Fenomena
agama seharusnya dilihat secara sosiologis. Maksud saya, agama adalah
"pelembagaan" pengalaman religiositas: pengalaman disapa oleh Yang
Ilahi. Iman lalu merupakan tanggapan manusia terhadap pengalaman
"disapa" itu, yang merupakan hubungan manusia dengan Yang Ilahi.
Dalam hubungan ini, manusia menggapainya dengan penuh penyerahan dan
mengarahkan hidupnya agar mendapatkan arti dari Yang Ilahi.
Bagi manusia, agama memberi kerangka pengertian
hidup. Tak hanya berdasar enak dan tak enak, tapi memberi dimensi kualitas
hidup: menunjuk mana yang baik dan lebih baik, mana yang lebih benar, lebih
manusiawi, lebih sesuai dengan panggilan manusia dalam Tuhan. Dalam dialog
dengan masa depan, agama mendapat banyak tantangan dan tuntutan peran yang
semakin besar. Peran agama di masa depan, menurut saya, bukan pada sumbangan
keilmiahan dan otoritas keilmuan, tapi pada kesiapsediannya melayani umat
manusia dalam ketentuan-ketentuan dasarnya.
Warta pokok agama Kristiani tercermin dalam kabar
berita Injil: Allah mencintai, menebus, dan merukunkan satu sama lain. Dalam
wujud kabar gembira Injil ini adalah jalan dialog, jalan cinta, bukan
kekerasan, kebencian, atau permusuhan. Naluri hidup terletak pada perjuangannya
untuk mempertahankan hidup. Naluri pokok inilah yang menguasai situasi semacam
ini: "perjuangan untuk mempertahankan hidup". Persoalan kita,
memadaikan "perjuangan untuk mempertahankan hidup". Ini menjelaskan
realitas hidup umat manusia?
Sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan
kebencian dan kekerasan. Perang yang terus terjadi antara Arab, Palestina
dengan Israel, antara orang Irlandia dengan mereka yang dianggap antek
Inggeris, terorisme, penggunaan senjata kimia, dan pemusnahan massal lainnya.
Rejim bengis yang membunuhi rakyatnya sendiri. Dan juga pemusnahan sesama umat
manusia dengan mengatasnamakan agama. Semua bentuk kekerasan terjadi di depan
mata kita setiap hari. Inikah refleksi Kitab Kejadian sejak Abil dibunuh Kain?
Darah, kekerasan dan kebencian?
Kekerasan tak dapat menyelesaikan kekerasan.
Bahkan membuatnya menjadi lingkaran setan balas dendam. Tindakan kekerasan
punya kelemahan besar: justeru membuat tindakan itu membuahkan yang sebenarnya
ingin dilenyapkan. Kekerasan hanya akan memperbanyak kejahatan. Juga, kebencian
tak mampu mengusir kebencian. Yang dapat mengusir kebencian hanyalah cinta.
"Ada satu yang mesti dipegang teguh : bahwa bencana jangan diperangi
dengan menciptakan bencana yang lebih besar lagi," kata Paus Paulus VI
dalam Populorum Progressio.
Di masa depan, ada 2 fungsi agama yang mesti
ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi
kritis-profetis mau mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang
dilupakan, terutama dalam hormat pada martabat kemanusiaan. Lalu, mesti berani
pula melakukan otokritik, misalnya, terhadap gejala agama yang terlalu
formalistis. Fungsi agama adalah sebagai pembebasan menuju ke arah semakin
dihormatinya martabat kemanusiaan. Ini berarti agama berperan membuat orang
lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern
yang mekanistik.
Dalam konteks Indonesia, salah satu problema agama
adalah realitas masyarakat yang plural, termasuk dalam hal agama. Karena
kemajemukannya agama ini, tentu bahasa "pemaknaan" terhadap kenyataan
pun juga bernuansa majemuk. Di sini perekat kemajemukannya adalah dialog
kehidupan maupun dialog karya antarpenganut agama. Tanpa perekat ini, di
Indonesia agama bisa mudah kehilangan simpati dan maknanya. Bahkan bisa memecah
belah dengan klaim-klaim kebenaran masing-masing, hingga nilai rukun dan cinta
yang dibawakannya menjadi pecah berantakan. Dalam sejarah, agama terus menerus
melakukan dialog panjang dengan realitas. Tak terelakkan, dalam dialog panjangnya
agama mencari bahasa hukum dan politis untuk menjaga dan melindungi yang hakiki
dari kemanusiaan.
Ketika agama dengan religiositasnya mampu menjadi
motivasi dan inspirasi bagi ditegakkannya kemanusiaan, saat itu pula ia mencari
pengucapan dan bahasa politis dan hukum bagi visi-nya.
Namun, akan muncul tragedi ketika agama sebagai
lembaga bersekongkol dengan pusat-pusat kuasa lain yang memiliki vested
interest-nya sendiri. Di sini agama bisa menjadi kaki tangan yang menindas
dan menggilas hak-hak asas dan martabat kemanusiaan. Sejarah peradaban agama
Kristen mengajarkannya untuk menempatkan pentingnya otonomi agama dan klik-klik
atau persekongkolan kuasa politis agar bisa terus menyuarakan suara kritis
kenabian bagi perjuangan martabat kemanusiaan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar