Kamis, 20 Oktober 2011

Membaca Kembali Wahyu Tuhan


Perdebatan mengenai teks Al-Quran sebagai wahyu Allah, pada dasarnya dimulai dengan wacana, apakah ayat-ayat Al-Qur’an itu bersifat qadim atau hadits? Artinya, apakah wahyu tuhan itu harus dipahami dan di-imani kesuciannya dari maknanya saja, ataukah makna dan lafadz bahasa Arabnya sekaligus. Pendapat dari Imam Hanafi ternyata lebih sepakat dengan pemahaman bahwa ‘makna’ adalah entitas wahyu, sedangkan pendapat dari Imam Syafi’i menganggap bahwa makna dan lafadz Al-Qur’an lengkap dengan bahasa Arab-nya adalah wahyu (Wijaya, 2004:1-3).

Seiring berjalannya waktu, pemahaman bahwa Al-Quran adalah wahyu dengan makna sekaligus lafadz arabnya, seperti memenangkan perdebatan ini. Apalagi sejak Khalifah Utsman bin Affan melakukan pembukuan Al-Qur’an yang diangkat dari para penghafal (hafidz), dan melahirkan apa yang disebut sebagi Mushaf Utsmani, saat itulah pemahaman terhadap Al-quran sebagai wahyu mulai mengalami pembekuan, yakni dianggapnya teks yang terkumpul dan dibukukan dalam Mushaf Utsmani sebagai wahyu dan sumber dasar Islam yang sakral.

Dengan semakin massifnya pemahaman di atas, ternyata muncul banyak konsekuensi, salah satunya adalah muncul gejala ‘Arabisasi’ dalam pemahaman mengenai Islam. Hal ini logis, karena bahasa Arab telah mendapat supremasi tinggi sebagai bahasa yang dipakai dalam wahyu, karena itu sakralitasnya telah menduduki hirarki puncak bagi umat Islam yang ingin berupaya memahami wahyu Tuhan.

Konsekuensi lebih jauh, juga merambah dalam wilayah kultural, di mana gejala konstruksi sosial di kalangan sebagian umat Islam semakin menunjukkan adanya sikap logosentrisme berlebih, seperti pemakaian artefak dan nilai budaya Arab dalam relasi sosial dan ekspresi nilai keagamaan tanpa memandang substansinya, bahkan bisa dikatakan muncul stigma bahwa ‘Islam adalah Arab’.

Pemahaman yang keliru dengan mengidentikkan Islam dengan Arab, justru membuat citra Islam di mata dunia semakin buruk. Banyak orang kemudian mengidentikkan Islam dengan burka, jenggot panjang, celana mata kaki, rajam, potong tangan, dan seterusnya. Padahal pemahaman itu bukan substansi dari ajaran islam, namun hanya sepenggal kisah historis dan konstruksi budaya di daerah tertentu.

Cukup sah jika dewasa ini Islam sering diidentikkan dengan terorisme, sikap ekslusif dan kekerasan. Citra seperti ini sebenarnya bisa diubah, apabila umat Islam mau membuka diri dan berupaya mengembangkan pemikiran Islam yang lebih progresif dan toleran. Hal ini penting mengingat bahwa Islam sesungguhnya adalah ajaran rahmatan lil alamin yang memberi keteduhan bagi seluruh umat manusia, bukan malah membuat orang ketakutan

Salah satu cara bagi kita untuk mengembangkan pemikiran Islam yang lebih kontekstual, adalah dengan membaca atau mentelaah kembali pemahaman kita mengenai wahyu tuhan. Berikut ini akan penulis bahas beberapa pemahaman yang berkembang mengenai pembicaraan seputar wahyu.

Sebagai sebuah bahasa, wahyu menurut Toshihiko Izutsu (1997:165-168) menyangkut adanya dua hal, yakni Tuhan dan firman, atau dalam bahasa strukturaisme Sausurean bisa dilihat dari segi parole (pengucapan) dan langue (sistem linguistik), dilihat dari aspek parole, artinya wahyu harus didekati dengan berupaya memahami apa yang dimaksud oleh Tuhan. Akan tetapi wahyu diturunkan oleh tuhan dengan melibatkan peran manusia (Muhammad), maka perspektif ini menunjukkan bahwa sebenarnya wahyu bukan semata supremasi alam Tuhan, melainkan selalu membumi sesuai keadaan alam manusia.

Berikutnya adalah memahami dari aspek langue, dalam artian bahasa Arab sebagai sebuah sistem bahasa yang dipakai dalam wahyu, Toshiro Izutsu masih mempercayai bahwa memahami wahyu harus merujuk pada bahasa Arab, dengan memakai analisis linguistik stuktural yang obyketif. Namun pemahaman tentang langue oleh Izutsu ini kemuidan di kritik oleh Nasr Hamid Abu Zaid (2001), dengan menambahkan bahwa bahasa wahyu memiliki hubungan dialektis dengan budaya.

Nasr Hamid Abu Zaid juga mencoba melakukan demistifikasi pemahaman secara radikal, dengan mengungkapkan bahwa wahyu sebagai firman tuhan (parole) adalah pembentuk budaya, sedangkan wahyu dalam bentuk langue yakni sistem pengucapan bahasa manusia, atau wahyu dalam mushaf utsmani adalah artefak atau realitas budaya yang terbentuk secara dialektis.

Dengan memahami bahwa Al-Qur’an (mushaf utsmani) merupakan hasil dialektika kultural, maka hal ini telah membuka ruang perdebatan yang sangat luas. Salah satunya adalah membongkar kembali pemhaman kita tentang sakralitas Islam-Arab, di mana tradisi yang selama ini dianggap sakral dan baku, ternyata merupakan realitas kemanusiaan yang profan.

Oleh karena itu, Al-Qur’an sebagai mushaf utsmani, atau wahyu yang sejatinya mengalami obyektifikasi dalam kehidupaan manusia, tidak mungkin dimaknai secara murni tekstual. Karena pemaknaan secara tekstual tanpa memperimbangkan aspek filosofis dan historis pada teks, akan mengakiibatkan pemaknaan menjadi ‘beku’, dan mengakar menjadi bentuk pemahaman ekslusif yang berbahaya, karena bisa menjadi legitimasi bagi kepentingan sosial politik tertentu yang tidak bertanggungjawab.

Demistifikasi al-qur’an sebagai wahyu (bahasa tuhan), menjadi teks atau realitas budaya, telah membuka bahwa al-qur’an atau Islam bukanlah teks yang ‘beku’, melainkan Islam menuntut adanya pembacaan secara terus-menerus sehingga mampu menjawab tantangan di segala zaman, bukan justru dimatikan menjadi monumen (Abdalla, 2002), untuk itu bentuk-bentuk pembekuan teks dalam wacana keislaman memang perlu untuk dikritik dewasa ini.

Di Indonesia, bentuk-bentuk pembekuan Islam dewasa ini juga masih banyak terjadi, seperti sikap keberagamaan yang intoleran, formalisasi syariah, fatwa semena-mena, dan seterusnya. Fenomena ini menjadi kontroversial di masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, dan tentu saja tidak bisa dipaksa oleh formalisasi aturan agama tertentu.

Untuk itu, pemahaman kita tentang wahyu tuhan atau ajaran Islam secara umum harus didudukkan secara kontekstual dalam ruang dan waktu yang dinamis. Oleh karenanya, tafsir keislaman menjadi sangat terbuka, dan tidak menjadi monopoli kebenaran (truth claim) salah satu pihak saja.

Dengan melakukan pembacaan Islam secara terus-menerus, umat Islam bisa menghindari adanya gejala pemhaman yang taken for granted dan jebakan pada tindak pemaknaan yang memaksa peniruan buta (taqlid). Untuk itulah upaya ‘membuka-kembali’ pintu ijtihad yang selama ini sudah dianggap final oleh sebagian kelompok memang penting untuk diupayakan, agar tradisi keagaman dalam Islam yang pluralis dan dialogis semakin tumbuh dan berkembang, untuk mendukung nilai-nilai demokrasi dan memperkuat civil society Indonesia yang cerdas dalam berpikir dan berakhlak.

Keakrabana al-Quran

ahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei hari ini (15/7) dalam pertemuan dengan para qari, peserta dan juri lomba al-Qur’an tingkat internasional ke-27 yang berlangsung di hari peringatan milad Imam Husain bin Ali (as) di Huseiniyah Imam Khomeini Tehran menyebut al-Qur’an sebagai tali Allah yang kokoh.

Beliau mengatakan, “Al-Qur’an telah menjanjikan kehidupan yang baik (hayatun thayyibah). Kehidupan yang baik ini adalah kehidupan yang diwarnai dengan kemuliaan, keamanan, kesejahteraan, kemerdekaan, ilmu, kemajuan, akhlak, kesabaran dan sifat memaafkan yang bisa diwujudkan dengan menjalin keakraban dengan al-Qur’an dan memegang erat tali Allah yang kokoh ini.”

Pertemuan nurani ini diawali dengan tilawah ayat-ayat suci al-Qur’an oleh para qari terkemuka dan pemenang lomba internasional al-Qur’an kali ini.

Ayatollah al-udzma Khamenei dalam pertemuan ini menyatakan bahwa keakraban dengan al-Qur’an akan membuka pintu bagi masuknya ilmu-ilmu ilahi dan hakihat Qur’ani ke dalam jiwa dan kalbu umat Islam. Beliau menjelaskan, “Sejak lama ada pihak-pihak yang berusaha memisahkan antara al-Qur’an dan maarif Qur’ani dari kalbu umat Islam. Sampai-sampai, di sebagian negara Muslim bab tentang jihad dihapuskan dari mata pelajaran Islam dan sekolah-sekolah Islam hanya untuk memenuhi selera musuh-musuh Islam.”

Pemimpin Besar Revolusi Islam menjelaskan tentang hayatun tayyibah yang dijanjikan al-Qur’an seraya mengatakan, “Dalam kehidupan hayatun tayyibah, sisi kehidupan individu dan sosial, ruh dan jasad manusia, serta dunia dan akhirat ada secara bersamaan.”

Beliau menambahkan, “Hayatun tayyibah yang dijanjikan al-Qur’an menjamin ketenangan jiwa, kedamaian, ketenteraman, kebahagiaan, kehormatan sosial, kemerdekaan, dan kebebasan umum. Salah satu mukaddimah awal untuk mewujudkan hayatun tayyibah adalah dengan penyelenggaraan majlis-majlis dan lomba al-Qur’an serta pendidikan para hafidz dan qari al-Qur’an.”

Rahbar lebih lanjut mengimbau para pemuda untuk memahami dan merenungkan makna dan kandungan al-Qur’an serta menghafalkan ayat-ayat sucinya. “Setiap kali orang berhubungan dengan al-Qur’an satu tabir kebodohan akan tersingkap darinya dan satu mata air nurani akan terpancar baginya,” kata beliau.

Menurut beliau, mendorong anak-anak dan para remaja untuk menghafal al-Qur’an adalah tindakan yang sangat bernilai. Mengenai hifdzul Qur’an beliau mengatakan, “Menghafal al-Qur’an akan memberi kesempatan kepada seseorang untuk merenungkan kandungan ayat suci karena pengulangan yang ia lakukan. Selain itu, menghafal al-Qur’an adalah karunia besar yang harus ia syukuri dan jangan sampai karunia ilahi ini terlepas dari tangannya.”

Ayatollah al-Udzma Khamenei menjelaskan, membaca al-Qur’an dari awal sampai akhir adalah satu kelaziman untuk mengenal maarif Qur’ani dan mengasah otak dengan ilmu-ilmu nurani ini. Beliau menambahkan, “Para guru dan pengajar tafsir memegang peran penting dalam menerangkan kandungan makna al-Qur’an dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar al-Qur’an untuk mereka yang haus akan maarif Qur’ani.”

Di bagian lain pembicaraannya, Pemimpin Besar Revolusi Islam membandingkan kondisi aktivitas Qur’ani setelah kemenangan revolusi Islam dengan kondisi sebelumnya. Beliau mengatakan, “Dalam 31 tahun terakhir, aktivitas Qur’ani yang agung ini terus bergerak maju dan banyak sekali pemuda yang bergabung dengan kelompok penghafal, qari dan peneliti al-Qur’an. ”

Rahbar menandaskan, “Berkat perhatian yang besar kepada al-Qur’an, pengaruh bangsa Iran di dunia semakin besar, dan bangsa ini semakin merasa kuat untuk resisten menghadapi musuh.”

Di awal pertemuan, Wakil Wali Faqih dan Penanggung Jawab Lembaga Wakaf dan Khairat Hojjatul Islam wal Muslimin Mohammadi menyampaikan laporan penyelenggaraan lomba internasional al-Qur’an ke-27 di Tehran, seraya mengatakan, “Lomba kali ini diikuti oleh 95 peserta dari 60 negara yang berlomba di bidang qiraah dan hifdzul Qur’an. 14 qari dan guru besar al-Qur’an tingkat internasional dan nasional dilibatkan untuk menjadi juri dalam lomba ini.”

Mohammadi menambahkan, “Di sela-sela lomba, panitia juga menggelar acara pemberian penghargaan kepada para muslimah aktivis Qur’ani dan menyelenggarakan seminar dengan makalah-makalah Qur’ani dengan tiga tema utama; al-Qur’an dan Ahlul Bait, Al-Qur’andan Basirah, serta al-Qur’an dan Ilmu Humaniora. Panitia juga mengadakan festival Qur’ani dan membuka pameran bertema al-Qur’an.”

Dalam pertemuan itu Dr Farajullah Shadzili, salah seorang juri asal Mesir setelah membawakan tilawah, dalam pembicaraannya menyinggung peringatan Bi’tsah Rasulullah dan hari milad Imam Husain (as). Dr Shadzili juga menyampaikan penghargaannya kepada Republik Islam Iran dan Pemimpin Besar Revolusi Islam yang telah memberikan perhatian besar kepada al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar