Rabu, 26 Oktober 2011

UJIAN AKHIR SEMESTER DLAM MATA KULIAH FISLAFAT BAHASA :Teori-teori Semiotik & Linguistik BIMBINGAN . Prof. DR. Kailan, MS

Nama       : Munawir Husni
Alamat    : Lombok
Sekolah   : Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Jurusan   : Agama & Filsafat
Semester : II. A

A. Peranan Filsafat analitika bahasa dalam interpretasi nilai agama
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Filsafat Analitika Bahasa merupakan “metode yang khas untuk menjelasakan, menguraikan dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan Filosofis”. Dan proses penguraian dan pengujian tersebut hanya bisa dilakukan melalui bahasa karna bahasa memiliki pungsi kognitif. Atau Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.
Peranan Filsafat analitika bahasa yang lebih kongkret adalah dalam kajian pendidikan. Dimana pada Filsafat analitika bahasa yang menggunakan pendekatan analitik linguistik misalnya, untuk menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Dengan demikian gagasan-gagasan tersebut dapat memberi kntribusi nyata dalam pemahaman nilai-nilai agama.
Disamping itu, memahami nilai-nilai agama sudah barang tentu harus memahami bener bagaimana bahasa agama itu sendiri. Karna hampir agama dalam hal ini, hukum, etika bahkan teologi dan keyakinan sangatlah ditentukan olhe bahasa itu sendiri. Kita juga mengetahui bahwa dalam bahasa agama banyka terdapat kata-kata yang berbentuk sinonim dan antonim, kata baku, kata pecahan dan lain-lain. Terlebih lagi adanya bahasa metaforis yang kadang bila kita tidak bisa fahami dengan bener, kita agak sulit memahaminya. Dengan adanya analitika bahasa ini, maka segala kerancauan pembacaan dan kebingungan dalam memahami kata akan dapat diatasi dengan mudah.

B. Metodologi yang relevan dalam aplikasi
Mencari metode yang relevatif barang kali butuh waktu sebelum menetukan metodologi yang tepat. Karna satu sisi kita dihadapkan oleh sejumlah problem yang membutuhkan analisis secara elaborative. Namun bila saya sendiri melihat dua pendekatan besar yang ada pada tubuh Filsafat Analitika Bahasa yakni Analitik Linguistik dan Anilitik Positivistik Logis. Dan yang paling relevan menurut saya adalah menggunakan metode Analitik Linguistik yang mengandung arti bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah.

C. Contoh-contoh kongkrit
Contoh yang bisa kita rasakan misalnya dalam pembelajaran bidang pendidikan, ketika kita memperkenalkan konsep “ cara belajar siswa aktif” . Dengan menggunakan tata bahasa dan logika, kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang tertenu. Pendekatan analitik linguistik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan seperti “manusia seutuhnya”, “tujuan pedidikan”, “pendidikan seumur hidup”, kedewasaan”, dll.

2.      A. Prinsip-prinsip dasar semiotika dari teori Ferdinand de Saussure
Perlu diketahui bahwa dalam semiotika Saussure ia menggunakan pendekatan “anti-historis” dengan melihat bahasa sebagai bahasa yang utuh dan harmonis secara internal yang kemudian menggunakan teori “Strukturalisme”. Paling tidak ada lima prinsip dasar yang dikembangkan Saussure-sebagaimana tulis Kailan dalam bukunya Filsafat Semiotika yakni :
1.      Penanda (Signifer) dan Petanda (Signifed) : bahwa bahasa itu adalah suatu system tanda dan setiap bahasa tersusun dari dua bagian yakni tanda dan penanda. Dimana tanda bahasa itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari dua unsure yakni unsure Signifer dan Signifed karna suatu tanda tampa adanya penanda tidak berarrti apa-apa dan memang tidak bia dikatakan sebagai sebuah tanda dan ia membentuk suatu kesatuan bagai dua sisi dari sehelai kertas.
2.      Bentuk(Form) dan Isi (Content) : di sini berarti bahasa bersistem nilai bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tapi system itu ditentukan oleh perbedaanya. Intinya bahwa dalam teori kedua ini Saussure lebih memntingkan system nilai itu snediri dari pada wadah yang ada pada system tersebut. Dalam hal ini Saussure membedakan antara bentuk dan isi yang sebenarnya sama. Misalnya kita menaiki Bis Safari Darma antar profinsi selama beberapa kali dan kemudian yang kita naiki itu bis yang sama, namun barang kali unsure-unsur bi situ semisal kaca, sepion, pintu ada yang sudah diperbaiki. Namun kita tidak bisa mengatakan in Bis lain, padahal yang berubah itu hanyalah kaca sepion misalnya. Oleh karna itu kita tetep mengatakan bentuk itu sama
3.      Bahasa(Language) dan Tuturan(Paralol) ; Dalam pandangan Saussure, Language dimaksudkan sebagai bahasa sejauh milik bersama dari suatu golongan tertentu. Dimana Language ini berakar pada diri individu sesorang maupun social yang diamksudkan sebagai cabang linguistic yang menaruh perhatian dari tanda-tanda atau sebagai kode bahasa. Dan Sussure menegaskan bahwa Language harus dianggap sebagai sebuah system, dan di sini kita tidak melihat bentuk dari bahsa tersebut. Namun yang terpenting adalah system dari bahasa tersebut yang meliputi aturan-aturan yang mengkonsistusikan dari unsure-unsur yang menyatukannya satu sama lain. Intinya bahwa sebagaimana keterangan Kailan pada perkuliahan lalu, bahasa itu adalah objek social yang murni yang merupakan seperangkat konvensi sistemik dalam kontek interaksi. Hal yang berbeda denga Tuturan (Pararlol) dimana ia merupakan suatu bahasa yang hidup yang lebih memperhatikan factor pribadi pengguna bahasa dan unit dasar bahasanya adalah kalimat bila unit dasar Language adalah kata_dan bersifat diakronik bila Language disipatkan dengan singkronik.
4.      Singkronik(Synchronic) dan Diakronik(Dyachronic): dalam hal ini_oleh Saurruse yang harus diperhatikan adalah linguistic harus melihat singkronis yakni melihat keadaan tertentu dari bahasa tersebut yang meliputi zaman tertentu) semisal bahasa “Sasak” bagaimana model bahasa sasak pada waktu dulu sekitar tahun 45-an misalnya tampa mempertimbangkan alur waktu, terlebih dahulu sebelum menghiraukan diakronis yakni kebalikan dari singkronis dalam arti penelusuran bahasa berbasis waktu yang nantinya apakah ditemukan suatu perubahan dari tahun sekian sampai tahun sekian atau mengalami perlusan konotatif dan sebagainya. Dan inilah hal yang Saussure tekankan dalam sebuah penelitian terutama mengenai bahasa dimana kedua pendekatan ini sangatlah perlu dan yang harus didahulukan adalah pendekatan singkronis.
5.      Sintagmatik(Syntagmatic) dan Associatic(Pragmatik) : Dan inilah teori yang tak kalah pentingnya dalam analisa Saussure, dimana Studi tentang suatu perbedaan daintara tanda-tanda adalah mengenai Sintagmatik dan paradigmatic. Dimana suatu benda memiliki serangkaian yang membentuk sintagmati(yakni sekumpulan tanda berutan secara logis) dan memiliki hubungan paradigmatic(Dalam arti bisa saling menggantikan_tentunya relevan dengan benda tersebut.)

B. Peranannya dalam penafsiran nilai keagamaan
Dalam konteks interpretasi terutama yang menyangkut tentang teks, dalam hal ini adalah bahasa agama yakni al-Quran dan al-Hadits, memeiliki titik relevansi dengan tingkat interpretasi. Dimana teks Agama secara dogmatic merupakan suatu teks yang tidak bisa dilepaskan dengan unsure semiotic. Dengan demikian peranannya sangatlah penting bila kita ingin memahami agama dengan benar. Dalam hal ini adalah teori ke-4 dari Saussure yang merupakan prinsip dasar dari teorinya yakni “Synchronic dan Dyachronic”. Keduanya ini memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan dalam hal mengkaji teks-teks agama. Sebutlah misalnya dalam menganalisis ayat-ayat yang menyangkut tentang ayat Muhkam dan Mutasayabbih dalam al-Quran. Sebagaimana Arkun dalam teori limitnya, ia juga menggunakan pendekatan Singkronik dan Diakronik yang kemudian menghasilkan pembedaan anatar Nubuwwah dan Rusulah, pembedaan anatar al-Quran dan al-Kitab, pembedaan anatara Inzal dan Tanzil dll. Dimana kedua istilah ini memiliki makna yang jauh berbeda dengan pasangannya, misalnya kata al-Quran berbeda dengan al-Kitab, Nubuwwah berbeda dengan Rusulah dll. Dan saya sendiri merasakan bener apa yang dikemukakan Arkun dalam teori tersebut dan saya menjadi bener-bener paham dari maksud keduanya. Dimana kebanyakan Muslim memahami kata tersebut adalah sama, namun setelah mengggunakan pendekatan Singkronik dan Diakronik ternyata kita menemukan makna yang lebih dapat dipercaya.

3.      A. Perbandingan teori Linguistik tradisional dan Struktural
Perbedaan mendasar yang bisa kita tangkap dari kedua aliran Linguistik ini tercermin dari cirri-ciri umum yang ada pada masing-masing aliran. Dimana secara historis kemunculan Linguistik Tradisional ini bermula dari Plato dan Aristoteles yang walaupun sebenarnya baru berkembang pesat pasca Yunani. Sedangkang aliran Struktural ini lahir  pada awal abad ke-20 tepatnya 1916 yang berlandaskan pada behavioristik_dimana pada awalnya aliran ini menempatkan bentuk dan makna dalam kedudukan yang seimbang, namun kemudian mengalami varain-varian yang kadang penekanannya lebih pada bentuk dan kadang lebih pada makna. Perbandingan yang bisa kita tarik dari kedua aliran ini adalah sebagai berikut:
1.      Teori Linguistik Tradisional :
a)      Bertolak pada Pola Pikir Secara Filosofis
b)      Tidak membedakan antara bahasa dan tulisan
c)      Senang bermain dengan definisi
d)     Pemakaian bahasa berkiblat pada kaidah
e)      Untuk sekelas Level-level Gramatik belum ditata rapi
f)       Tata bahasa didominasi oleh jenis kata(Part of Seech)
2.      Teori Linguistik Struktural :
a)      Paradigmanya adalah paradigm Behavioristik
b)      Bahasa berbentuk ujaran
c)      Bahasa berupa system tanda (Signified an Signifiant)
d)     Bahasa merupakan paktor kebiasaan
e)      Untuk Gramatika berdasarkan keumuman
f)       Level-leve Gramatik ditata rapi
g)      Adanya penekanan analisis pada bidang morfologi
h)      Bahasa merupakan deretan sintagmatik dan paradigmatic
i)        Analisis bahasa menggunakan pendekatan deskriptif
j)        Analisis struktur bahsa berdasarkan Unsur langsung

B. Peranannya dalam pemahaman dan penafsiran nilai agama
Saya sendiri melihat peranan bahkan kerelevenan linguistic tradisonal dan terutama strukturalisme ini sangatlah sepadan dengan apa yang pernah digunakan para mufassir kelasik. Umumnya dalam  Islam metode penelitian tafsir yang selama ini dikenal terdapat empat klasifikasi, yaitu (1) tafsir tahlily ‘analitis’, (2) tafsir ijmaly ‘global’, (3) tafs muqaran ‘perbandingan’, dan (4) tafsir maudhu’i ‘tematik’ (Al-’Aridl 1994:4). keempat konsep tersebut masih memerlukan teknik yang bersifat operasional.
Dan bila ditelaah, para mufassir yang telah menghasilkan beberapa kitab tafsir yang cukup populer di kalangan kita, seperti kitab tafsir al-Kasysyaf oleh al-Zamakhsyari, kitab tafsir Jalalain oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, kitab tafsir al-Baidhowi, dan lain-lain telah meggunakan ancangan linguistik struktural. Sebuah karya yang lebih dahulu dari pada munculnya konsep linguistik struktural tersebut perlu menjadi perhatian untuk dikaji lebih mendalam agar tidak terjadi stagnasi metodologis terutama dalam membedah struktur kalimat pada setiap ayat.
Maka ancangan, metode, dan teknik yang dipakai oleh kalangan linguistik struktural terutama yang dipelopori oleh de Saussure dan dikembangkan oleh Bloomfield, dan lain-lain dapat dijadikan sebagai alternatif dalam menafsirkan ayat-ayat Alqur’an. Teknik yang dimaksud adalah (1) teknik substitusi (ganti), (2) teknik ekspansi (perluas), (3) teknik intrupsi (sisip), (4) teknik delisi (lesap), dan (5) teknik permutasi
Sebagai contoh kongkret pernanannya dalam konteks penafsiran adalah penafsiran dalam yang dilakukan Syaikh Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyafnya dan Jalalain dalam tafsirnya Jalalinnya.
Misalnya dalam al-Kasysyaf, ketika menafsirkan al-Baqarah(2):115:
 ولله المشرق والمغرب(1a) bagi Allah timur dan barat”(Al-Zamakhsyari II: 118). Syaikh Al-Zamakhsyari menafsirkan ayat tersebut adalah sebagai berikut:

و[بلاد] المشرق و[بلاد] المغرب [كلها] لله
Dan [negeri] timur dan barat [serta seluruh negeri adalah] milik Allah

Dari contoh di atas,  menunjukkan bahwa al-Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat menggunakan teknik permutasi (teknik balik), yaitu membalik kata Allah yang semula berada di depan kalimat lalu ditempatkan diakhir kalimat. Di samping itu contoh tersebut juga menunjukkan adanya penyisipan kata bilad ‘negeri’ dan al-ardh kulluha ‘seluruh negeri’. Penyisipan ini dalam analisis linguistik struktural disebut dengan istilah teknik intrupsi (sisip).
Dari contoh penafsiran di atas membuktikan bahwa para penafsir Alqur’an telah menggunakan analisis ilmiah terhadap satuan lingual kebahasaan dengan ancangan analisis linguistik struktural dalam membedah makna yang terkandung di dalam Alqur’an. Dengan demikian, peranan Linguistik F.de Saussure ini dalam konteks penafsiran sangtlah relevan sebagaimana yng dilakukan para mufassir klasik di atas. Dan barang kali cukuplah satu model yang bisa kami uraikan. Karna ada juga yang mirip dengan ini sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Jalaluddin al-Mahali dan Syaikh Jalaluddin as-Suyuti dalam tafsir Jalalainnya.

4.      A. Uraian singkat tentang Teori Filsafat Bahasa Positivisme dan Ordinary Language Philosofy.
1)      Teori Filsafat Positivisme
Sebagaimana kita ketahui bahwa Filasafat Bhasa Positivisme dapat dikembalikan kepada masa Hume (1711-1776) dan Kant (1724-1804) yang sangat menekankan pada aspek-aspek ilmiah haruslah diuji melalui percobaan, yang kemudian dilaksanakan secara penuh oleh Kant dengan menyusun Critique of pure reason (Kritik terhadap pikiran murni). Semasa dengan Comte ini muncul pula John Stuart Mill (1803-1873)—filsuf logika berkebangsaan Inggris—dan Herbert Spencer (1820-1903) yang dianggap sebagai tokoh penting positivisme pada pertengahan kedua abad XIX dan dalam waktu yang bersamaan dianggap sebagai tokoh positivisme terakhir untuk periode pertama (periode Comte-Mill-Spencer)  dan seterusnya.
Intinya dalam Filsafat Bahasa Positivisme memperkenalkan Asas Verifikasi (Mabda’ Al-Tahqîq). Hal inilah yang membuat para pengikut positivisme berpendapat bahwa suatu proposisi (al-qadhîyah) dianggap mempunyai arti hanya apabila proposisi tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Dan proposisi ini oleh Hum dibagi menjadi dua bagian yakni : a). proposisi logis dan matematis, b). proposisi empiris. Hanya dua jenis proposisi inilah yang dianggap memiliki arti. Oleh karena itulah para pengikut positivisme menolak proposisi-proposisi yang ada dalam metafisika, dengan alasan bahwa proposisi-proposisi tersebut tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua jenis proposisi di atas.
Dan suatu proposisi dinilai benar atau salah tergantung pada jenis proposisinya, dan dalam hal ini dikenal ada dua macam proposisi yang sering dipakai yakni : a). Proposisi berita (al-qadhîyah al-ikhbârîyah) yang merupakan proposisi yang memberitakan pengetahuan baru bagi kita, b). Proposisi pengulangan (al-qadhîyah al-tikrârîyah, repetisi) yang merupakan proposisi yang unsur-unsur predikatnya merupakan pengulangan dari unsur-unsur subyeknya.

2)      Ordinary Language Philosofy
Ordinary Language Philosofy atau yang disebut dengan  Filsafat Bahasa Biasa (juga dikenal sebagai Filsafat Linguistik) adalah sekolah filsafat abad ke-20 bahwa pendekatan masalah-masalah filosofis tradisional sebagai berakar pada kesalahpahaman filsuf mengembangkan dengan melupakan kata-kata apa yang sebenarnya berarti dalam bahasa, dan membawa mereka dalam abstraksi dan keluar dari konteks. Hal ini biasanya melibatkan menghindari filsafat "teori" yang mendukung perhatian dekat dengan rincian penggunaan bahasa sehari-hari "biasa". Jadi, berpendapat, kontemplasi bahasa dalam penggunaan normal, dapat "melarutkan" penampilan masalah filosofis, daripada mencoba untuk menyelesaikannya.
Jadi, misalnya, dalam menjawab pertanyaan seperti "Apakah Kebenaran?", Kita tidak bisa berasumsi bahwa ada beberapa "hal" yang sebenarnya kata "kebenaran" mewakili. Sebaliknya, kita harus melihat cara-cara berbeda di mana kata "kebenaran" sebenarnya fungsi dalam bahasa biasa. Dalam hal ini, filsuf Bahasa Biasa cenderung untuk menentang esensialisme (gagasan bahwa semua entitas memiliki sifat intrinsik yang dapat dilihat oleh akal). Dan beberapa orang melihat Filsafat Bahasa Biasa sebagai istirahat lengkap dengan, dan reaksi melawan, "filsafat bahasa yang ideal" dari Filsafat Analitik gerakan; orang lain melihatnya hanya sebagai perpanjangan, atau tahap lain, tradisi Analitik. Either way, itu menjadi sebuah sekolah filsafat yang dominan antara tahun 1930 dan 1970, dan bisa dibilang tetap menjadi kekuatan penting di masa kini-hari filsafat.

B. Peranan dan relevansinya dalam penelitian agama
Pada tahap teologis, keluarga merupakan satuan sosial yang dominan,dalam tahap metafisik kekuatan negara-bangsa (yang memunculkan rasanasionalisme/ kebangsaan ) menjadi suatu organisasi yang dominan. Dalam tahappositif muncul keteraturan sosial ditandai dengan munculnya masyarakat industridimana yang dipentingkan disini adalah sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lainComte mengusulkan adanya Agama Humanitas untuk menjamin terwujudnyasuatu keteraturan sosial dalam masyarakat positif ini ) Sifat dasar dari suatuorganisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-pola berfikir yangdominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Dalam perspektif positivismestruktur sosial sangat mencerminkan epistemologi yang dominan, dan kaumpositivis percaya bahwa begitu intelektual dan pengetahuan kita tumbuh makamasyarakat secara otomatis akan ikut bertumbuh pula.
Diantara ajaran dasar positivisme adalah berikut ini :a).   Di dalam alam terdapat hukum-hukum yang dapat diketahui) .   Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak diketahui).   Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada faktatidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akald)Hanya hubungan fakta-fakta saja yang dapat diketahuie)
Dari unsure unsure yang terdapat dalam lingkup positivism ini juga terdapat dimensi relevansif terhdapa pengembangan penelitian keagamaan. Dengan demikian, peranan filsafat bahasa positivism sangat dipentingkan terutama dalam konteks kajian yang menyangkut tentang dimensi dimensi di atas.
.
C. Contoh kongkrit
Bila dipandang dari aspek obyek dan ruang lingkupnya, makapositivisme akan dapat menghasilkan asumsi-asumsi sebagai berikut :a.Di dalam pandangan positivisme segala sesuatu adalah riil (real) atau nyata, sehingga di dalam fenomena/gejala sosial segala sesuatu yangtidak nyata dianggap bukan fenomena/gejala sosial.b.Positivisme memandang benda-benda yang ada disekitar kitamerupakan sebuah obyek, sedangkan yang hanya ada di dalam pikiran kita bukanlah obyek.
Misalnya dalam  penelitian keagamaan yang menyangkut  kemasayarakatan yang ideal dalam islam. Masyarakat merupakan realitas yang  dsangat kongkret dan dapat menghasilkan data data empiris. Ini juga disinggung dalam al-Quran sendiri, dimana masyarakat merupakan objek hukum yang menjadi pusat perubahan sebagaimana dikehendaki Islam..
Selain itu juga dalam penelitian etika, dimana prilaku itu menjadi satu bjek yang nyata dan dapat ditelaah dengan teori teori berbasis empiris. Dan barang kali untuk ukuran masyarakat modern sekarang kajian dengan pendekatan filsafat positivism ini sedikit lebih menyentuh dan mengenak pola perubahan fikiran.

5.      A. Hubungan Hermenutika dengan Filsafat bahasa
Sebagaimana kita ketahui bahwa, objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamer’s Philoshopical hermeneutics dinyatakan, Gadamer places language at the core of understanding. Kemudian, menurut folosof bahasa Wittgenstein “ Batas bahasaku adalah batas duniaku”. Menurut Gadamer, asal mula bahasa adalah bahasa tutur, yang kemudian disuslu bahasa tulis untuk efektivitas dan kelestarian bahasa tutur. Di samping itu, hermeneutika memberikan model pemahaman -dan cara pemaknaan-yang sangat mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.
Dalam pada itu, sebenarnya perhubungan Hermeneutika dengan Filsafat Bahasa sudah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani, dimana para Filosuf mengetahui bahwa berbagai macam problem filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisis bahasa dan ini merupakan sutu perubaha yang amat penting. Di samping itu kita mengetahui tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam pada itu, oleh filosof H.G.Gadamer mengatakan bahwa bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Gadamer telah menyederhanakan status manusia di dunia ini sebagai bagian yang seakan-akan tidak terbedakan dari dunia itu sendiri. Kita tidak mungkin bisa berbuat sesuatu di dunia ini tanpa menggunakan bahasa. Melalui bahasa setiap orang menemukan  jati dirinya sendiri. Bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan di dalam diri seseorang. Kata-kata atau ungkapan secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan. Kata-kata atau ungkapan seseorang itu  mempunyai tujuan tersendiri atau penuh dengan maksud. Oleh karena itu terkadang setiap kata tidak pernah bermakna, meskipun kita tahu bahwa kata-kata itu bersifat konvensional atau perumusannya tidak mempunyai dasar logika, namun pada kenyataannya kata-kata itu tidak pernah dibentuk secara aksidental saja atau asal-asalan.
 Selain itu beberapa hubungan yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1)      Adanya hubungan komunikatif. Dimana dalam dunia Hermeneutik, bahasa digunakan sebagai bahasa sehari-hari baik dalam kehidupan kongkret dan lainnya.
2)      Adany hubungan Integrtaif. Dimana dalam komunikasi itu bahasa mengungkapkan makna yang individual yang melibatkan tiga kelas ekspesi kehidupan yaitu: lingusitik, tindakan dan pengalaman.
3)      Adany hubungan interpretatif, dimana bahasa dan tindakan saling megintrepetasikan ketiga kelas ungkapan kehidupan itu.    
4)       Adanya hubungan pragmatis, dimana bahasa sebagai sarana dalam komunikasi, sehingga dengan demikian bahasa memiliki fungsi pragmatis dalam hermeneutika, yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan ekspresi tubuh dan pengalaman.

B. Peranannya dalam metode penelitian agama
Konteks Hermeneutika sebagai metode penelitian,  paling tidak ada tiga hal asumsi dasar dalam penafsiran al-Qur’an melalui pendekatan hermeneutik, yakni: a). Para penafsir adalah manusia. Siapapun yang menafsirkan teks kitab suci adalah manusia biasa yang terikat oleh ruang dan waktu tertentu, dimana hal ini akan berpengaruh terhadap corak penafsirannya. Dengan asumsi ini maka vonis mutlak akan benar dan salahnya penafsiran diharapkan tidak akan terjadi, sehingga lebih mengarah pada pemahaman dan analisa yang kritis terhadap penafsiran, b). Penafsiran tidak lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi. Sehingga pergulatan umat muslim dengan al-Qur’an juga berada dalam “ruang” ini, c). Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri.
Namun demikian, saya sendiri belum membenarkan secara mutlak kerelevannya, dikarnakan ada beberapa ayat yang memang tidak bisa disentuh dengan sentuhan hermenutika. Karna ada beberapa hal yang masih terasa ganjal dalam tubh penafsiran sebagai sebuah metodologi misalnya Pertama, hermeneutika menganggap semua teks sama, semuanya merupakan karya manusia sebagai ‘produk sejarah’. Bila diterapkan pada al-Qur`an, hermeneutika otomatis menghendaki penolakan terhadap status al-Qur`an sebagai kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, sekaligus menggugat kemutawatiran mushhaf ‘Utsmaniy. Asumsinya bisa karena itu dipaksakan oleh penguasa waktu itu, akibat hegemoni bangsa Arab, dan lain sebagainya. Kedua, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari mana pun datangnya, dan terus menerus terperangkap dalam apa yang disebut ‘lingkaran hermeneutis’, di mana makna senantiasa berubah. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut sebagian orang, mungkin salah menurut orang lain. Karena kebenaran sangat bergantung pada konteks zaman dan tempat tertentu. Dan inilah yang mebdekana antara teks al-Quran dan teks Bible, dimana al-Quran adalah abadi, sementara Bible tidak demikian.
Namun juga kita tidak bisa mengelakkan, dalam perkembangannya hermenutika pada beberapa ayat tertentu relevan sebagai sebuah metodik. Untuk menjawab keniscayaan itu, kami menguraikan relevansi Hermenutika Pazlu Rahman sebagai berikut: a). Hermeneutika Rahman adalah hermeneutika yang memadukan akar tradisional Muslim dengan temuan hermeneut Barat modern. Dinamakan hermeneutika al-Qur’an karena hermeneutika  difungsikan sebagai alat untuk menafsirkan kitab suci al-Qur’an, b). Menggeser paradigma dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis, c). Teori gerakan ganda membuat hermeneutika Rahman menebarkan nilai-nilai etis karena ideal moral menjadi tujuan utamanya, d). Menegakkan etika sosial dalam Islam modern. Pergeseran paradigma dari dari wilayah metafisik-teologis ke wilayah etis-antropologis merupakan pembaharuan atas tujuan etis; tujuan yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai mahluk luhur.


C. Contoh Aplikatif
Sebagai contoh kongkrit, saya akan memakai hermenutika Fazlurrahman dalam menafsirkan Ayat Poligami sebagai berikut:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.[an-Nisa’(4):3]

Poligami merupakan isu yang selalu muncul dalam hukum keluarga. Secara umum ulama Pakistan berpandangan bahwa poligami dibolehkan dalam Islam bahkan dijustifikasi dan ditoleransi oleh al-Qur’an sampai empat istri. Pandangan ini bagi Fazlu Rahman mereduksi iedal moral al-Qur’an. Praktik ini tidak sesuai dengan harkat wanita yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagaimana dinyatakan al-Qur’an. Karena itu, pernyataan al-Qur’an yang membolehkan poligami hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Ada syarat yang diajukan al-Qur’an yang tidak mungkin dipenuhi laki-laki, yakni berlaku adil. Dalam kasus ini, klausa tentang berlaku adil harus mendapatkan perhatian dan niscaya punya kepentingan lebih mendasar ketimbang klausa spesifik yang membolehkan poligami. Jadi, pesan terdalam al-Qur’an tidak menganjurkan poligami, melainkan monogami. Itulah ideal moral yang hendak dituju al-Qur’an.

6.      A. Uraian lengkap tentang teori Locutionary acts, Illocutionary acts dan Perlocutionary   acts yang dikembangkan J.L Austin
1)      teori Locutionary acts :
Teori Locutionary acts merupakan salah satu bagian dari tiga macam tuturan yang walaupun sama, akan tetapi memiliki criteria yang berbeda yang berimplikasi pada yang mendengarkannya. Intinya dalam nalar J.L Austin, Teori Locutionary acts adalah tindakan atau cara mengatakan sesuatu melalui kata dan melibatkan reprensi sehingga makna itu terlihat jelas, ada sense dan reprensi yang bisa benar dan salah.
Pada tingkatan pertama ini, Austin memiliki rumusan “The Acts of Saying Something In This Normal Sense”, menurutnya semua kategori tindakan pada sesuatu masuk pada Locutinary Acts, yang memiliki tiga tinadakan yang selalu ada yakni : a). “Phone”: tindakan yang menghasilkan suara yang berasal dari gerakan rongga mulut_yang kemudian disebut sebagai “Phone”, b). “Pheme” : tindakan yang dihasilkan oleh ucapan yang bermakna yang berasal dari Phenoteic Acts, c).  dan “Rheme” : merupakan bagian dari Phemes yang pada akhirnya bagian dari Phone. Atau bagian dari ucapan, ketika ucapan itu salah, maka ucapan tersebuty menjadi samar, kosong atau kabur.
Dan inilah merupakan dasar untuk melakukan tindakan Lokusi dan Perlokusi, karna semua jenis ucapan adalah Lokusi. Hanya sanya dalam tindakan Lokusi, pendengar tidak memiliki kewajiban untuk melakukan apa yang dikatakan pembicara. Karna ucapan ini hamper mirip dengan Konstatif, yang hanya sekedar menyampaikan impormasi.

2)      Illocutionary acts :
Merupakan perkembangan dari Lokusi, yang tidak hanya bermakna, akan tetapi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pendengar. Dimana Illokusi ini sangatlah terkait dengan Lokusi, yang tampa Lokusi, maka Illokusi tidak dapat dilakukan. Lebih jelasnya lagi Austin menyebutkan Illokusi hamper sama dengan Eksplisist Performatif, terutama bagi ucapan yang membutuhkan Verb tertentu.
Di samping itu, kesepakatan juga memiliki berbagai pertimbangan yakni situasi dan kondisi yang berbicara dan yang mendengarkan sehingga Ilokusi memiliki Force atau kekuatan tertentu bagi yang mendengarkan. Dan barulah Illokusi Acts dikatakan berhasil, apabila memiliki efek (Illokusi Force) atau Certain efeks yang dicapainya. Intinya bahwa tindakan Illokusi ini dapat difahami pendengar, karna merupakan bentuk kesepakatan dan bentuk yang lazim di masyarakat.  Begitu juga dengan symbol, secara kategoris dapat dimasukkan pada wilayah Illokusi. 
Lebih jelasnya lagi sebagaimana tulis Kailan_Austin membedakan tindakan bahasa Illokusi menjadi lima bagian terpenting yakni : a). Verdiktif: yang merupakan suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu yang ditandai dengan adanya suatu keputusan sebagaiman dilakukan oleh Hakim, wasit dan Juri. Tindakan ini meliputi; membebaskan, meghukum, memutuskan, menyangka, menafsirkan, memahami, mengirakan, memerintah, menghitung, memperhitungkan, memperkirakan, menempatkan, menilai, melukiskan dll. b). Ekxersitif:suatu jenis tindakan bahasa yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh semisal menunjuk, memilih, memerintah, menamai, megarahkan, menasehati dll. c). Kommisif:jenis tindakan bahasa dengan melakukan suatu perbuatan atau perjanjian. Seperti berjanji, melakukan, kontrak, bersumpah dll. d).   Behabitif: tindakan bahasa dalam melakukan sesuatu yang menyangkut simpati, sikap, memaafkan, memberikan selamat, dll. Seperti pemberian maaf, kutukan, tantangan dll. e). Ekspositif:sekelompok tindakan bahasa yang digunakan dalam tindakan member suatu pandangan, memberikan suatu keterangan, atau opini, memberikan suatu penjelasan dll.

3)      Perlocutionary   acts :
Pada wilayah ini, pendengar bener-bener dapat dipengaruhi oleh pembicara, karna pembicara sudah dapat mepengaruhi pemikiran dan perasaan dan pendengar melakukan apa yang dikatakan pembicara. Di samping itu, Perlocunary Acts berbeda dengan Illokusi, dimana Illokusi merupakan efeks yang dihasilkan merupakan kesepakatan umum pada masyarakat, maka Perlokusi efeks atau konsekuensi bukanlah dihasilkan dari sebuah konvensi, namun memang secara sengaja didesain oleh pembicara sendiri sehingga pendengar terpengaruh dengan tindakan pembicara.
Hal yang serupa dikatakan Kailan_bahwa Perlokusi merupakan tindakan bahasa yang karna ucapan atau tindakan bicara dari pembicara, timbul suatu efek bagi si pendengar atau pengaruh bagi pendengar baik secara aktif maupun pasif. Dan efek inilah yang menajdikan ia berbeda dengan Illokusi. Tindakan-tindakan yang dianggap Perkolusi adalah sepertimeyakinkan, menipu, menakuti, membujuk, merayu dan lain-lain.

B. Relevansi dalam dakwah agama
Dari beberapa keterangan di atas, pengaruh baik secara teori maupun praktis adalah sangat menentukan bagi keberhasilan seorang Dai. Dimana Dai menggunakan bahasa dan tidak bisa terlepas dengan bahasa tersebut. Semisal tutur yang lemah lembut dan inilah yang dimaksud al-Quran “dan Bantahlah dengan bantahan yang paling baik”. Begitu juga anjuran berkata baik al-Quran [al-Isra’(17):53], kemudian al-Quran juga member tahu akan superioritas berkata baik [al-Baqarah(2):24], [al-Fathir(35):10], dll.
Kemudian terkait dengan tiga tindakan di atas Lokusi, Illokusi dan Perlokusi juga bagian yang digunakan al-Quran dalam upaya menyampaikan berita, peringatan, teladan, pesan baik dan buru, pelajaran, panduan, keyakinan, dll. Dimana secara perlokutif ayat-ayat al-Quran sangat dapat mempengaruhi jiwa manusia yang tulus beriman dan orang ingkar sekalipun. Sebagai contoh konkret ayat Targhib dari surat [an-Nahl(16):97], yang merupakan bujukan Allah agar mereka mau melakukan amalan sholiha dan kemudian Allah meyakinkan manusia dengan Hayatun Toyyibah sebagai balasan dari amalan sholiha tersebut. Dan saya kira banyak ayat-ayat yang serupa dengan ini, baik dalam bentuk Lokusi. Illokusi maupun Perlokusi. Hanya sanya al-Quran mutlak benarnya sehingga tidak bisa kita katakana ia hanya Lokusi semata tampa makna. Namun, saya menyebut ini melainkan karna ada kemiripannya.

7.      A. Analisis singkat hubungan tanda, objek, ground dan interpretant dalam semiotika C.S.Peirce.
Sebelum kami menjelaskan hubungan dari ketiga sitilah ini, perlu kita ketahui bahwa kajian Peirce tentang tanda yang memiliki kaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut, Peirce menggunakan istilah (level objek): a). Ikon untuk kesamaannya ysng merupsksn tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya foto. b). Indeks untuk hubungan sebab akibat ysng merupsksn tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan; misalnya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. c). Simbol untuk asosiasi konvensional yang merupakan tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya.
Peirce dalam semiotikanya meyakini bahwa tanda dibentuk melalui hubungan segi tiga: a). tanda, b). Objek, c). Interpretant (“hasil” hubungan Representamen dengan Objek)
Objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh Tanda, tetapi Objek bisa jadi berupa: sebuah Objek Representasi (Immediate Object) atau sebuah Objek Dinamik (Dynamic Object). Atas dasar hubungan triadic antara ground, object, dan interpretant tersebut. Peirce membuat klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi tiga bagian yakni : a). qualisign yang merupakan kualitas yang ada pada tanda, b). sinsign yang merupakan  eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda, dan c). legisign yang merupakan norma yang dikandung oleh tanda.
Sedangkan level Interpretant terdiri dari :
a.       Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. (kemungkinan)
b.      Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai dengan kenyataan. (fakta)
c.       Argument adalah yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. (logika)
Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana.  

B. Relevansi dalam kajian agama
Melihat ragam bentuk dan corak keberagaman kita khussnya di Indonesia yang kesemuanya tidka terlepas dari apa yang disebut dengan tanda, symbol objek, ground dan interpretant. Kesemuanya menyatu dan membentuk satu kesatuan yang sejajar dlama agama. Islam adalah agama symbol dalam arti banya mengandung symbol-simbol tyertentu semisal adanay Kubah yang kemudian ditandai dengan tertancapnya Bulan Bintang diatasnya merupakan symbol agama Islam yang memiliki Masjid.
Tanda misalnya, al-Quran sendiri hamper keseluruhan ayat yang kemudian para cendekiawan menyebutnya dengan kalimat “al-Quran adalah kitab tentang tanda-tanda” misalnya dalam surat [al-Baqarah(2):211dan 248 ], [Ali Imran(3):13], [al-Mukmin(23):50], [ar-Rum(30):22] dan lain lain.  
Begitu juga dengan objek, ground dan interpretant, saya kira kita sudah mengetahuinya. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa relevansi atas kajian kegamaaan dengan semiotika C.S.Peirce sangatlah sesuai dan ini bisa kita rasakan dengan adanya mufassir-mufassir modern seperti Arkoun, Syahrur, Amin al-Khulli dan lain-lain merupakan kelanjutan dari emikran yang barang kali banyak kesesuaian dengan pemikiran semiotika C.S.Peirce.

8.      A. Uraian singkat mengenai hubungan signifier dan signified dalam hubungannya dengan tanda conotatif dan denotatif dalam semiotika Roland Barthes.
Pada kenyataanya, Signifer dan Signifed membentuk suatu tanda kebahasaan dan tanda inilah yang menjadi suatu penanada untuk petanda. Secara mitilogis, penanda merupakan bentuk dan petanda merupakan konsep dan tanda yang dihasilkan berasal dari perasaan. Secara keseluruhan tanda dalam system denotatatif berpungsi sebagai penanda sebagai system konotaif. Seorang anailis bidang tanda berkewajiban menunjukkan fungsi dan notasi yang membentuk tanda-tanda yang difahami oleh banyak orang. Hal ini berarti mereka harus menjelaskan proses penadaan dan berarti menyederhanakan konsep-konsep yang telah digambarkan oleh Barthes sebagai elemen-elemen penting dalam mitos.
Sedangkan dalam anilis Prof. Dr. Kailan, Kaitannya dengan Signifer dan Signifed dalam semiotika Barthes, ia menamainya dengan system penamaan ke dua yang dibangun di atas bahasa sebagai system pertama yang kemduian disebut den gan system konotatif yang dibedakan dengan denotatif. Tanda dalam kerjanya, Barthes membuat peta yang sangat jelas yakni :

1.    Penada
2.      Petanda

3.    Denotatif Sign

Conotatatif Signifed
4.    Conotatatif (Signifer)

(Petanda Konotatif)
5.    Conotatif Sign (Tanda  Konotatif)


Tanda denotative terdiri dari dua unsur yakni signifier(penanda) dan sifnifed(petanda), akan tetapi tanda denotative juga petanda kontataif. Dalam hal ini, konotatif menurut Barthes bukanlah bermakna taambahan saja, melainkan kedua-duanya yang menjadi bagian dari proses signifikasi dengan kata lain denotasi meripakan system signifikasi tingkat pertama dan konotatif merupakan system signifikais tingkat kedua.
 
B. Hubungannya dengan metabahasa dalam mendeskrifsikan bahasa agama
Barang kali hubungan yang lebih dekat dengan bahasa Agama adalah al-Quran itu sendiri.  Imana al-Quran secara fenomenal, merupakan aspek yang sangat krusial dalam peradaban Islam, sebab pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam tidak bisa lepas dari dinamika pemahaman umat Islam terhadap al-Quran yang berbentuk untaian kata yang termanifestasikan dalam wujud teks. Karena itu, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Mafhûm alnashsh: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Quran, mengatakan bahwa Islam merupakan peradaban teks (hadârah al-nash) atau peradaban ta’wîl (hadharah alta’wîl), 1 atau dalam istilah al-Jabiri dalam Binyah al-‘Aql al-‘Araby disebut sebagai hadhârah al-fiqh2 dan hadhârah al-bayân, dua istilah yang digunakan al-Jabiri untuk menunjukkan betapa pentingnya teks (nash) dalam peradaban Islam.
Bertitik tolak pada sumber pengetahuan utama yang berupa bahasa (teks), maka tafsir hanya berupaya memahami dan memperjelas maksud sebuah teks. Dengan mengutamakan  tekstual-lughawiyyah dari pada epistemologi kontekstual-bahtsiyyah maupun spiritualitas-‘irfâniyyah-bâthiniyyah. Karena itu, tolak ukur validitas keilmuan yang digunakan dalam tradisi pemikiran tafsir adalah keserupaan atau kedekatan (muqârabah) antara teks, nash atau signifier (al-lafzh) dengan signified (al-ma’na).
Melalui pendekatan ini, maka bahasa agama akan mudah diresapi secara maximal oeleh ummat manusia yang akan haus akan doktrin dan keyakinan yang akan membawa dirinya pada kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Hubungan yang bisa kita ambil adalaha hubungan interkonektif, aplikatif, holisitik dan afirmatif.




9.      A. Perbedaan logika menurut Positivisme logis dan hakikat bahasa menurut “Language Games” L. Wittgenstein
1.      Perbedaan Logika Menurut Positivisme Logis
Logika dalam pandangan Positivisme Logis yang sebenarnya menerima Logika Antonimisme Logis baik dalam konteks cara atau teknis analisis, namun positivism logis ini menolak dengan keras apa yang disebut dengan Metafisika Antomisme Logis. Dalam membedakan Logika Positivisme Logis menggunakan tehnik analisis yang memiliki dua tujuan utama yaitu : Pertama, menghilangkan metafisika, dalam aarti mereka tidak menerima ungkapan metafisis karna tidka memiliki makna atau “nirarti” namun tidak mengatakan bahwa metafisis itu salah melainkan apa yang dikatakan kaum metafisis itu tidak menyatakan sesuatu sama sekali. Kedua, sebagai penentu dalam membaca fakta apakah fakta tersebut ilmiah atau tidak ilmiah. Untuk lebih jelasnya dalam mengetahui perbedaan Logika dalam positivism Logis, kami akan menguraikan dalam beberapa prinsip sebagi berikut :
a.       Logika dalam analisis bahasa, memperhatikan dua hal terpenting yaitu anilsis pengetahuan, dan pendasaran matimatika dan ilmj pengetahuan alam pun juga terhadap psikologi dan sosiologi.
b.      Logika memiliki prinsip Verifikatif
c.       Logika memiliki konsep Proposisi baik proposisi empiris maupun formal

2.      Hakikat Bahasa Menurut “Language Games” L. Wittgenstein.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode, periode pertama berjudul Tractatus Logico-Philosophicus (1922), yang intinya tentang teori gambar (picture theory) dan mengungkapkan tentang logika bahasa. Dan di sini menurut Wittgenstein, hakikat bahasa merupakan gambaran logis dunia empiris, yang tersusun atas proposisi-proposisi dan menggambarkan 'keberadaan suatu peristiwa' (state ofaffairs). Kemudian pada periode kedua adalah Philosophical Investigations (1953), yang memuat tentang 'permainan bahasa' (language games). Menurut Wittgenstein, bahasa digunakan manusia dalam berbagai bidang kehidupan, dan dalam setiap kehidupan manusia itu memiliki aturan penggunaan masing-masing. Filsafat Wittgenstein tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofis pragmatik. Prinsip dalam permainan bahasa tersebut relevan bagi pengembangan dasar filosofis pragmatik, baik menyangkut aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologis
Hakikat Bahasa Menurut dalam “Language Games” penggunaan dalam banyak cara yang digunakan secara berbeda untuk mengungkapkan pembenaran. Ini juga merupakan kritik pada pendapatnya yang pertama yakni bahasa itu tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis, melainkan sebagai pengungkap pembenaran dengan cra yang berbeda. Menurutnya juga makna sebuah kata adalah penggunaanya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalahpenggunaanya di dalam hidup. Bahasa juga menurutnya tidak hanya memiliki satu struktur logis saja melainkan segi penggunaanya dalam hidup manusia yang bersifat kompleks yang meliputi berbagai bidang kehidupan.
Intinya bahwa penggunaa istilah “Language Games” ini berarti bahwa menurut kenyataan penggunaanya, bahasa merupakan suatu kegiatan atau merupakan suatu bentuk kehidupan. Dan ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Dan tata permainan bahasa ini memiliki aturan main tertentu dan harus berpedoman pada suatu aturan yang mencerminkan corak dari permainan bahasa yang dimaksud.

B. Relevansinya bagi ungkapan Bahasa Agama
Suatu kesimpulan bahwa “Makna sebuah kata adalah tergantung penggunanaanya dalm suatu kalimat, dan makna kalimat tergantung penggunaanya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa adalah tergantung penggunaanya dalam hidup”
Kaitannya dengan bahasa Da’wah, terlebih lagi kita khususnya di Indonesia memiliki corak bahasa yang berbeda dari satu propinsi ke propinsi lainnya, begitu juga dalam satu propinsi terdapat perbedaan bahasa antar kabupatennya, bahkan dalam satu kabupaten terdapat dialeg yang berbeda antar kecamatannya, juga bahkan satu kecamatan terdapat nada yang berbeda dengan lingkungan lainnya. Realita ini barang kali sudah lumrah dan siklus bahasa antar satu wilayah dengan wilayah lainnya mengalami pergeseran dari waktu ke waktu tertentu.
     Sebagaiman dikatakan bahwa bahasa dalam “Language Games” merupakan suatu kegiatan atau suatu bentuk kehidupan yang memiliki aturan main tertentu yang harus dipatuhi. Dengan demikian, dalam bahsa dakwah demi tercapainya pesan-pesan agama, maka disinilah sesorang dai diperlukan adanya teknik serta cara yang harus digunakan sebagai penyalur dari pesan-pesan yang dibawa. Dan dalam al-Quran sendiri telah memudahkan bagi siapa saja untuk menyampaikan ajaran Islam dengan bahasa yang mereka gunakan.
           
10.  A. Uraian tentang relevansi Filsafat Bahasa dan Semiotika dalam hubungannya dengan bahasa Dakwah

Sebelum lebih jauh lagi kami menguraikan hubungannya dengan Bahasa Da’wah, perlu kami cantumkan beberapa paktor menjadikan bahasa agama menjadi urgen dibahas oleh para teolog dan filosof (muslim dan non-muslim) adalah sebagai berikut: a). Pentingnya menyingkap makna dan pengertian proposisi-proposisi keagamaan dan ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Tuhan, b). Menganalisa sifat-sifat berita (al-khabariyyah) (seperti tangan, wajah, dan) untuk menjauhi dimensi keserupaan, kematerian dan menghindar dari "kematian" rasionalisasi agama, c). Menyingkap makna dari sifat-sifat yang sama antara manusia dan Tuhan, seperti ilmu, kodrat, iradah dan, d). Kontradiksi antara ilmu dan agama (menurut sebagian pemikir dan ilmuwan agama), dan untuk memecahkan masalah kontradiksi tersebut dihadirkan bahasa agama, e). Menganalisa dan mengobservasi keyakinan-keyakinan dan proposisi-proposisi keagamaan dengan tujuan memecahkan problematika perselisihan internal agama, f). Munculnya aliran-aliran khusus filsafat, seperti positivisme, positivisme logikal dan filsafat analitik. dll
1.      Filsafat Bahasa dan hubungannya dengan bahasa dakwah
Sebagaimana kita ketahui bahwa pungsi bahasa dalam Filsafat bahasa yaitu :a). Register sebagai Penyampai Maksud, b) sebagai Penyampai Rasa Santun, c). Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat, d). Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri, e). Dialek dan Rasa Solidaritas, f). Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian, g). Genre sebagai Pengaman Kejiwaan, h). Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan, dll.
Satu sisi bahwa Filsafat tanpa bahasa akan mati, begitu pun sebaliknya. Keduanya, berjalin-kelindan seperti api dengan panasnya, tak dapat dipisahkan. Sedemikian eratnya hubungan filsafat dengan bahasa. Keduanya membentuk satu makna yang utuh, yang muncul dalam satu tarikan nafas. Sestem filsafat dapat dipandang sebagai suatu bahasa, bahkan perenungan kefilsafatan itu sendiri adalah sebagai upaya penyusunan bahasa. Hasil kontemplasi kefilsafatan ini seterusnya distrukturkan dan ditransformasikan serta dikomunikasikan melalui bahasa.
Hal ini sangatlah terkait dengan bahasa dakwah yang digunakan dalam konteks dakwah itu sendiri. Melihat dari beberapa pungsinya misalnya sebagai Penyampai Maksud, relevan dengan ayat al-Quran [QS.al-A’raf(7):52], [QS.Yunus(10):37], [QS. Hud(11):1], [QS.Yusuf(12):111[, [QS.an-Nahl(16):89], [QS.al-Isra’(17):89], [QS.al-Kahfi(18):54], [QS.as-Syura(26):2], [QS.an-Naml(27):1], [QS. al-Qashas(28):2] dll. Begitu juga bahasa penyampai Rasa Santun, Tingkat Tutur sebagai Penyampai Rasa Hormat, Idiolek sebagai Penanda Identitas Diri, Dialek dan Rasa Solidaritas, Standarisasi sebagai Penopang Rasa Kemandirian, Genre sebagai Pengaman Kejiwaan, Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan, kesemuanya sangatlah terkait dengan anjuran yang diperintahkan al-Quran. Untuk itu Filsafat Bahasa hubungannya dengan bahsa dakwah sangatlah relevan, namun tidak berarti secara holistic.

2.      Semiotika dan hubungannya dengan bahasa dakwah
Sehubungan dengan itu, semiotika dalam bahasa dakwah sangtlah diperlukan. Dimana al-Quran sendiri yang merupakan contok nyata dari pengunaan semiotika yang terbesar dann diakui oleh seluruh pakar bahasa dalam kelas apapun. Melalu al-Quarn ini sangatlah mempengaruhi tingkat bahasa yang digunakan manusia selanjjtnya, dimana kita ketahui bahwa manusia dalam perkembangaanya menggunakan aneka ragam bahsa yang sangat indah dankesemuanay tidak lepas dari bahasa semiotika yang memiliki unsure-unsur baik dalam bentuk tingkatan semisal tingkatan syntactic level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan semantik) dan pragmatic level (tingkatan pragamatik). Kemudian dari lima hal yang terdapat dalam semiotika seperti : (1) Signifer (penanda) dan signified (petanda), (2) Form and content (bentuk dan materi/isi), (3) Langue and parole (bahasa dan tutur), (4) Synchronic and diachronic (sinkronik dan diakronik), dan (5) Syntagmatic and associative (sintagmatik dan paradigmatik). Unsur-unsur ini sangatlah terkai dengan bahsa bahasa yng kita gunakan dalam konteks dakwah islamiyah pda abad-abad terakhir ini.
Dan contoh yang paling kongkret adalah bahasa dakwah yang digunakan AaGym misalnya salah satu Dai kondang yang sangat terkenal. Kalau kita perhatikan bahasa Dakwahnya yang dikemas dalam Menejemen Qalbu(MQ) sangat terkai dengan bahsa bahsa Semiotika, dan itulah yang menyebabkan mengapa dengan kelebihan bicaranya sangatlah didengar oleh masyarakat umumnya dan sangat mempengaruhi jiwa sesorang sehingga seseorang itu merasakan kenyamanan, kesejukan dan ketentraman dalam hatinya, keluarganya dam lingkungannya.
B. Kontribusi Filsafat Bahasa dalam pengembangan Dakwah
Sebagaimana kta ketahui bahwa, Da’wah atau system da’wah tidak terlepas dengan bahasa, dan hamper kesuksesan seorang Dai terdapat pada keindahan dan kelohisan bahasanya. Untuk kalangan pedesaan misalnya sudah barang tentu dibutuhkan bahasa yang indah sederhana dan dapat memikat hati pendengar untuk melaksanakan perintah agama itu sendiri. Demikian juga kalangan masyarakat industry dan pasca industry tentu membutuhkan bahasa yang logis memiliki gaya semiotic dan bercorak filosofis.
Ini kemudian yang banyak mengantarkan kesuksesan dai dai kita khususnya di Indonesia seperti KH. Zainuddin MZ, Aa Gym, Yusuf Mansur, Jefri Bukhari yang walaupun secara akdemik, tidka seperti yang kita bayangkan. Namun dengan pembekalan bahasa yang indah, logis dan terstruktur, maka pendengar terasa menyatu dengan rangkaian kalimat yang diucapkan walau ucapan itu amat sederhan bila dilihat dari kacamata akademiki.
Jadi seorang juru dakwah harus memahami hakikat dan tujuan dakwah, seperti mengapa manusia membutuhkan agama, mengapa agama perlu disebar luaskan, apakah tujuan akhir dakwah, bagaimana etika dakwah, bagaimana hakikat manusia sebagai obyek dakwah, bagaimana rasionalisasi metode, media, serta tehnik-tehnik dakwah? Untuk memahami ini semua tentu perlu pemkiran yang mendalam, universal, radikal, integral, dan sistematis. Dengan kata lain berfilsafat. Ketika seorang juru dakwah telah memahami tentang hakikat dan tujuan dakwah, maka memungkinkan untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan syariat Islam.
 Oleh karna itu dapat disimpulkan bahwa filsafat punya peranan yang sangat penting dalam pengembangan dakwah Islam. Karena dengan berfilsafat maka lahirlah metode, sistem, dan strategi yang baik dan dapat di realisasikan. Sehingga tujuan utama dari dakwah yaitu mencapai perubahan dapat terlaksana.

C. Contoh kongkrit.
Contoh yang lebih kongkret adalah misalnya ketika kita menjelaskan hakikat manusia, yang sering lupa
Sebagaimana dinungkap Saussure, bahwa ia mengembangkan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Bahasa adalah alat komunikasi yang terdiri atas sejumlah ujaran yang masing-masing dilihat sebagai tanda, yakni satuan yang terdiri atas dua muka yaitu significant(citra bunyi, signifier atau penanda) yang harus disertai oleh signifie (makna, konsep, signified atau petanda). Suatu ujaran hanya berlaku sebagai tanda jika terdiri atas penanda dan petanda.
Dalam teori Linguistik Struktural misalnya mulai dari, Paradigmanya adalah paradigm Behavioristik, Bahasa berbentuk ujaran, Bahasa berupa system tanda (Signified an Signifiant), Bahasa merupakan paktor kebiasaan, Untuk Gramatika berdasarkan keumuman, Level-leve Gramatik ditata rapi, Adanya penekanan analisis pada bidang morfologi, Bahasa merupakan deretan sintagmatik dan paradigmatic, Analisis bahasa menggunakan pendekatan deskriptif, Analisis struktur bahasa berdasarkan Unsur langsung dll. Ini amat terkai dengan bahasa yang kita gunakan upaya menjelaskan bagaimana manusia itu bisa lupa.
Misalnya secara struktur, kata manusia berasal kata “Nasia-Yansa-Insanan”. Nasi sendiri merupakan Fiil Madhi(kata kerja) yang berarti sudah lupa, sedangkan Yansa berarti sedang lupa. Kemudian membentuk Masdhar yang berarti pelupaan. Istila ini kemudian al-Quran jadikan sebagai satu bentuk sebutan bagi makhluk hidup yang sempurna yang dinamakan dengan manusia. Al-Quran sendiri banyak berbicara tentang manusia yang diambil dari kata “Insan” tadi misalnya dalam [Yunus(10):12], [Hud(111):9], [Ibrahim(14):9], [an-Nahl(16):4], dan lain lain.
Kemudian kata “Nasia-Yansa” yang berarti lupa ini pas dengan firman Allah :
( Ÿwur…. š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# (…..# ÇÐÐÈ  
“….dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” [al-Qashshash(28):77]

šèÎø)ãZy Ÿxsù #Ó|¤Ys? ÇÏÈ  
Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa”,[al-‘A’la(87):6]
* tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhŽÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÍÍÈ  
“ mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? ”.[al-Baqarah(2):44]

4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÌÐÈ  
“…. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan”.[al-Baqarah(2):237]
ö@t/ çn$­ƒÎ) tbqããôs? ß#ϱõ3usù $tB tbqããôs? Ïmøs9Î) bÎ) uä!$x© tböq|¡Ys?ur $tB tbqä.ÎŽô³è? ÇÍÊÈ  
“ (Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)”.[al-An’am(6):41]
Ÿwur (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#qÝ¡nS ©!$# öNßg9|¡Sr'sù öNåk|¦àÿRr& 4 šÍ´¯»s9'ré& ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÒÈ  
" dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik”[al-Hasyr(59):19]

Isayarat-isyarat ini tiada lain ditujukan bagi manusia itu sendiri. Dan kata yang bergaris tebel itu enunjukkan struktur kalimat dari manusia yang sering lupa, dengan demikian Allah selalau mengingatkan agar jangan lupa, melupakan, dan menjadi orang yang lupa.
Kaitannya dengan filsafat bahasa melalui linguistic, maka manusia akan segera sadar bahwa satu sisi di sebagai manausia yang selalu lupa dan Allah mengingtkan secara terus menerus agar jangan sering lupa dari mengingat Allah.
Dan ini relevan bagi semua kelas masayarakat dari berbagai tingkat intlektualnya, dengan demikian relevansi filsafat bahasa dlama pengembangan bahasa Da’wah tidak bisa dilepaskan. Dan sejujurnya tampa disadari atau tidak, sesungguhnya manusia itu selalu berfilsafat dengan dirinya sendiri, bahasanya,lingkungannya dan masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar