai kualitas hadis tersebut, agar kita bisa mengetahui dengan benar
seberapa jauh tuhan memerintahkan kepada kita untuk memfungsikan anugerah agung
ini. Walaupun secara umum penulis tidak melakukan penafsiran lebih jauh tentang
hadis di atas akan tetapi kita akan memperoleh sedikit jawaban atau gambaran
tentang pertanyaan apakah kita bebas mengunakan akal di atas segala-galanya
sehinga segala sesuatu yang tidak sesuai denganya harus kita singkirkan
sebagaimana pemikiran yang berkembang disebagian umat islam? atau akal kita
tidak mempunyai peran apapun dalam kehidupan ini, karena segala permasalahan
telah di jawab oleh teks-teks suci dari alloh dan Nabi? ataukah kita
berada di tengah-tengah kedua arus besar pemikiran di atas?. Dengan mengetahui
status hadis ini mungkin akan menjadi langkah awal bagi kita untuk menentukan
sikap atau prinsip manakah yang akan kita ambil, yang selanjutnya akan menjadi
penentu dalam setiap meputusan dan keyang kita ambil.
B. Teks Hadis Lengkap
Dengan Sanad Dari Beberapa Perowi
(1)حَدَّثَنَا حَفْصُ
بْنُ عُمَرَ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرِو ابْنِ
أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ
مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى
الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي
بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي
كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي
وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ. رواه أبي داود
(2) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ أَخِي الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ
مِنْ أَهْلِ حِمْصَ عَنْ مُعَاذٍ
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ
فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي
كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي
سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ
رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رواه أحمد
(3) حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
الثَّقَفِىِّ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ ابْنِ أَخِى الْمُغِيرَةِ بْنِ
شُعْبَةَ عَنْ نَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ عَنْ مُعَاذٍ : أَنَّ النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ :« أَرَأَيْتَ إِنْ
عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ كَيْفَ تَقْضِى؟ ». قَالَ : أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ
:« فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللَّهِ؟ ». قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ :« فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ
اللَّهِ؟ ». قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِى لاَ آلُو. قَالَ : فَضَرَبَ صَدْرَهُ
ثُمَّ قَالَ :« الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا
يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ » رواه الدارمى
(4) حَدَّثَنَا هَنَّادٌ
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ
بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ
فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
مَهْدِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي عَوْنٍ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ
عَمْرٍو ابْنِ أَخٍ لِلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصٍ
عَنْ مُعَاذٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَحْوَهُ رواه الترمذى
C. Rumusan Masalah
Pemahaman tentang panilaian terhadap status hadist menjadi sebuah
hal yang sangat penting saat ini untuk menyehatkan kembali
pembahasan-pembahasan tentang masalah keagamaan, sehinga peluang manipulasi
agama bisa terdeteksi sejak awal. Berpijak dari konsep ini, penulis akan
menyajikan ulasan penelitian tentang hadis nabi yang diriwayatkan oleh beberapa
perowi di atas. Penelitian hadis ini meliputi pembahasan secara kualitatif,
mutatir atau ahadkah hadis tersebut?, Dan secara kuantitatif, sahih atau doifkah
hadis di atas?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan penilaian dari status sebuah
hadis yang diriwayatkan dari sahabat muadz ibn jabal, sehingga diharapkan
para pembaca bisa mengetahui kualitas dan kuantitas hadis ini secara lebih
detail.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini di ajukan dalam rangka representasi UAS semester IV mata
kuliah mustolahu al hadist kepada bapak dosen.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Hadits,
Sunnah, Khabar, dan Atsar
1. Pengertian Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki arti;
a) al jadid
minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal ini mencakup
sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
b) Qorib
(yang dekat)
c) Khabar
(warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya. Dari
makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Jamaknya adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak
yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits
yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul
dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang
lainnya.
Ada juga yang berpendapat ahadits bukanlah jamak dari hadits,
melainkan merupakan isim jamaknya.
Dalam hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam
firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله
إن كانوا صادقين.
"maka hendaklah mereka mendatangkan
khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar" (QS. At Thur; 24).
Adapun hadits menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan
sunah, yang mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul,
baik setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang
lafadz hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan
taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan
taqrir beliau, yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar'i. Oleh karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada
sangkut pautnya dengan hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
2. Pengertian sunah
Sunah menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji
atau tidak. Jamaknya adalah sunan.
Sunah menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun
perjalanan hidup, baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
Sunah menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal
dari Nabi-selain al Qur'an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang
bisa dijadikan dalil bagi hukum syar'i.
Suah menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad
saw, yang bukan fardlu ataupun wajib.
3. Pengertian khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada
orang lain.
Khabar menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan
Tabi'in. oleh karena itu, hadits marfu', maukuf, dan maktu' bisa
dikatakan sebagai khabar. Dan menurutnya khabar murodif dengan
hadits.
Sebagian ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar
dari selain Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut
Muhadditsin dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi
khabar, yaitu:
Kata khabar sinonim dengan hadits;
Khabar adalah perkataan, tindakan, dan
ketetapan seseorang selain Nabi Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan,
tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad.
Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari
hadits. Oleh karena itu, setiap hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun,
setiap khabar belum tentu dapat disebut dengan hadits.
4. Pengertian Atsar
Secara etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai
definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar
adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
B. Sejarah
Penghimpunan Hadist
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Quran. Keberadaan hadits
merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal
ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan
apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan hadits, hakikatnya
tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat
berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik
dari Rasulullah saw. maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan
al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar
al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan, yang merupakan waktu yang
relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu perhatian hadist tidaklah se-istimewa al-Quran, hadist telah
melewati proses sejarah yang sangat panjang. Setidaknya sampai sekarang ini,
hadist telah melewati kurang lebih tujuh masa atau periode perkembangan.
1. Periode pertama
Periode pertama adalah masa wahyu dan pembentukan masyarakat. Pada masa ini
Nabi SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di tengah sahabat
pada khususnya, baik sewaktu tinggal di Makkah maupun setelah Hijrah ke
Madinah. Pada masa permulaan ini jumlah umat Islam hanyalah beberapa gelintir
orang saja. Mula-mula mereka tinggal di rumah al-Arqam bin Abdu Manaf, yang
terletak di kota Madinah. Disitu mereka mempelajari agama Islam, mempelajari
al-Quran, serta mereka melakukan dakwah yang pada awalnya mereka lakukan secara
sembunyi-sembunyi. Bersamaan dengan berjalannya waktu akhirnya Islampun mulai
berkembang, sehingga membentuk komunitas yang lebih besar. Di era tersebut Kota
Madinah masih memiliki sembilan masjid. Maka pada awal-awal perkembangan itu,
Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari baca tulis. Dan nabi
memprioritaskan terhadap penulisan al-Quran.
Adapun hadist pada waktu itu, belum begitu diperhatikan seperti halnya
al-Quran yang sejak awal mendapatkan perhatian khusus. Bahkan pada awal-awal
turunnya wahyu, Nabi SAW melarang para sahabatnya untuk menulis hadist. Karena
dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Quran, dan juga supaya semua potensi
ditujukan dan diarahkan pada al-Quran. Sehingga pada saat itu hadist
terdokumentasikan dalam bentuk hafalan saja. Berikut ini contoh Hadist Nabi SAW
yang melarang penulisan hadist.
لاتكتبوا عنى شيئا غيرالقران فمن كتب عنى شيئاغيرالقران فليمحه
Artinya “ Jangan menulis apa-apa selain al-Quran dari saya, barang siapayang
menulis dari saya selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari
Abu Said a-Khudry).
Namun ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW memberikan izin
kepada sebagian sahabatnya untuk menulis hadist. Hal itu bertujuan untuk
membantu dalam proses hafalan mereka. Namun pada ujungnya disaat periode
terakhir masa-masa kehidupan Nabi mereka mengkodifikasikannya. Diantara para
sahabat yang telah mendapatkan lisensi adalah Abdulloh bin Amr bin Ash
(7SH-65H), Dia memiliki kumpulan hadist yang dikenal dengan Sahifah
as-Sadiqah, sahifah ini memuat seribu hadist. Disamping itu dijumpai sebuah
kitab hadist Sahifah Jabir bin Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin
Abdulloh al-Ansari (16-74H). dan yang terakhir Sahifah Sahihah yang
disusun oleh Human bin Munabbih (40-131H). Contoh
hadist yang memperbolehkan penglodifikasian hadist adalah.
اكتبواعني فوالذى
نفسى بيده ماخرج من فمى الاحق
Artinya “ Tulislah dari saya demi zat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya,
tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak “.
Pertama hadist diterima secara langsung.
Melalui majlis pengajian nabi yang diadakan
pada waktu-waktu tertentu.
Adanya perilaku umat yang disaksikan oleh
nabi secara langsung dan menghendaki panjelasan dari nabi.
Pertanyaan yang diajukan oeh sahabat atau
permintaan penjelasan sahabat kepada Nabi SAW.
Ada peristiwa yang langsung dialami Nabi SAW
dan para sahabat menyaksikannya.
Kedua hadist diterima secara tidak langsung, yang disebabkan beberapa
factor.
Kesibukan yang dialami sahabat.
Tempat tinggal sahabat yang jauh.
Persaan malu untuk bertanya langasung kepada
Nabi SAW.
Jadi pada masa ini terdapat perbedaan tingkat penerimaan hadist dilkalangan
sahabat. Selain karena sebab-sebab diatas factor lain adalah tingkat kemampuan
termasuk tingkat kecerdasan diantara mereka yang menetukan kualitas penerimaan
hadist.
2. Periode kedua
Tepatnya periode ini adalah masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin, Abu
Bakar as-Siddik, Umar bi Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib
(10H-40H). Persoalan yang menonjol serta banyak menyita perhatian para sahabat
pada periode ini, disamping usaha penyebarluasan Islam adalah soal
ketatanegaran dan soal kepemimpinan umat. Persoalan-persoalan tersebut
menumbuhkan perpecahan dikalangan intern umat, yang merambat pada lahirnya
berbagai macam fitnah dan intrik. Yang pada tataran selanjutnya Hadist pun juga
tak luput dari dampak tersebut. Sehingga wajar kalau Abu Bakar dan Umar
menyerukan pada umat Islam untuk berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan Hadist.
Serta meminta para sahabat untuk secara teliti memeriksa riwayat Hadist yang
mereka terima.
Beberapa sumber mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak akan menerima
hadist kalau tidak disaksikan kebenarannya oleh saksi yang lain. Hal itupun
juga diikuti sahabat-sahabat yang lainnya. Contohnya sahabat Ali, Ia tidak
menerima hadist sebelum yang meriwayatkan disumpah terlebih dahulu. Semua itu menunjukkan bahwa betapa ketatnya para sahabat
dalam menerima hadist. Namun berkenaan dengan semakin luasnya wilayah Islam,
yang tepatnya di masa pemerintahan Ali dan Ustman maka larangan terhadap
periwatan hadist tidak lagi dapat dilakukan dengan tegas seperti pada masa Abu
Bakar dan Umar. Karena banyak dari sahabat yang sudah berpencar ke
daerah-daerah baru. Akibatnya penyebaran dan pengembangan riwayat secara lebih
jauh tidak terhindarkan lagi. Adapun penyeberan hadist
pada masa ini menggunakan lisan, dan hanya pada saat yang diperlukan. Misalnya
jika umat Islam menghadapi suatu permasalahan yang menuntut penjelasan dari
hadist. Maka pada saat itulah hadist baru dipakai untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut
3. Periode ketiga
Periode ini disebut periode penyebaran riwayat. Ini berlangsung pada masa
sahabat kecil dan tabiin besar. Penakhlukan beberapa kota diantaranya Syam dan
Irak (17H), Mesir (20H), Persia (21H), Samarkand (56H), dan Spanyol (93H)
menuntut para sahabat untuk berpindah ke tempat-tempat baru dengan tujuan
mengajarkan agama Islam. Adapun perkembangan selanjutnya sahabat yang
mendengar riwayat (Hadist) , yang belum pernah didengarnya merasa perlu
melakukan pengecekan dengan melawat ke kota di mana sahabat yang meriwayatkan
hadist tersebut tinggal. Kedatangan sahabat tersebut dimanfaatkan oleh golongan
tabiin untuk mendengarkan pengajaran-pengajaran daripadanya.
Dalam riwayat Bukhori Ahmad, at-Tabari, dan al-Baihaki disebutkan bahwa Jabir
pernah pergi ke Syam menanyakan sebuah hadist kepada seorang sahabat yang
tinggal disana. Hal demikian juga pernah dilakukan oleh Ayyub al-Anshari yang
melawat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah bin Nafi.
Periode ini ditandai oleh aktifnya generasi tabiin menyerap hadist dari
generasi sahabat. Sehingga pada masa itu muncullah istilah “Bendaharawan
Hadist”, yaitu para sahabat yang meriwayatkan hadist lebih dari seribu
hadist. Diantara mereka adalah Abu Hurairah (meriwayatkan 5374 hadist),
Abdullah bin Umar bin Khattab, (meriwayatkan 2630 hadist), Anas bin Malik,
,meriwayatkan (2266 hadist), Aisyah, meriwayatkan (1210 hadist), Abdullah bin
Abbas, meriwayatkan (1660 hadist), Jabir bin Abdullah, meriwayatkan (1540
hadist), Abu Said al-Khudari, meriwayatkan (1170 hadist). Sedangkan dari
golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode ini adalah Said
dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Sya’bi dan
Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar
bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan
Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih
di Yaman.
Pada era tersebut juga terdapat beberapa sahabat yang ,menyedikitkan
riwayat. Alasannya, mereka takut terjerumus dalam kedustaan, serta takut
akan banyaknya hadist yang terlupakan dikarenakan usianya yang telah
lanjut. Az-Zubair dan Zaid bin Arqom adalah contoh dari sekian sahabat yang
mengambil sikap seperti itu.
Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada
periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah
di Makkah, asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad
bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu
Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di
al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman.
Perkembangan selanjutnya terjadi perpecahan dikalangan umat Islam, karena
persoalan kholifah dan politik. Dan hal itu merembet pada perang saudara antara
Ali cs, dan Muawaiyah cs. Perseteruan itu banyak membawa korban dikalangan umat
Islam. Pada akhirnya situasi perpolitikan yang demikian itu memberi peluang
berkembangnya pemalsuan hadist. Hadist palsu tersebut digunakan untuk
menjastifikasi golongan mereka masing-masing. Contoh hadist palsu yang dibuat
golongan syiah.
من مات وفى قلبه بغض
لعلى فليمت يهد يااو نصرانيا
Artinya: “siapa yang mati dan dalam hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka
hendaklah mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani.”
Contoh hadist palsu yang dibuat golongan Muawiyah.
الامناء عندالله ثلا
ثة : انا وجبريل ومعويه
4. Periode keempat
Periode keempat berlangsung dari masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz
(99H-102H) sampai akhir abad kedua Hijriah. Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang
tumbuh dalam ikllim keilmuan, membentuk pribadi yang cinta akan ilmu
pengetahuan. Selain itu beliau juga terkenal jujur. Sehingga ketika Ia
menangkap kenyataan bahwa banyak dari para penghafal hadist yang wafat, serta
semakin berkembangnya hadist palsu, maka tergeraklah hatinya untuk
mengkodifikasikan hadist. Ia khawatir kalau tidak segera dibukukan maka hadist
pasti akan berangsur-angsur hilang. Kekhawatiran itulah yang menyebabkan
kholifah memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar Muhammad bin Amru bi Hazm (w
117H) untuk membukukan hadist yang terdapat pada penghafal Amrah binti
Abdurrahman bin Saad bin Zuhairah bin Ades (ahli fiqih murid Aisyah RA) serta
hadist yang ada pada Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq. Selain itu
kholifah juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri (w 124 H) untuk
mengumpulkan hadist yang ada pada para penghafal Hijaz dan Syuriah. Masa ini
dicatat oleh sejarah sebagai masa kodifikasi resmi.
Selanjutnya bertolak dari sini berkembanglah pengkodifikasian hadist, yang
selanjutnya melahirkan banyak penulis dan penghimpun hadist. Para tokoh
tersebut misalnya: Abdul Malik bin Abdu Aziz bin Juraij (w 159H) di
Makkah, Malik bin Anas / Imam Malik (94-179H), dan Muhammad bin Ishak (w
151H) di Madinah, ar-Rabbi bin Sabih (w 160H), Said bin Urabah (w 167H), dan
Hammad bin salamah bin Dinar al-Basri (w167H) di Basra, Sufyan as-Sauri (w161H)
di Kufah, Ma’mar bin Rosyd (95-153H) di Yaman, Abdurrahman bin Amr al-Auzi
(88-157H) di Syam, Abdullah bin al-Mubarak (118-181H) di Khurasan, Hasyim bin
Basyr (104-183H) di Wasit, Jarir bin Abdul Hamid (110-188H) di Rayy dan
Abdullah bin Wahab (125-197H) di Mesir.
Sistem pembukuan hadist pada stadium ini adalah, si pengarang menghimpun
semua hadist mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja.
Dan dalam kitab ini hadist masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin.
Belum ada pemilahan mana hadist yang Marfu’, hadist Mauquf, ataupun hadist
Maqtu’, serta antara hadist Sohih, Hasan, dan Dhoif. Beberapa buku tersebut ada
yang dinamakan al-Jami, al-Musnad, al-Musannaf dan lain-lain. Misalnya Musnad
as-Syafii, Musannaf al-Auzai dan al-Muwatta karya Imam Malilk
yang disusun atas permintaan kholifah Abu Ja’far al-Mansur (144H).
5. Periode kelima
Periode kelima disebut dengan periode pemurnian, penyehatan, dan
penyempurnaan. Ini berlangsung dari awal abad ke 3 H sampai sampai akhir abad
ke 3. Pada masa ini timbul pertentangan yang hebat antara ulama kalam
(khususnya Mu’tazilah) dengan Ulama hadist. Pertentangan itu berkutat di
sekitar apakah al-Quran itu makhluk atau Bukan?
Golongan Mu’tazilah beropini bahwa Quran adalah makhluk. Pendapat ini
mendapat suport dari kholifah-kholifah pada waktu itu. Antara lain al-Makmun
(218H) . Ia menginstruksikan kepada seluruh Gubernur di Bagdad untuk menindak
dengan tegas kepada siapa saja yang tidak mau mengatakan bahwa Quran itu
makhluk. Bahkan Ia melarang keras kepada Ulama hadist untuk berfatwa dan
meriwayatkan Hadist kalau tidak mengatakan demikian. Instruksi tersebut banyak
mendapat tentangan dari Ulama hadist khususnya, dan umat Islam umumnya yang
mayoritas beraliran Ahlu Sunnah. Pada periode tersebut banyak dari golongan
ulama yang dipenjara dan di siksa, antara lain Ahmad bin Hambal karena
menentang kholifah al-Makmun dan penggantinya al-Mu’tasim (w 227 H) dan Watsiq
(w 232 H). Namun ditengah-tengah kegentingan tersebut lahirlah ulama-ulama
besar termasuk Ulama hadist, yang dengan sabar menjaga kemurnian dan kesucian
ajaran Nabi SAW.
Masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist.
Sebab para ulama telah berhasil memisahkan hadist-hadist Nabi SAW dari yang
bukan hadist (fatwa sahabat dan Tabiin) . kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini
adalah:
lawatan ke daerah-daerah yang semakin jauh
guna menghimpun hadist dari para perowinya.
membuat klasfikasi hadist marfu’, mauquf,
dan maqtu’.
menghimpun kritik-kritik yang diarahkan baik
pada rowi maupun matan serta memberi jawabannya.
Sebagai tindak lanjut dari pengklasifikasian hadist, lahirlah buku-buku
baru yang dinamakan Kitab Sahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad.
Pada masa ini bangkit Imam hadist yang besar yaitu Ishaq bin Ruwaih yang
merintis usaha memisahkan antara hadist Sahih dan tidak. Usaha ini dilanjutkan
oleh Imam Bukhori, sehingga tersusunkah sebuah kitab yang sistematis
berdasarkan bab-bab yang diberi nama Sahih Bukhori. Imam-imam hadist lainnya,
seperti Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majja, mulai menyusun
kitab-kitab sunan mereka. Begitu pula Imam Hambali dengan kitab musnadnya.
Penyusun kitab musanad lainnya adalah Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad
bin Musa, dan Nuaim bin Ahmad al-Kazai.
6. Periode keenam
Periode keenam merupakan periode pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan
penghimpunan hadist. Ini dimulai dari abad ke 4 sampai jatuhnya Kota Bagdad
(656H). Pada masa ini lahir istilah ulama Mutakadimin dan ulama Mutaakhirin.
Term-term ini jadikan sebagai pemisah antara ulama yang hidup sebelum abad ke 4
H (mutakadimin), dan ulama yang hidup sesudah abad 4 H (Muataakhirin).
Perbedaan antara keduanya adalah Ulama Mutakadimin melakukan kegiatannya secara
mandiri. Dalam arti mereka himpunan hadist-hadistnya tidak dengan jalan
mengutipnya dari kitab-kitab hadist yang ada sebelumnya. Tapi mereka mendengar
langsung hadsit-hadist itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri
tentang matan serta perowinya. Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke berbagai
daerah untuk mencek kebenaran hadist-hadist yang didengarnya.
Adapun Ulama Mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya
Ulama Mutakadimin dalam arti kumpulan-kumpulan hadist mereka adalah hasil
petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutakadimin. Pada stadium enam ini tumbuh
sebuah asumsi bahwa sudah merasa cukup dengan hadist-hadist yang dihimpun
ulama-ulama Mutakadimin. Oleh sebab itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan
lawatan ke berbegai negeri untuk mencari hadist. Semangat yang tumbuh pada masa
ini adalah semangat untuk memelihara. Jadi para ulama periode ini
berlomba-lomba untuk mengahafal sebanyak-banykanya hadist yang sudah
terkodifikasi.
Selain itu ulama dalam periode ini berusaha memperbaiki susunan kitab,
mengumpulkan yang masih berserakan dan memudahkan jalan-jalan pengumpulan
hadist. Usaha-usaha perbaikan tersebut memunculkan beberapa Kitab hadist
diantaranya:
kitab syarh, yang mengomentari kitab
hadist tertentu. Selain itu juga muncul kitab Mustakhraj, yaitu kitab hadist yang
memuat hadist dari kitab hadist yang ada, dengan sanad sendiri yang berbeda
dengan sanad hadist rujukannya.
kitab Atraf yang menyebut hanya
sebagian dari matan atau tesk hadist, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari
matan itu baik sanad dari kitab yang dikutip maupun kitab lain.
kitab Mustadrak, yang menghimpun
hadist-hadist yang memiliki syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari
keduanya saja.
kitab Jam’i yang menghimpun
hadist-hadist yan telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Abad ke-4
|
||
Pengarang
|
Nama Kitab
|
wafat
|
Imam Sulaiman bin Ahmad
at-Tobrani
|
Al-Mu’jam al-Kabir
Al-Mu’jam al-Ausat
Al-Mu’jam al-Saghir
|
360 H
|
Imam Abdul Hasan Ali bin
Umar bin Daruqutni
|
Sunan ad-Daruqutni
|
306-385 H
|
Abu ‘Auwanah Ya’kub bin
Ishak Ibrahim al-Asfarayani
|
Sahih Abi ‘Auwanah
|
354 H
|
Ibnu Khuzaimah Muhammad
bin Ishaq
|
Sahih Ibnu Khuzaimah
|
316 H
|
Abad ke-4-5
|
||
Abu Bakar Ahmad bin
Husain Ali al-Baihaqi
|
As-Sunnah al-Kubra
|
384-458 H
|
Majdudin al-Harrani
|
Muntaqaal-Akhbar
|
652 H
|
Muhammad bin Ali
as-Syaukani
|
Nail al-Auta
|
1172-1250H
|
Imam Zakyudin
Abdul’Adhim al-Munziri
|
At-Targhib wa at-Targhib
|
656 H
|
Muhammad bin Allan
as-Sidiqi
|
Dalil al-Falihin
|
1057 H
|
7. Periode ketujuh
Periode ketujuh bisa dikatakan periode pensyarahan, perhimpunan,
pentarjihan serta pengeluaran riwayat. Periode ini bertepatan dengan masa
penghancuran Kota Bagdad sebagai pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan
Hulugu Khan (656 H). Akibat dari kejadian itu maka pindahlah pemerintahan
Abbasiyah ini ke Cairo Mesir, namun kholifahnya hanya simbol saja, sedangkan
yang berkuasa pada hakekantnya adalah Raja Mesir dari Mamalik.
Pada akhir abad ke 7 Turki menguasai daerah-daerah Islam kecuali daerah barat
(Maroko dan sebagainya). Bahkan pada abad 9 Turki di bawah pemerintahan Ottoman
(dinasti Ustmaniyah) merebut Kota Konstantinopel dan dijadikan ibukotanya.
Kemudian menakhlukkan Mesir dan melenyapkan Kholifah Abbasiyah. Sejak itu
kholifah islamiyah ini dipindahkan ke Kota Konstantinopel dan sejak itu raja
Turki memakai sebutan Kholifah. Turki semakin kuat dan daerahnya makin luas,
tapi sayangnya pada waktu yang sama pemerintahan Islam di Andalus hancur. Maka
padamlah cahaya Islam yang pernah menerangi negeri tersebut selama kurang lebih
delapan abad. Kemudian imperialisme Barat berhasil menakhlukkan negeri-negeri
Islam. Dan sejak itu Islam mengalami kemunduran.
Situasi dan kondisi tersebut secara otomatis juga menggeser cara penerimaan
dan penyampaian hadist. Mereka kadang-kadang menggunakan jalan surat menyurat
dan ijazah. Maksudnya adalah sang guru memberikan izin kepada sang murid untuk
meriwayatkan hadist dari guru tersebut. Pada dekade ini
jarang sekali detemuakan ulama-ulama yang mampu menyampaikan periwayatan hadist
beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang umum adalah mempelajari
kitab-kitab hadist yang ada, mengembngkannya, membuat pembahasan-pembahasannya
atau membuat ringkasan-ringkasan.
C. Pengertian
al-Quran, Hadits Qudsi, dan Hadits Nabawi
1. Pengertian al-Qur'an
Para ulama berbeda pendapat terkait dengan pengertian al-Quran dari segi
etimologi. Muhammad Ali Daud dalam kitab Ulum al-Quran wa al-Hadits,
menyebutkan enam pendapat berkenaan pengertian al-Quran dari segi etimologi ini,
yaitu:
a) Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Quran
merupakan nama yang independent, tidak diderivasi dari kosakata apapun.
Ia merupakan nama yang khusus digunakan untuk firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad.
b) Menurut Imam al-Fara’ kata al-Quran
diderivasi dari noun (kata benda) qarain, bentuk jama’
(plural) dari qarinah yang mempunyai arti indikator. Menurutnya, firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad disebut dengan al-Quran karena
sebagian ayatnya menyerupai sebagian ayat yang lain, sehingga seakan-akan ia
menjadi indikator bagi sebagian ayat yang lain tersebut.
c) Imam al-Asy’ari dan sebagian ulama yang
lain menyatakan bahwa kata al-Quran diderivasi dari masdar (abstract
noun, kata benda abstrak) qiran yang mempunyai arti bersamaan atau
beriringan. Menurut mereka, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
disebut dengan al-Quran karena surat, ayat, dan huruf yang ada di dalamnya
saling beriringan.
d) Imam al-Zajaj berpendapat bahwa kata
al-Quran diderivasi dari noun (kata benda) qur-u yang mempunyai
arti kumpulan. Menurut al-Raghib, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dinamakan dengan al-Quran karena ia mengumpulkan intisari beberapa
kitab yang diturunkan sebelum al-Quran.
e) Sebagian ulama mutaakhirin tidak
sependapat dengan pandangan yang menyatakan bahwa al-Quran bersumber dari fi’il
(verb, kata kerja) qaraa yang mempunyai arti mengumpulkan dengan
dalil firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا
جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”. (Q. S
al-Qiyamah: 17).
Menurut mereka, kata kerja qaraa mempunyai arti memperlihatkan atau
memperjelas. Dengan demikian, orang yang sedang membaca al-Quran berarti ia
sedang memperlihatkan dan mengeluarkan al-Quran.
f) Menurut al-Lihyani kata
al-Quran diderivasi dari fi’il qaraa yang mempunyai arti membaca. Oleh
karena itu, kata al-Quran merupakan masdar yang sinonim dengan kata qiraah.
Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat.
Adapun definisi al-Quran secara terminologi adalah Firman Allah yang
berbahasa Arab, dapat melemahkan musuh, diturunkan kepada Nabi Muhammad,
ditulis di dalam mushaf, dan ditranformasikan secara tawattur serta membacanya termasuk ibadah.Contoh
wahyu al-Quran adalah:
قل هو الله احد الله
الصمد لم يلد ولم يولد إلخ .سورة الاخلاص
2. Pengertian Hadits Qudsi
Secara etimologi Hadits Qudsi merupakan nisbah
kepada kata Quds yang mempunyai arti bersih atau suci. Sedangkan secara terminologis, pengertian hadits
qudsi terdapat dua versi. Yang pertama hadits qudsi merupakan kalam Allah
SWT (baik dalam sturiktur maupun substansi bahasanya), dan Nabi hanya sebagai
penyampai Yang kedua hadits qudsi adalah perkataan dari Nabi, sedangkan isi
dari perkataan tersebut berasal dari Allah SWT. Maka dalam redaksinya sering
memakai قال الله تعالى. .
3. Pengertian Hadits Nabawi
Adapun menurut istilah, pengertian hadis nabawi ialah apa saja yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
maupun sifat. Contoh hadist nabawi yang berupa perkataan (qauli)
misalnya perkataan Nabi SAW,
انما الاعمال بالنية.......... . اخرجه البجخارى فى صحيحه
Contoh hadist berupa perbuatan (fi'li)
ialah
كان النبي اذا اراد ان ينام وهو جنب غسل فرجه
وتوضأ للصلاة. حديث عائشة
Contoh hadist berupa ketetapan (taqriri) ialah
ان خالته اهدت الى رسول الله سمنا واضبا واقطا
فاكل من السمن والاقط واكل على مائدته
,
ولو كان حراما مااكل على مائدة رسول الله. حدبث ابن عباس
Contoh hadist berupa sifat (wasfi) ialah
كان رسول الله ربعة ليس بالطويل ولابالقصر حسن
الجسم... الخ . حديث انس ابن مالك
Setelah kita mengetahui masing-masing dari definisi al-Quran, Hadits Qudsi,
dan Hadits Nabawi, maka ada baiknya kita juga membahas tentang perbedaan ketiga
hal tersebut. Perbedaan antara al-Quran dengan Hadits Qudsi:
Al-Quran mampu mengungguli sastra Arab yang
waktu itu merupakan sastra yang terbaik, sehingga orang Arab tidak mampu
membuat karya sastra yang seindah dan sebaik al-Quran,
walaupun hanya satu surat. Tidak demikan halnya dengan Hadits Qudsi.
Lafadz dan arti al-Quran berasal dari Allah.
Sedangkan Hadits Qudsi, artinya berasal dari Allah, akan tetapi lafadznya dari
Nabi Muhammad.
Tidak boleh meriwayatkan al-Quran secara
makna. Adapun Hadits Qudsi, boleh meriwayatkannya secara makna.
Al-Quran tidak boleh dipegang oleh orang
yang mempunyai hadats. Al-Quran juga tidak boleh dibaca oleh orang yang
mempunyai hadats besar. Dua larangan ini tidak berlaku di dalam Hadits
Qudsi.
Al-Quran harus dibaca di dalam shalat.
Sedangkan Hadits Qudsi, apabila dibaca di dalam shalat maka dapat menyebabkan
shalat menjadi batal.
Al-Quran ditransformasikan secara tawattur.
Oleh karena itu, ia berstatus qath’i al-tsubut. Adapun mayoritas Hadits
Qudsi ditransformasikan secara ahad (individual), sehingga ia berstatus dhanni
al-Tsubut.
Orang yang mengingkari al-Quran
terkategorikan sebagai orang kafir, karena al-Quran bersifat qath’i
al-Tsubut. Sedangkan orang yang mengingkari Hadits Qudsi tidak dianggap
orang kafir, karena Hadits Qudsi bersifat dhanni al-Tsubut.
Membaca al-Quran termasuk ibadah. Satu huruf
al-Quran sebanding dengan 10 kebaikan. Hal ini tidak berlaku pada Hadits Qudsi.
Di dalam al-Quran terdapat penamaan ayat dan
surat untuk kalimat-kalimatnya. Tidak demikian dengan Hadits Qudsi.
Pebedaan antara Hadits Nabawi dengan Hadits
Qudsi antara lain:
Hadits Nabawi dinisbahkan dan
disampaikan oleh Nabi Muhammad. Adapun Hadits Qudsi dinisbahkan kepada
Allah. Nabi Muhammad hanya berstatus sebagai penyambung lidah dari-Nya.
Bentuk Hadits Nabawi ada dua macam: 1. Tauqifi, yaitu hadits yang kandungannya
diterima oleh Nabi Muhammad melalui wahyu, kemudian beliau sampaikan kepada
umatnya. 2. Taufiqi, yaitu hadits yang tercipta murni dari pemahaman
Nabi Muhammad terhadap al-Quran, atau dari perenungan dan ijtihad beliau. Adapun keseluruhan kandungan Hadits Qudsi bersumber dari
Allah.
Contoh hadits Qudsi adalah
عن النبي قال, قال
الله تعالى ثلاثه انا خصمهم يوم القيامه... الخ.رواه ابو هريرة
D. Pembagian Hadits
ditinjau dari aspek kualitas
1. Pengertian Matan, Sanad, dan Mukharrij
Suatu hadist tidak terlepas dari beberapa unsur yang terkandung di
dalamnya. Tanpa unsur-unsur tersebut, maka status dan validitas suatu hadist
patut untuk dipertanyakan. Beberapa unsur yang menjadi pertimbangan untuk
menilai kesahihan sebuah hadits itu antara lain matan, sanad, isnad dan
mukharrij.
Pengertian Matan secara bahasa adalah sesuatu yang tampak. Secara
istilah adalah lafadz-lafadz yang menggambarkan ma’na hadits, bisa juga
diartikan kalimat hadits yang mempunyai arti. Menurut Ibnu
Jamaah adalah sebuah kalimat yang menjadi tujuan akhir daripada sanad. Lebih sederhananya matan adalah bentuk redaksional
sebuah hadits
Adapun arti sanad secara etimologi adalah tempat bersandar. Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat
mengenai pengertian sanad ini, diantaranya yaitu:
a) Menurut al-Sayyid Muhammad Ibn ‘Alawi
al-Maliki sanad ialah jalur yang menghubungkan seseorang sampai kepada matan.
Jalur ini tidak lain adalah para rawi yang mentransformasikan matan
tersebut secara berkesinambungan. Dengan demikian, menurut beliau sanad dan
rawi mempunyai arti yang sama.
b) Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib
mendefinisikan sanad dengan jalur matan. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan jalur matan adalah silsilah para rawi yang
mentransformasikan matan dari sumber utama. Oleh karena itu, menurut beliau
terdapat perbedaan antara sanad dan rawi.
c) Kata sanad menurut al-Badru
bin Jamaah adalah memberitahu jalur menuju hadits. Karena sanad
menurutnya diambil dari kata al-sannad yang berarti suatu yang naik dari
lembah gunung. Hal ini karena al-musnid menarik hadits sampai kepada
orang yang mengucapkan hadits. Atau diambil dari ucapan fulanun sanadun
(berpegangan) sehingga sanad mempunyai arti memberitahu proses menuju matan.
Hal itu dikarenakan orang yang hafal hadits menjadikan sanad sebagai acuan
dalam shohih dan dloif sebuah hadits.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa terminologi sanad
adalah jalannya hadist, maksudnya mata rantai (jalur) para periwayat yang
menghubungkan matan mulai dari awal hingga akhir.
Secara etimologi isnad berarti menyandarkan. Adapun secara terminologi
isnad didefinisikan dengan pemberitahuan dan penjelasan tentang jalur matan.
Namun, terkadang kata isnad diartikan dengan sanad, begitu juga sebaliknya.
Dengan demikian, kata isnad dan sanad mempunyai arti yang sama.
Mukhorij adalah orang yang menyebutkan perawi hadits.
Istilah ini berbeda dengan al-muhdits yang artinya orang yang mempunyai
keahlian tentang proses perjalanan hadits serta megetahui nama-nama perawi,
redaksi, dan kelemahan hadits. Dalam hal ini ia lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan al-musnid. Orang yang sedang bergelut dengan hadits dapat
digologkan menjadi beberapa tingkatan antara lain sebagai berikut:
Al-Tholib adalah orang yang sedang
belajar hadits.
Al-Muhaddits adalah orang yang
mendalami dan menganalisis hadits dari segi riwayat dan diroyat.
Al-Hafidz adalah orang yang hafal
100.000 hadits.
Al-Hujjah adalah orang yang hafal
300.000 hadits.
Al-Hakim adalah orang yang menguasai
hal-hal yang berhubungan dengan hadits secara keseluruhan baik ilmu maupun
mustola al-hadits.
Amir al-hadits ( pemimipin hadits)
Menurut syeikh Fath al-din bin Syaid al-Naas, al-muhhadits
pada zaman sekarang adalah orang yang sibuk mempelajari hadits baik aspek riwayat
maupun diroyat, kemudian mengkaji kualitas perawinya dengan mempelajari
secara mendalam para rawi yang semasa yang populer dalam hadits. Sehingga ia
mampu mengetahui gurunya dan guru dari guru perawi sampai seterusnya.Untuk
lebih jelasnya perhatikan contoh dibawah ini:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَن يَزِيدَ بْنِ
الْبَرَاءِ عَن أَبِيهِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ
أَوْ عَصًا * اخرجه احمد فى مسنده
Sanad adalah :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
حَدَّثَنَا أَبُو جَنَابٍ عَن يَزِيدَ بْنِ الْبَرَاءِ عَن أَبِيهِ الْبَرَاء
Matan adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّم خَطَبَ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصًا
Mukharrij adalah :
اخرجه احمد فى
مسنده
2. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Shahih
Pengertian hadits shahih adalah sebuah hadits yang sanadnya bersambung dan
diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah Serta tidak
ada cacat atau kekurangan dalam hadits tersebut. Atau
dalam istilah lain tidak termasuk hadits yang syadz dan mu’allal.
Dari pengertian ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa kriteria hadits
shahih adalah
a) Tersambung sanadnya (ittisal as-sanad)
artinya setiap hadits yang yang diriwayatkan oleh rowi kerowi di atasnya
sehingga sambung dalam penerimaan haditsnya kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itu, akan mengecualikan hadits yang munqoti', muaddlol, mullaq dan
mursal.
b) Diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah
('adil dan dhabit)
Adil adalah sifat yang yang ada pada seseorang
yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini
terkait dengan dimensi moral spiritual.
Dlabit adalah sifat terpercaya, hafal di luar
kepala, mengetahui arti hadits,dan mampu untuk menceritakan setiap
saat sesuai dengan redaksi saat ia menerima hadits. Dlabit sendiri dibagi
menjadi tiga tingkatan:
Tingkat pertama ( al-darojah al-ulya) yang ada pada 'adil dan
dlobid
Tingkat kedua (al-darojah al-wustho) tingkatan yang ada di bawahnya
Tingkat ketiga (al-darojah al-dunya) bawah tingkat kedua.
c) Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk
kategori hadits yang syadz
d) Hadits yang diriwayatkan harus terbebas
dari illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.
.
Hadits shohih terbagi menjadi dua;
I. Shohih lidzatihi adalah sebuah
hadits ayng mancakup semua syarat hadits shohih dan tingkatan rowi berada pada
tingkatan pertama. Contoh;
من كذب علي متعمدا
فليتبوأ مقعده من النار
Sehingga apabila sebuah hadits telah ditelaah dan telah memenuhi syarat di
atas, akan tetapi tingkatan perowi hadits berada pada tingkatan kedua maka
hadits tersebut dinamakan hadits Hasan
II. Shohih lighoirihi Hadits ini
dinamakan lighoirihi karena keshohihan hadits disebabkan oleh sesuatu
yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat
yang paling tinggi. Yakni dlobid seorang rowi tidak pada tingkatan
pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa
penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan
adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur
lain. Contoh hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh
bahwa Nabi bersabda
لو لا أن أشق علي
أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Letak hadits ini masuk pada kategori lighorihi. Menurut Ibnu Sholah
memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk
orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan
tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz
dan sa'id al Maqbari maka bias dikategorikan shohih lighirihi.
3. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Hasan
Untuk sekedar diketahui bahwasannya pada masa Imam Ahmad Ibn Hambal atau
sebelum masa Imam Tirmidzi, hadits hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian:
a) Hadits Shahih, yaitu hadits yang memenuhi
syarat keshahihan hadits;
b) Hadits Dla’if, yaitu hadits yang tidak
memenuhi syarat keshahihan hadits.
Pada periode ini, istilah hadits hasan belum dikenal sehingga dalam
pengklasifikasian ia masih dikelompokkan di dalam Hadits Dla’if. Hal itu karena
menurut mereka Hadits Dla’if ada dua macam: yang pertama hadits yang kedla’ifannya
masih bisa ditolelir, sehingga masih mungkin untuk diamalkan. Bentuk yang
pertama ini menyerupai hadits hasan dalam terminologi Imam Tirmidzi. Dan yang
kedua adalah hadits yang kedla’ifannya telah sangat parah, sehingga
harus ditinggalkan.
Menurut Ibnu Taimiyyah, orang yang pertama kali mengklasifikasikan hadits
menjadi tiga bagian, yakni Shahih, Hasan, dan Dla’if, adalah Abu Isa Muhammmad
Ibn Isa Ibn surah Ibn Musa Ibn Dlahak al-Silmi al-Tirmidzi atau yang lebih
dikenal Abu Isa al-Tirmidzi.
Secara etimologi, Hasan mempunyai arti hal yang diminati atau kecenderungan
hati. Adapun pengertian secara terminology menurut Ibn
Hajar adalah hadits yang sanadnya bersambung, tidak ditemukan adanya cacat dan
juga syadz serta diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tingkat tsiqahnya
tidak sempurna, dan hadits tersebut tidak termasuk hadits yang syadz dan
mu’allal.
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwasannya yang membedakan antara
Hadits Shahih dan Hadits Hasan terletak pada sisi kedlabithan
periwayat. Jika dalam Hadits Shahih periwayat harus seorang yang dlabith
taam, maka dalam Hadits Hasan periwayatnya
merupakan seorang yang daya ingatannya lemah.
Menurut Ibn Taimiyah hadits Hasan termasuk dalam kategori dloif.
Karena beliau hanya mengklasifikasikan hadits menjadi dua, shohih dan dloif,
kemudian hadits dloif dibagi menjadi dua, yakni yang bisa dijadikan hujjah
dan yang tidak bisa. Hadits hasan masuk dalam kategori hadits dloif yang
dapat dijadikan hujjah.
Hadits hasan sendiri juga terbagi menjadi dua:
I. Hasan lidzatihi
Dinamakan hasan lidzatihi karena sifat hasannya muncul secara independen.
Contohnya;
لولا أشق علي أمتي لآمرتهم بالسواك عند
كل صلاة
Hadits ini bisa dinamakan hasan lidzatihi dengan tanpa
melihat jalur riwayat lainya.
II. Hasan lighoirihi
Dinamakan Hasan lighoirihi karena ke-hasanannya disebabkan oleh
faktor lain dari luar. Artinya hadits ini sebenarnya adalah tergolong dha'if,
karena salah satu syarat untuk bisa dikategorikan hadits hasan atau shahih
tidak terpenuhi namun dikuatkan oleh adanya muttabi' atau syahid.
Contoh hadits hasan lighairihi adalah :
عن هشيم عن يزيد بن أبي زياد عن عبد الرحمن بن أبي ليلي عن البرأ بن
عازب رضي الله عنه "أن حقا علي المسلمين لأن يغتسلوا يوم الجمعة وليمس أحدهم
من طيب أهله فـإن لم يجد فالمأ له طيب
Hadits ini menurut al-Tirmidzi masuk dalam kategori Hasan lighoirihi
di karenakan Hasyim termasuk golongan al-mudallis. Akan tetapi matan
hadits dikuatkan oleh syahid yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abi
Said dll.
4. Pengertian, Pembagian, dan Contoh Hadits Dhoif
Menurut al-Nawawi dan juga mayoritas ulama ahli hadits, hadits dloif
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih dan hasan.
Hadits dloif dapat diklasifikasikan menjadi dua;
a) Dhaif disebabkan tidak memenuhi syarat
itishol al sanad.
Dhaif jenis ini di bagi lagi menjadi :
1) Hadits Muallaq
Yaitu hadits yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih rawi
baik secara berurutan maupun tidak. Contoh adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori
قال مالك عن الزهرى
عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "لا تفا ضلوا بين الأنبيأ
Dikatakan Muallaq karena Imam bukhori langsung menyebut Imam Malik
padahal ia dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,
قال ألبخارى قالت
العائشة كان النبى يذكر الله على كل أحواله
Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah
2) Hadits Mursal
Yaitu hadits yang sanadnya dari tabi'in meloncat langsung kepada
Nabi. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah hadits ini boleh dijadikan hujjah.
Contoh hadits ini adalah:
قال مالك عن جعفر بن
محمد عن أبيه أن رسول الله قضى باليمن والشاهد
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang
menjadi perantara antara nabi dan bapaknya.
3) Hadits Munqothi'
Yaitu hadits yang salah satu rawinya atau lebih dihilangkan atau tidak
jelas, bukan pada pada sahabat tapi bisa di tengah atau di akhir.
Contoh hadits ini adalah;
ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه
مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين
Riwayat yang sebenarnya adalah Abd Rozak meriwayatkan hadits dari Nukman
bin Abi Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan
hadits dari Abi Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari
riwayat yang sesungguhnya kita dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah
termasuk hadits yang munqotiq.
4) Hadits Mu'adlol
Yaitu hadits yang hilang dua rawinya atau lebih secara berurutan ditengah
sanadnya. Contoh :
يقال للرجل يوم
القيامة عملت كذا وكذا؟ فيقول لا فيحتم على فيه
Hadits ini berasal dari al-Sakbi dari Anas dari Nabi, di sini Akmas tidak
menyebutkan Anas dan Nabi.
5) Hadits Mudallas
Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis
sendiri dibagi menjadi beberapa macam;
I. Tadlis Isnad, adalah hadist yang
disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia betemu
sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadist tersebut langsung
darinya.. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia
mendengar langsung hadist tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak
termasuk mudallas melainkan suatu kebohongan/ kefasikan. Contoh hadist mudallas
sanad adalah :
II. Tadlis qath’i : Apabila perawi
menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas menggunakan nama
gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”,
kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya.
Hal seperti itu mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara
langsung padahal sebenarnya tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan
tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam dengan tujuan untuk
memotong).
III. Tadlis ‘Athof (merangkai dengan kata
sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi menjelaskan bahwa ia memperoleh
hadist dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain padahal ia tidak
mendengar hadist tersebut dari guru kedua yang disebutnya.
IV. Tadlis Taswiyah : apabila perawi
menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya karena dianggap lemah
sehingga hadist tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya
saja, agar dapat diterima sebagai hadist shahih. Tadlis taswiyah merupakan
jenis tadlis yang palin buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.
V. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang
memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang lebih dari kenyataan,
atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan yang
telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang
mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku,
atau penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.
VI. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah
tadlis bilad (penyamaran nama tampat). Contoh: Haddatsana fulan fi
andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di pekuburan). Ada
beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,
adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum
dikenal, karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau
karena gurunya lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadist
darinya dan lain sebagainya.
b) Dhaif
karena hal lain diluar ittisal al sanad.
1) Hadits Maudhu'
Adalah hadits kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak mempunyai
dasar sama sekali. Sedangkan menurut Subhi Sholih
adalah khabar yang di buat oleh pembohong kemudian dinisbatkan kepada
Nabi.karena disebabkan oleh faktor kepentingan.
Tanda-tanda sebuah hadits itu dapat dikatakan maudu' dapat dilihat
sanadnya yaitu:
Rawi hadits terkenal sebagi pembohong.
Perawi merupakan perawi tunggal.
Perawi mengaku sendiri bahwa hadits itu
adalah hadits maudu'.
Mengetahui sikap dan perilaku perawi.
Sedangkan tanda-tanda dari aspek matan antara lain:
Arti hadits itu kontra dengan hadits yang
lain yang lebih tinggi.
Bertentangn dengan al-Quran, sunnah
mutawatir atau ijmak.
Tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Contohnya adalah hadits tentang keutamaan bulan rajab yang
diriwayatkan Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a
قيل يارسول الله لم
سمي رجب قال لأنه يترجب فيه خير كثبر لشعبنا ورمضنا.
Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang
pembohong dan pembuat hadiits palsu.
2) Hadits Matruk
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang disangka suka berdusta.
Contoh hadits ini adalah hadits tentang qadha' al hajat yang
diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhohak
dari Ibn 'Abbas.
قال النبي عليكم
باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء ... الخ
Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap
haditsnya.
3) Hadits Munkar
Adalah hadits yang tidak diketahui matannya selain dari rawi itu dan perawi
itu tidak memenuhi syarat bias dikatakan seorang dlobid. Atau dengan
pengetian hadits yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi
tsiqoh. Munkar sendiri tidak hany sebatas pad sanad namun juga bis aterdapat
pada matan.
4) Hadits Majhul
a. Majhul 'aini : hanya
diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.
Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn
Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari
ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi
ان النبي كان اذا دعا
فرفع يديه مسح وجهه بيده. اخرجه ابي داود
Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadits dari Hafs ibn Hasyim ibn
'utbah ibn Abi Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.
b. Majhul hali : diketahui lebih adari
sati orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh hadits ini adalah
haditsnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.
ان عليا رضي الله عنه
رجم لوطيا. اخرجه البيهقى
Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.
5) Hadits Mubham
Yaitu hadits yang tidak menyebutkan nama dalam rangkaian sanadnya.
Contohnya adalah hadits Hujaj ibn Furadhah dari seseorang (rajul), dari Abi
Salamah dari Abi Hurairah.
قال رسو ل الله
المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود
6) Hadits Syadz
Selain hadits diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk
dha'if antara lain Hadits maqlub, matruh, mudhtharab, mudha'af , mudarraj,
mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya lihat 'Abdur
Rahman al Mun'im as Salim, Taisir al 'Ulum al Hadits dan juga Ujjaj
al-Khotib Ushul al-hadits
5. Cara mengukur keshohihan hadits..
Untuk mengetahui suatu hadits itu apakah shahih atau tidak, kita bisa
melihat dari beberapa syarat yang telah tercantum dalam sub yang menerangkan
hadits shahih. Apabila dalam syarat-syarat yang ada pada hadits shahih tidak
terpenuhi, maka secara otomatis tingkat hadits itu akan turun dengan
sendirinya. Semisal kita meneliti sebuah hadits, kemudian kita temukan salah
satu dari perawi hadits tersebut dalam kualitas intelektualnya tidak sempurna.
Dalam artian tingkat dlabidnya berada pada tingkat kedua (lihat
tingkatan dlabid pada bab hadits shahih), maka dengan sendirinya hadits itu
masuk dalam kategori hadits shahih lighoirihi. Dan apabila ada sebuah
hadits yang setelah kita teliti kita tidak menemukan satu kelemahanpun dan
tingkatan para perawi hadits juga menempati posisi yang pertama , maka hadits
itu dikatakan sebagai hadits shahih lidatihi.
Untuk hadits shahih lighoirihi kita bisa merujuk pada
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam pengertian dan kriteria-kriteria hadits hasan
lidatihi. Apabila hadits itu terdapat beberapa jalur maka hadist itu akan
naik derajatnya menjadi hadits shahih lighoirihi. Dengan kata lain kita dapat
menyimpulkan apabila ada hadits hasan akan tetapi hadits itu diriwayatkan oleh
beberapa rawi dan melalui beberapa jalur, maka dapat kita katakana hadits
tersebut adalah hadits shahih lighoirihi.
Adapun derajat hadist hasan sama dengan hadist shahih dalam segi
kehujjahannya, sekalipun dari sisi kekuatannya berada di bawah hadist shahih.
Oleh karena itu mayoritas Fuqaha, Muhaditsin dan Ushuliyyin
(ahli Ushul) berpendapat bahwa hadist hasan tetap dijadikan sebagai hujjah dan
boleh mengamalkannya.
Pendapat berbeda datang dari kelompok ulama Al-Mutasyaddidun (garis
keras) yang menyatakan bahwa hadist hasan tidak ada, serta tidak dapat dijadikan
hujjah. Sementara ulama Al-Mutasahilun (moderat) seperti al-Hakim, Ibnu
Hibban, Ibnu Khuzaimah dll justru mancantumkannya ke dalam jenis hadist yang
bisa dijadikan sebagai hujjah walupun tingkatannya dibawah hadits sahih. Sedangkan untuk hadits dhaif Ulama juga berbeda
pendapat, yaitu :
Mutlak tidak bisa diamalkan baik yang
terkait dengan hukum maupun Fadhail al A'mal, menurut Abu
Hatim, Bukhori Muslim, dan Abu Bakr ibn al 'Arabi.
Mutlak bisa di amalkan asalkan di tahrij
oleh Abu dawud dan Ahmad ibn Hanbal.
Bisa diamalkan ketika terkait dengan Fadhailul
a'mal, nasihat dan sebagainya. Selain hukum.inipun harus dengan
catatan apabila tidak sangat dha'if dan harus bersamaan dengan
riwayat pendukung.
6. Peran At-Tabi' dalam analisis kualitas Sanad
Sebelum kita mengetahui lebih jauh peran mutabi' terhadap kualitas sebuah
hadits. Sebaiknya kita terlebuh dahulu mengetahui apakah pengertian at tabi'.
Mutabi' merupakan isim fa'il taba'a yang berarti mengikuti. Sedangkan
pengertian terminologinya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh orang
yang berkapasitas sebagai al- mukhorij al- hadits. Di mana hadits itu sesuai
dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh perawinya. Sedangkan al-mukhorij itu
meriwayatkan dari guru perawi pertama atau dari guru gurunya perawi. Pengertian lain mutabi' adalah hadits yang rowinya itu
ada kesesuaian dengan rowi lain yang berkapasitas sebagi mukharriij al
hadits. Di mana rawi kedua meriwayatkan dari guru rawi pertama atau dari
guru gurunya rawi pertama. Kesesuaian tadi bisa dalam ma'na, redaksi ataupun
keduanya.
Posisi mutabi' sangat berpengaruh terhadap kualitas sebuah hadits. Karena
ketika ada sebuah hadits yang kurang dari segi sanad, sehingga tidak bisa
dapat dikategorikan sebagai hadits shohih maupun hadits hasan, maka
ketika ditemukan hadits yang sama dari jalur lain, posisi hadits yang pertama
bisa kuat dan naik menjadi hadits shohih lighoirihi atau hasan lighoirihi..
Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafii dari Malik dari Abdullah
bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi
ألشهر تسع وعثرون فلا
تصوم حتى تروا ألهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
يوما
Hadits ini dinilai ghorib karena diduga hanya diriwayatkan oleh Syafii dari
Malik. Akan tetapi ditemukan hadits lain yang sama dan diriwayatkan dari
Abdullah bin Maslamah al-Qo'nabi dengan jalur sanad yang sama.
C. Pembagian Hadits
ditinjau dari segi kuantitas Sanad
1. Pengertian, pembagian, dan contoh Hadits Mutawatir
Secara etimologi mutawatir berasal dari kata tawwara yang beraarti
beruntun. Secara terminologi pengertiannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang banyak yang secara logika tidak mungkin bersekongkol untuk berbohong. Mulai dari perawi yang pertama hingga terakhir
memiliki kesamaan sifat, artinya sama-sama tsiqoh. Konsep ini secara definitif
dikemukakan oleh al Baghdadi walupun jauh sebelumnya as syafi'i menyebutkan
dengan istilah khabar 'ammah.
Ulama hadist berbeda pendapat tentang berapa jumlah bilangan rawinya untuk
dapat dikatakan sebagai hadis mutawatir. Ada yang mengatakan harus empat rawi, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa jumlahnya
minimal lima orang, seperti tertera dalam ayat-ayat yang menerangkan mengenai mula’anah. Ada yang minimal sepuluh orang, sebab di bawah
sepuluh masih dianggap satuan atau mufrad, belum dinamakan jama’, ada yang
minimal dua belas orang, ada yang dua puluh orang, ada juga yang mengatakan minimal empat puluh orang, ada yang tujuh puluh orang, dan
yang terakhir berpendapat minimal tiga ratus tiga belas orang laki-laki dan dua
orang perempuan, seperti jumlah pasukan muslim pada waktu Perang Badar.
Kemudian menurut as-Syuyuti bahwa hadist yang layak disebut mutawatir yaitu
paling rendah diriwayatkan oleh sepuluh orang.
Penulis sendiri lebih sependapat dengan apa yang disampaiakan ibnu Hajjar
oleh Ibnu Hajar bahwa Tidak terlalu penting menentukan jumlah orang yang
meriwayatkan hadist mutawatir namun faktor yang terpenting adalah diriwayatkan
dari orang banyak yang menurut rasio dan kebiasaan mustahil berkomplot dusta,
tanpa perlu membatasi jumlahnya. Karena jumlah-jumlah tadi hanyalahh
terkait dengan peristiwa-peristiwa tertentu. Artinya kriteria yang
digunakan untuk menentukan sebuah hadist dikatergorikan mutawatir atau bukan
ialah adanya kepastian bahwa hadist tersebut tidak mungkin sedikitpun
dipalsukan oleh para rawinya pada semua tingkatan sanad. Misalnya, suatu hadist
diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak saling kenal satu sama lain dan
tempat tinggal mereka pun berjauhan, sehingga tidak ada mungkin untuk
bersekongkol membuat hadist palsu.
Pada prinsipnya hadist mutawatir ini bersifat qat’i al-wurud
(sesuatu yang pasti benar-benar bersumber dari Nabi). Dengan tidak diperlukan
lagi kajian tentang sanad atau rijal (rawi hadist), bahkan menurut Imam
Nawawi, sekalipun rawinya bukan muslim. Ulama sepakat bahwa hadist mutawatir
adalah hujjah bagi kaum muslim, maka dari itu wajib hukumnya untuk mengamalkan
kandungan-kandungan yang ada pada hadist mutawatir.
Ada atau tidak haditsMutawwatir juga masih dipertentangkan :
a) menurut Ibn Hibban dan al Hazimi tidaka
ada .
b) menurut Ibn Shalah ada namun sangat
jarang.
c) menurut Ibn Hajar dan as Syuyuthi
memengang ada.
Hadits mutawatir dibagi menjadi dua:
I. Mutawatir lafdzi.
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dengan satu bentuk
redaksi yang sama. Ada yang mengatakan cukup dalam artinya saja yang sama .
Contoh hadits:
من كذب علي متعمدا قليتبؤا مقعده من النار
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari duaratus perawi. Menuruit Ibnu
Hajar dalam syarah al-Bukhori hadits itu diriwayatakan lebih dari empat puluh
sahabat, termasuk diantaranya sepuluh sahabat yang dijamin langsung masuk surga.
II. Mutawatir ma'nawi.
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang sama dalam artinya
meskipun berbeda dalam bentuk redaksinya. Contoh hadits ini adalah hadits yang
menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini diriwayatkan
oleh kurang lebih dari seratus perawi.
Hadits ahad adalah hadits yang jumlah jalur rawi tidak mencapai
batasan minimal dari hadits mutawatir. Sebagian golongan seperti Rafidhah
dan Qadariah, mengatakan hadits ini tidak bisa diamalkan. Hadits ahad
sendiri dibagi menjadi tiga:
a. Mashur.
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan tidak sampai
pada batasan mutawatir. Contoh hadits:
المسلم من سلم
المسلمون من لسانه ويده
b. Hadits Aziz
Dinamakan Aziz karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah
hadits yang jumlah perwinya tidak kurang dari dua. Contoh:
لايؤمن أحدكم حتى
أكون أحب إليه من والده وولده
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua jalur sahabat
yakni Anas dan Abi Hurairoh.
c. Ghorib.
Adalah hadits yang diriwayatkan satu perowi saja di dalam semua
tingkatanya
Hadits Ghorib terbagi menjadi tiga:
I. Ghorib dalam redaksi dan jalur hadits. Contoh:
قال رسول الله
"إن هذا الدين متين فأوغل قيه برفق ولا تبخض إلانفسك عبادة الله فإن
المنبت لاأرضا قطع ولاظهرا أبقى
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Syaukah dari Jabir
dari Ibn al-Munkadir.
II. Ghorib dalam jalur sanad.
Hadits ini diriwayatkan oleh satu rowi dari seorang sahabat yang redaksinya
berbeda dengan redaksi rawi-rawi lain dari sahabat lain.
III. Ghorib dalam sebagian redaksinya. Contoh:
مارواه الترمذى عن
مالك بن أنس عن نافع عن إبن عمر " فرض رسول الله زكاة الفطر على كل حر أوعبد
ذكرا كان أو أنشى من المسلمين ألخ
Letak ghorib hadits ini adalah pada kalimat من المسلمين. Karena Imam Malik
menambahkan kalimat itu, yang mana berbeda dengan rowi-rowi yang lain. Cara mengukur kemutawatiran sebuah hadits dapat kita
lakuka dengan mencari hadits pada kitab-kitab hadits yang ada. Apabila hadits
yang kita maksud kita temukan dalam berbagai kitab, dan jalur hadits tersebut
lebih dari 10 serta memenuhi kriteri-kriteria dalam hadits mutawatir. Maka
hadits yang kita maksud dapat kita katakana sebagai hadits mutawatir.
3. Peran As-Syahid dalam analisis kuantitas Sanad
Pengertian Syahid adalah haduts yang riwayatnya diikuti perawi lain
dari jalur shahabat yang berbeda. dengan matan yang menyerupai dalam segi
lafadz dan ma'nanya ataupun hanya dari segi ma'nanya saja. Syahid ada dua yaitu
: syahid lafdzi dan syahid maknawi. Syahid lafdzi ialah syahid
yang menguatkan dalam segi lafadznya dan ma'nanya. Sedangkan syahid maknawi
hanya menguatkan dalam segi ma'nanya.
Syahid sangat diperlukan dalam proses penelitian hadist, untuk menguatkan
posisi suatu hadist dalam segi kuantitasnya. Sebuah hadist yang pada mulanya
gharib dapat naik tingkatnya menjadi 'aziz, masyhur atau bahkan mutawatir
bila ada syahid. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh As-Syafii dari
Malik dari Abdullah bin Umar dari Ibn Umar dari Nabi:
ألشهر تسع وعثرون فلا تصوم حتى تروا ألهلال
ولاتفطروا حتى تروه
فإن غم عليكم فأكملوا
العدة ثلاثين يوما
Pada mulanya Imam Syafi'i dianggap sendirian di dalam meriwaytkan hadits ini.
Oleh karena itu hadits ini dikatakan ghorib. Akan tetapi kemudian ditemukan
hadits yang diriwayatkan oleh an Nasa'i dari Ibnu Hunain dari Ibnu Abbas, maka
keghoriban hadits tersebut secara otomatis hilang.
4. Cara mengukur kemutawatiran Hadits
Sebagai dasar sebuah hadits bisa di kategorikan mutawatir ataupun tidak
adalah berdasarkan jumlah perawi pada tingkat shahabat yang meriwayatkan hadist
tersebut . Sebagaimana pendapat mayoritas ulama, parameter hadist mutawatir
yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah jumlah perawi di tingkat
shahabat sebanyak sepuluh orang. Dengan demikian, apabila suatu hadist
diriwayatkan kurang dari sepuluh shahabat, maka bukan termasuk kategori hadist
mutawatir.
E. Tahammul wa ada'
al-Hadits
1. Pengertian Tahammul wa ada’ul-Hadits
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil
atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam
masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para
kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum
baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga
berimplikasi –seperti diungkapkan oleh al Karmani-
pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai
umur baligh ataukah malah sebaliknya.
Ada' secara etimologis berarti sampai/melaksanakan.
Adapun secara terminologis Ada' al-Hadits berarti sebuah proses
mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
2. Syarat-syarat Tahammul al-Hadits
Mayoritas ulama' ahli hadits menganggap boleh atau sah anak di bawah umur
menerima riwayat hadits. Hal itu dikarenakan, bila kita amati lebih jauh tidak
jarang sahabat atau tabi’in yang menerima hadits yang diriwayatkan oleh Hasan,
Husein, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas dll, tanpa
membedakan mana hadits yang mereka terima ketika masih kecil dan yang
setelahnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh al hafidz Ibnu Katsir dalam bukunya Ikhtishar
Ulumul Hadits, bahkan beliau menambahkan bahwa tahamul hadits orang fasik
dan non-Muslim juga sah. Namun hadits yang diterima oleh orang kafir ini bisa
diterima bila ia meriwayatkannya (ada') setelah masuk Islam.
Dan yang terpenting dari semua pendapat yang dikemukakan oleh para kritikus
adalah factor utama bukanlah batasan umur, melainkan sifat tamyiz pada diri
orang tersebut sekalipun belum baliqh.
3. Syarat-syarat
Ada' al-Hadits
Mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikh sepakat menyatakan bahwa seorang
guru yang menyampaiakan sebuah hadits harus Mempunyai ingatan dan hafalan
yang kuat (Dlabit), serta memilik integritas keagamaan (‘Adalah)
yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqahi) . Sifat adil dalam hubungannya dengan periwayatan hadits
maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang harus memenuhi
empat syarat yaitu Islam,
balig, berakal, dan takwa. Sedangkan kepribadian baik
yang mesti dimiliki oleh perawi hadits –seperti diungkapkan al Zanjani- lebih banyak dikaitkan dengan etika masyarakat atau
pranata sosial. Namun bukan berarti bahwa ia harus orang yang sempurna, karena
tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang baik tentu memiliki
banyak kekurangan. Melainkan yang menjadi tolok ukur disini adalah keistimewaan
yang ada melebihi kekuranganya, dan kekurangannya dapat tertutupi oleh kelebihannya.
4. Sighad Tahammul wa Ada' al-Hadits dan implikasinya terhadap
persambungan Sanad
Metode penerimaan sebuah hadits dan juga penyampaianya kembali ada delapan
macam yaitu :
a. Sima' (mendengar).
Yaitu mendengar langsung dari sang guru. Sima' mencakup imlak
(pendektean), dan tahdits (narasi atau memberi informasi). Menurut mayoritas ahli hadits sima' merupakan shigat
riwayat yang paling tinggi. Ketika seorang rawi ingin meriwayatkan hadits yang
didengar langsung dari gurunya, maka ia boleh menggunakan salah satu lafadz
berikut سمعت , حدثنى, أخبرنى, أنبأنى, dan قال
لى فلان.
Jika pada saat mendengar dia tidak sendirian maka dlamir mutakallim
diganti dengan dlamir jama' نا.
Muhaddits periode awal terbiasa menggunakan lafat سمعت, sementara pada masa berikutnya lebih akrab
menggunakan lafat حدثنا. Namun demikian pada dasarnya kedua lafat tersebut
tidak memiliki perbedaan yang berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama
digunakan untuk mengajarkan hadits yang didengar langsung.
Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafadz diatas menunjukkan sanad
bersambung.
b. al Qira’ah (membacakan hadits pada
syeikh).
Qira’ah sendiri yang juga disebut al ard
memiliki dua bentuk. Pertama, seorang rawi membacakan hadits pada
syeikh,. Baik hadits yang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab yang
ada di depannya. Kedua, ada orang lain membacakan hadits, sementara rawi
dan syeikh berada pada posisi mendengarkan. Dalam situasi seperti itu ada
beberapa kemungkinan, bisa jadi syeikh memang hafal hadits yang dibacakan
kepadanya, atau ia menerimanya dengan bersandar pada catatannya atau sebuah
kitab yang kredibel. Akan tetapi jika syeikh tidak
hafal hadits yang dibacakan kepadanya, maka sebagian ulama antaranya al Juwaini
menganggapnya sebagai bentuk sima' yang tidak benar.
Terkait dengan qira’ah ini sebagian ahli hadits melihatnya sebagian
bagian yang terpisah, sementara yang lain menganggapnya sama dengan mendengar.
Ulama yang berpendapat bahwa qira’ah sama kuatnya dengan sima'
dalam menerima hadits adalah al Zuhri, al Bukhari, mayoritas ulama Kufah,
Hijaz, dll. Riwayat dengan cara ini masuk dalam sanad yang muttasil.
c. Ijazah.
Salah satu bentuk menerima hadits dan meriwyatkanya adalah dengan cara
seorang guru memberi izin kepada muridnya atau orang lain untuk meriwayatkan
hadits yang ada dalam catatan pribadinya (kitab), sekalipun murid tidak pernah
membacakan atau mendengar langsung dari sang guru. Ibnu Hazm menentang riwayat dengan
ijazah dan menganggapnya sebagai bid’ah. Sekalipun
bentuk ini banyak dikritik oleh kalangan muhadditsin, namun tidak sedikit ulama
yang membolehkannya. Dengan melihat pada argumen dari kedua belah pihak,
penulis lebih cenderung pada pendapat yang membolehkan. Hal itu dikarenakan,
sekalipun konsep ijazah bersifat umum, namun pada tataran praktisnya ia hanya
boleh dilakukan oleh orang tertentu yang benar-benar berkompeten dan
memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits nabawi.
Dengan demikian kehawatiran golongan pertama akan terjadinya pemalsuan dan
tadlis tidak dapat dibenarkan.
Ijazah hadits sendiri sebenarnya memiliki beberapa
variabel. Menurut Qadli Iyadl terdapat dealapan macam, dan menurut Ibnu Shalah
ada tujuh macam. Namun penulis tidak akan menjelaskan
kesemua variabel secara panjang lebar, melainkan penulis mencukupkan diri
dengan konsep dasar Ijazah sebagaimana yang telah penulis terangkan diatas.
d. Munawalah
Yaitu tindakan seorang guru memberikan sebuah kitab atau hadits tertulis
agar disampaikan dengan mengambil sanad darinya. Menurut Shiddiq Basyir Nashr
dalam bukunya Dlawabith al Riwayah munawalah terdapat dua bagian, yaitu
disertai dengan riwayah dan tidak disertai dengan riwayah. Kemudian bentuk yang
pertama dibagi menjadi beberapa macam, :
1) Guru mengatakan “ini adalah hadits yang
aku dengar, aku berikan dan ku ijazahkan ia kepada mu”.
2) Mirip dengan munawalah ma’al ijazah,
seorang guru mengatakan kepada muridnya “ambillah kitab ini, kutip dan
telitilah, kemudian kembalikan lagi kepada ku”.
3) Seorang murid membawakan hadits yang
kemudian diteliti oleh sang guru dan berkata “ini adalah hadits ku,
riwayatkanlah ia dari ku”.
Kedua tidak disertai dengan ijazah, seperti kasus seorang guru yang
memberikan hadits kepada muridnya dan berkata “ini adalah hadits yang aku
dengar”, tanpa disertai dengan izin untuk meriwayatkan.
e. Mukatabah (menulis)
Yang dimaksud dengan menulis di sini adalah aktivitas seorag guru
menuliskan hadits, baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain, kemudian
diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang
yang berada ditempat lain. Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga
terdapat dua macam, yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan
ijazah. Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan
meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan
ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak
hadits diriwayatkan dengan lafat كتب إلي فلان .
f. Al-I’lam (memberitahukan).
I’lam adalah tindakan seorang guru yang
memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat
darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk
menyampaikannya. Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada
gurunya “ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?”
lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.
Mayoritas ulama hadits dan usul fiqih
memperbolehkan bentuk ini sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul
tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits,
dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat
ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.
Namun ketika golongan kedua berasalan dengan tidak adanya izin sehingga
hadits yang diriwayatkan dengan cara ini dianggap tidak sah, tentunya alasan
ini juga harus mereka jadikan syarat dalam meriwayatkan hadits baik yang
didengar langsung atau yang lainnya, yang nantinya berimplikasi pada banyak
hadits yang diriwayatkan secara tidak sah. Karena kami yakin banyak sekali
syeikh yang membacakan hadits pada muridnya tanpa disertai dengan penegasan
(izin) agar hadits tersebut disampaikan ulang. Dalam hal ini al Ramahrumuzi berpendapat “sekalipun syeikh melarang mereportasekan
hadits darinya, namun larangan itu tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap
menyampaikan hadits tersebut.
g. Wasiat
Wasiat adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa
sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang
diriwayatkannya. Sejumlah ulama memperbolehkan
merriwayatkankan hadits yang diperoleh dengan cara wasiat.
Wasiat hadits menurut mereka sama dengan pemberitahuan dan pemberian, yang
seolah-olah syeikh memberikan izin kepada muridnya dan memberitahukan bahwa
hadits tersebut adalah hadits yang ia riwayatkan.
Namun demikian mereka mengakui bahwa riwayat dengan cara ini termasuk lemah, bahkan lebih lemah dari munawalah dan I’lam,
sekalipun memiliki kesamaan. Mereka juga memberikan batasan, ketika orang yang
menerima hadits dengan cara ini ingin meriwayatkan kembali maka harus sesuai
dengan redaksi aslinya, dan harus menjelaskan bahwa hadits tersebut diterima
dengan wasiat, serta tidak boleh menggunakan lafat حدثنا, karena dalam
kenyataannya dia memang tidak mendengar langsung. Sedangkan alasan ulama lain
yang tidak memperbolehkannya adalah, menerima hadits dengan cara ini tidak
disertai dengan mendengar langsung atau qira’ah.
h. Wijadah
Wijadah adalah rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak
seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun
ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya. Wijadah
juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan
tidak. Ulam yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika sipenemu ingin
meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب فلان بخطه. Kebolehan meriwayatkan
hadits dengan cara ini apabila kodeks yang menjadi sumber data telah dinyatakan
valid dan penulisnya kredibel. Dan bentuk penyajiannya dengan metode hikayah
(menceritakan) seperti diatas.
Sekalipun penulis tidak menutup mata dari komentar orang-orang yang menolak
metode Wijadah, namun jika orang yang mewartakannya sudah memenuhi
ketentuan yang berlaku, penulis lebih setuju pada pendapat yang mengesahkannya
Karena bagaimanapun juga metode ini pernah dilakukan pada masa-masa awal,
walaupun masih dalam jumlah terbatas. Keterbatasan ini menurut penulis tidak
lebih dari langkah untuk meminimalisir terjadinya distorsi dalam mewartakan
nilai-nilai agama. Yang terpenting, rawi harus maupun data yang menjadi sumber
primer harus kredibel.
5. Pengertian Hadits Mu'an'an dan Muanan dan implikasinya terhadap
persambungan Sanad
Hadits mu’an’an adalah hadits yang dalam proses pewartaannya hanya
menyebutkan lafat عن فلان عن فلان
tanpa memberi penjelasan apakah hadits tersebut diperoleh dengan mendengar
langsung atau yang lain. Kalimat عن bukan sengaja diletakkan oleh rawi yang namanya disebut sebelumnya,
melainkan ia datang dari orang yang ada di bawahnya.
Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Himam حدثنا قتادة عن أنس, maka kalimat ‘an di situ merupakan perkataan
Himam, bukan Qatadah. Karena ‘An berkesinambungan dengan حدثنا. Disamping itu kebiasan seorang guru dalam
meriwayatkan hadits dengan mengatakan حدثنا, أخبرنا dll. tidak dengan kalimat عن. Dengan demikian, dalam kasus Himam di atas masih
belum dapat dipastikan kalimat apa yang digunakan oleh Qotadah ketika
meriwayatkan hadits dari Anas. Sehingga juga berakibat pada belum adanya
kejelasan, apakah sanad Qotadah dari Anas bersambung atau tidak.
Sementara terkait dengan Mu’asharah (seperiode) apakah ia bisa
dijadikan sebagai salah satu metode untuk menetapkan bersambungnya sanad, masih
menjadi perdebatan yang sangat hangat di kalangan kritikus hadits. Imam Muslim
dalam mukadimah kitab shahihnya mengatakan Mu’asharah saja sudah bisa
dijadikan sebagai salah satu cara untuk memastikan kemuttasilan sanad, dengan
catatan sanad tersebut tidak mengadung unsur tadlis, sekalipun tidak ada
informasi lebih lanjut yang menjelaskan bahwa keduanya pernah bertemu. Imam
Muslim tidak men-syaratkan adanya liqo’ dan simak, yang
terpenting dalam pandangan beliau adalah ketsiqahan perawi yang menjadi perekam
fakta kesejarahan hadits. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh mayoritas kritikus hadits di antaranya al Hakim. Sementara Ali
al Madini dan muridnya al Bukhari mengharuskan adanya pertemuan dan berkumpul
antara perawi, walaupun hal itu hanya terjadi sekali.
Abu Bakar al Shairafi menjelaskan lebih lanjut bahwa seorang rawi yang
telah dikenal sebagai orang yang mendengar hadits dari seorang syeikh, bila
kemudian ia meriwayatkan hadits dari syeikh tersebut maka hadits yang
diriwayatkan dianggap muttasil. Demikian juga orang yang diketahui bertemu
dengan syeikh kemudian meriwayatkan darinya. Anggapan ini terus berlaku sampai
ada kejelasan bahwa hadits yang diriwayatkannya mengandung unsur tadlis.
Bagaimanapun juga dalam uji ketersambungan sanad, hadits ini tidak
terlepas dari kritikan para muhaddits lain. Syu’bah misalnya menyatakan hadits
yang dirwayatkan dengan ‘an tidak pantas disebut sebagai hadits, melainkan ia
adalah –seperti juga diungkapkan an Nawawi- ucapan yang disepakati oleh ulama
klasik untuk menolaknya. Di antara orang yang menolak kemuttasilan sistem
transmisi (sanad) hadits ini adalah al Baihaqi. Beliau mengutip hadits yang
diriwayatkan oleh Qais sebagai sampel, yang kemudian dijadikan sebagai alasan untuk
memastikan ketidak bersambungan serial mata rantainya.
Yang demikian ini dikarenakan hadits tersebut mengandung kemungkinan besar
bahwa orang yang menjadi tangga perantara tidak mendengar langsung dari
gurunya, melainkan ia mendapatkannya dari orang lain yang sengaja tidak
disebutkan dalam serial mata rantainya.
Penulis melihat pertentangan seputar hadits mu’an’an yang terjadi di
kalangan para pendahulu kita hanyalah sebatas wanaca pemikiran. Pendapat ulama
yang kontra mu’an’an misalnya –menurut persepsi penulis- sebenarnya merupakan
langkah protektif untuk membendung eskalasi pemalsuan hadits, sehingga mereka
memilih sikap menolak segala bentuk hadits yang diriwayatkan dengan ‘an, karena
pada tataran prosesnya ia dianggap tidak jelas.
Namun tidak demikian halnya dengan golongan yang setuju. Sekalipun dalam
hadits ini terdapat beberapa kemungkinan tidak bersambungnya sanad, semisal
tidak mendengar langsung, namun dengan adanya beberapa syarat yang dikemukakan
oleh golongan kedua, maka kemungkinan-kemungkinan negative itu akan segera
hilang dengan sendirinya. Dan dari sini dapat dimengerti bahwa tidak semua
hadits mu’an’an dapat diterima oleh golongan ini, melainkan yang bersumber dari
orang-orang tertentu.
Sama halnya dengan mu’an’an adalah hadits muannan. Yaitu hadits yang dalam pola penyampainnya banyak
menggunakan أنّ. Al Barmawi menyatakan sebenarnya pertentangan
seputar perkataan rawi أنّ فلان قال/ عن
فلان أنه قال tidak perlu diperpajang, karena keduanya sama
saja dengan rawi mengatakan قال فلان. Melainkan yang perlu kita cermati disini apabila
perawi yang menjadi sumber
primer hadits mengatakan إن فلان قال/ فعل كذا atau lafat lain yang tidak
menunjukkan adanya simak.
Oleh karenanya, al Hafidz Ibnu Rajab memberikan jalan tengah. Menurut
beliau perkataan rawi berupa إن فلان قال/ فعل كذا dalam kemuttasilan sanad
terdapat dua macam. Pertama, jika rawi memang mendengar atau menyaksikan
langsung ucapan atau perbuatan yang diceritakan, maka ia sama dengan قال فلان/ فعل فلان كذا, yang berarti serial
mata rantainya bersambung. Kedua, kemungkinan kedua ini rawi tidak
mendengar atau melihat sendiri, semisal masanya berbeda.
Jika memang demikian, maka contoh yang disebut terahir ini bisa dipastikan
tidak muttasil.
F. Ilmu Al-Jarh
wa Al-Ta'dil
1. Pengertian Ilmu Al-jarh wa Al-Ta'dil
Menurut etimologi al-jarh berasal dari akar kata jaraha-yajrihu
yang berarti luka atau menolak (mis: kesaksian seseorang), sedangkan secara
terminologi al-jarh berarti terlihatnya karakter perawi yang
berimplikasi adanya anggapan hilangnya sifat adil dan lemahnya hafalan rawi,
yang berakibat cacatnya hadits yang ia riwayatkan.
Al-‘adl (adil) dalam etimologi bermakna suatu
karakter yang konsisten, tidak sewenang-wenang, atau lalim yang berada dalam
diri seseorang, sedangkan al-‘adl secara terminology adalah suatu
karakter yang tidak nampak akan merusak citra agama ataupun harga diri
seseorang. Lalu makna dari istilah al-ta’dil sendiri adalah pengakuan
terhadap seorang rawi dengan sifat-sifat yang mengharumkan namanya, sehingga
nampak sifat adilnya dan hadits yang ia riwayatkan dapat diterima. Jadi Ilmu
Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas keadaan rawi dari sisi diterima
atau ditolak periwayatannya.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi perawi, yaitu: adil dalam arti; muslim, berakal, baligh, bebas dari
faktor-faktor yang menyebabkan kefasikan serta hancurnya harga diri –yang
terkait dengan dimensi moral-, dlobith; kuat hafalan (bukan pelupa),
hafal terhadap hadits yang ia riwayatkan, dan memahami makna yang terkandung
–yang terkait dengan dimensi intelektual.
2. Kaidah Penerapan Al-jarh wa Al-Ta'dil
Ketika sebagian besar hukum-hukum syariat hanya bisa diketahui dengan jalan
meriwayatkan hadits, maka para ulama mulai meneliti keadaan (semua sifat) para
perawi hadits. Ada beberapa kaidah penting yang digunakan mereka sebagai metode
penelitian dari perawi hadits, yaitu:
a. Al-amanah wa
al-nazahah; dalam artian mereka tidak hanya menyebutkan kekurangan tetapi
juga kelebihan perawi, seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin: “saya
telah berbuat dzalim terhadap saudaramu jika hanya menyebutkan
keburukannya dengan tanpa menyebutkan kebaikannya”.
b. Al-diqoh fi
al-bahsi wa al-hukmi; dalam artian mereka sangat mendalam dalam meneliti
keadaan perawi yang diperbincangkan. Mayoritas para ulama bisa mendiskripsikan
keadaan para rawi, adakalanya karena mereka pernah bergaul langsung dengan para
rawi atau murni karena persangkaan mereka, dan mereka membedakan antara
lemahnya rawi yang berangkat dari kelemahannya dalam beragama dan dari lemahnya
hafalan.
c. Iltizam
‘ala al-adab fi al-jarh; dalam artian para ulama jarh wa ta’dil
–dalam ijtihad mereka untuk memberikan kritikan- tidak akan keluar dari etika
penelitian yang bersifat ilmiah yang sahih. Kritikan yang paling tajam kepada
rawi hanya memakai ungkapan “fulan adalah orang yang lemah atau pembohong”.
Bahkan sebagian dari mereka tidak memakai kata “pembohong” tapi dengan
ucapan “ia adalah orang yang tidak jujur”.
d. Al-ijmal fi
al-Ta'dil wa Tafsil fi al-tarjih; dalam artian, mereka -ulama jarh
wa ta’dil- selalu menjelaskan sifat adil seorang rawi secara global (tidak
menjelaskan sebab-sebab keadilannya), seperti: ia bisa dipercaya, ia adil,
dan lain sebagainya. Sedangkan dalam menjelaskan sebab-sebab dari sifat jarh
rawi selalu terperinci, seperti: pelupa, pembohong, fasik, dan lain
sebagainya.
Seseorang yang menjadi kritikus rawi haruslah mempunyai sifat-sifat alim,
bertakwa, wara’, jujur, tidak memiliki aib, dan kritikan yang ditujukan pada
rawi tidak berdasarkan pada fanatisme. Walaupun
demikian, para ulama kritikus rawi kadang kala berbeda pendapat di dalam
menilai seorang rawi. Sebagian mereka ada yang menganggap adil dan
sebagian yang lain mengatakan tidak, Dalam hal ini ada tiga pendapat :
I. Mendahulukan jarh dari ta'dil.
Walaupun yang mengatakan adil itu lebih banyak daripada yang menganggap jarh,
karena jarih melihat apa yang tidak dilihat oleh mu’addil, dan
ini adalah pendapat mayoritas ulama.
II. Mendahulukan ta'dil dari jarh
ketika mu’addil lebih banyak, karena melihat pada sisi kuantitas.
Pernyataan tersebut tertolak dikarenakan para mu’addil –sekalipun banyak
tidak akan mengungkapkan apa yang dinyatakan oleh para jarih.
III. Tidak diunggulkan salah satunya (mauquf),
kecuali ada indikasi yang bisa membuat salah satunya menjadi unggul.
3. Sighat Al-Ta'dil dan implikasinya terhadap eksistensi Hadits
a. Lafadz yang menunjukkan arti sangat tsiqahnya
perawi (المبالغة
في التوثيق) atau dengan menggunakan wazan أفعل , dan ini merupakan tingkatan lafadz yang paling
tinggi, sebagai contoh:
saya tidak pernah tahu ia memperhatikan
hal-hal yang bersifat keduniawiaan لاأعرف له نظيرا في
الدنيا))
ia adalah orang yang paling terpercaya (هو أوثق الخلق)
b. Lafadz yang ditegaskan dengan satu sifat
atau lebih yang menunjukkan ketsiqahan perawi, semisal: ثقة ثقة, ثقة حافظ, ثقة مأمون.
c. Lafadz yang menunjukkan ketsiqahan
perawi dengan tanpa adanya penegasan, semisal: ثقة, حجة, ثبت.
d. Lafadz yang menunjukkan ta’dil
dengan tanpa adanya verifikasi (dlobth), semisal: صدوق (si fulan adalah orang yang dipercaya), لا بأس به (menurut selain daripada Ibnu ‘Ayyan) jika lafadz
tersebut diucapkan oleh Ibnu ‘Ayyan pada seorang rawi maka ia termasuk rawi
yang tsiqah.
e. Lafadz yang tidak menunjukkan
pernyataan tautsiq ataupun tajrih, semisal: si fulan adalah
seorang syaikh (فلان
شيخ).
f. Lafadz yang lebih mengarah
pada tajrih (lebih mudah untuk dibantah), semisal: si fulan adalah orang
yang kapabel dalam urusan hadits (فلان صالح الحديث), haditsnya tertulis (يكتب حديثه).
I. Tiga tingkatan yang pertama adalah
lafadz-lafadz yang bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi,
sekalipun sebagian lafadz lebih kuat daripada yang lain.
II. Adapun tingkatan yang ke-4 dan yang ke-5
tidak bisa dijadikan argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun
haditsnya tetap ditulis dan diuji, sekalipun perawi
pada tingkatan yang ke-5 berada dibawah tingkatan ke-4.
III. Sedangkan tingkatan yang ke-6 juga tidak
bisa menjadi argumen bagi ketsiqahan seorang rawi, namun haditsnya tetap
ditulis sebagai bentuk prestise semata, dengan tanpa tes uji kesahihan. Hal ini
dikarenakan tidak terpenuhinya standarisasi (kedlobitan) sebagai seorang
rawi.
4. Sighat Al-Jarh dan implikasinya terhadap eksisitensi Hadits
a.
Lafadz yang menunjukkan kelemahan (تليين), ini adalah tingkatan jarh yang teringan, semisal:
فلان
لين الحديث(si
fulan adalah orang yang lemah dalam bidang hadits), فى حديثه ضعف (dalam haditsnya terdapat kelemahan).
b.
Lafadz yang diuraikan dengan tanpa dalih atau yang menyerupainya, semisal: rawi
adalah orang yang lemah (فلان
واه), para ahli hadits menganggapnya sebagai seorang yang lemah (ضعفوه).
c.
Lafadz yang diuraikan dengan tanpa adanya teks hadits yang telah ia riwayatkan
atau yang semisalnya, contohnya:
d.
si fulan tidak menuliskan haditsnya
(فلان
لا يكتب حديثه), hadits yang ia riwayatkan tidaklah benar.
e. Lafadz yang menunjukkan kecurigaan
terhadap adanya kemungkinan kebohongan atau semisalnya pada diri si perawi,
contohnya: si fulan adalah seorang yang dicurigai telah melakukan kebohongan (فلان متهم بالكذب), ia telah mencuri hadits
(يسرق الحديث).
f. lafadz yang menunjukkan perawi
memiliki sifat pembohong atau semisalnya, contohnya: si fulan adalah orang yang
banyak melakukan kebohongan.
g. Lafadz yang membesar-besarkan
kebohongan dari perawi atau semisalnya, ini adalah tingkatan jarh yang
terburuk), contohnya: si fulan adalah manusia yang paling banyak berdusta (فلان أكذب الناس).
I. Pada perawi tingkatan yang pertama dan yang
ke-2, hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, namun sebagai bentuk
prestise, hadits yang diriwayatkan akan tetap dicatat, sekalipun perawi pada
tingkatan yang ke-2 lebih rendah daripada yang pertama.
II. Sedangkan untuk 4 tingkatan terakhir (ke-3,
4, 5, dan 6), hadits mereka tidak bisa dianggap tsiqah, tidak layak
untuk dicatat, ataupun dianggap, sebab ia ataupun selainnya tidak layak untuk
menguatkan hadits yang diriwayatkan.
F. Kajian
Syudzudz dalam analisis matan Hadits
1. Pengertian syudzudz dan contohnya
Definisi syududz adalah suatu kejanggalan yang dapat menciderai derajat
kualitas suatu hadist. Batasan suatu hadist dikatakan mengandung syadz masih
menjadi perbedaan diantara ulama. Namun inti dari syadz adalah “penyendirian
dan perlawanan”. Misalnya hadits yang diriwayatkan seorang tsiqah bertentangan
dengan riwayat orang yang lebih tsiqah darinya, sehingga hadist tersebut
dianggap mengandung kejanggalan. Dalam prakteknya, kajian syududz berpengaruh
pada aspek penelitian sanad, karena penentuan syududz adalah berdasarkan
perbandingan kualitas antara dua orang perawi.
2. Cara menentukan Syudzudz al-Hadits
Parameter yang dipergunakan dalam analisis syududz adalah dengan
menggunakan dalil naql (al-Quran dan al-Hadist). Sedangkan salah satu
metode menentukan ada atau tidaknya syududz dalam suatu hadist dapat dengan
cara mendatangkan hadist yang satu tema atau hadist yang sama namun dari jalur
lain untuk diperbandingkan.
G. Kajian illat dalam
analisis matan Hadits
1. Pengetian illat dan contohnya
Illat adalah sifat-sifat buruk yang menciderai
keshahihan suatu hadist. Cacat yang tersembunyi tersebut dapat terjadi pada
sanad, matan ataupun juga pada keduanya. Dari ketiga faktor tersebut, aspek
sanad yang paling banyak menjadi penyebab adanya cacat hadist ini. Ibnu Hajar
menyebut jenis hadist ini sebagai jenis hadist yang paling rumit dan hanya
orang yang mendapatkan karunia pengetahuan yang luas dan mendalam dari Allah
yang bisa memahaminya. Hal tersebut karena untuk menemukan illat (cacat)
yang terkandung dalam hadist ini membutuhkan pengetahuan yang luas dan ingatan
yang kuat tentang sanad, matan, urutan dan derajat perawi hadist. Contoh:
ما رواه يلى بن عبيد عن سفيان الثورى عن عمر بن
دينار عن ابن عمر,قال رسول الله
ص م: البيعان بالخيار مالم يتفرقا
Matan hadist di atas shohih, tetapi sanadnya memiliki illat. Seharusnya
bukan dari Amr ibn Dinar, melainkan dari Abdullah bin Dinar.
2. Cara
mengetahui Illat dalam matan Hadits
Illat dapat diketahui dengan cara mengumpulakn jalur-jalur hadist dan
meneliti perbedaaan perawinya, kekuatan ingatan dan kepintaran mereka
(dhabit). Parameter yang dipergunakan dalam analisis syududz adalah dengan
menggunakan dalil aql (rasio).
Abu al Faid Muhammad bin Muhammad Ali al Farisi, Jawahir
al Usul al Hadits fi IlmiHadits al Rosul Bairut; Libanon. 1992. hal. 24
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, 1999. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. Hal 1
Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal
al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 51.
Penyusun Ensiklipedi
Islam,1999, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve),
cet.4,Jld.1, hal 149
Penyusun Ensiklipedi
Islam,1999, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve),
cet.6,Jld.2, hal 43
Dalam pembahasan ini, penulis sengaja tidak menguraikan
satu-persatu arti etimologis dari kata Hadits dan Qudsi, akan tetapi hanya
menjelaskan arti etimologis dari kata Qudsi, karena dalam pembahasan
sebelumnya, penulis telah menyinggung arti etimologis dari kata hadits.
Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal
al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 53.
Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal
al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 55.
Keterangan tersebut terdapat di footnote (catatan kaki) Dr.
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, hlm
29.
Keterangan tersebut terdapat di footnote (catatan kaki) Dr.
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,
hlm 30.
Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal
al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 54.
Muhammad Jamaluddin al-Qosimi, Qawaid al Tahdits min Fununi
Musthalah al Hadits, Beirut Lebanon :Daar al Kutub al 'Alamiah, tt,
hlm, 202.
Ali Daud, Ulum al-Quran....., hlm 166. Bandingkan dengan
‘Ujaj al-Khatib, Ushul al-hadits..., hlm 32.
Tsiqah adalah seseorang yang mempunyai sifat 'adil dan dlobid
artinya tidak diragukan kualitas moral maupun intelektualnya.
al-Qosimi, Qawaid al Tahdits...,hlm, 79, Umar
Hasim, Qowaid al-Ushul.. , hlm, 39. Ujjaj al-Khotib Ushul al-hadits..,
hlm, 305.
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-hadits Ulumuhu wa
Musthalahuhu, hlm 331 dan Dr. Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushul al-hadits,
hlm 70.
Beliau lahir di desa Buj, salah satu desa di wilayah Tirmidz, pada
tahun 209 H dan wafat pada hari Ahad malam, 13 Rajab 279 H di Tirmidz. Beliau
adalah pengarang kitab Jami’ al-Tirmidzi atau Sunan al-Tirmidzi yang sangat
monumental.
Al-Sayyid Muhammad Ibn 'Alawi al-Maliki al-Hasani, al-Manhal
al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, hlm 66.
lihat syarah Shahih Muslim juz 1 hal 19, lihat juga Ujjaj
al-Khotib Ushul al-hadits..337 dan qowaid al-hadits hal 86).
Umar Hasyim, , Qowaid al-Ushul.. hlm. 108. Definisi tentang
tadlis isnad sebenarnya sangat beragam, seperti Ali Rowad dalam bukunya Ulum
al-Quran Wa al-Hadist menambahkan dengan kata-kata “ atau dari orang yang
semasa dengan perawi dan ia tidak pernah bertemu dengannya namun memberi
gambaran seolah-olah ia mendengar langsung darinya.
Sedangkan Ibnu
Sholah dan an-Nawawi menamakan tadlis sanad dengan mursal khofi lihat Alwi
al-Maliki, al-Munhil Fi...., hlm, 108).
Dalam masalah ini
penulis cenderung lebih sepakat pada pendapat Umar-yang juga didukung oleh Ibnu
Hajar- yang memisahkan antara kedua definisi tersebut, yaitu bila hadist
diriwayatkan dari orang yang semasa dan perawi pernah bertemu namun tidak
mendengar hadist tersebut secara langsung maka disebut mudallas.
Sedangkan apabila hadist diriwayatkan dari orang yang semasa namun perawi tidak
pernah bertemu dan ia menggambarkan seolah-olah pernah bertemu dan mendengar
hadist langsung hadist tersebut maka dinamakan dengan mursal khofi.
Dengan demikian ada garis perbedaan diantara keduanya, yaitu pada permasalahan
apakah perawi yang meriwayatkan dari orang yang semasa pernah bertemu atau
tidak.
al-Qosimi, Qawaid al Tahdits...,hlm,146, lihat 'Ujjaj
al-khotib, Ushul al-hadits.. hlm:301, dan Subhi Sholih , Membahas
ilmu-ilmu hadist, hlm,146 dan juga Umar Hasyim, Qowaid al-Ushul...,
hlm, 132
Hal ini berdasarkan firman Allah:”Mengapa mereka(menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?”.S.An-Nur:13
Seperti S.An-Nur 6-9:”Dan orang-orang yang menuduh
isterinya(berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang
kelima bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang –orang yang berdusta.
Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,
dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar”.
Berdasarkan S.Al-Anfal 65 :”Jika ada dua puluh orang yang sabar di
antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”.
Berdasarkan S.Al-Anfal 64 :”Hai Nabi, cukuplah Allah dan
orang-orang mukmin yang mengikutimu(menjadi penolongmu)”. Pada waktu ayat
terakhir turun, jumlah mereka mencapai empat puluh orang laki-laki
disebabkan Umar telah masuk Islam.
Berdasarkan S.aL-A’raf 155 :”Dan Musa memilih tujuh puluh orang
dari kaumnya untuk(memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan”.
Badruddin Abu Muhammad al Aini, Umdah al Qarii Syarhu Shahih
Bukhari, vol 2, , Beirut : Dar al Kutub al Ilmiah, 2001, hlm, 101.
Ibid, catatan kaki, 91. lihat juga Syamsudin Moch Abdurrahman al
Sakhawi, Fathul Mugits Syarhu Alfiyatul Hadits, vol 1, Beirut : Dar al
Kutub al Ilmiah, 2001, hlm, 317. Syeikh Abu Muhammad al Asadi dalam statemennya
menyatakan bahwa pemerhati hadits modern banyak mengikuti pendapat ini. mereka
akan menerima hadits yang disampaikan oleh orang yang sudah tamyiz sekalipun
belum berumur lima tahun, di samping itu mereka akan menolak hadits yang
direportasekan oleh orang yang belum memiliki sifat tamyiz sekalipun sudah
berumur 50 tahun. baca Aisyah Muqadimah Ibnu Shalah...., hlm 315.
Aisyah, Muqadimah Ibnu Shalah...., hlm, 288.
bandingkan dengan Muhammad Zainuddin al Iraqi, al Taqyid Wa al Idlah,
Muassasah al Kutub al Tsaqafiyah t.t, hlm, 114.
Menurut al Sakhawi ada lima syarat, dengan membagi takwa menjadi
dua, yaitu menjauhi perbuatan fasik berupa melakukan dosa besar atau
terus-menerus melakukan dosa kecil, dan menjaga harga diri. Lihat Abdurrahman
al Sakhawi, Fathul Mugits.... hlm 315.
Ia merupakan syarat terpenting dalam periwayatan hadits, sekaligus
sebagai langkah protektif yang sangat menentukan apakah hadits itu diterima
atau tidak. Hal itu didasarkan pada salah satu ayat al Quran yang selalu
mewanti-wanti agar kita benar-benar meneliti informasi yang diberikan oleh
orang fasik. Logikanya, jika kita harus berhati-hati terhadap berita yang
disampaikan orang fasik, apalagi dari orang kafir yang telah dijelaskan al
Quran bahwa “mereka tidak akan pernah erdiam diri, sehingga kita mengikuti
agama mereka”.
Abul Qasim saad bin al Husein.beliau adalah orang yang warak dan
mempunyai pengetahuan luas dalam masalah hadits. W. 471 H dalam usia 90 tahun.
Dr. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq Wa al Tadl’if Baina al
Muhadditsin Wa al Du’aat, , Maktabah Alfu Fa, 1993, 162. bandingkan dengan
Qadli Iyadl, al Ilma’, Kairo : Maktabah Dar al Turats, 197069.
Hal senada juga diungkapkan oleh al Humaidi bahwa kedua lafat
tersebut dimaksudkan satu. Lihat Badruddin al Aini, Umdah al Qarii ....hlm
16.
Al Karmani menyebutkan bahwa Qiraah dan Ardl bermakna
satu, yaitu membacakan hadits kepada guru untuk kemudian meriwayatkan hadits
tersebut darinya. Baca Badruddin al Aini, Umdah al Qarii ....hlm 24.
Subhi Shalih, Membahas..., hlm, 90. lihat juga Ach Muhammad
Daud, Ulumul Quran Wal Hadits, , Amman : Dar al Basyir, 1984, hlm,
173. juga Badruddin al Aini, Umdah al Qarii ...hlm 25.
Golongan yang kedua memberikan alasan, pertama, mentransfer
hadits dengan ijazah hanya dilakukan setelah masa kodifikasi hadits, dimana
seluruh serial mata rantainya terekam dengan rapi dan dapat dipertanggung-jawabkan
(ittisal). Kedua, kebolehan ijazah hanya bagi orang yang memiliki
kemahiran dan pengetahuan mendalam tentang hadits, serta kedua-duanya –orang
yang memberi ijazah dan orang yang menerimanya- harus sama-sama dapat dipercaya
(tsiqah).
Untuk lebih jelasnya silahkan baca al Qasimi, Qawaid al Tahdits,......
hlm 203. Abd Halim Mahmud, al Tautsiq ...., hlm 173.
Menurut Shiddiq Basyir N. hadits yang diperoleh dengan cara ini
tidak boleh diriwayatkan, demikian juga menurut kaul shahih. Akan tetapi sejumlah
intelektual muslim dan ahli hadits tetap memperbolehkan dan menganggapnya
sebagai pewartaan yang sah. Baca Aisyah Muqadimah Ibnu Shalah...., hlm
350..
Beliau adalah al Hafidz Abu Muhammad al Hasan bin Abdurrahman bin
al Khallad al Farisi. Beliau penulis buku ألأمثال
dan المحدث الفاصل بين الراوى و الواعى.
Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Qilabah Abdullah bin Zaid al
Juhani al Bashri. Beliau adalah salah seorang ulama terkemuka dari kalangan
tabi’in. beliau meriwayatkan hadits dengan cara wasiat kepada muridnya, al
Sakhtiyani.
Dalam hal ini al Khatib al Bagdadi menyatakan bahwa
“para kritikus hadits menganggap sah rawi mengatakan حدثنا فلان عن فلان,
jika orang pertama seperiode dengan orang yang kedua, dan ada kemungkinan hahwa
keduanya pernah bertemu –dengan melihat pada tahun wafat kedua rawi- dan
mendengar hadits darinya.
ما رواه إبن ماجة : قال حدثنا
عثمان بن أبى شيبة ثنا معاوية بن هشام ثنا سفيان عن أسامة بن زيد عن عثمان بن عروة
عن عروة عن عائشة قالت : قال رسول الله : إن الله و ملائكته يصلون على
ميامن الصفوف.
Syamsuddin al Sakhawi, Fathul Mugits, 180. Ahli hadits
sepakat menerima kemuttasilan hadits mu’an’an bila telah memenuhi tiga syarat
yaitu integritas keagmaan rawi (adalah), liqo’ (pernah bertemu), dan tidak
mengandung unsur tadlis.
حدثنا
على بن محمد ثنا وكيع ثنا محمد بن جابر قال : سمعت قيس بن طلق الحنفى عن أبيه
قال : سمعت رسول الله سئل عن مس الذكر, فقال : ليس فيه وضوء إنما هو منك.
Setelah dianalisis
ternyata hadits ini termasuk منقطع kerena Qois
tidak menyaksikan dan mendengar langsung pertanyaan yang dilontantarkan oleh
Thalaq kepada Nabi.
Dalam menyikapi kedua bentuk hadits ini, sejumlah intelektual
muslim yang menaruh perhatian terhadap hadits nabawi, dan sejumlah pakar fikh
dan ushul memasukkan keduanya dalam kategori hadits yang sanadnya muttasil,
bila orang yang mereportasekannya memenuhi kreteria yang telah kami sebutkan di
atas. Lihat Ulumul Quran Wal Hadits karya Ach Muhammad Ali Daud, hlm,
213.
Sifat adil dalam
periwayatan hadits berbeda dengan sifat adil yang ada pada bab Syahadah
(kesaksian), yaitu; dalam hal sifat merdeka (bukan budak), laki-laki, dan
jumlah periwayat.
1.
telah ditetapkan
oleh para ulama Jarh dan Ta’dil atau salah satunya dalam kitab-kitab al-Jarh
wa al-Ta’dil.
2.
kemasyhuran sifat ‘adalah
para rawi di masyarakat, mungkin karena kejujurannya, keistiqamahannya,
atau ketenaran namanya, contohnya: Malik bin Sufyan, al-Auza’iy, al-Laits bin
Sa’d, dan lain sebagainya.
Kedlobithan seorang rawi bisa diketahui
apabila hadits yang diriwayatkannya sesuai atau cocok dengan hadits yang
tsiqah, dan sedikit perbedaan tidak akan berpengaruh pada ketsiqahan
hadits yang ia riwayatkan.
Kualitas seorang rawi diteliti dengan cara membandingkan
hadits yang diriwayatkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan olen rawi
yang tsiqah. Bila hadits tersebut sesuai dengan hadits yang tsiqah,
maka haditsnya diakui. Berdasarkan hal ini, maka seorang rawi dapat dipercaya (صدوق) belum
bisa diakui haditsnya sebelum melalui tes uji kesahihan.
Subhi Sholih, Ulumu al-Hadist ...., hlm, 180. Lihat juga Ali
Rowad, Ulum al-Quran....,hlm. 205. Dalam permasalahan ini, penulis
cenderung lebih sependapat dengan Bpk Damanhuri bahwa hal tersebut sebenarnya
tidak serumit yang dibayangkan. Sebab untuk meneliti hadist pada saat ini telah
banyak tersedia kitab-kitab yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian
hadist, baik meliputi matan, sanad maupun kualitas perawi. Menurut kami, Ibnu
Hajar dan Ulama muhadditsin berpendapat seperti di atas adalah karena memang
kondisi pada waktu itu belum seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar