Jumat, 21 Oktober 2011

FILSAFAT ANALITIK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar filsafat, sepertinya memasuki suatu medan yang luas tiada bertepi, tiada rambu-rambu petunjuk jelas yang dapat menuntun ke jalan keluar yang paling tepat, sehingga semuanya menjadi serba misteri dan penuh problema. Perkembangan terakhir dari filsafat ilmu tersebut adalah sampainya filosof pada penelitian tentang bahasa, dan akan berkelanjutan tanpa berujung.
Munculnya filsafat menurut B. Russel berawal dari konsep tentang hidup dan dunia.[1] Para filosof dunia kebanyakan beranggapan bahwa yang satu haruslah sebagai substansi material. Bermula dari anggapan tentang asal segala sesuatu, Thales (585 SM) yang diberi julukan sebagai “Bapak Filsafat” beranggapan bahwa segala sesuatu berasal dari air.[2] Anaximinisme beranggapan bahwa substansi itu adalah udara, sedang heraklitos menganggapnya api, yang akan melahirkan intelegensia, dan jika ditinjau dari segi spritualnya api tidak lain adalah logos. Pytagoras (535-515 SM) dengan argumentasi deduktif matematikanya yang bercorak mistis percaya bahwa bilanganlah yang berperan sebagai pemersatu aneka ragam dalam suasana kosmos.[3] Parmedines (450 SM), doktrinnya telah berpengaruh terhadap plato. Sampai pada lahirnya teori atomis oleh Leucippus dan Demokraritus.[4] sampai pada Socrates, plato, dan Aristoteles. Pada abad ke XVIII dan awal abad ke XX terdapat dua aliran besar yang mendominasi pemikiran filsafat yaitu filsafat idealisme dan filsafat empirisme. Idealisme berkembang pesat dalam tradisi filsafat jerman sedangkan empirisme berkembang di inggris. Aliran filsafat tersebut berkembang terus menerus sampai pada abad ke XX ditandai dengan kemunculan filsafat bahasa yang dipelopori oleh filosof-filosof kontemporer yang menggunakan analisis bahasa melalui gejala-gejala yang nampak.
Untuk itu bahasa adalah alat yang paling penting dari seorang filosof serta perantara untuk menemukan ekspresi. oleh karena itu ia sensitif terhadap kekaburan serta cacat-cacatnya dan merasa simpati untuk menjelaskan dan memperbaikinya. Kebanyakan orang menganggap bahasa itu satu hal yang wajar, seperti udara yang kita isap, tetapi pada waktu sekarang, banyak ahli termasuk didalamnya filosof-filosof yang memakai “metode logical analitik” melihat bahwa penyelidikan tentang arti serta prinsip-prinsip dan aturan-aturan bahasa merupakan problema yang pokok dalam filsafat.[5]
Hubungan bahasa dengan masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filosof bahkan sejak zaman yunani. Para filosof mengetahui bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa. Sebagai contoh: problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakekat ada (Metafisika) dan pertanyaan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan metode analisis bahasa. Tradisi inilah oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai “Filsafat Analitik” yang berkembang di eropa terutama di Inggris abad XX.[6]  
Oleh karena itu kesimpulan akan lebih bermakna jikalau disampaikan, penyampaian lebih berarti jikalau kesimpulan tersebut sudah dianalisis terlebih dahulu. dan di dalam penyampaian pastinya terdapat bahasa, bahasa tak pernah lepas dari menerangkan dan diterangkan. di dalam filsafat bahasa ini kita membahas tentang Filsafat Analitik.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan dan uraian di atas maka penulis merumuskan beberapa permasalahan dalam pembahasan filsafat analitik ini sebagai berikut:

1.     Pengertian filsafat Analitik dan perkembangannya?
2.     Siapa Tokoh-tokoh filsafat Analitik dan pemikirannya?




BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian filsafat bahasa (Analitik) dan perkembangannya
Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.
Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun.[7]
Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara terminologi yaitu:
 Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.[8]
Roger jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.[9]
Didalam kamus populer filsafat, filsafat analitik adalah aliran dalam filsafat yang berpangkal pada lingkaran Wina. filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau metafisik. Juga ingin menyerupai ilmu-ilmu alam yang empirik, sehingga kriteria yang berlaku dalam ilmu elsakta juga harus dapat diterapkan pada filsafat (misalnya harus dapat dibuktikan dengan nyata, istilah-istilah yang dipakai harus berarti tunggal, jadi menolak kemungkinan adanya analogi). [10]
Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.[11]
Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.
Bilamana dikaji perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Ikedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga,  antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu.[12]
Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat.[13]
Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas si pembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan. [14]
Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap timbulnya filsafat analitika bahasa. Peranan rasio, indra, dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Oleh karena itu aliran rasionalisme yang menekankan otoritas akal, aliran empirisme yang menekankan peranan pengalaman indera dalam pengenalan pengetahuan manusia serta aliran imaterialisme dan kritisme Immanuel kant menjadi sangat penting sekali pengaruhnya terhadap tumbuhnya filsafat analitika bahasa terutama dalam pengungkapan realistas segala sesuatu melalui ungkapan bahasa.[15]

B.     Tokoh-tokoh filsafat Analitik dan pemikirannya
Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme logis’ (logical atomism), ‘Positivisme logis’ (logical empirism), dan ‘filsafat bahasa biasa’ (ordinary language philosophy).[16]
 Pada pembahasan tokoh ini penulis hanya menguraikan tiga tokoh utama dalam perkembangan filsafat analitik tersebut, sebagai berikut:

1.     Gottlob Frege
Para filosof analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), adalah filosof terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.
Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.[17]
Akar-akar analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan bernama G. Frege, ia memulai sebuah revolusi logika (analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filosof-filosof kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang.  Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan acuan.[18]
Frege juga menyusun notasi baru yang memunkinkan terekpresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa” dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filosof bisa menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.[19]
 
2. Bertrand Russell
Bertrand Russel (1872-1970)  lahir dari keluarga bangsawan. Pada umur 2 dan 4 tahun berturut-turut ia kehilangan ibu dan ayahnya. Ia dibesarkan di rumah orang tua ayahnya. Di Cambrige, ia belajar ilmu pasti dan filsafat, antara lain pada A. Whitehead. Kita sudah mendengar bahwa George Moore termasuk sahabatnya. Selama hidupnya yang amat panjang, ia menulis banyak sekali, 71 buku dan brosur) tentang berbagai pokok, antara lain filsafat, masalah-masalah moral, pendidikan, sejarah, agama, dan politik. Pada tahun 1950 ia memperoleh hadiah Nobel bidang sastra. Namanya menjadi masyhur di seluruh dunia terutama karena pendapat-pendapatnya yang nonkonformistis tentang moral dan politik. Dari sudut ilmiah jasanya yang terbesar terdapat di bidang logaika Matematis.[20]
Pemikiran filosofis Bertrand Russell  yaitu ia mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts). Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade 1920-30 an.
Jalan pemikiran Russell ini menawarkan jalan keluar untuk aliran atomisme logik. Atomisme logik berpendapat bahwa bahasa keseharian itu banyak menampilkan kekaburan arti. Russerl menawarkan dasar-dasar logico-epistemologik untuk bahasa. Russell mengetengahkan tentang fakta, bentuk logika, dan bahasa ideal. Dia mengetengahkan prinsip dasarnya, yaitu: ada isomorphisme (kesepadanan) antara fakta dengan bahasa, dan dunia ini merupakan totalitas fakta-fakta, bukan benda. Fakta dalam pemikiran Russerl merupakan ciri-ciri atau relasi-relasi yang dimiliki oleh benda-benda.[21]
Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut.[22] untuk itu tugas filsafat adalah analisis logis yang disertai dengan sintesis logis.
Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah maka Russerl menekankan bahwa konsep atomismenya tidak didasarkan pada mefisikanya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling dasar dalam filsafat, oleh karena itu pemikiran Russell dinamakan ‘atomisme logis’.[23]

3. Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein dilahirkan di wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan anak. Ayahnya berasal dari famili yahudi yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama katolik. Ayahnya seorang insinyur yang dalam jangka waktu sepuluh tahun berhasil menjadi pemimpin suatu industri baja yang besar.[24]  
Pada Tahun 1906 Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Setelah itu Ia pindah ke inggris dan melakukan penyelidikan tentang aeronautical selama tiga tahun. Karena tertarik kepada buku Principles of Mathematics tulisan Bertrand Russell, ia pergi ke Cambridge untuk belajar kepada Russell, ia mendapat kemajuan pesat dalam studi tentang logika. Setelah perang dunia I meletus, ia bergabung dengan tentara Austria sebagai sukarelawan dan ditawan oleh tentara Italia pada tahun 1918. setelah dibebaskan ia mengajar di sekolah, tetapi pada tahun 1929, ia kembali ke Cambridge untuk berkecimpung dalam filsafat. Pada tahun 1939 ia mengganti G.E. Moore sebagai guru besar fislafat di Cambridge University, Inggris. Karyanya merupakan factor penting dalam timbulnya aliran-aliran Logical Positivism, Linguistic Analysis dan semantics.[25]  
Adapun pemikiran filosofis Ludwig Wittgenstein yaitu:

a.   Periode pertama: Tractatus logico-philosophicus[26]
Konsep pemikiran Wittgenstein dalam buku Tractatus terdiri atas pernyataan-pernyataan yang secara logis memiliki hubungan. Pernyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Pertama: Dunia itu tidak terbagi atas benda-benda melainkan terdiri atas fakta-fakta, dan akhirnya terbagi menjadi suatu kumpulan fakta-fakta atomis yang tertentu secara unik (khas).
Kedua:  Setiap proposisi itu pada akhirnya melarut diri, melalui analisis, menjadi suatu fungsi kebenaran yang tertentu secara unik (khas) dari sebuah proposisi elementer, yaitu setiap proposisi hanya mempunyai satu analisis akhir.
Pernyataan-pernyataan tersebut secara rinci diperjelas lagi secara logis dalam pernyataan-pernyataan sebagai berikut:
Pernyataan pertama:
1.     Dunia itu adalah semua hal yang adalah demikian.
(The worlds is all that is the case)
        Dunia itu adalah keseluruhan dari fakta-fakta, bukan dari benda-benda.
(The World is the totality of fact not of thing)
        Dunia itu terbagi menjadi fakta-fakta (kenyataan-kenyataan).
(The World devides into facts)
2.     Apa yang merupakan kenyataan yang sedemikian itu, sebuah fakta adalah kebenaran suatu peristiwa.
(What is the case, a fact is the existence of states of affairs).[27]
Menurut Wittgeinsten yang dimaksud dengan fakta, adalah suatu peristiwa (state of affairs) atau keadaan dan suatu peristiwa itu adalah kombinasi dari benda-benda atau objek-objek bagaimana hal itu berada di dunia. Dunia itu bukanlah terdiri atas benda-benda, atau benda-benda itu bukanlah bahagian dunia. Namun, objek-objek itu merupakan substansi dunia. Jadi, yang dimaksud Wittgeinstein adalah bahwa sebuah fakta itu adalah suatu keberadaan peristiwa (state of affairs), yaitu bagaimana objek-objek itu memiliki interrelasi dan keadaan, hubungan kausalitas, kualitas, kuantitas, ruang, waktu, dan keadaan. Misalnya suatu keberadaan peristiwa yaitu bagaimana kedudukan pintu di antara dinding-dinding. Letak jendela di depan pintu pertama, enam jendela terletak di sebelah kiri ruang dan empat jendela terletak di sebelah kanan ruang, dan lain sebagainya.
Russell dalam pengantar buku ini mengatakan bahwa pemikiran Wittgeinsten dalam bukunya itu telah menggunakan suatu logika bahasa yang sempurna. Penggunaan logika bahasa yang sempurna tersebut menunjukkan bahwa pemakaian unsure-unsur bahasa seperti kata dan kalimat dilakukan secara tepat, sehingga setiap kata hanya mewakili suatu keadaan faktual (fakta) tertentu saja. Suatu logika bahasa yang sempurna mengandung aturan sintaksis tertentu sehingga dapat menghindari ungkapan yang tidak bermakna, dan memiliki symbol tunggal yang selalu memiliki makna tertentu dan terbatas(Unifornity).  
Teori gambar (picture Theory)
Wittgenstein dalam mengungkapkan realitas dunia terumuskan dalam suatu proposisi-proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Oleh karena itu proposisi-proposisi itu terungkapkan melalui bahasa, maka bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia.[28]
Dalam pengertian ini Wittgeinsten berupaya untuk benar-benar menempatkan struktur logika dalam mengungkapkan suatu realitas dunia dan hal ini juga pernah diungkapkan melalui konsep Aristoteles. Kerangka logis bahasa dalam mengungkapkan suatu benda itu menjadi semacam gambar timbul atau relief.
“proposisi saya” misalnya dalam bentuk perrnyataan Wittgeinsten, seperti dikutip oleh Jones, “ berfungsi sebagai penjelasan dengan beberapa cara berikut: setiap orang yang mengerti saya pada akhirnya akan mengenali semua ini (etika, moral, agama, seni) sebagai ‘yang bukan-bukan, ketika ia menggunakan  semua itu sebagai langkah untuk memanjat  melampaui mereka. Dengan begitu, ia harus membuang tangga setelah selesai memanjatnya.”[29]
Selain proposisi yang menggambarkan keberadaan suatu peristiwa, terdapat pula proposisi, terdapat pula proposisi-proposisi logika yaitu kebenaran-kebenaran yang berdasar pada prinsip-prinsip logis. Hal ini termasuk tautology-tautologi, atau kontradiksi-kontradiksi. Misalnya proposisi “Amin berada di rumah atau di luar rumah” yang merupakan kebenaran tautologies, dan “Amin berada di rumah atau tidak berada di rumah” yang merupakan suatu kontradiksi. Menurut Wittgeinsten proposisi logika sebenarnya tidak termasuk proposisi sejati, sebab tidak menggambarkan sesuatu. Proposisi-proposisi tersebut tidak mengungkapkan suatu pikiran, namun merupakan suatu kebenaran tautologies belaka dan tidak menggambarkan suatu bentuk peristiwa atau tidak merupakan suatu ‘picture’ dari sesuatu. Namun demikian menurut Wittgeinsten proposisi logika tersebut bukan berarti tidak bermakna, melainkan kebenarannya bersifat tautologies.

b. Periode Kedua: Philosophical Investigations
Dari buku-buku yang diterbitkan sesudah meninggalnya, Philosophical Investigations adalah satu-satunya karya yang dimaksudkan Wittgenstein sendiri untuk diterbitkan. Philosophical Investigations terdiri dari banyak pasal pendek (sering kali tidak melebihi beberapa kalimat saja; seluruh bagian pertama dibagi atas 693 nomor), yang yang hubungannya satu sama lain umunya tidak begitu erat. Untuk kita yang paling penting ialah pendapat baru tentang bahasa yang di kemukakan disini, dengan itu ia mengeritik pendapatnya dalam Tractus.
Supaya makna bahasa kita, dapat dimengerti, kita harus menerima adanya proposisi-proposisi elementer yang menunjuk kepada states of affairs dalam realitas. Di kemudian hari Wittgenstein menginsafi bahwa dalam teori pertama itu sebetulnya ia tidak memperlihatkan struktur tersembunyi dari segala macam bahasa, melainkan hanya melukiskan jenis bahasa tertentu. Dalam Philosophical Investigations ia menolak beberapa hal yang dulu diandaikan begitu saja dalam teori pertama, yaitu (1) Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan states of affairs (keadaan-keadaan faktual), (2) Bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan factual, dan (3) Bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna , biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Dalam philosophical Investigations ia menolak pendapatnya yang pertama. Menurutnya bahasa itu digunakan tidak hanya untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis melainkan digunakan dalam banyak cara (form of lifes) yang berbeda untuk mengungkapkan pembenaran, pertanyaan-pertanyaan, perintah, pengumuman  dan banyak lagi gejala-gejala yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Terdapat banyak sekali jenis-jenis yang berbeda dalam penggunaan bahasa.
Kemudian untuk menjelaskan bahwa bahasa dipakai dengan rupa-rupa cara, dalam Philosophical Investigations Wittgenstein mengintrodusir istilah language games (permainan-permainan bahasa), suatu permainan dapat dilukiskan sebagai aktivitas yang dilakukan menurut aturan.[30]
Permainan bahasa ini menggambarkan aktivitas manusia. Jika ilmu pengetahuan memiliki permainan bahasanya sendiri, maka kita juga bisa berpartisipasi di dalam permainan bahasa agama-agama, permainan bahasa estetika, dan banyak permainan bahasa lainnya. Pada titik ini, kata-kata memiliki maknanya dari penggunaannya di dalam suatu permainan bahasa tertentu.
Kalau pada periode pertama Wittgeinsten mengkritik bahasa filsafat yang dikatakannya bahwa penggunaan bahasa filsafat tidak memiliki struktur logis, sehingga ia mengungkapkan persoalan timbul karena para filosof yang menggunakan bahasa kurang tepat dalam mengungkapkan realitas melalui logika bahasa. Banyak ungkapan-ungkapan filsafat terutama ungkapan metafisis tidak melukiskan suatu realitas fakta dunia secara empiris, sehingga bahasa filsafat terutama metafisika, filsafat nilai, estetika, etika, dan cabang-cabang lainnya sebenarnya tidak mengungkapkan apa-apa. [31]
Namun demikian melalui konsep “tata permainan bahasa” ia berupaya menunjukan berbagai macam kelemahan bahasa dalam filsafat. Wittgeinsten menyatakan bahwa persoalan-persoalan filsafat timbul karena terdapat kekacauan dalam penerapan “tata permainan bahasa”.

 Apakah tugas filsafat dalam pandangan ini? Filsafat harus menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan sebagainya. Filsafat tidak campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya melukiskan fungsinya, dengan menerangkan cara bahasa dipakai sering kali masalah-masalah filosofis dapat dipecahkan.[32]
Dalam dua karya yang dibicarakan oleh Wittgenstein terdapat dua pandangan yang berbeda. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan untuk membedakan Witgeinsten I dan Witgeinsten II. Dengan dua pandangan ini ia menjadi sumber inspirasi bagi dua aliran filosofis yang cukup penting, biarpun kedua-duanya tidak disetujui oleh Wittgeinsten  itu sendiri. Disatu pihak lingkungan Wina yang memegang peranan penting kira-kira satu dasawarsa sebelum prang dunia II. Di lain pihak gerakan filosofis yang di tunjukkan dengan pelbagai nama, antara lain, “filsafat analisis”. Gerakan ini mulai berkembang di Cambridge, tetapi sesudah perang dunia II terutama berpusat di Oxford. Terpengaruh oleh Wittgeinsten II, mereka berpendapat bahwa filsafat harus berpegang pada prinsip Don’t ask for the meaning, ask for the use (jangan tanyakan makna, tanyakanlah pemakaian bahasa).

 

BAB III
PENUTUP

Dari uraian tentang filsafat Analitik diatas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1.             Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.
2.             Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, akan tetapi filsafat bahasa tersebut menjadi populer pada abad ke XX dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa.
3.             Adapun tokoh-tokoh yang melahirkan filsafat analitik  dan pemikirannya sebagai berikut:
a.     Gottlob Frege dengan pemikiran filosofis metode logika yang rigorus sebagai metode filsafatnya.
b. Beltrand Russel dengan pemikiran Atomisme Logic.
c.     Ludwig Wittgeinsten dengan dua pemikiran dalam karyanya yaitu, pada periode pertama, Tractatus logico-philosophicus. dan pada periode kedua, Philosophical Investigations



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna, Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Jakarta: Kanisius, 1975

-------------. Filsafat Barat Kontempoter  Inggris-Jerman, Cet. IV; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002

Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: PT Gramedia, 2006


Hartoko, Dick. Kamus Populer Filsafat, Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa, Cet. I; Jakarta: PT. Rosdakarya, 2006


Kaelan M.S. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan, Cet. I; Yogyakarta: Paradigma, 2006

Mudhofir, Ali. Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996

Nolan, Richard T., Harold H. Titus, dan Marilyn S. Smith. Living Issues In Philosophy, dialih bahasakan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat, Cet. I; Jakarta: P. T. Bulan Bintang, 1984

Palmquis, Stephen. The Tree of Phylosophy, diterjemahkan oleh Muhammad Shadiq dengan judul, Pohon Filsafat, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Russel, Bertrand. History of Western philosophy, Oxford: Alden Press, 1974

Salliyanti. Peranan Filsafat Bahasa dalam Perkembangan Ilmu Bahasa,  Medan: USU, 2006

Umar, Mustofa. Tesis “Konsep Penciptaan Alam Menurut Hadis Qudsi” (Sebuah Kajian Filosofis dan Sufistik), Makasar: PPs Alauddin Makasar, 1998
 



[1]Bertrand Russel, History of Western philosophy (Oxford: Alden Press, 1974), h. 13

[2]Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Jakarta: Kanisius, 1975), h. 26

[3]Mustofa Umar, Tesis “Konsep penciptaan Alam Menurut Hadis Qudsi” (Sebuah Kajian Filosofis dan Sufistik), (Makasar: PPs Alauddin Makasar, 1998), h. 2

[4]K. Bertens. Op. Cit., h. 82
[5]Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, Living Issues In Philosophy, dialih bahasakan oleh H. M. Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat (Cet. I; Jakarta: P. T. Bulan Bintang, 1984), h. 358

[6]Salliyanti, Peranan Filsafat Bahasa dalam Perkembangan Ilmu Bahasa (Medan: USU, 2006), h. 1
[7]Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT Gramedia, 2006), h. 24

[8]Ibid., h. 9

[9]Zainal Abidin, Semantika; Pengantar Studi Tentang Makna (Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo persada, 2004), h. 76
[10]Lihat Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 4 
[11]Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat dan Teologi (Cet I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 8

[12]Lihat Kaelan M.S, Perkembangan filsafat Analitika bahasa dan pengaruhnya Terhadap ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Paradigma, 2006)  h. 7

[13]Ibid.,
[14]Lihat Noeng Muhadj, Filsafat Ilmu Positivisme, PostPositivisme, dan PostModernisme (Cet. I; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 98

[15]Kaelan M.S, Op. Cit.,  h. 8

[16]Ibid., h. 15
[17]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik/

[18]Stephen Palmquis, The Tree of Phylosophy, diterjemahkan oleh Muhammad Shadiq dengan judul, Pohon Filsafat (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 200

[19] Ibid.
[20]K. Bertens, Filsafat Barat Kontempoter  Inggris-Jerman (Cet. IV; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 26

[21]Noeng Muhadj, Op. Cit., h. 99

[22]http://rezaantonius.wordpress.com/2008/02/24/filsafat-analitik/

[23]Kaelan M.S, Op. Cit., h. 25

[24]K. Bertens, Filsafat Barat Kontempoter……  Op. Cit., h.  41

[25]Harold H. Titus, Marilyn S. Smith dan Richard T. Nolan., Op. Cit., h. 370

[26]Pemikiran Wittgeinsten tertuang dalam Buku ini sebagai karya besar pertama ketika ia memperkuat visi dasar atomisme logis. Buku ini tidak lebih dari 75 halaman saja yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agak pendek. Yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga terdapat tujuh dalil pokok yang dibagi-bagi menurut sistem desimal. Kaelan M.S, Op. Cit,.  h. 39

[27]Ibid., h. 40

[28]Ibid., h. 43-44

[29]Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa (Cet. I; Jakarta: PT. Rosdakarya, 2006), h. 46
[30]K. Bertens, Filsafat Barat Kontempoter……  Op. Cit., h.  52

[31] Kaelan M.S, Op. Cit,.  h. 70
[32]Ibid., 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar