Alamat : Lombok
Sekolah : Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Jurusan : Agama & Filsafat
Semester : II. A
A. Peranan Filsafat analitika bahasa dalam
interpretasi nilai agama
Sebagaimana kita
ketahui bahwa, Filsafat Analitika Bahasa merupakan “metode yang khas untuk
menjelasakan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan Filosofis”.
Dan proses penguraian dan pengujian tersebut hanya bisa dilakukan melalui
bahasa karna bahasa memiliki pungsi kognitif. Atau Menurut Rudolph Carnap,
filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax
logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan
bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.
Peranan Filsafat
analitika bahasa yang lebih kongkret adalah dalam kajian pendidikan. Dimana pada Filsafat analitika bahasa yang menggunakan pendekatan analitik linguistik misalnya, untuk menguji
rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan
menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Dengan demikian
gagasan-gagasan tersebut dapat memberi kntribusi nyata dalam pemahaman
nilai-nilai agama.
Disamping itu, memahami nilai-nilai agama sudah barang tentu harus memahami
bener bagaimana bahasa agama itu sendiri. Karna hampir agama dalam hal ini,
hukum, etika bahkan teologi dan keyakinan sangatlah ditentukan olhe bahasa itu
sendiri. Kita juga mengetahui bahwa dalam bahasa agama banyka terdapat
kata-kata yang berbentuk sinonim dan antonim, kata baku, kata pecahan dan
lain-lain. Terlebih lagi adanya bahasa metaforis yang kadang bila kita tidak
bisa fahami dengan bener, kita agak sulit memahaminya. Dengan adanya analitika
bahasa ini, maka segala kerancauan pembacaan dan kebingungan dalam memahami
kata akan dapat diatasi dengan mudah.
B. Metodologi yang
relevan dalam aplikasi
Mencari metode
yang relevatif barang kali butuh waktu sebelum menetukan metodologi yang tepat.
Karna satu sisi kita dihadapkan oleh sejumlah problem yang membutuhkan analisis
secara elaborative. Namun bila saya sendiri melihat dua pendekatan besar yang
ada pada tubuh Filsafat Analitika Bahasa yakni Analitik Linguistik dan Anilitik
Positivistik Logis. Dan yang paling relevan menurut saya adalah menggunakan
metode Analitik Linguistik yang mengandung arti bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna
istilah.
C. Contoh-contoh
kongkrit
Contoh yang bisa kita rasakan misalnya dalam pembelajaran bidang
pendidikan, ketika kita memperkenalkan konsep “ cara belajar siswa aktif” .
Dengan menggunakan tata bahasa dan logika, kita kaji konsep tersebut dengan
cara menganalisis dari sudut pandang tertenu. Pendekatan analitik linguistik
menguji secara logis konsep-konsep pendidikan seperti “manusia seutuhnya”,
“tujuan pedidikan”, “pendidikan seumur hidup”, kedewasaan”, dll.
2. A. Prinsip-prinsip dasar semiotika dari teori
Ferdinand de Saussure
Perlu diketahui
bahwa dalam semiotika Saussure ia menggunakan pendekatan “anti-historis”
dengan melihat bahasa sebagai bahasa yang utuh dan harmonis secara internal
yang kemudian menggunakan teori “Strukturalisme”. Paling tidak ada lima
prinsip dasar yang dikembangkan Saussure-sebagaimana tulis Kailan dalam bukunya
Filsafat Semiotika yakni :
1.
Penanda (Signifer) dan Petanda
(Signifed)
: bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda dan setiap bahasa tersusun dari
dua bagian yakni tanda dan penanda. Dimana tanda bahasa itu sendiri tidak bisa
dilepaskan dari dua unsure yakni unsure Signifer dan Signifed karna suatu tanda
tampa adanya penanda tidak berarrti apa-apa dan memang tidak bia dikatakan
sebagai sebuah tanda dan ia membentuk suatu kesatuan bagai dua sisi dari
sehelai kertas.
2.
Bentuk(Form) dan Isi (Content) : di sini berarti
bahasa bersistem nilai bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tapi
system itu ditentukan oleh perbedaanya. Intinya bahwa dalam teori kedua ini
Saussure lebih memntingkan system nilai itu snediri dari pada wadah yang ada
pada system tersebut. Dalam hal ini Saussure membedakan antara bentuk dan isi
yang sebenarnya sama. Misalnya kita menaiki Bis Safari Darma antar profinsi
selama beberapa kali dan kemudian yang kita naiki itu bis yang sama, namun
barang kali unsure-unsur bi situ semisal kaca, sepion, pintu ada yang sudah
diperbaiki. Namun kita tidak bisa mengatakan in Bis lain, padahal yang berubah
itu hanyalah kaca sepion misalnya. Oleh karna itu kita tetep mengatakan bentuk
itu sama
3.
Bahasa(Language) dan Tuturan(Paralol) ; Dalam
pandangan Saussure, Language dimaksudkan sebagai bahasa sejauh milik bersama
dari suatu golongan tertentu. Dimana Language ini berakar pada diri individu
sesorang maupun social yang diamksudkan sebagai cabang linguistic yang menaruh
perhatian dari tanda-tanda atau sebagai kode bahasa. Dan Sussure menegaskan
bahwa Language harus dianggap sebagai sebuah system, dan di sini kita tidak
melihat bentuk dari bahsa tersebut. Namun yang terpenting adalah system dari
bahasa tersebut yang meliputi aturan-aturan yang mengkonsistusikan dari
unsure-unsur yang menyatukannya satu sama lain. Intinya bahwa sebagaimana
keterangan Kailan pada perkuliahan lalu, bahasa itu adalah objek social yang
murni yang merupakan seperangkat konvensi sistemik dalam kontek interaksi. Hal
yang berbeda denga Tuturan (Pararlol) dimana ia merupakan suatu bahasa yang
hidup yang lebih memperhatikan factor pribadi pengguna bahasa dan unit dasar
bahasanya adalah kalimat bila unit dasar Language adalah kata_dan bersifat
diakronik bila Language disipatkan dengan singkronik.
4.
Singkronik(Synchronic) dan
Diakronik(Dyachronic):
dalam hal ini_oleh Saurruse yang harus diperhatikan adalah linguistic harus
melihat singkronis yakni melihat keadaan tertentu dari bahasa tersebut yang
meliputi zaman tertentu) semisal bahasa “Sasak” bagaimana model bahasa sasak
pada waktu dulu sekitar tahun 45-an misalnya tampa mempertimbangkan alur waktu,
terlebih dahulu sebelum menghiraukan diakronis yakni kebalikan dari singkronis
dalam arti penelusuran bahasa berbasis waktu yang nantinya apakah ditemukan
suatu perubahan dari tahun sekian sampai tahun sekian atau mengalami perlusan
konotatif dan sebagainya. Dan inilah hal yang Saussure tekankan dalam sebuah
penelitian terutama mengenai bahasa dimana kedua pendekatan ini sangatlah perlu
dan yang harus didahulukan adalah pendekatan singkronis.
5.
Sintagmatik(Syntagmatic) dan
Associatic(Pragmatik)
: Dan inilah teori yang tak kalah pentingnya dalam analisa Saussure, dimana
Studi tentang suatu perbedaan daintara tanda-tanda adalah mengenai Sintagmatik
dan paradigmatic. Dimana suatu benda memiliki serangkaian yang membentuk
sintagmati(yakni sekumpulan tanda berutan secara logis) dan memiliki hubungan
paradigmatic(Dalam arti bisa saling menggantikan_tentunya relevan dengan benda
tersebut.)
B. Peranannya dalam
penafsiran nilai keagamaan
Dalam konteks
interpretasi terutama yang menyangkut tentang teks, dalam hal ini adalah bahasa
agama yakni al-Quran dan al-Hadits, memeiliki titik relevansi dengan tingkat
interpretasi. Dimana teks Agama secara dogmatic merupakan suatu teks yang tidak
bisa dilepaskan dengan unsure semiotic. Dengan demikian peranannya sangatlah
penting bila kita ingin memahami agama dengan benar. Dalam hal ini adalah teori
ke-4 dari Saussure yang merupakan prinsip dasar dari teorinya yakni “Synchronic
dan Dyachronic”. Keduanya ini memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan
dalam hal mengkaji teks-teks agama. Sebutlah misalnya dalam menganalisis
ayat-ayat yang menyangkut tentang ayat Muhkam dan Mutasayabbih dalam al-Quran.
Sebagaimana Arkun dalam teori limitnya, ia juga menggunakan pendekatan
Singkronik dan Diakronik yang kemudian menghasilkan pembedaan anatar Nubuwwah
dan Rusulah, pembedaan anatar al-Quran dan al-Kitab, pembedaan anatara Inzal
dan Tanzil dll. Dimana kedua istilah ini memiliki makna yang jauh berbeda
dengan pasangannya, misalnya kata al-Quran berbeda dengan al-Kitab, Nubuwwah
berbeda dengan Rusulah dll. Dan saya sendiri merasakan bener apa yang
dikemukakan Arkun dalam teori tersebut dan saya menjadi bener-bener paham dari
maksud keduanya. Dimana kebanyakan Muslim memahami kata tersebut adalah sama,
namun setelah mengggunakan pendekatan Singkronik dan Diakronik ternyata kita
menemukan makna yang lebih dapat dipercaya.
3. A. Perbandingan teori Linguistik tradisional dan
Struktural
Perbedaan
mendasar yang bisa kita tangkap dari kedua aliran Linguistik ini tercermin dari
cirri-ciri umum yang ada pada masing-masing aliran. Dimana secara historis
kemunculan Linguistik Tradisional ini bermula dari Plato dan Aristoteles yang
walaupun sebenarnya baru berkembang pesat pasca Yunani. Sedangkang aliran
Struktural ini lahir pada awal abad
ke-20 tepatnya 1916 yang berlandaskan pada behavioristik_dimana pada awalnya
aliran ini menempatkan bentuk dan makna dalam kedudukan yang seimbang, namun
kemudian mengalami varain-varian yang kadang penekanannya lebih pada bentuk dan
kadang lebih pada makna. Perbandingan yang bisa kita tarik dari kedua aliran
ini adalah sebagai berikut:
1.
Teori Linguistik Tradisional :
a)
Bertolak pada Pola Pikir Secara
Filosofis
b)
Tidak membedakan antara bahasa
dan tulisan
c)
Senang bermain dengan definisi
d)
Pemakaian bahasa berkiblat pada
kaidah
e)
Untuk sekelas Level-level
Gramatik belum ditata rapi
f)
Tata bahasa didominasi oleh jenis
kata(Part of Seech)
2.
Teori Linguistik Struktural :
a)
Paradigmanya adalah paradigm
Behavioristik
b)
Bahasa berbentuk ujaran
c)
Bahasa berupa system tanda
(Signified an Signifiant)
d)
Bahasa merupakan paktor kebiasaan
e)
Untuk Gramatika berdasarkan
keumuman
f)
Level-leve Gramatik ditata rapi
g)
Adanya penekanan analisis pada
bidang morfologi
h)
Bahasa merupakan deretan
sintagmatik dan paradigmatic
i)
Analisis bahasa menggunakan
pendekatan deskriptif
j)
Analisis struktur bahsa
berdasarkan Unsur langsung
B. Peranannya dalam
pemahaman dan penafsiran nilai agama
Saya sendiri melihat
peranan bahkan kerelevenan linguistic tradisonal dan terutama strukturalisme
ini sangatlah sepadan dengan apa yang pernah digunakan para mufassir kelasik.
Umumnya dalam Islam metode penelitian tafsir yang selama ini dikenal terdapat
empat klasifikasi, yaitu (1) tafsir tahlily ‘analitis’, (2) tafsir ijmaly
‘global’, (3) tafs muqaran ‘perbandingan’, dan (4) tafsir maudhu’i
‘tematik’ (Al-’Aridl 1994:4). keempat konsep tersebut masih memerlukan teknik
yang bersifat operasional.
Dan bila ditelaah, para mufassir yang telah menghasilkan
beberapa kitab tafsir yang cukup populer di kalangan kita, seperti kitab tafsir
al-Kasysyaf oleh al-Zamakhsyari, kitab tafsir Jalalain oleh Jalaluddin
al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, kitab tafsir al-Baidhowi, dan lain-lain
telah meggunakan ancangan linguistik struktural. Sebuah karya yang lebih dahulu
dari pada munculnya konsep linguistik struktural tersebut perlu menjadi
perhatian untuk dikaji lebih mendalam agar tidak terjadi stagnasi metodologis
terutama dalam membedah struktur kalimat pada setiap ayat.
Maka ancangan, metode, dan teknik yang dipakai oleh kalangan
linguistik struktural terutama yang dipelopori oleh de Saussure dan
dikembangkan oleh Bloomfield, dan lain-lain dapat dijadikan sebagai alternatif
dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur’an. Teknik yang dimaksud adalah (1) teknik
substitusi (ganti), (2) teknik ekspansi (perluas), (3) teknik intrupsi (sisip),
(4) teknik delisi (lesap), dan (5) teknik permutasi
Sebagai contoh
kongkret pernanannya dalam konteks penafsiran adalah penafsiran dalam yang dilakukan Syaikh Zamakhsyari dalam
Tafsir al-Kasysyafnya dan Jalalain dalam tafsirnya Jalalinnya.
Misalnya dalam al-Kasysyaf, ketika menafsirkan
al-Baqarah(2):115:
ولله المشرق
والمغرب “(1a) bagi
Allah timur dan barat”(Al-Zamakhsyari II: 118). Syaikh Al-Zamakhsyari
menafsirkan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
و[بلاد]
المشرق و[بلاد] المغرب [كلها] لله
“Dan [negeri] timur dan barat [serta seluruh negeri
adalah] milik Allah”
Dari contoh di atas, menunjukkan bahwa al-Zamakhsyari dalam
menafsirkan ayat menggunakan teknik permutasi (teknik balik), yaitu
membalik kata Allah yang semula berada di depan kalimat lalu ditempatkan
diakhir kalimat. Di samping itu contoh tersebut juga menunjukkan adanya
penyisipan kata bilad ‘negeri’ dan al-ardh kulluha ‘seluruh
negeri’. Penyisipan ini dalam analisis linguistik struktural disebut dengan
istilah teknik intrupsi (sisip).
Dari contoh penafsiran di atas
membuktikan bahwa para penafsir Alqur’an telah menggunakan analisis ilmiah
terhadap satuan lingual kebahasaan dengan ancangan analisis linguistik
struktural dalam membedah makna yang terkandung di dalam Alqur’an. Dengan
demikian, peranan Linguistik F.de Saussure ini dalam konteks penafsiran
sangtlah relevan sebagaimana yng dilakukan para mufassir klasik di atas. Dan
barang kali cukuplah satu model yang bisa kami uraikan. Karna ada juga yang
mirip dengan ini sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Jalaluddin al-Mahali
dan Syaikh Jalaluddin as-Suyuti dalam tafsir Jalalainnya.
4.
A. Uraian singkat
tentang Teori Filsafat Bahasa Positivisme dan Ordinary Language Philosofy.
1)
Teori Filsafat
Positivisme
Sebagaimana
kita ketahui bahwa Filasafat Bhasa Positivisme dapat dikembalikan kepada masa
Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804) yang sangat menekankan pada aspek-aspek
ilmiah haruslah diuji melalui percobaan, yang kemudian dilaksanakan secara
penuh oleh Kant dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap
pikiran murni). Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill
(1803-1873)—filsuf logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903)
yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX
dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir
untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer) dan seterusnya.
Intinya
dalam Filsafat Bahasa Positivisme memperkenalkan Asas Verifikasi (Mabda’
Al-Tahqîq). Hal inilah yang membuat para pengikut positivisme berpendapat bahwa
suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi
tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Dan proposisi ini oleh Hum dibagi
menjadi dua bagian yakni : a). proposisi logis dan matematis, b). proposisi
empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah yang dianggap memiliki arti. Oleh
karena itulah para pengikut positivisme menolak proposisi-proposisi yang ada
dalam metafisika, dengan alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat
digolongkan ke dalam salah satu dari dua jenis proposisi di atas.
Dan
suatu proposisi dinilai benar atau salah tergantung pada jenis proposisinya,
dan dalam hal ini dikenal ada dua macam proposisi yang sering dipakai yakni :
a). Proposisi berita (al-qadhîyah al-ikhbârîyah) yang merupakan proposisi yang
memberitakan pengetahuan baru bagi kita, b). Proposisi pengulangan (al-qadhîyah
al-tikrârîyah, repetisi) yang merupakan proposisi yang unsur-unsur predikatnya
merupakan pengulangan dari unsur-unsur subyeknya.
2) Ordinary Language Philosofy
Ordinary
Language Philosofy atau yang disebut dengan
Filsafat Bahasa Biasa (juga dikenal
sebagai Filsafat Linguistik) adalah sekolah filsafat abad ke-20 bahwa
pendekatan masalah-masalah filosofis tradisional sebagai berakar pada
kesalahpahaman filsuf mengembangkan dengan melupakan kata-kata apa yang
sebenarnya berarti dalam bahasa, dan membawa mereka dalam abstraksi dan keluar
dari konteks. Hal ini biasanya melibatkan menghindari filsafat
"teori" yang mendukung perhatian dekat dengan rincian penggunaan
bahasa sehari-hari "biasa". Jadi, berpendapat, kontemplasi bahasa
dalam penggunaan normal, dapat "melarutkan" penampilan masalah
filosofis, daripada mencoba untuk menyelesaikannya.
Jadi, misalnya, dalam menjawab pertanyaan seperti
"Apakah Kebenaran?", Kita tidak bisa berasumsi bahwa ada beberapa
"hal" yang sebenarnya kata "kebenaran" mewakili. Sebaliknya,
kita harus melihat cara-cara berbeda di mana kata "kebenaran"
sebenarnya fungsi dalam bahasa biasa. Dalam hal ini, filsuf Bahasa Biasa
cenderung untuk menentang esensialisme (gagasan bahwa semua entitas memiliki
sifat intrinsik yang dapat dilihat oleh akal). Dan beberapa orang melihat
Filsafat Bahasa Biasa sebagai istirahat lengkap dengan, dan reaksi melawan,
"filsafat bahasa yang ideal" dari Filsafat Analitik gerakan; orang
lain melihatnya hanya sebagai perpanjangan, atau tahap lain, tradisi Analitik.
Either way, itu menjadi sebuah sekolah filsafat yang dominan antara tahun 1930
dan 1970, dan bisa dibilang tetap menjadi kekuatan penting di masa kini-hari
filsafat.
B. Peranan dan relevansinya dalam
penelitian agama
Pada tahap teologis, keluarga merupakan
satuan sosial yang dominan,dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang
memunculkan rasanasionalisme/ kebangsaan ) menjadi
suatu organisasi yang dominan. Dalam tahappositif muncul keteraturan
sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industridimana yang dipentingkan
disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lainComte mengusulkan adanya
Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnyasuatu keteraturan sosial dalam
masyarakat positif ini ) Sifat dasar dari suatuorganisasi sosial suatu masyarakat
sangat tergantung pada pola-pola berfikir yangdominan serta gaya intelektual
masyarakat itu. Dalam perspektif positivismestruktur sosial sangat mencerminkan
epistemologi yang dominan, dan kaumpositivis percaya bahwa begitu intelektual
dan pengetahuan kita tumbuh makamasyarakat
secara otomatis akan ikut bertumbuh pula.
Diantara ajaran dasar positivisme
adalah berikut ini :a). Di
dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui) .
Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui).
Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada
faktatidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akald)Hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahuie)
Dari unsure unsure yang terdapat
dalam lingkup positivism ini juga terdapat dimensi relevansif terhdapa
pengembangan penelitian keagamaan. Dengan demikian, peranan filsafat bahasa
positivism sangat dipentingkan terutama dalam konteks kajian yang menyangkut
tentang dimensi dimensi di atas.
.
C. Contoh kongkrit
Bila dipandang dari aspek obyek dan ruang lingkupnya,
makapositivisme akan dapat menghasilkan asumsi-asumsi sebagai berikut :a.Di
dalam pandangan positivisme segala sesuatu adalah riil (real) atau nyata, sehingga di dalam
fenomena/gejala sosial segala sesuatu yangtidak nyata dianggap bukan
fenomena/gejala sosial.b.Positivisme memandang benda-benda yang ada disekitar
kitamerupakan sebuah obyek, sedangkan yang hanya ada di dalam pikiran kita bukanlah obyek.
Misalnya dalam penelitian keagamaan yang menyangkut kemasayarakatan yang ideal dalam islam.
Masyarakat merupakan realitas yang
dsangat kongkret dan dapat menghasilkan data data empiris. Ini juga
disinggung dalam al-Quran sendiri, dimana masyarakat merupakan objek hukum yang
menjadi pusat perubahan sebagaimana dikehendaki Islam..
Selain itu juga dalam penelitian
etika, dimana prilaku itu menjadi satu bjek yang nyata dan dapat ditelaah
dengan teori teori berbasis empiris. Dan barang kali untuk ukuran masyarakat
modern sekarang kajian dengan pendekatan filsafat positivism ini sedikit lebih
menyentuh dan mengenak pola perubahan fikiran.
5.
A. Hubungan
Hermenutika dengan Filsafat bahasa
Sebagaimana kita
ketahui bahwa, objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah
hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara
hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamer’s Philoshopical hermeneutics
dinyatakan, Gadamer places language at
the core of understanding. Kemudian,
menurut folosof bahasa Wittgenstein “ Batas bahasaku adalah batas
duniaku”. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian
disuslu bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Di samping
itu, hermeneutika memberikan model pemahaman -dan cara pemaknaan-yang sangat
mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.
Dalam pada itu, sebenarnya perhubungan Hermeneutika
dengan Filsafat Bahasa sudah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani, dimana
para Filosuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan
melalui suatu analisis bahasa dan ini merupakan sutu perubaha yang amat
penting. Di samping itu kita mengetahui tugas hermeneutika adalah untuk
melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah
tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pada itu, oleh filosof H.G.Gadamer mengatakan bahwa
bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan
wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Gadamer
telah menyederhanakan status manusia di dunia ini sebagai bagian yang
seakan-akan tidak terbedakan dari dunia itu sendiri. Kita tidak mungkin bisa
berbuat sesuatu di dunia ini tanpa menggunakan bahasa. Melalui bahasa setiap
orang menemukan jati dirinya sendiri. Bahasa tidak boleh kita pikirkan
sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan di dalam diri seseorang. Kata-kata
atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan. Kata-kata atau
ungkapan seseorang itu mempunyai tujuan tersendiri atau penuh dengan
maksud. Oleh karena itu terkadang setiap kata tidak pernah bermakna, meskipun
kita tahu bahwa kata-kata itu bersifat konvensional atau perumusannya tidak
mempunyai dasar logika, namun pada kenyataannya kata-kata itu tidak pernah
dibentuk secara aksidental saja atau asal-asalan.
Selain itu
beberapa hubungan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1)
Adanya hubungan komunikatif. Dimana dalam dunia Hermeneutik, bahasa
digunakan sebagai bahasa sehari-hari baik dalam kehidupan kongkret dan lainnya.
2)
Adany hubungan Integrtaif. Dimana dalam komunikasi itu bahasa mengungkapkan
makna yang individual yang melibatkan tiga kelas ekspesi kehidupan yaitu:
lingusitik, tindakan dan pengalaman.
3)
Adany hubungan interpretatif, dimana bahasa dan tindakan saling
megintrepetasikan ketiga kelas ungkapan kehidupan itu.
4)
Adanya hubungan pragmatis, dimana bahasa sebagai sarana dalam komunikasi,
sehingga dengan demikian bahasa memiliki fungsi pragmatis dalam hermeneutika,
yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan ekspresi tubuh dan pengalaman.
B. Peranannya dalam
metode penelitian agama
Konteks Hermeneutika sebagai metode penelitian, paling tidak ada tiga hal asumsi dasar dalam
penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan hermeneutik, yakni: a). Para penafsir
adalah manusia. Siapapun yang menafsirkan teks kitab suci adalah manusia biasa
yang terikat oleh ruang dan waktu tertentu, dimana hal ini akan berpengaruh
terhadap corak penafsirannya. Dengan asumsi ini maka vonis mutlak akan benar
dan salahnya penafsiran diharapkan tidak akan terjadi, sehingga lebih mengarah
pada pemahaman dan analisa yang kritis terhadap penafsiran, b). Penafsiran
tidak lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi. Sehingga pergulatan umat muslim
dengan al-Qur’an juga berada dalam “ruang” ini, c). Tidak ada teks yang menjadi
wilayah bagi dirinya sendiri.
Namun demikian,
saya sendiri belum membenarkan secara mutlak kerelevannya, dikarnakan ada
beberapa ayat yang memang tidak bisa disentuh dengan sentuhan hermenutika.
Karna ada beberapa hal yang masih terasa ganjal dalam tubh penafsiran sebagai
sebuah metodologi misalnya Pertama, hermeneutika menganggap semua teks
sama, semuanya merupakan karya manusia sebagai ‘produk sejarah’. Bila
diterapkan pada al-Qur`an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap
status al-Qur`an sebagai kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, sekaligus
menggugat kemutawatiran mushhaf ‘Utsmaniy. Asumsinya bisa karena itu dipaksakan
oleh penguasa waktu itu, akibat hegemoni bangsa Arab, dan lain sebagainya. Kedua,
praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan
kebenaran dari mana pun datangnya, dan terus menerus terperangkap dalam apa
yang disebut ‘lingkaran hermeneutis’, di mana makna senantiasa berubah. Tidak
ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut sebagian orang,
mungkin salah menurut orang lain. Karena kebenaran sangat bergantung pada
konteks zaman dan tempat tertentu. Dan inilah yang mebdekana antara teks
al-Quran dan teks Bible, dimana al-Quran adalah abadi, sementara Bible tidak
demikian.
Namun juga kita
tidak bisa mengelakkan, dalam perkembangannya hermenutika pada beberapa ayat
tertentu relevan sebagai sebuah metodik. Untuk menjawab keniscayaan itu, kami
menguraikan relevansi Hermenutika Pazlu Rahman sebagai berikut: a). Hermeneutika
Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Muslim dengan temuan
hermeneut Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena
hermeneutika difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci
al-Qur’an, b). Menggeser paradigma dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah
etis-antropologis, c). Teori gerakan ganda membuat hermeneutika Rahman
menebarkan nilai-nilai etis karena ideal moral menjadi tujuan utamanya, d).
Menegakkan etika sosial dalam Islam modern. Pergeseran paradigma dari dari
wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan
atas tujuan etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia
sebagai mahluk luhur.
C. Contoh Aplikatif
Sebagai
contoh kongkrit, saya akan memakai hermenutika Fazlurrahman dalam menafsirkan
Ayat Poligami sebagai berikut:
÷bÎ)ur
÷LäêøÿÅz
wr&
(#qäÜÅ¡ø)è?
Îû
4uK»tGuø9$#
(#qßsÅ3R$$sù
$tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
4Óo_÷WtB
y]»n=èOur
yì»t/âur
( ÷bÎ*sù
óOçFøÿÅz
wr&
(#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNä3ãY»yJ÷r&
4 y7Ï9ºs
#oT÷r&
wr&
(#qä9qãès?
ÇÌÈ
“dan jika kamu
takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.[an-Nisa’(4):3]
Poligami merupakan isu yang selalu muncul dalam hukum keluarga. Secara umum
ulama Pakistan berpandangan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam bahkan
dijustifikasi dan ditoleransi oleh al-Qur’an sampai empat istri. Pandangan ini
bagi Fazlu Rahman mereduksi iedal moral al-Qur’an. Praktik ini tidak sesuai
dengan harkat wanita yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki
sebagaimana dinyatakan al-Qur’an. Karena itu, pernyataan al-Qur’an yang
membolehkan poligami hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara
komprehensif. Ada syarat yang diajukan al-Qur’an yang tidak mungkin dipenuhi laki-laki,
yakni berlaku adil. Dalam kasus ini, klausa tentang berlaku adil harus
mendapatkan perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang
klausa spesifik yang membolehkan poligami. Jadi, pesan terdalam al-Qur’an tidak
menganjurkan poligami, melainkan monogami. Itulah ideal moral yang hendak
dituju al-Qur’an.
6.
A. Uraian
lengkap tentang teori Locutionary acts, Illocutionary acts dan
Perlocutionary acts yang dikembangkan
J.L Austin
1) teori Locutionary acts :
Teori
Locutionary acts merupakan salah satu bagian dari tiga macam tuturan yang
walaupun sama, akan tetapi memiliki criteria yang berbeda yang berimplikasi
pada yang mendengarkannya. Intinya dalam nalar J.L Austin, Teori Locutionary
acts adalah tindakan atau cara mengatakan sesuatu melalui kata dan melibatkan
reprensi sehingga makna itu terlihat jelas, ada sense dan reprensi yang
bisa benar dan salah.
Pada tingkatan
pertama ini, Austin memiliki rumusan “The Acts of Saying Something In This
Normal Sense”, menurutnya semua kategori tindakan pada sesuatu masuk pada
Locutinary Acts, yang memiliki tiga tinadakan yang selalu ada yakni : a).
“Phone”: tindakan yang menghasilkan suara yang berasal dari gerakan rongga
mulut_yang kemudian disebut sebagai “Phone”, b). “Pheme” : tindakan yang
dihasilkan oleh ucapan yang bermakna yang berasal dari Phenoteic Acts,
c). dan “Rheme” : merupakan bagian dari
Phemes yang pada akhirnya bagian dari Phone. Atau bagian dari ucapan, ketika
ucapan itu salah, maka ucapan tersebuty menjadi samar, kosong atau kabur.
Dan inilah
merupakan dasar untuk melakukan tindakan Lokusi dan Perlokusi, karna semua
jenis ucapan adalah Lokusi. Hanya sanya dalam tindakan Lokusi, pendengar tidak
memiliki kewajiban untuk melakukan apa yang dikatakan pembicara. Karna ucapan
ini hamper mirip dengan Konstatif, yang hanya sekedar menyampaikan impormasi.
2) Illocutionary acts :
Merupakan
perkembangan dari Lokusi, yang tidak hanya bermakna, akan tetapi memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi pendengar. Dimana Illokusi ini sangatlah terkait
dengan Lokusi, yang tampa Lokusi, maka Illokusi tidak dapat dilakukan. Lebih
jelasnya lagi Austin menyebutkan Illokusi hamper sama dengan Eksplisist
Performatif, terutama bagi ucapan yang membutuhkan Verb tertentu.
Di samping itu,
kesepakatan juga memiliki berbagai pertimbangan yakni situasi dan kondisi yang
berbicara dan yang mendengarkan sehingga Ilokusi memiliki Force atau kekuatan
tertentu bagi yang mendengarkan. Dan barulah Illokusi Acts dikatakan berhasil,
apabila memiliki efek (Illokusi Force) atau Certain efeks yang dicapainya.
Intinya bahwa tindakan Illokusi ini dapat difahami pendengar, karna merupakan
bentuk kesepakatan dan bentuk yang lazim di masyarakat. Begitu juga dengan symbol, secara kategoris
dapat dimasukkan pada wilayah Illokusi.
Lebih jelasnya
lagi sebagaimana tulis Kailan_Austin membedakan tindakan bahasa Illokusi
menjadi lima bagian terpenting yakni : a). Verdiktif: yang merupakan suatu
tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu yang ditandai dengan adanya suatu
keputusan sebagaiman dilakukan oleh Hakim, wasit dan Juri. Tindakan ini
meliputi; membebaskan, meghukum, memutuskan, menyangka, menafsirkan, memahami,
mengirakan, memerintah, menghitung, memperhitungkan, memperkirakan,
menempatkan, menilai, melukiskan dll. b). Ekxersitif:suatu jenis tindakan
bahasa yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh semisal
menunjuk, memilih, memerintah, menamai, megarahkan, menasehati dll. c).
Kommisif:jenis tindakan bahasa dengan melakukan suatu perbuatan atau
perjanjian. Seperti berjanji, melakukan, kontrak, bersumpah dll. d). Behabitif: tindakan bahasa dalam melakukan
sesuatu yang menyangkut simpati, sikap, memaafkan, memberikan selamat, dll.
Seperti pemberian maaf, kutukan, tantangan dll. e). Ekspositif:sekelompok
tindakan bahasa yang digunakan dalam tindakan member suatu pandangan,
memberikan suatu keterangan, atau opini, memberikan suatu penjelasan dll.
3) Perlocutionary
acts :
Pada wilayah
ini, pendengar bener-bener dapat dipengaruhi oleh pembicara, karna pembicara
sudah dapat mepengaruhi pemikiran dan perasaan dan pendengar melakukan apa yang
dikatakan pembicara. Di samping itu, Perlocunary Acts berbeda dengan Illokusi,
dimana Illokusi merupakan efeks yang dihasilkan merupakan kesepakatan umum pada
masyarakat, maka Perlokusi efeks atau konsekuensi bukanlah dihasilkan dari
sebuah konvensi, namun memang secara sengaja didesain oleh pembicara sendiri
sehingga pendengar terpengaruh dengan tindakan pembicara.
Hal yang serupa
dikatakan Kailan_bahwa Perlokusi merupakan tindakan bahasa yang karna ucapan
atau tindakan bicara dari pembicara, timbul suatu efek bagi si pendengar atau
pengaruh bagi pendengar baik secara aktif maupun pasif. Dan efek inilah yang
menajdikan ia berbeda dengan Illokusi. Tindakan-tindakan yang dianggap
Perkolusi adalah sepertimeyakinkan, menipu, menakuti, membujuk, merayu dan
lain-lain.
B. Relevansi dalam
dakwah agama
Dari beberapa
keterangan di atas, pengaruh baik secara teori maupun praktis adalah sangat
menentukan bagi keberhasilan seorang Dai. Dimana Dai menggunakan bahasa dan
tidak bisa terlepas dengan bahasa tersebut. Semisal tutur yang lemah lembut dan
inilah yang dimaksud al-Quran “dan Bantahlah dengan bantahan yang paling baik”.
Begitu juga anjuran berkata baik al-Quran [al-Isra’(17):53], kemudian al-Quran
juga member tahu akan superioritas berkata baik [al-Baqarah(2):24], [al-Fathir(35):10],
dll.
Kemudian terkait
dengan tiga tindakan di atas Lokusi, Illokusi dan Perlokusi juga bagian yang
digunakan al-Quran dalam upaya menyampaikan berita, peringatan, teladan, pesan
baik dan buru, pelajaran, panduan, keyakinan, dll. Dimana secara perlokutif
ayat-ayat al-Quran sangat dapat mempengaruhi jiwa manusia yang tulus beriman
dan orang ingkar sekalipun. Sebagai contoh konkret ayat Targhib dari surat
[an-Nahl(16):97], yang merupakan bujukan Allah agar mereka mau melakukan amalan
sholiha dan kemudian Allah meyakinkan manusia dengan Hayatun Toyyibah
sebagai balasan dari amalan sholiha tersebut. Dan saya kira banyak
ayat-ayat yang serupa dengan ini, baik dalam bentuk Lokusi. Illokusi maupun
Perlokusi. Hanya sanya al-Quran mutlak benarnya sehingga tidak bisa kita
katakana ia hanya Lokusi semata tampa makna. Namun, saya menyebut ini melainkan
karna ada kemiripannya.
7.
A. Analisis
singkat hubungan tanda, objek, ground dan interpretant dalam semiotika
C.S.Peirce.
Sebelum kami menjelaskan hubungan dari ketiga sitilah
ini, perlu kita ketahui bahwa kajian Peirce tentang tanda yang memiliki kaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat
dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut,
Peirce menggunakan istilah (level objek): a). Ikon untuk kesamaannya ysng
merupsksn tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan
bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek
atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto. b). Indeks untuk hubungan
sebab akibat ysng merupsksn tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah
antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau
tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya
api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. c).
Simbol untuk asosiasi konvensional yang merupakan tanda yang menunjukkan hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya.
Peirce dalam semiotikanya meyakini bahwa tanda dibentuk
melalui hubungan segi tiga: a). tanda, b). Objek, c). Interpretant (“hasil”
hubungan Representamen dengan Objek)
Objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh Tanda, tetapi
Objek bisa jadi berupa: sebuah Objek Representasi (Immediate Object) atau
sebuah Objek Dinamik (Dynamic Object). Atas dasar hubungan triadic antara
ground, object, dan interpretant tersebut. Peirce membuat klasifikasi tanda.
Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi tiga bagian yakni : a). qualisign
yang merupakan kualitas yang ada pada tanda, b). sinsign yang merupakan eksistensi aktual benda atau peristiwa yang
ada pada tanda, dan c). legisign yang merupakan norma yang dikandung oleh
tanda.
Sedangkan level Interpretant terdiri dari :
a.
Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan.
(kemungkinan)
b.
Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. (fakta)
c.
Argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. (logika)
Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses
semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda
dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana.
B. Relevansi dalam
kajian agama
Melihat ragam
bentuk dan corak keberagaman kita khussnya di Indonesia yang kesemuanya tidka
terlepas dari apa yang disebut dengan tanda, symbol objek, ground dan
interpretant. Kesemuanya menyatu dan membentuk satu kesatuan yang sejajar dlama
agama. Islam adalah agama symbol dalam arti banya mengandung symbol-simbol
tyertentu semisal adanay Kubah yang kemudian ditandai dengan tertancapnya Bulan
Bintang diatasnya merupakan symbol agama Islam yang memiliki Masjid.
Tanda misalnya,
al-Quran sendiri hamper keseluruhan ayat yang kemudian para cendekiawan
menyebutnya dengan kalimat “al-Quran adalah kitab tentang tanda-tanda” misalnya
dalam surat [al-Baqarah(2):211dan 248 ], [Ali
Imran(3):13], [al-Mukmin(23):50], [ar-Rum(30):22] dan lain lain.
Begitu juga
dengan objek, ground dan interpretant, saya kira kita sudah mengetahuinya.
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa relevansi atas kajian kegamaaan
dengan semiotika C.S.Peirce sangatlah sesuai dan ini bisa kita rasakan dengan
adanya mufassir-mufassir modern seperti Arkoun, Syahrur, Amin al-Khulli dan
lain-lain merupakan kelanjutan dari emikran yang barang kali banyak kesesuaian
dengan pemikiran semiotika C.S.Peirce.
8.
A. Uraian
singkat mengenai hubungan signifier dan signified dalam hubungannya dengan
tanda conotatif dan denotatif dalam semiotika Roland Barthes.
Pada
kenyataanya, Signifer dan Signifed membentuk suatu tanda kebahasaan dan tanda
inilah yang menjadi suatu penanada untuk petanda. Secara mitilogis, penanda
merupakan bentuk dan petanda merupakan konsep dan tanda yang dihasilkan berasal
dari perasaan. Secara keseluruhan tanda dalam system denotatatif berpungsi
sebagai penanda sebagai system konotaif. Seorang anailis bidang tanda
berkewajiban menunjukkan fungsi dan notasi yang membentuk tanda-tanda yang
difahami oleh banyak orang. Hal ini berarti mereka harus menjelaskan proses
penadaan dan berarti menyederhanakan konsep-konsep yang telah digambarkan oleh
Barthes sebagai elemen-elemen penting dalam mitos.
Sedangkan dalam
anilis Prof. Dr. Kailan, Kaitannya dengan Signifer dan Signifed dalam semiotika
Barthes, ia menamainya dengan system penamaan ke dua yang dibangun di atas
bahasa sebagai system pertama yang kemduian disebut den gan system konotatif
yang dibedakan dengan denotatif. Tanda dalam kerjanya, Barthes membuat peta
yang sangat jelas yakni :
1.
Penada
|
2.
Petanda
|
|
3.
Denotatif Sign
|
Conotatatif Signifed
|
|
4.
Conotatatif (Signifer)
|
(Petanda Konotatif)
|
|
5.
Conotatif Sign (Tanda Konotatif)
|
Tanda denotative
terdiri dari dua unsur yakni signifier(penanda) dan sifnifed(petanda), akan
tetapi tanda denotative juga petanda kontataif. Dalam hal ini, konotatif
menurut Barthes bukanlah bermakna taambahan saja, melainkan kedua-duanya yang
menjadi bagian dari proses signifikasi dengan kata lain denotasi meripakan
system signifikasi tingkat pertama dan konotatif merupakan system signifikais
tingkat kedua.
B. Hubungannya dengan metabahasa dalam
mendeskrifsikan bahasa agama
Barang kali
hubungan yang lebih dekat dengan bahasa Agama adalah al-Quran itu sendiri. Imana al-Quran secara fenomenal, merupakan
aspek yang sangat krusial dalam peradaban Islam, sebab pertumbuhan dan
perkembangan peradaban Islam tidak bisa lepas dari dinamika pemahaman umat
Islam terhadap al-Quran yang berbentuk untaian kata yang termanifestasikan
dalam wujud teks. Karena itu, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Mafhûm alnashsh:
Dirâsah fî ‘Ulûm al-Quran, mengatakan bahwa Islam merupakan peradaban teks
(hadârah al-nash) atau peradaban ta’wîl (hadharah alta’wîl),
1 atau dalam istilah al-Jabiri dalam Binyah al-‘Aql al-‘Araby disebut
sebagai hadhârah al-fiqh2 dan hadhârah al-bayân, dua istilah yang
digunakan al-Jabiri untuk menunjukkan betapa pentingnya teks (nash)
dalam peradaban Islam.
Bertitik tolak
pada sumber pengetahuan utama yang berupa bahasa (teks), maka tafsir hanya
berupaya memahami dan memperjelas maksud sebuah teks. Dengan mengutamakan tekstual-lughawiyyah dari pada epistemologi
kontekstual-bahtsiyyah maupun spiritualitas-‘irfâniyyah-bâthiniyyah.
Karena itu, tolak ukur validitas keilmuan yang digunakan dalam tradisi
pemikiran tafsir adalah keserupaan atau kedekatan (muqârabah) antara
teks, nash atau signifier (al-lafzh) dengan signified (al-ma’na).
Melalui
pendekatan ini, maka bahasa agama akan mudah diresapi secara maximal oeleh
ummat manusia yang akan haus akan doktrin dan keyakinan yang akan membawa
dirinya pada kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Hubungan yang bisa kita ambil
adalaha hubungan interkonektif, aplikatif, holisitik dan afirmatif.
9.
A. Perbedaan
logika menurut Positivisme logis dan hakikat bahasa menurut “Language Games” L.
Wittgenstein
1. Perbedaan
Logika Menurut Positivisme Logis
Logika dalam
pandangan Positivisme Logis yang sebenarnya menerima Logika Antonimisme Logis
baik dalam konteks cara atau teknis analisis, namun positivism logis ini
menolak dengan keras apa yang disebut dengan Metafisika Antomisme Logis. Dalam
membedakan Logika Positivisme Logis menggunakan tehnik analisis yang memiliki
dua tujuan utama yaitu : Pertama, menghilangkan metafisika, dalam aarti
mereka tidak menerima ungkapan metafisis karna tidka memiliki makna atau
“nirarti” namun tidak mengatakan bahwa metafisis itu salah melainkan apa yang
dikatakan kaum metafisis itu tidak menyatakan sesuatu sama sekali. Kedua,
sebagai penentu dalam membaca fakta apakah fakta tersebut ilmiah atau tidak
ilmiah. Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui perbedaan Logika dalam positivism
Logis, kami akan menguraikan dalam beberapa prinsip sebagi berikut :
a.
Logika dalam analisis bahasa,
memperhatikan dua hal terpenting yaitu anilsis pengetahuan, dan pendasaran
matimatika dan ilmj pengetahuan alam pun juga terhadap psikologi dan sosiologi.
b.
Logika memiliki prinsip
Verifikatif
c.
Logika memiliki konsep Proposisi
baik proposisi empiris maupun formal
2. Hakikat
Bahasa Menurut “Language Games” L. Wittgenstein.
Sebagaimana kita
ketahui bahwa Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode, periode pertama
berjudul Tractatus Logico-Philosophicus (1922), yang intinya tentang teori
gambar (picture theory) dan mengungkapkan tentang logika bahasa. Dan di sini
menurut Wittgenstein, hakikat bahasa merupakan gambaran logis dunia empiris,
yang tersusun atas proposisi-proposisi dan menggambarkan 'keberadaan suatu
peristiwa' (state ofaffairs). Kemudian pada periode kedua adalah
Philosophical Investigations (1953), yang memuat tentang 'permainan bahasa'
(language games). Menurut Wittgenstein, bahasa digunakan manusia dalam
berbagai bidang kehidupan, dan dalam setiap kehidupan manusia itu memiliki
aturan penggunaan masing-masing. Filsafat Wittgenstein tersebut relevan
bagi pengembangan dasar filosofis pragmatik. Prinsip dalam permainan bahasa
tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofis pragmatik, baik menyangkut
aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis
Hakikat Bahasa
Menurut dalam “Language Games” penggunaan dalam banyak cara yang digunakan secara
berbeda untuk mengungkapkan pembenaran. Ini juga merupakan kritik pada
pendapatnya yang pertama yakni bahasa itu tidak hanya digunakan untuk
mengungkapkan proposisi-proposisi logis, melainkan sebagai pengungkap
pembenaran dengan cra yang berbeda. Menurutnya juga makna sebuah kata adalah
penggunaanya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalahpenggunaanya di
dalam hidup. Bahasa juga menurutnya tidak hanya memiliki satu struktur logis
saja melainkan segi penggunaanya dalam hidup manusia yang bersifat kompleks
yang meliputi berbagai bidang kehidupan.
Intinya bahwa
penggunaa istilah “Language Games” ini berarti bahwa menurut kenyataan
penggunaanya, bahasa merupakan suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk
kehidupan. Dan ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Dan tata
permainan bahasa ini memiliki aturan main tertentu dan harus berpedoman pada
suatu aturan yang mencerminkan corak dari permainan bahasa yang dimaksud.
B. Relevansinya bagi
ungkapan Bahasa Agama
Suatu kesimpulan
bahwa “Makna sebuah kata adalah tergantung penggunanaanya dalm suatu
kalimat, dan makna kalimat tergantung penggunaanya dalam bahasa, sedangkan
makna bahasa adalah tergantung penggunaanya dalam hidup”
Kaitannya dengan
bahasa Da’wah, terlebih lagi kita khususnya di Indonesia memiliki corak bahasa
yang berbeda dari satu propinsi ke propinsi lainnya, begitu juga dalam satu
propinsi terdapat perbedaan bahasa antar kabupatennya, bahkan dalam satu
kabupaten terdapat dialeg yang berbeda antar kecamatannya, juga bahkan satu
kecamatan terdapat nada yang berbeda dengan lingkungan lainnya. Realita ini
barang kali sudah lumrah dan siklus bahasa antar satu wilayah dengan wilayah
lainnya mengalami pergeseran dari waktu ke waktu tertentu.
Sebagaiman dikatakan bahwa bahasa dalam
“Language Games” merupakan suatu kegiatan atau suatu bentuk kehidupan yang
memiliki aturan main tertentu yang harus dipatuhi. Dengan demikian, dalam bahsa
dakwah demi tercapainya pesan-pesan agama, maka disinilah sesorang dai
diperlukan adanya teknik serta cara yang harus digunakan sebagai penyalur dari
pesan-pesan yang dibawa. Dan dalam al-Quran sendiri telah memudahkan bagi siapa
saja untuk menyampaikan ajaran Islam dengan bahasa yang mereka gunakan.
10.
A. Uraian tentang
relevansi Filsafat Bahasa dan Semiotika dalam hubungannya dengan bahasa Dakwah
Sebelum lebih
jauh lagi kami menguraikan hubungannya dengan Bahasa Da’wah, perlu kami
cantumkan beberapa paktor menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh
para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut: a). Pentingnya
menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan
ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan, b). Menganalisa sifat-sifat
berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan) untuk menjauhi
dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari "kematian"
rasionalisasi agama, c). Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara
manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan, d). Kontradiksi antara
ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk
memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama, e). Menganalisa
dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan
tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama, f). Munculnya
aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan
filsafat analitik. dll
1. Filsafat Bahasa dan hubungannya dengan bahasa dakwah
Sebagaimana kita
ketahui bahwa pungsi bahasa dalam Filsafat bahasa yaitu :a). Register sebagai
Penyampai Maksud, b) sebagai Penyampai Rasa Santun, c). Tingkat Tutur sebagai
Penyampai Rasa Hormat, d). Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri, e). Dialek
dan Rasa Solidaritas, f). Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian, g). Genre
sebagai Pengaman Kejiwaan, h). Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan, dll.
Satu sisi bahwa
Filsafat tanpa bahasa akan mati, begitu pun sebaliknya. Keduanya,
berjalin-kelindan seperti api dengan panasnya, tak dapat dipisahkan. Sedemikian
eratnya hubungan filsafat dengan bahasa. Keduanya membentuk satu makna yang
utuh, yang muncul dalam satu tarikan nafas. Sestem filsafat dapat dipandang
sebagai suatu bahasa, bahkan perenungan kefilsafatan itu sendiri adalah sebagai
upaya penyusunan bahasa. Hasil kontemplasi kefilsafatan ini seterusnya
distrukturkan dan ditransformasikan serta dikomunikasikan melalui bahasa.
Hal ini
sangatlah terkait dengan bahasa dakwah yang digunakan dalam konteks dakwah itu
sendiri. Melihat dari beberapa pungsinya misalnya sebagai Penyampai Maksud,
relevan dengan ayat al-Quran [QS.al-A’raf(7):52], [QS.Yunus(10):37],
[QS. Hud(11):1],
[QS.Yusuf(12):111[,
[QS.an-Nahl(16):89],
[QS.al-Isra’(17):89],
[QS.al-Kahfi(18):54],
[QS.as-Syura(26):2],
[QS.an-Naml(27):1],
[QS. al-Qashas(28):2]
dll. Begitu juga bahasa penyampai Rasa Santun, Tingkat Tutur sebagai Penyampai
Rasa Hormat, Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri, Dialek dan Rasa
Solidaritas, Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian, Genre
sebagai Pengaman Kejiwaan, Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan, kesemuanya
sangatlah terkait dengan anjuran yang diperintahkan al-Quran. Untuk itu
Filsafat Bahasa hubungannya dengan bahsa dakwah sangatlah relevan, namun tidak
berarti secara holistic.
2. Semiotika dan hubungannya dengan bahasa dakwah
Sehubungan
dengan itu, semiotika dalam bahasa dakwah sangtlah diperlukan. Dimana al-Quran
sendiri yang merupakan contok nyata dari pengunaan semiotika yang terbesar dann
diakui oleh seluruh pakar bahasa dalam kelas apapun. Melalu al-Quarn ini
sangatlah mempengaruhi tingkat bahasa yang digunakan manusia selanjjtnya,
dimana kita ketahui bahwa manusia dalam perkembangaanya menggunakan aneka ragam
bahsa yang sangat indah dankesemuanay tidak lepas dari bahasa semiotika yang
memiliki unsure-unsur baik dalam bentuk tingkatan semisal tingkatan syntactic
level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan semantik) dan pragmatic
level (tingkatan pragamatik). Kemudian dari lima hal yang terdapat dalam
semiotika seperti : (1) Signifer (penanda) dan signified (petanda), (2) Form
and content (bentuk dan materi/isi), (3) Langue and parole (bahasa dan tutur),
(4) Synchronic and diachronic (sinkronik dan diakronik), dan (5) Syntagmatic
and associative (sintagmatik dan paradigmatik). Unsur-unsur ini sangatlah
terkai dengan bahsa bahasa yng kita gunakan dalam konteks dakwah islamiyah pda
abad-abad terakhir ini.
Dan contoh yang
paling kongkret adalah bahasa dakwah yang digunakan AaGym misalnya salah satu
Dai kondang yang sangat terkenal. Kalau kita perhatikan bahasa Dakwahnya yang
dikemas dalam Menejemen Qalbu(MQ) sangat terkai dengan bahsa bahsa Semiotika,
dan itulah yang menyebabkan mengapa dengan kelebihan bicaranya sangatlah
didengar oleh masyarakat umumnya dan sangat mempengaruhi jiwa sesorang sehingga
seseorang itu merasakan kenyamanan, kesejukan dan ketentraman dalam hatinya,
keluarganya dam lingkungannya.
B. Kontribusi Filsafat
Bahasa dalam pengembangan Dakwah
Sebagaimana kta
ketahui bahwa, Da’wah atau system da’wah tidak terlepas dengan bahasa, dan
hamper kesuksesan seorang Dai terdapat pada keindahan dan kelohisan bahasanya.
Untuk kalangan pedesaan misalnya sudah barang tentu dibutuhkan bahasa yang
indah sederhana dan dapat memikat hati pendengar untuk melaksanakan perintah
agama itu sendiri. Demikian juga kalangan masyarakat industry dan pasca
industry tentu membutuhkan bahasa yang logis memiliki gaya semiotic dan
bercorak filosofis.
Ini kemudian
yang banyak mengantarkan kesuksesan dai dai kita khususnya di Indonesia seperti
KH. Zainuddin MZ, Aa Gym, Yusuf Mansur, Jefri Bukhari yang walaupun secara
akdemik, tidka seperti yang kita bayangkan. Namun dengan pembekalan bahasa yang
indah, logis dan terstruktur, maka pendengar terasa menyatu dengan rangkaian
kalimat yang diucapkan walau ucapan itu amat sederhan bila dilihat dari
kacamata akademiki.
Jadi
seorang juru dakwah harus memahami hakikat dan tujuan dakwah, seperti mengapa
manusia membutuhkan agama, mengapa agama perlu disebar luaskan, apakah tujuan
akhir dakwah, bagaimana etika dakwah, bagaimana hakikat manusia sebagai obyek
dakwah, bagaimana rasionalisasi metode, media, serta tehnik-tehnik dakwah?
Untuk memahami ini semua tentu perlu pemkiran yang mendalam, universal,
radikal, integral, dan sistematis. Dengan kata lain berfilsafat. Ketika seorang
juru dakwah telah memahami tentang hakikat dan tujuan dakwah, maka memungkinkan
untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan syariat Islam.
Oleh karna itu dapat disimpulkan bahwa
filsafat punya peranan yang sangat penting dalam pengembangan dakwah Islam.
Karena dengan berfilsafat maka lahirlah metode, sistem, dan strategi yang baik
dan dapat di realisasikan. Sehingga tujuan utama dari dakwah yaitu mencapai
perubahan dapat terlaksana.
C. Contoh kongkrit.
Contoh
yang lebih kongkret adalah misalnya ketika kita menjelaskan hakikat manusia, yang
sering lupa
Sebagaimana
dinungkap Saussure, bahwa ia mengembangkan bahasa sebagai suatu sistem tanda.
Bahasa adalah alat komunikasi yang terdiri atas sejumlah ujaran yang
masing-masing dilihat sebagai tanda, yakni satuan yang terdiri atas dua muka
yaitu significant(citra bunyi, signifier atau penanda) yang harus
disertai oleh signifie (makna, konsep, signified atau petanda).
Suatu ujaran hanya berlaku sebagai tanda jika terdiri atas penanda dan petanda.
Dalam teori
Linguistik Struktural misalnya mulai dari, Paradigmanya adalah paradigm
Behavioristik, Bahasa berbentuk ujaran, Bahasa berupa system tanda (Signified
an Signifiant), Bahasa merupakan paktor kebiasaan, Untuk Gramatika berdasarkan
keumuman, Level-leve Gramatik ditata rapi, Adanya penekanan analisis pada
bidang morfologi, Bahasa merupakan deretan sintagmatik dan paradigmatic,
Analisis bahasa menggunakan pendekatan deskriptif, Analisis struktur bahasa
berdasarkan Unsur langsung dll. Ini amat terkai dengan bahasa yang kita gunakan
upaya menjelaskan bagaimana manusia itu bisa lupa.
Misalnya secara
struktur, kata manusia berasal kata “Nasia-Yansa-Insanan”. Nasi sendiri
merupakan Fiil Madhi(kata kerja) yang berarti sudah lupa, sedangkan Yansa
berarti sedang lupa. Kemudian membentuk Masdhar yang berarti pelupaan. Istila
ini kemudian al-Quran jadikan sebagai satu bentuk sebutan bagi makhluk hidup
yang sempurna yang dinamakan dengan manusia. Al-Quran sendiri banyak berbicara
tentang manusia yang diambil dari kata “Insan” tadi misalnya dalam [Yunus(10):12],
[Hud(111):9], [Ibrahim(14):9], [an-Nahl(16):4], dan lain lain.
Kemudian kata “Nasia-Yansa”
yang berarti lupa ini pas dengan firman Allah :
( wur…. [Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB
$u÷R9$#
(…..#
ÇÐÐÈ
“….dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…”
[al-Qashshash(28):77]
èÎø)ãZy
xsù
#Ó|¤Ys?
ÇÏÈ
“Kami
akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa”,[al-‘A’la(87):6]
* tbrâßDù's?r&
}¨$¨Y9$#
ÎhÉ9ø9$$Î/
tböq|¡Ys?ur
öNä3|¡àÿRr&
öNçFRr&ur
tbqè=÷Gs?
|=»tGÅ3ø9$#
4 xsùr&
tbqè=É)÷ès?
ÇÍÍÈ
“
mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan
diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir? ”.[al-Baqarah(2):44]
4
wur
(#âq|¡Ys?
@ôÒxÿø9$#
öNä3uZ÷t/
4 ¨bÎ)
©!$#
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
îÅÁt/
ÇËÌÐÈ
“….
dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.[al-Baqarah(2):237]
ö@t/
çn$Î)
tbqããôs?
ß#ϱõ3usù
$tB
tbqããôs?
Ïmøs9Î)
bÎ)
uä!$x©
tböq|¡Ys?ur
$tB
tbqä.Îô³è?
ÇÍÊÈ
“
(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, Maka Dia menghilangkan bahaya
yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan
sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)”.[al-An’am(6):41]
wur
(#qçRqä3s?
tûïÏ%©!$%x.
(#qݡnS
©!$#
öNßg9|¡Sr'sù
öNåk|¦àÿRr&
4 Í´¯»s9'ré&
ãNèd
cqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÊÒÈ
" dan
janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah
menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang
fasik”[al-Hasyr(59):19]
Isayarat-isyarat
ini tiada lain ditujukan bagi manusia itu sendiri. Dan kata yang bergaris tebel
itu enunjukkan struktur kalimat dari manusia yang sering lupa, dengan demikian
Allah selalau mengingatkan agar jangan lupa, melupakan, dan menjadi orang yang
lupa.
Kaitannya dengan
filsafat bahasa melalui linguistic, maka manusia akan segera sadar bahwa satu
sisi di sebagai manausia yang selalu lupa dan Allah mengingtkan secara terus
menerus agar jangan sering lupa dari mengingat Allah.
Dan ini relevan
bagi semua kelas masayarakat dari berbagai tingkat intlektualnya, dengan
demikian relevansi filsafat bahasa dlama pengembangan bahasa Da’wah tidak bisa
dilepaskan. Dan sejujurnya tampa disadari atau tidak, sesungguhnya manusia itu
selalu berfilsafat dengan dirinya sendiri, bahasanya,lingkungannya dan
masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar