Jumat, 21 Oktober 2011

Sebuah Dialog Agama Dengan Realita


Fenomena agama seharusnya dilihat secara sosiologis. Maksud saya, agama adalah "pelembagaan" pengalaman religiositas: pengalaman disapa oleh Yang Ilahi. Iman lalu merupakan tanggapan manusia terhadap pengalaman "disapa" itu, yang merupakan hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hubungan ini, manusia menggapainya dengan penuh penyerahan dan mengarahkan hidupnya agar mendapatkan arti dari Yang Ilahi. 

Bagi manusia, agama memberi kerangka pengertian hidup. Tak hanya berdasar enak dan tak enak, tapi memberi dimensi kualitas hidup: menunjuk mana yang baik dan lebih baik, mana yang lebih benar, lebih manusiawi, lebih sesuai dengan panggilan manusia dalam Tuhan. Dalam dialog dengan masa depan, agama mendapat banyak tantangan dan tuntutan peran yang semakin besar. Peran agama di masa depan, menurut saya, bukan pada sumbangan keilmiahan dan otoritas keilmuan, tapi pada kesiapsediannya melayani umat manusia dalam ketentuan-ketentuan dasarnya. 

Warta pokok agama Kristiani tercermin dalam kabar berita Injil: Allah mencintai, menebus, dan merukunkan satu sama lain. Dalam wujud kabar gembira Injil ini adalah jalan dialog, jalan cinta, bukan kekerasan, kebencian, atau permusuhan. Naluri hidup terletak pada perjuangannya untuk mempertahankan hidup. Naluri pokok inilah yang menguasai situasi semacam ini: "perjuangan untuk mempertahankan hidup". Persoalan kita, memadaikan "perjuangan untuk mempertahankan hidup". Ini menjelaskan realitas hidup umat manusia? 

Sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan kebencian dan kekerasan. Perang yang terus terjadi antara Arab, Palestina dengan Israel, antara orang Irlandia dengan mereka yang dianggap antek Inggeris, terorisme, penggunaan senjata kimia, dan pemusnahan massal lainnya. Rejim bengis yang membunuhi rakyatnya sendiri. Dan juga pemusnahan sesama umat manusia dengan mengatasnamakan agama. Semua bentuk kekerasan terjadi di depan mata kita setiap hari. Inikah refleksi Kitab Kejadian sejak Abil dibunuh Kain? Darah, kekerasan dan kebencian? 

Kekerasan tak dapat menyelesaikan kekerasan. Bahkan membuatnya menjadi lingkaran setan balas dendam. Tindakan kekerasan punya kelemahan besar: justeru membuat tindakan itu membuahkan yang sebenarnya ingin dilenyapkan. Kekerasan hanya akan memperbanyak kejahatan. Juga, kebencian tak mampu mengusir kebencian. Yang dapat mengusir kebencian hanyalah cinta. "Ada satu yang mesti dipegang teguh : bahwa bencana jangan diperangi dengan menciptakan bencana yang lebih besar lagi," kata Paus Paulus VI dalam Populorum Progressio

Di masa depan, ada 2 fungsi agama yang mesti ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi kritis-profetis mau mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama dalam hormat pada martabat kemanusiaan. Lalu, mesti berani pula melakukan otokritik, misalnya, terhadap gejala agama yang terlalu formalistis. Fungsi agama adalah sebagai pembebasan menuju ke arah semakin dihormatinya martabat kemanusiaan. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistik. 

Dalam konteks Indonesia, salah satu problema agama adalah realitas masyarakat yang plural, termasuk dalam hal agama. Karena kemajemukannya agama ini, tentu bahasa "pemaknaan" terhadap kenyataan pun juga bernuansa majemuk. Di sini perekat kemajemukannya adalah dialog kehidupan maupun dialog karya antarpenganut agama. Tanpa perekat ini, di Indonesia agama bisa mudah kehilangan simpati dan maknanya. Bahkan bisa memecah belah dengan klaim-klaim kebenaran masing-masing, hingga nilai rukun dan cinta yang dibawakannya menjadi pecah berantakan. Dalam sejarah, agama terus menerus melakukan dialog panjang dengan realitas. Tak terelakkan, dalam dialog panjangnya agama mencari bahasa hukum dan politis untuk menjaga dan melindungi yang hakiki dari kemanusiaan. 

Ketika agama dengan religiositasnya mampu menjadi motivasi dan inspirasi bagi ditegakkannya kemanusiaan, saat itu pula ia mencari pengucapan dan bahasa politis dan hukum bagi visi-nya. 

Namun, akan muncul tragedi ketika agama sebagai lembaga bersekongkol dengan pusat-pusat kuasa lain yang memiliki vested interest-nya sendiri. Di sini agama bisa menjadi kaki tangan yang menindas dan menggilas hak-hak asas dan martabat kemanusiaan. Sejarah peradaban agama Kristen mengajarkannya untuk menempatkan pentingnya otonomi agama dan klik-klik atau persekongkolan kuasa politis agar bisa terus menyuarakan suara kritis kenabian bagi perjuangan martabat kemanusiaan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar