A. PENDAHULUAN
Paham
pluralisme agama kini semakin gencar dikampanyekan di negara-negara Islam
termasuk Indonesia. Pihak Barat dan para pendukung ide pluralisme berdalih
bahwa penyebaran paham ini dapat mencegah munculnya gerakan ekstrimisme
beragama. Bagi mereka, toleransi beragama dianggap basi dan tidak mampu lagi
menjawab problematika antar umat beragama yang semakin kompleks akibat
globalisasi. Umat Islam seolah-olah dipaksa untuk menjadi seorang “pluralis”
jika tidak ingin dianggap sebagai kaum ekstrimis, pro pada terorisme dan cinta
kekerasan. Pluralisme telah menjadi isu global dan diterima secara luas sebagai
suatu “kebenaran” tanpa sikap kritis yang memadai dari masyrakat dunia.
Andai
umat lslam memiliki kepercayaan diri tinggi dan mau merespon paham tersebut
menggunakan framework pemikiran Islam, tentunya akan sulit menemukan
tokoh-tokoh Islam yang terpengaruh atau bahkan menjadi tokoh pengusung ide-ide
Barat tersebut. Pluralisme agama merupakan bagian dari agenda globalisasi
dengan tujuan agar nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan melebur ke dalam
arus pemikiran moderisasi sehingga apa yang disebut John Hick sebagai teologi
global (global theology) dapat terwujud. Dengan teologi global, Barat bermaksud
menghapus peran otoritas agama dalam kehidupan masyarakat muslim, sehingga umat
Islam lebih bebas menerima ideologi dan nilai-nlai kebudayaan Barat seperti
liberalisme, sekularisme, hak asasi manusia, feminisme dan demokrasi.
Salah satu
akibat dari maraknya isu pluralisme agama, wacana tentang ahlul kitab kembali
muncul dipermukaan. Barat bermaksud untuk mendekonstruksi konsep ahlul kitab
dan meninjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial-historis sebagaimana
diusulkan oleh Mohammad Arkoun seorang pemikir asal Aljazair pendukung ide
pluralisme agama. Arkoun memandang perlunya dekontruksi makna ahlul kitab yang
cendrung ekslusif, kolot dan fragmentis, sebagai upaya untuk membangun dialog yang
setara, terbuka dan inklusif antar pemeluk agama dan menghindari kekerasaan
atas nama Tuhan. Epistemologi dekonstruksi pada akhirnya akan mengarah pada
paradigma kesatuan transenden agama-agama (The Transendent Unity of Religion).
Dalam
ranah pertarungan pemikiran Islam abad ini, selain Muhammad Arkoun dengan teori
dekonstruksinya, Yusuf Qaradhawi dikenal sebagai pemikir Islam kontemporer yang
banyak menyoroti problematika umat Islam dan hubungannya dengan dunia Barat.
Namun berbeda dengan Arkoun dan para pemikir liberal lainnya yang memaksakan
metodologi Barat untuk menafsir ulang ayat-ayat al-Qur’an, Qaradhawi tetap
berpegang pada metodogi penafsiran ulama salaf dalam ijtihad-ijtihadnya untuk
mendorong kerukunan agama dan menciptakan perdamaian dunia.
Meskipun
terkenal sangat toleran terhadap kalangan non muslim, Qaradhawi secara tegas
menyatakan bahwa agama yang diakui oleh Allah SWT adalah Islam. Walaupun para
pengamat memasukan yahudi dan nasrani sebagai agama samawi, tetapi menurut
beliau pada dasarnya agama samawi adalah satu berdasarkan prinsip akidah,
meskipun syariatnya berbeda-beda sesuai kondisi jaman. Al-Qur’an juga telah
menetapkan bahwa agama Allah itu satu, yaitu agama Islam. Oleh karena itu
seluruh rasul Allah adalah seorang Muslim dan menyerukan kepada agama Islam.
Tulisan
ini berusaha mengeksplorasi pemikiran-pemikiran Qaradhawi mengenai agama-agama
dan kepercayaan di luar Islam dan prinsip toleransi Islam dalam beberapa
karyanya yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa
Indonesia.
B. RIWAYAT
HIDUP
Yusuf
Qaradhawi dilahirkan pada tanggal 9 september 1926 dan dibesarkan di sebuah
kampung terpencil yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Shaft at-Turab adalah
sebuah desa yang terdapat di pedalaman mesir, terletak antara kota Thanta dan
kota Al-Mahallah al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling
terkenal di provinsi al-Gharbiyah. Mesir pada saat kecil Qaradhawi berada dalam
jajahan Inggris dan dia pun merupakan saksi sejarah bagi dua peristiwa penting lainnya,
yaitu perang dunia ke dua dan runtuhnya Khilafah Utsmaniah. Yusuf Qaradhawi
yang memiliki nama lengkap Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf, telah menjadi
yatim semenjak dia berusia dua tahun. Sejak itu beliau diasuh dan dibesarkan
oleh pamannya yang buta huruf dan berprofesi sebagai petani dan sangat qanaah.
Sang paman sering mengisahkan cerita-cerita yang menghibur dan mengujinya
dengan permainan kata-kata. Cerita-cerita tersebut sarat dengan makna,
sedangkan permain kata-kata rupanya tanpa sadar telah mengasah daya intelektual
Qaradhawi kecil.
Setelah
genap berusia tujuh tahun Qaradhawi mengenyam pendidikan kutab di bawah
bimbingan Syeikh Hamid. saat itu Qaradhawi menunjukan kecemerlangan sebagai
pelajar karena mampu menghapal al Qur’an dengan cepat, dan ia pun melanjutkan
pendidikan Ibtidaiyah ke al- Azhar dan mengambil Mazhab hanafi. Pada tahun
pertama belajar di tingkat Ibtida’iyah, Qaradhawi pertama kali mengenal
Asy-Syahid Hasan Al Banna melalui pengajian yang dihadirinya pada acara tahun baru
Hijriah yang menumbuhkan kecintaannya pada jamaah Ikhanul Muslimin. Akhirnya ia
pun bergabung dengan jamaah ini pada tahun ke tiga di Ibtidaiyah. Bersama
Ikhwanul Muslimin, Qaradhawi harus merasakan tinggal di penjara pada saat
dirinya masih remaja karena keterlibatannya dengan jamaah tersebut. Namun
penjara telah menjadi sekolah keduannya karena disana ia sempat berguru kepada
ulama-ulama terkenal seperti Syaikh Muhammad al-Ghazali yang mengajarkan
pelajaran sirah nabawiah dan Syaikh Sayyid Sabiq dengan pelajaran fikihnya.
Kondisi di penjara itulah yang membentuk kepribadian Qaradhawi sebagai pejuang
yang tak kenal lelah berdakwah untuk Islam sampai saat ini.
Qaradhawi
menamatkan kuliah dari Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar tahun 1953
kemudian memperoleh ijazah keguruan setahun berikutnya. Gelar doktoralnya ia
peroleh pada tahun 1973 dari Universitas al-Azhar, dan dalam semua jenjang
pendidikan itu, ia mendapatkannya dengan predikat cumlaude. Qaradhawi aktif
dalam organisasi Ikhawanul Muslimin sampai akhirnya ia dipaksa pergi
meninggalkan negerinya dan menetap di Qatar sampai saat ini. Perjalanan
dakwahnya yang panjang dan berliku membuatnya terkenal sebagai penulis yang
produktif dan oratul ulung. Karya tulisnya hingga akhir abad ke-20 lalu, mencapai
kurang lebih 120 buah dalam berbagai disiplin ilmu.
C. PANDANGAN
TENTANG ATHEISME DAN PAGANISME
Qaradhawi
berpendapat bahwa kekufuran yang paling besar adalah kekufuran terhadap Allah
SWT dan Rasul-Nya. Seseorang disebut kufur atheis ketika pelakunya tidak
percaya bahwa alam semesta ini mempunyai Tuhan, yang mempunyai malaikat,
kitab-kitab suci, rasul yang memberi kabar gembira dan peringatan, serta tidak
pecaya kepada adanya akhirat di mana manusia akan diberi balasan terhadap apa
yang mereka kerjakan di dunia ini, baik berupa kebaikan maupun keburukan.
Orang-orang seperti ini menurut Qaradhawi telah dikatakan di dalam al-Qur’an
Surat al-An’am ayat 29.
Dan tentu
mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia
saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan".
Tipe manusia
seperti ini merupakan bentuk kekufuran orang-orang materialis pada setiap
zaman, dan pada masa ini adalah orang-orang komunis. Qaradhawi menyoroti
tuduhan kaum Marxis bahwa agama adalah “candu masyarakat” yang bekerja pada
akal pikiran masyarakat sebagaimana berpengaruhnya narkotika pada individu dan
melalaikan mereka dengan angan-angan akhirat dari (memperjuangkan) hak-hak
mereka yang terampas, dan menjadikan mereka tunduk kepada kemauan orang-orang yang
berbuat aniaya. Pemikiran marxisme pada awalnnya adalah sebuah degradasi
manusia dari kemuliaan menuju tingkat binatang, tetapi kemudian pemikiran ini
merupakan penggabaran persepsi terbalik tentang hakikat aksiomatik yang
terdapat dalam perilaku individu maupun kelompok di sepanjang jaman.
Qaradhawi
menegaskan bahwa pandangan kaum Marxis tehadap agama, tidak dapat digenarlisir
untuk semua agama. Islam merupakan revolusi yang membebaskan manusia-semua umat
manusia- dari penghambaan dan ketundukan kepada selain Penciptanya. Sebuah
revolusi di dunia pemikiran, hati dan perasan dan merupakan sebuah revolusi di
dunia kenyataan (realita) dan pada pelaksanaannya. Qaradhawi berusaha memaklumi
pendapat Karl Max ketika mengatakan perkataan yang pernah ia lontarkan.
Menurutnya, hal itu dilakukan Karl Max disebabkan dirinya tidak pernah mengenal
Islam dan tidak mengetahui sikap Islam terhadap kezaliman, kesewenang-wenangan
dan kerusakan.
Namun
Qaradhawi mengkritik metodologi yang digunakan Karl Max, karena konsep atau
prinsip metodologi penelitian ilmu mengharuskan untuk tidak mengeluarkan suatu
generalisasi kecuali setalah dilakukan analisa dengan melakukan langkah-langkah
induktif secara lengkap melalui kajian sempurna terhadap setiap agama-atau
terhadap beberapa agama berbeda-dan pengaruhnya bagi kehidupan bangsa sepanjang
sejarah. Adapun jika seseoarang tidak mampu melakukan hal yang demikian, maka
ia harus membuat kesimpulan terhadap agama yang telah diketahui saja dan tidak
menyamakan kepada agama yang lain. Menurut Qaradhawi, inilah yang dinamakan
komitmen amanah (kejujuran) ilmiah dan metodologi ilmiah.
Qaradhawi
memandang kekufuran atheis sebagai puncak dari segala kekufuran. Tepat
dibawahnya adalah kufur syirik. Kekufuran jenis ini sebagaimana yang dilakukan
orang-orang Arab pada jaman jahiliah. Orang-orang Arab pada masa itu mengakui
eksistensi Allah, yang menciptakan langit, bumi, dan manusia, serta yang
memberikan rizki, kehidupan, dan kematian pada manusia. Namun walaupun mereka
mengakui adanya Tuhan, mereka juga mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan
yang lain, sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 18 :
Dan mereka
menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan
kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka
itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah". Katakanlah:
"Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di
langit dan tidak (pula) di bumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa
yang mereka mempersekutukan (itu).
Qaradhawi
menjelaskan lebih lanjut bahwa kemusyrikan seperti ini bentuknya
bermacam-macam.
Ada kemusyirakan orang
Arab penyembah berhala; kemusyrikan Majusi Persia yang mengatakan ada dua macam
tuhan, yaitu tuhan baik atau tuhan Cahaya, dan tuhan buruk atau tuhan Gelap.
Ada juga kemusyrikan Hindu dan Budha, dan para penyembah berhala lainnya yang
masih mewarnai pikiran ratusan juta orang di Asia dan Afrika; yang merupakan
jenis kekufuran yang palingbanyak pengikutnya.
Demikianlah,
meski peradaban manusia sudah sangat tua dan hampir mencapai titik akhir, namun
ekistensi kaum paganis masih terus ada sampai hari ini. Padahal kemusyikan
menurut Qardhawi merupakan tempat tumbuhnya berbagai bentuk kurafat dan
bersemayam pelbagai kebatilan. Kemusyirakan akan menjatuhkan harkat dan
martabat manusia karena Bagaimana mungkin manusia menyembah benda yang
diciptakan oleh dirinya sendiri, benda yang tidak bisa berkhimat kepada dirinya
sendiri tetapi justru manusia bersedia menghamba kepadanya. Mereka berada dalam
kesesatan yang nyata dan menduga tuhan-tuhan (selain Allah) dapat memberikan
pertolongan di hari kiamat kepada mereka, padahal mereka tidak memiliki teman
dekat dan penolong yang dipercaya.
D. PANDANGAN
TENTANG AHLUL KITAB
Ahlul kitab
menurut Qaradhawi adalah mereka yang agamanya (pada mulanya) berdasarkan kitab
samawi meskipun kemudian mengalami perusakan dan pergantian, seperti kaum
Yahudi dan Nasrani yang agama mereka didasarkan pada kitab Taurat dan Injil.
Sedangkan ahlu dzimma adalah mereka yang mendapat perlindungan Allah,
Rasul-Nya, dan jamaatul muslimin, untuk hidup dalam naungan Islam secara aman
dan damai. Qaradhawi berpendapat orang-orang Nasrani pada hari ini sama dengan
orang-orang nasrani ketika al-Qur’an diturunkan, karena menurut Qaradhawi,
agama Nasrani telah terkritalisasi dan dikenal pasti batas-batas keyakinannya
semenjak adanya “Seminar Nicea” pada tahun 325 Masehi.
Namun
demikian, Qaradhawi tidak mengganggap agama Nasrani dan Yahudi memiliki
kebenaran yang sama dengan agama Islam. Qaradhawi tetap menganggap penganut
kedua agama tersebut sebagai kaum yang melakukan kekufuran. Kekufuran ahlul
kitab disebabkan mereka mendustakan kerasulan Muhammad saw, yang diutus oleh
Allah untuk menyampaikan risalah-Nya yang terakhir, dan diberi kitab suci
al-Qur’an, yang membenarkan Taurat dan Injil, tetapi juga melakukan perbaikan
terhadap ajaran dalam kedua kitab suci tersebut.
Qaradhawi
menegaskan bahwa salah satu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah
membenarkan konsep ketuhanan yang saat itu terjadi banyak penyelewengan,
seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani dan Yahudi dengan memperkeruh ajaran
tauhid. Akidah Islam merupakan hakikat abadi yang tidak mengalami proses
evolusi dan tidak pernah berubah yaitu akidah tentang Allah dan hubungannya
dengan alam ini. Prinsip Tauhid merupakan warisan para nabi yaitu suatu hakikat
yang diajarkan Adam kepada anak-anaknya, yang dinyatakan Nuh kepada kaumnya,
yang diserukan Hud, Shaleh depada ‘Aad dan Tsamud, yang diserukan oleh Ibrahim,
Isma’il, Ishaq, dan ditekankan Musa dalam Tauratnya, Dawud dalam Zaburnya dan
Isa dalam Injilnya.
Penyimpangan
ahlul kitab terhadap ajaran tauhid sangat jelas. Qaradhawi menyebutkan bahwa
orang-orang Yahudi menambahkan pada kitab Taurat makna reinkarnasi dan
penyerupaan Allah dengan seseorang dari mereka sehingga Allah dianggap sebagai
salah satu dari kalangan manusia, yang mempunyai sifat –sifat kemanusiaan,
seperti rasa takut, iri hati, cemburu.bertengkar dan dikalahkan olehnya,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang Israel. Begitu pula dengan kaum Nasrani
ketika mereka memasukan konsep trinitas. Konsep ini menurut Qaradhawi
dipengaruhi oleh keyakinan Roma terhadap agama ini setelah masuknya raja
Konstantinopel Imperium Romawi ke dalam agama Nasrani. Masuknya agama Nasrani
dalam imperium Romawi sebenarnya merupakan keuntungan bagi negara Romawi dan
menyebabkan kerugian bagi agama Nasrani itu sendiri, sehingga sebagian ulama
mengatakan: ”Sesungguhnya Roma tidak diwarnai oleh Nasrani, tetapi justru
Nasrani yang diwarnai oleh Roma.”
Merurut
Qaradhawi pada dasarnya agama-agama pagan memilik dasar Ilahi, tetapi kemudian
paganism melanda pemeluknya sampai menguasai penganutnya. Manusia tidak
memiliki satu agama pun yang terpelihara oleh sejarah keautentikannya secara
sempurna kecuali agama Islam. Beliau juga melihat bagaimana paganisme telah
merasuk ke dalam penganut agama-agama seperti Nasrani, seluruh agama kebatinan
dan agama lainnya dari kalangan orang-orang yang didominasi oleh penafsiran
menyimpang atau pun kejahilan.
Namun
demikian, Qaradhawi memandang secara umum ahlul kitab lebih dekat kepada kaum
Muslimin dari pada pengikut paham atheis dan paganisme. Menurutnya, Islam
memiliki pandangan khusus terhadap ahlul kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan
Nasrani, baik yang berada di negeri Islam maupun di luarnya. Al-Qur’an
memanggil mereka dengan kata, “ Wahai ahli kitab,” atau “Wahai orang-orang yang
diberi kitab.” Hal itu merupakan isyarat bahwa pada dasarnya mereka adalah
pemeluk agama samawi (wahyu) dan kaum muslimin memiliki “keturunan” dan
“kekerabatan”, berakar pada agama yang satu yang merupakan risalah seluruh
nabi. Qaradhawi juga menempatkan orang-orang Nasrani pada posisi yang lebih
dekat kepada hati orang-orang beriman, sebagaimana surat al-Maidah ayat 82.
Islam mengakui dan percaya adanya al-Masih dan kelahirannya merupakan salah
satu tanda kebesaran Allah, tetapi tidak menjadikannya sebagai hari raya. Ia
menyayangkan sikap orang-orang Nasrani yang mengatasnamakan al-Masih dalam
merayakan kelahirannya padahal ajaran tersebut tidak pernah diajarkan oleh nabi
Isa as. atau ibunya (Maryam) dan tidak dititahkan oleh seluruh rasul Allah.
Qaradhawi
mencatat bagaimana Islam mengajarkan penghormatan kepada ahlul kitab seperti
adab berdiskusi. Seorang Muslim hendaknya menghindari kecongkakan ketika
berdiskusi dengan ahlul kitab yang dapat menimbulkan rasa sakit hati dan
membangkitkan permusuhan sebagaimana tertuang dalam surat al-Ankabut ayat 46.
Islam juga memperbolehkan umat Islam untuk saling bertukar makanan dengan
mereka, menikmati sembelihan mereka, dan menikahi wanita-wanita mereka, dengan
segenap kedamaian, cinta dan kasih sayang. Tentunya semua ini hanya berlaku
kepada ahlul kitab yang tidak memerangi umat Islam dan secara khusus terhadap
ahlul zhimah.
Meskipun
Islam mengajarkan untuk menghormati kaum non-Muslim, namun karena mereka adalah
kaum yang melakukan kekufuran, maka Qaradhawi menekankan pentingnya umat Islam
untuk melakukan dakwah dan mengenalkan kebenaran agama Islam pada mereka agar
mereka tertarik mengikuti ajaran yang lurus ini. Bahkan tegas beliau, kebodohan
akan hakikat Islam dan kesesatan yang terjadi di muka bumi ini merupakan
tanggung jawab dari umat Islam.
Diyakini
bahwasanya kaum Muslim bertanggung jawab- sampai kepada batas yang sangat
besar- terhadap kesesatan bangsa-bangsa di muka bumi; kebodohan mereka akan
hakikat Islam; dan keterjerumusan mereka keadaan kebathilan musuh Islam. Kaum
Muslimin harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyampaikan risalah
Islam, menyebarkan dakwah mereka kepada setiap bangsa dengan bahasa mereka,
sehingga mereka mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan sejelas-jelasnya,
dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan.
E. TOLERANSI
DALAM ISLAM
Mengenai
hubungan Muslim dengan orang-orang non-Muslim, Qaradhawi berpendapat Islam
telah membagi non-Muslim menjadi dua golongan. Diantara orang-orang kafir ada
yang mampu menjaga kedamaian dengan kaum muslim, sehingga kafir seperti ini
harus diperlakukan dengan damai. Tetapi ada pula yang suka menyerang dan
memerangi kaum muslim, sehingga kita harus memerangi mereka sebagaimana mereka
telah memerangi kita. Kelompok kedua ini mengusir umat Muslim dari rumah-rumah
mereka ataupun bersengkol dan membantu pihak lain untuk tujuan yang sama. Maka
terhadap kelompok ini, kaum Muslimin dilarang untuk mengikat hubungan
berlandaskan kasih-sayang, seperti ketika kaum Musyrikin Mekah menyiksa kaum
Muslimin dan menyebabkan berbagai macam kesulitan dalam kehidupan mereka.
Qaradhwi
melihat sejarah toleransi Islam terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain
merupakan sejarah yang putih bersih. Kaum non-Muslim telah merasakan puncak
kehidupan yang damai dan tentram serta merasakan kebebasan dibawah pemerintahan
Islam sebagaimana diakui sendiri oleh sejarawan Barat yang jujur. Tidak ada
agama selain Islam yang mengajarkan prinsip toleransi kepada pemeluk agama
lain. Islam mengharuskan pengikutnya berlaku baik kepada seluruh orang, baik
orang yang dikasih ataupun dibenci. Islam mengharuskan umatnya untuk berlaku
jujur kepada seluruh manusia, walaupun orang itu pernah berkhianat ataupun
berkata dusta. Berbeda dengan kaum Yahudi yang memperbolehkan memakan riba
apabila mereka melakukan transaksi kepada kaum non-Yahudi, tetapi
mengharamkannya dikalangan mereka sendiri. Sedangkan Islam tidak menjadikan
riba haram sesama muslim dan halal dengan non-Muslim, tetapi secara mutlak
mengharamkannya untuk semua.
Namun menurut
Qaradhawi, prinsip-prinsip toleransi dalam Islam telah banyak dieksploitasi
dengan sengaja oleh orang-orang tertentu. Mereka berusaha untuk mengaburkan
agama-agama dan mengembangkannya serta menguraikan tali pengikat kebanggaan
umat Islam terhadap ajaran agamanya dan mencabut kehangan keagamaan dari dada
mereka atas nama toleransi, nasionalisme, atau konsep-konsep lainnya.
Menurutnya, toleransi bukan berarti meninggalkan hukum-hukum Islam yang
merupakan syariat Tuhan, atau menyia-nyiakan konsep hidup Islam demi memuaskan
hati kelompok minoritas non-Muslim dan tidak menyinggung perasaan mereka.
Toleransi
menurut Qaradhawi juga tidak berarti bahwa hubungan antara Nasrani dan Muslim
harus ditegakkan atas dasar kemunafikan karena mengutamakan ikatan tanah air
atau kebangsaaan diatas ikatan keagamaan, karena hal tersebut sangat
bertentangan dengan ajaran Islam ataupun ajaran Nasrani sekalipun. Tetapi
toleransi yang benar adalah seperti yang diperintahkan masing masing agama,
seperti hubungan bertetangga yang baik, mencintai kebaikan dan bersikap adil
terhadap semua manusia. Toleransi pun tidak dimaknai Qaradhawi dengan
menyamakan semua ajaran agama dan menghilangkan perbedaan-perbedaan yang asasi,
sebagaimana tertuang jelas dalam salah satu bukunya “Minoritas Non-Muslim”,
Toleransi
tidak berarti bahwa kita harus melumerkan segala perbedaan asasi pada setiap
agama sedemikian, sehingga sama saja antara tauhid dan trinitas, antara mansukh
(yang digantikan) dan nasikh (yang menggantikan). Pemikiran seperti ini akan
membawa akibat yang berlawanan dengan yang dikehendaki. Itulah sebabnya, pikiran-pikiran
seperti ini akan menjauhkan bukan mendekatkan, menceraiberaikan dan bukannya
mempersatukan dan menghancurkan dan bukan membangun.
Setiap agama
memiliki prinsip-prinsip dasar yang esenial serta
karakteristik-karakteristiknya yang mandiri. Maka tidak dibenarkan melalaikan
prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik ini demi kesopan-santunan
kosong atau demi memenangkan perjuangan di awang-awang.
Selain
pengekploitasian makna toleransi, Qaradhawi melihat masih ada masalah lain yang
harus dihadapi umat Islam dalam mewujudkan toleransi beragama dan menjaga
ketentraman sebagaimana cita-cita Islam sebagai agama yang rahmatan lil
‘alamin. Saat ini, api permusuhan masih terus dikobarkan oleh umat Nasrani dan
Yahudi, serta pemeluk agama lainnya. Kaum Nasrani bahkan bergandengan mesra
dengan kaum Yahudi untuk memerangi umat Islam, padahal kaum Yahudi sendiri
tidak mengakui eksistensi al-Masih, kitab Injil, dan Maryam. Di dunia Arab,
seruan kepada westernisasi diprakasai dengan lantang dan berani oleh orang-orang
Kristen. Impreliasme Inggris menjajah Palestina kemudian menyerahkannya kepada
tangan-tangan zionis Israel melalui perjanjian Balfour. Sedangkan di Indonesia
menurut Qaradhawi, gerakan kristenisasi berusaha mengkristenkan Indonesia dalam
waktu lima puluh tahun, walaupun rencana ini telah dihadang sejak pertiga abad
yang lalu oleh Dewan Dakwah Islamiah Indonesia yang dipimpin oleh seorang
lelaki pejuang bernama Dr. Muhammad Natsir.
Kaum salibis
Barat yang agresor itu telah bertekad untuk menghancurkan umat Islam, tetapi
tidak sebagaimana cara yang pernah ditempuh oleh bangsa Tartar dan tentara
Salib pertama. Usaha mereka dialihkan kepada penghancurkan akidah dan
pemikiran, perusakan nilai-nilai dan akhlak, juga adab-adab dan tradisi-tradisi
Islam, dengan cara tersembunyi yang tidak dapat dilihat mata dengan cepat,
diraba tangan dengan mudah, juga dengan cara-cara licik yang tidak memancing
perhatian masyarakat. Dengan cara inilah mreka berhasil membinasakan
bangsa-bangsa, tidak perlu dengan melepaskan tembakan atau mengayunkan padang.
Cukup dengan cara menaburkan racun di makanan yang akan membunuh penyantapnya
secara perlahan.
Begitulah
perlakuan Barat terhadap umat Islam. Ketika Muslim menjadi minoritas atau
bahkan mayoritas di berbagai negara, kondisi mereka sungguh berbeda dengan
kondisi kaum minoritas non-Muslim di negeri-negeri Islam yang telah merasakan
keramahan sikap dan perilaku kaum Muslimin. Umat Islam di Afrika dan Eropa
tertindas dan terzalimi, tidak boleh menegakan syariat agama ataupun memiliki
kekayaan dunia. Namun Qaradhawi menentang umat Islam untuk membalas perlakukan
itu dengan cara yang sama, sebab agama Islam melarang menghukum para warga
Negara non-Muslim dengan dosa para pemeluk agama mereka di negeri-negeri lain,
padahal mereka tidak ikut terlibat dalam perbuatan dosa tersebut.
F. PENUTUP
Berdasarkan
pemikiran dan pandangan Qaradhawi tentang penganut agama-agama serta
kepercayaan di luar Islam serta konsep toleransi Islam yang telah diuraikan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa Qaradhawi secara tidak langsung, sangat
menentang konsep pluralisme agama sebagaimana pemikiran Arkoun dan para tokoh
liberal lainnya. Kesimpulan tersebut didasarkan pada hal-hal berikut ini :
1.
Qaradhawi menganggap Islam sebagai agama tauhid satu-satunya yang masih terjaga
keasliannya sampai saat ini karena Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran
agama-agama sebelumnya. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan para penganut
paham pluralisme dimana pemikiran seperti itu merupakan truth claim dan harus
dihilangkan dalam ajaran tiap agama. Menurut mereka, tidak ada satu agamapun
boleh merasa lebih istimewa dari agama lainnya.
2.
Ahlul kitab menurut Qaradhawi adalah mereka yang agamanya (pada mulanya)
berdasarkan kitab samawi meskipun kemudian mengalami perusakan dan pergantian,
seperti kaum Yahudi dan Nasrani yang agama mereka didasarkan pada kitab Taurat
dan Injil. Para pluralis, dalam hal ini Arkoun, melebarkan makna ahlul kitab
bukan hanya sebatas pada pemeluk agama Nasrani dan Yahudi, tetapi juga pada
kaum yang memiliki kitab dan tercerahkan oleh ilmunya. maka mereka berhak
dikategorikan sebagai ahlul kitab.
3.
Qaradhwi berpendapat bahwa para penganut agama dan kepercayaan di luar Islam
merupakan pelaku kekufuran (kafir) dan harus ditunjukan kepada jalan lurus
Islam melalui dakwah sungguh-sungguh. Penganut paham pluralisme agama sampai
saat ini berusaha keras menghapus terminologi kafir dalam kosa kata umat Islam,
atau paling tidak mendekonstruksi maknanya seperti yang mereka lakukan terhadap
banyak istilah-istilah Islam penting lainnya.
4. Qaradhawi
menentang bentuk toleransi yang mengorbankan prinsip-prinsip dan syariat Islam
demi memuaskan hati siapapun, termasuk orang-orang non-Muslim. Pluralisme agama
jelas-jelas mencoba untuk menghilangkan semua belenggu syariat dan
simbol-simbol agama dengan dalih penghargaan terhadap penganut agama lain dan
menghilangkan ekslusivitas di antara pemeluk suatu agama.
5.
Toleransi dalam Islam tidak berarti mempersamakan agama yang satu dengan agama
lainnya dan menghilangkan perbedaan-perbedaan asasi dari agama-agama tersebut
karena menurut Qaradhawi setiap agama memiliki prinsip dan karakteristik
masing-masing dan mempersamakannya justru akan mengakibatkan perpecahan dan
kehancuran. Sedangkan paham pluralisme agama menganggap semua agama sama secara
esensi tetapi berbeda dalam bentuk. Semua agama berasal dari Yang absolut
sehingga kebenaran semua agama adalah setara. Penganut pluralisme pun percaya
bahwa dengan menganggap semua agama membawa kebenaran yang sama maka akan
terjadi perdamaian dan keharmonisan di dunia ini. Mungkin pendapat seperti
inilah yang dimaksud oleh Qaradhawi sebagai sebuah kelalaian demi
kesopan-santunan kosong atau demi memenangkan perjuangan di awang-awang.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam Islamia, Thn I No. 3, September-November 2004.
Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam Islamia, Thn. I no. 4, Januari – Maret, 2005.
Qaradhawi, Yusuf,
Perjalanan hidupku, Jakarta : Pustaka al-Kautsar,
____________, Halal
Haram dalam Islam, cetakan ke-3, Jakarta : Era Intermedia, hlm. 473.
___________, Fiqh
Prioritas ; Sebuah Kajian Baru berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, cetakan
ke-2, Jakarta : Robbani Press, 1999, hlm. 192.
____________ , Manusia
dan Kebenaran, cetakan pertama, Jakarta : Pustaka Shadra, 2005.
_____________,
Minoritas Non- Muslim di dalam Masyarakat Islam, cetakan ke-1, Jakarta:
Penerbit Mizan, 1985.
______________ ,
Pengantar Kajian Islam; Studi Analitik Komprehensif tentang Pilar-pilar
Substansial, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam, cetakan ke-6,
Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2003.
______________, Umat
Islam menyongsong abad ke-21, Jakarta : Era Intermedia, 2001.
Soekarba, Siti Rohmah,
The Critique Arab Thought : Mohammed Arkoun’s Deconstruction Method, Makara,
Sosial Humioura, Vol.10, No.2, Deseber 2006 : 79-87, dari http://jurnal.ui.ac.id/upload/artike/04_Siti%20Rohmah%20%20Revisi.pdf,18
Februari 2010.
Diposkan oleh Ahmad
Alim,M.A di 00.51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar