BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perbincangan
tafsir dalam konteks metodologis, semakin hari semakin menarik saja dimana para
konstruktor, rekonstruktor bahkan dekonstruktor epistemologi dan metodologi
tampak berlomba mencari sebuah alternatif yang mampu mengakomodasi problematika
sosial dari masa ke masa hingga di era modern ini. Tidak hanya itu, para ilmuan
Barat dengan orientalisnya juga tuut serta memberi warna_terlepas dari motifasi
penyerangan ataukah pembelaan atau mungkin saja pelurusan atas desain desain
ilmu ilmu keislaman, yang jelas kesemuanya telah memberi pengaruh positif bagi
ummat Islam berupa adanya motifasi pengkajian ulang secara insetntif dan
elaboratif dalam upaya menemukan, menjawab, dan meperkenalkan kembali ilmu ilmu
Islam yang sejatinya telah ada sejak permulaan al-Quran diturunkan.
Islam
adalah agama yang amat sangat terbuka denga kondisi apapun dan ramah akan
dialektika serta kritik. Islam tidak hanya merekonstruksi struktur sosial,
sistem kemasyarakatan, sistem moral dan sistem-sistem lainnya yang telah lama
disalah gunakan bangsa-bangsa terdahulu, namun Islam juga telah membangun
bangunan-bangunan ilmu pengetahuan baik apa yang disebut dengan epistemologi,
teori dan istilah-istilah yang kita kenal sekarang ini. Dan hal ini bisa kita
rasakan dengan munculnya ribuan disiplin ilmu mulai dari al-Quran dan
cabang-cabangnya, Tafsir dan cabang-cabangnya, al-Hadits dan cabang-cabangnya,
Fiqih dan cabang-cabangnya, Tasawwuf dan cabang-cabangnya, Filsafat dan
cabang-cabangnya, Logika, Kalam, Tauhid, dan lain lain.
Disiplin-disiplin
ini berjalan secara evolutif mengikuti perkembangan zaman dimana disiplin ilmu
itu berhadapan dengan kehidupan social. Tampa bermaksud mendesakralisasi ilmu,
kenyataanya bahwa disiplin ilmu keislaman telah lama berevolusi dengan
zamannya. Kita ketahui bagaimana corak ilmu masa kenabian_yang oleh beberapa
peneliti ilmu pada masa ini digambarkan dengan puncak peradaban ilmu dan
religiutas yang sangat praktis, kemudian lahirlah era Khulafa ar-Rosyidin yang
dikenal dengan empat tipologi pemikiran, kemudian lahir lagi dua model
pemerintahan yang sangat monumental dengan sistem yang berbeda, begitu
selanjutnya sampai era modern dan kontemporer ini. Disiplin ilmu di masing
masing priode ini memiliki corak yang berbeda dan bagai pohon yang memiliki
cabang serta ranting-ranting yang semakin hari semakin tumbuh, namun tidak
berarti tumbang sebagaimana pohon aslinya.
Salah satu dilema yang
dihadapi masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi_sebagaimana tulis
Tholhah Hasan adalah bagaiman menempatkan nilai nilai dan orientasi
keagamaannya ditengah perubahan-perubahan yang terus terjadi dengan cepat dalam
kehidupan sosialnya. Di satu pihak mereka ingin mengikuti gerak modernisasi
yang kemudian menampilkan diri sebagai masyarakat modern. Dan say yang
bersamaan secara berlawanan mereka tidak ingin kehilangan symbol kepribadiannya
yang ditandai dengan berbagai nilai yang pernah dianutnya.
Dan memang benar apa
yang dikatakan bahwa dalam transisi seperti ini, kerap kali terjadi usaha
pelompatan orientasi, dengan meningalkan segala system nilai klasik yang
dipandang sebagai penghalangmodernisasi, namju di lain sisi dia belum menemukan
system nilai baru yang sudah mapan, yang mampu dipakai sebagai ukuran wawasan
dan sikap prilaku yang dibutuhkan. Maka terjadilah distorsi kepribadian yang
membawa kelabilan dalam kehidupan sosialnya.
Bila kita sadari bahwa,
semangat kita dalam memahami ciri-ciri perubahan yang sedang terjadi dan
tuntutan-tuntutan baru yang timbul. Sementara itu kita juga harus mempersiapkan
metodologi serta pendekatan persepsionalis yang aspiratif-onal , sehingga
kemungkinan untuk membuka cakrawala itu lebih luas untuk diwujudkan.
Islam sebagai agen
perubahan sosial kemasyarakatan melalui tafsir al-Qurannya, tentu sangatlah
diharapkan bahkan satu satunya harapan dunia agar realitas social di dunia ini
dapat terwujud secara adil dan menyeluruh tampa ada superioritas dan
imperioritas terhadap strata social yang dianggap lebih rendah dari dirinya. Di
samping itu upaya-upaya untuk membendung pertikaian yang sudah lama terjadi bahkan
sebelum Islam lahir_dimana dekadensi moral, perbudakan, diskriminasi, hegemoni,
belum lagi benturan benturan keyakinan, moral, etika dan ilmu pengetahuan
meraja lela di mana mana, menuntut untuk diadakannya rekonstruksi bahkan
dekonstruksi system social dan keagamaan. Oleh karna itulah Islam lahir dan
merasa terpanggil untuk mengobati penyakit dunia yang sedang melanda
masyarakat.
Ilmu tafsir sebagai
agen perubahan yang selama ini bahkan berabad abad seja lahirnya sampai abad
ke-20 yang lalu, ilmu tafsir masih difahami dan dipelajari secara parsial
sehingga sub bahasan antara satu dengan yang lainya dinilai terkesan kurang
berkaitan; padahal semua pokok bahasan dalam ilmu tafsir merupakan satu kesatuan
yang tak mungkin dipisahkan satu dari yang lain, melainkan hanyalah dipilah
pilah agar memudahkan saja.
Terhitung
sejak zaman Nubuwwah, Mutaqaddimin, Mutakhkhirin sampai
kontemporer sekarang ini, realitas di atas tidak bisa dielakkan adanya. Dimana
masing masing dari mereka berusaha beradaftasi dengan zamannya dan menjawab
problematika zamanya sendiri dengan perangkat perangkat estimasi yang khas
milik masyarakatnya. Sebutlah misalnya efolusi tafsir mulai dari Ma’tsur →Ra’yu
→ Isyari. Masing-masing model ini memiliki metodologi dan corak yang berbeda
terhitung mulai dari metode tahlili(analisis), ijmali(Global),
Muqarran(komparatif), Maudu’i(tematik). Dan coraknya misalnya mulai dari fiqhy,
falsify, ilmy, tarbawy, akhlaqy, I’tiqody, sufy dan lain lain[1].
Kesemuanya
ini merupakan bentuk keniscayaan bahwa efolusi tafsir dalam arti perangkat dan
metodologi bukanlah metodologi berbasis pasif-ekslutif-, namun sebaliknya
aktif-dinamis dalam arti memberi ruang konstrutif, rekonstruktif dan tidak
berlebihan bila mengatakan dekonstruktif. Dengan demikian kita tidak memandang
bangunan itu permanen yang kemudian dijadikan bagan abadi dalam kontek
produktifitas. Namun sebaliknya kita berupaya menjalankan roda ilmu dan
menaburkan pupuk pupuk ilmu di sudut sudut terpencil secara holistic, sehingga
taburan ilmu itu tumbuh dan berkembeng yang pada akhirnya menghasilkan buah
yang bisa dikonsumsi semua lapisan masyarakat.
Inilah
cita cita kita ummat Islam abad terakhir, bagaimana memberi pemahaman secara
merata tampa diskriminasi hukum dan hegemoni sosial apalagi sampai pada titik
superioritas-inperioritas. Karna kita sadari bahwa ketimpang siuran ummat Islam
ini diakibatkan karna adanya pembekuan ilmju pengetahuan yang walaupun secara
keseluruhan tidak mutlak demikian, namun sedikt banyak memberi pengaruh atas
realita ummat ini.
Kaitan
dengan tulisan yang Insya Allah saya akan uraiakan ini, tidaklah bermaksud
merubah dan menggeser perangkat mainstream, dan barang kali juga hal ini bukan
hal yang baru. Melainkan sudah banyak studi studi yang menyemarakkan pemikiran
progresif dalam semua bidang termasuk tafsir ini.
Dalam
tulisan ini, penulis berusaha memaparkan tawaran tawaran pasti yang menjamin
kemestian integrative dari perangkat perangkat yang ada dengan perangkat
perangkat ilmu ilmu baru, yang sebelumnya diawali dengan latar belakang berupa
kronologi realitas dan kompleksitas dari sebuah keniscayaan sampai pada model
perangkat integrative itu sendiri yang kemudiankami sempurnakan dengan
relevansinya terhadap perkembangan zaman di era modern ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
beberapa uraian di atas beberapa rumusan masalah yang dimaksud adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana
Kompleksitas Paradigma Tafsir?
2. Bagaimana
Bentuk Paradigma Tafsir Integratif
3. Bagaimana
Relevansi Paradigma Tafsir Integratif Di
Era Modern?
C. TUJUAN
Melihat
pentingnya tulisan ini, maka beberapa hal yang menjadi tujuan utama adalah
sebagai berikut:
1. Ingin
Mengetahui Bagaimana Kompleksitas Perangkat Tafsir
2. Ingin
Mengetahui Bagaimana Bentuk Paradigma Tafsir Integratif
3. Ingin
Relevansi Paradigma Tafsir Integratif Di
Era Modern
D. METODOLOGI
Memandang bahwa, metodelogi merupakan “Ilmu pengetahuan yang
mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh dalam mencari tujuan dengan
hasil yang efektif dan efisien”.[2]
Dengan demikian, Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah
Deskriptifi-analaitik. Dimana deskriptif
itu sendiri diartikan kepada suatu yang bersifat menggambarkan, menguraikan
satu hal menurut apa adanya.[3]
Sedangkan analisis berarti menjelaskan data data yang sudah terdeskrifsikan
secara mendetail. Kemudian barulah
menyimpulkan kehendak deskrifsi yang sudah teranalisis.
E. KAJIAN PUSTAKA
Untuk memudahkan
penulis dalam menemukan data, maka penulis menggunakan dua sumber yaitu primer
dan skunder. Primer yaitu merujuk pada kitab kitab induk metodologi tafsir baik
dama bentuk sistemtais maupun non sistemis. Kemudian skunder merupakan bentuk
rujukan pada sejumlah catatan dalam format apapun yang terkait dengan
pembahasan yang dimaksud.
BAB II
REFORMULASI PARADIGMA
TAFSIR
A. KOMPLEKSITAS PARADIGMA TAFSIR
1. Wujud
Paradigma Tafsir
Lebih jelasnya dalam
pembahasan ini kami akan klasifikasi beberapa bagian secara priodatif.
a. Era
Nubuwwah
wujud
ilmu-ilmu tafsir pada masa ini masih menyatu dalam istilah al-Quran atau
wahyu yang diturunkan dari Allah kepada Muhammad saw. Dimana peran Muhammad
sebagai pembimbing ke jalan yang benar menjadi tolak ukur yang permanen dari
setiap problematika sosial pada saat itu. Pada saat ini Nabi adalah pemegang
otoritas dalam mengungkap sejumlah makna atau kalimat yang dianggap sulit oleh
sahabat. Dengan demikian para sahabat selalu merujuk kepada penegasan Nabi
tampa ada kritik yang dapat menyanggah pendapat Nabi, karna memang al-Quran
sudah menegaskan akan pungsi Rasul dan kewajiban ummat Islam untuk mentaatinya.
b. Era
Shohabah
Ketika
memasuki periode ini, masa-masa nubuwwah masih terasa hangat dalam arti
segala bentuk penalaran, metodologi masih menggunakan metodologi yang sudah
diajarkan Nabi. Dalam arti mereka tetap merujuk kepada petunjuk yang sudah
ditetapkan dahulu. Inilah barang kali yang menyebabkan tidak merasa penting
untuk menyususun atau mengkonstruksi satu istilah keilmuan sebagaimana yang
kita kenal sekarang. Disamping itu kafasitas serta kualitas para sahabat dalam
memahami al-Quran cukup hebat mulai dari tingkat hafalan, pemahaman, pemaknaan
dan sebagainya. Beberapa tahun kemudian
terutama sepeninggal Rasulullah saw, ummat Islam ditimpa cobaan yang
berkelanjutan sampai pada perang saudara yang mengakibatkan sejumlah
tokoh-tokoh Islam wafat baik dalam peperanagn antar non Muslim juga termasuk
sesame Muslimnya. Di sini muncul upaya pengkodifikasian al-Quran dalam bentuk
penyatuan tulisan atas perintah Abu Bakar kepada Umar yang kemudian melibatkan
beberapa penulis wahyu dulu seperti Zait bin Sabit. Perhatian mereka bukan saja
tertuju pada pengumpulan tulisan, akan tetapi mereka berbenturan juga dengan
system tanda baca yang mengakibatkan perbedaan bacaan antar sahabat satu dengan
lainnya. Kasus ini kenmudian ditangani oleh Utsman yang sekaligus disebut
sebagai periode kodifikasi dalam tahap final yang kemudian resmi menjadi Mushaf
Utsmani[4].
c. Era
Tabiin
Era
ini merupakan era perluasan Islam yang makin meluas, dimana para
pembesar-pebesar Tabiin menyebar keseluruh antero, mengajarkan mansuia al-Quran
beserta isinya. Mereka pun mulai mengemabngakan pendidikan secara bertahap
melalui pendirtian lebaga-lembaga pendidikan khususnya lembaga al-Quran.
Menurut ar-Rumi lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di era ini banyak
sekali jumlah, namu kami hany menyebut beberapa saja yang kami anggap bisa
mewakili dari keseluruhan lembaga yang ada. Beberapa lembaga yang dimaksud
adalah sebagai berikut: Madrasah Ibn Abbas di Makkah[5],
Madrasah Ubai bin Kaab di Madinah[6],
dan Madrasah Abdullah Ibn Mas’ud di Kufah[7].
d. Era
Perkembangan:
Kemudian
pada perkembangan berikutnya perkembangan ilmu mulai bermunculan
susunan-susunan keseluruhan ilmu-ilmu termasuk ilmu Hadits, Tafsir, Ilmu Fiqih
dan beberapa ilmu-ilmu lainnya. Pada tahapan pertama penyususunan ilmu-ilmu
hanya berupa satu bab pembahasan saja yang kemudian diberikan penjelasan secara
detail mengenai bab tersebut. Ilmu yang paling banyak dibahas adalah Ilmu
Tafsir yang itu nantinya menjadi disiplin ilmu dari ilmu-ilmu tafsir.
Pengelompokan itu dikemas menjadi satu bab dari bab bab Hadits. Kondisi ilmu
Tafsir pada saat ini masih belum utuh dalam arti belum diakui sebagai cabang
ilmu yang mandiri sebagaimana yang kita kenal sekarang. Karna seluruh kutipan
dilakukan melalui system sanad. Ulama’-ulama yang terkenal pada fase pertama
ini adalah Yazid bin Harun as-Salami(w.117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj(w.160 H),
Waqi’ bin Jarrah(w.197 H), Sufyan bin ‘Uyainah(w.198 H), Abdurrazzaq bin Human
as-Shan’ani(w.211H). Dari tahapan ini pun meluas ke beberapa wilayah pembahasan
sehingga corak ilmu itu seperti satu buku dan menjadi satu disiplin ilmu yang
mandiri.
Di
sinilah berkembangnya ilmu Tafsir sedikit demi sedikit banyak diantar tokoh
yang terkenal adalah Ibn Majjah(w.273 H), Ibn Jarir at-Thabari(w.310 H), Abu
Bakar bin al-Munzir an-Nisaburi(w.318 H), Ibn Abi Hatim(w.327 H), Ibn
Hibban(w.369 H), Al-Hakim (w.405 H), Ibn Mardawiyah(w.410 H).[8]
Pertumbuhan
studi Ilmu-ilmu tafsir pada tahap ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, dimana lahir sejumlah
kitab-kitab yang membahas ilmu-ilmu al-Quran secara keseluruhan seperti Abu
Hasan al-Asy’ari, Muhammad bin ‘Ali al-Adwafi, kemudian muncul lagi
al-Quzwaini, Abu Syamah al-Maqdisi, selanjutnya lagi Ibn Taimiyah hingga pada
abd kedelapan muncul az-Zarkasyi, kemduian diteruskan oleh as-Suyuti pada abd
ke Sembilan dan sampai pada periode terakhir yakni zaman az-Zarqani, Abu
Syuhbah, Subhi as-Sholih, Manna al-Qaththan, al-Jazairi dlll. Sedikit demi
sedikit ilmu-ilmu al-Quran ini mengalami perkembangan yang sistematis terutama
pada tahap kodifikasi dan pada awal abad ke VIII dan seterusnya.
2. Formulasi
teori-teori Qurani Sebagai Paradigma Al-Quran
Ada
alasan yang kuat dalam konteks pengembangan gagasan-gagasan keniscayaan adanya
formulasi teori seperti teori sosial yang berlandaskan al-Quran adalah
sebagaimana tulis kuntowijoyo[9]
pertama-tama kita harus memahami al-Quran sebagai paradigma[10]
yang berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami
realitas sebagaimana al-Quran memahaminya. Al-Quran membangun ini dengan tujuan
agar kita memiliki “hikmah” yang dengan itulah kitadapat dibentuk dengan
prilaku yang sejalan dengan nilai nilai normative al-Quran, baik pada level
moral maupun pada level sosial. Hal ini juga sangat memungkinkan adanya
konstruksi pengetahuan sebagai desain rumusan rumusan system Islam. Jadi di
samping memberikan wawasan aksiologis, juga paradigm dapat berpungsi sebagai
wawasan epistemologis.
Dari
sejumlah pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam konteks memahami al-Quran
terdapat banyak teori teori yang komprehensif terhdap pemahaman itu sendiri.
Salah satunya adalah_sebagaimana tulis Kuntowijoyo, pendekatan Sintetik
Analitik[11] yang
memandang al-Quran memiliki dua kandungan yaitu kandungan konsep dan sejarah,
amtsal. Dan memang benar bahwa dalam al-Quarn banyak sekali tema tema yang
menyangkut tentang konsep konsep baik secara abstaktif maupun kongkret.
Konsep
Abstrak misalnya mengenai Allah [2:164], [6:1,14,75,], [7:54,57,195],
[10:3,5,6,], [12:101,105],dan lain lain. Malaikat[2:3,98,177], [4:136], [6:1,11,70],
[37:164], dll. Hari akhir[1:4], [2:3,4,46], [3:9,25,114], [4:38,39,59], Surga
Neraka[4:95],
[6:127],
[9:72],
[10:9,25],
[2:119,206],
[3:12,162,197],
[4:55,93,97],
dll. Kemudian konsep kongkret yang identik dengan fakta fakta berupa data
empiris misalnya seperti manusia, muslim, kafir, fuqara’, masakin, Agniya’,
‘Adil, Dzálim, mufsid, muslih, Ashabul Yamin, Ashabusysyimal dll.
Kesemuanya ada dalam al-Quran itu sendiri., Dari semua konsep ini memiliki
makna bukan saja karna keunikannya akan
tetapi juga karna kaitannya dengan matriks struktur normative dan etik tertentu
yang melaluinya pesan pesan al-Quran difahami. Dan dalam kaitannya ini konsep
al-Quran bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam dan lebih
jauh lagi tentang pandangan pandangan dunia.
Selanjutnya_tegas
Kuntowijoyo, bila dalam bagian konseptual kita dikenalkan dengan berbagai ide,
maka dalam bagian kisah dan perumpamaan kita diajak untuk mengenali tentang
kondisi kondisi yang universal semisal sosok terzalim digambarkan dengan kisah
Firaun, sosok tersabar digambarkan dengan kisah Nabi Ayub, pembunuhan Unta yang
dilakukan olh kaum Tsamud, dll. Kesemuanya itu dimaksudkan agar kita dapat
menarik pelajaran pelajaran dalam kehidupan aplikatif kita, dan bukan data
sejarah yang diutamakan dan bukan pula objek-objek empiris akan tetapi pesan
moral dan ta’wil subjektif-normatif yang diinginkan. Nah inilah yang kemudian
disebut dengan pemahaman sintetik dalam kontek merenungkan pesan pesan moral
al-Quran dalam rangka mensintesiskan penghayatan dan pengalaman subjektif kita
terhadap ajaran normative.
Agar
kesan pendekatan tidak terlalu subjektif, maka ada pendekatan yang lain sebagai
gabungan dari pendekatan tersebut yakni pendekatan analitik yang bertigas untuk
menganalisis ayat-ayat al-Quran yang merupakan pertanyan-pertanyaan normative
pada level yang objektif, buka subjektif. Dan ini berarti_tulis Kuntowijoyo,
al-Quran harus dirumuskan dalam bentuk-bentuk konstruk-konstruk teoritis. Dan
elaborasi pada konstruk-konstruk teoritis inilah yang kemudian disebut dengan
kegiatan formulasi teori teori atau kegiatan perumusan teori yang kemudian dari
sana muncul paradigma al-Quran.
Dan
pungsi paradigma al-Quran adalah sebagaimana kita fahami untuk memabangun
perspektif al-Quran dalam rangka memahami realita, yang walupun nantinya akan
menyisakan pertanyaan pertanyaa epistemologis seperti apa itu realitas, dan
mungkinkah bisa difahami tampa melibatkan subyektifitas dll. Dan pada saat yang
sama, apakah bener itu murni perspektif al-Quan, tampa tercampur dengan
formulasi konstruksi, latar belakang intlektual, kultur, strata sosial, ekonomi
dan lain-lain.
Jelasnya
bahwa pertanyaan-pertanyaan filosofis mengeani problem-problem epistemologis
semacam ini tidaklah terlalu membuat kita sibuk memperdebatkannya, kita dapat
mengatakan bahwa bagaimanapun juga preposisi-preposisi al-Quran tetap merupakan
unsur konstitutif yang sangat influentik. Selanjutnya dalam epistemology Islam
“wahyu” merupakan bagian terpenting dalam memahami ralita. Inilah yang kemudian
membedakan antara epistemology Barat dengan rasionalisme-empirisnya. Sedangkan
epistemology Islam, unsur transendental berupa wahyu menjadi pengetahuan yang
penting. Oleh karna itu menjadi pengetahuan apriori. Dan wahyu dalam Islam
menjadi unsur konstitutif paradigma Islam, sebab ia merupakan petunjuk teks
sebagai pedoman dalam fikiran dan perbuatan muslim.
3. Tantangan
Sosial dan Peradaban
Manusia
sebagai masyarakat sosial tentu memiliki ciri dan khas dimana masyarakat itu
tumbuh dan berkembang. Dan selama itupulalah ia pasti mengalami siklus
perubahan perubahan system kemasyarakatan tersebut. Dengan demikia, sebagaimana
disimpulkan Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya bahwa “tiada masyarakat yang tidak
berubah” Dan factor perubahan perubahan sosial itu sendiri terjadi paling tidak
beberapa hal seperti : perubahan geografis, perubahan politik yang dapat
merombak struktur sosial, perubahan teknologi dan system komunikasi, perubahan
ilmu pengetahuan akibat kemajuan pendidikan, perubahan kemakmuran karena
kemajuan ekonomi dll[12].
Perubahan
perubahan[13]
sosial semacam ini bisa saja terjadi di mana saja, dan secara bersamaan akan
memberi pengaruh baik dan buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri
baik dalam bentuk Evolusi Sosial yang meliputi Evolusi Kosmis, Evolusi Organis,
dan Evolusi Mental. Kemudian dalam bentuk gerakan sosial dan yang selanjutnya
dalam bentuk Revolusi Sosial. Kesemuanhya ini terus berputas dengan
perkembanganyang dimiliki masing masing dan mulai membentuk peradaban sosial
yang baru.
Tantangan
pertama yang dihadapi tafsir adalah tantangan internal yakni
problematika-problematika masyarakat Islam itu sendiri. Dalam hal ini terutama
sekali ketika ummat Islam mengalami kemunduran akibat dari kelemahan Islam itu
sendiri yang kemudian dimamfaatkan oleh bangsa Eropa dan secara cepat mengambil
alih masa keemasan ummat Islam. Bahkan menurut al-Muhtasib hamper mayoritas
negeri Islam hingga sampai abad ke-20 tetep terlelap di bawah buaian para
imperialis[14]
Pergesekan
Islam Barat, perebutan otoritas, hegemonisasi dan superior-imperior terus saja
berlanjut hingga yang pada akhirnya Islam secara jujur berada di bawah paying
Barat sampai pada abad ini. Dan konsekuensi logisnya adalah terkotak-kotaknya
ummat Islam dengan lebel masing masing kelompok dan memiliki corak khas masing
masing. Dengan dmikian timbullah reaksi-reaksi yang variatif dalam menyikapi
realita Islam atas Barat[15],
sebagiannya apriori[16],
sebagiannya lagi permisif[17],
dan sebagiannya lagi selektif. [18].
Dan
sampai sekarang ini, repleksi dari realita tersebut muncullah tafsir-tafsir
yang bercorak aliran, kelompok, yang kemudian saling menghegemoni, takfir dan
tab’id. Bahkan sampai pada benturan fisik yang saling menghalalkan darah. Ini
merupakan realita yang sangat memahitkan dari sepanjang sejarah yang terjadi.
Padahal al-Quran tidak pernah sedikitpun mengajarkan demikian, apalagi sampai
pada titik problem di atas. Lalu bila kita bertanya siapakah yang salah, apakah
pada tafsirnya ataukah konsumen tafsir? Tentu pertanyaan ini sedikit
membiongungkan karna kita sendiri masing bingung siapa sebenarnya yang memulai.
Akibatnya pemahaman serat pembelajaranya terhadap al-Quran itu pun menjadi
sedikit berbeda. Namun demikian, kita tidak bisa mengelakkannya karna hal
tersebut juga disebabkan dari beberapa hal seperti : kedudukan al-Quran sebagai
mukjizat yang aksiomatik dan universalis sedangkan kemampuan kita sangtlah
temporal dan dan terbatas. Disamping itu kedudukannya sebagai sumber keilmuan,
sebagai fenomena bahasa, sebagai petunjuk dan penjelas dan lain lain.
Terlepas
dari itu, bila kita tarik salah satu muatan al-Quran adalah adanya”hikmah” di
balik sejarah yang barang kali sejarah ini antara mesti terjadi ataukah tidak
boleh terjadi. Yng jelas Allah memberikan kesempatan pada mansia agar menata
kehidupannya secara mandiri terlebih lagi Nabi sebagai utusan telah tiada.
Itulah barang kali satu keberuntungan Islam dimana mereka tidak terlalu
bergantung pada seseorang, namun mereka diberi modal yang amat besar yakni
al-Quran dan al-Hadits.
Namun
kemudian bagaimana al-Quran ini bisa berjalan berdasarkan pungsinya, tentu
jawabanya adalah tafsir. Karna tafsir merupakan harapan masa depan manusia
untuk memperoleh janji janji Allah serta kebahagiaan yang dicita citakannya.
Akan tetapi kemudian bila tafsir itu tidak mampu menyelesaikan persoalan
persoalan yang dihadapi dimana tafsir itu berada, tentu hal ini menjadi beban
bathin bagi agama Islam. Terlebih lagi di masa kini, kita dihadapi dengan aneka
kemajuan dalam semua bidang yang kemudian hal itu memberi pengaruh bagi manusia
itu sendiri. Oleh karna itula uapaya rekonstruksi paradigma dan perangkat
perangkat tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.
B. FORMAT TAFSIR INTEGRATIF
Format
Tafsir Integratif yang dimaksud adalah menyusun kembali dalam arti menambah
beberapa teori yang dimungkinkan bisa dipakai sebagai perangkat ilmu ilmu
tafsir. Selain memakai perangkat-perangkat yang ada, terdapat juga perangkat
perangkat umum yang memang bila ditiliki lebih mendalam ternyata dapat memberi
pemahaman terhadap teks teks itu sendiri yang merujuk ke gejala gejala sosial
15 abad yang lalu di Arab pada masa konteks mama kini dan di sini. Ada jarak
sosio-historis yang terjadi di kedua mastarakat tersebut. Di arab sendiri
merupakan tipologi masyarakat pra industrial, masyarakat kesukuan dan
masyarakat homogen[19].
Sedangkan kita sekarang mengahdapi masyarakat industrial, masyarakat kenegaraan
dan masyarakat heterogen.
Lebih
jelasnya dalam uraian formulasi ini kami akan melalui beberapa pembahsan interkonektif
satu sama lainnya. Dengan demikia, sebelum kita menemukan paradigm baru, maka
akan dilakukan analisis definitive mengenai ilmu ilmu tafsir dan tafsir itu
sendiri.
1. Setting
Definitif Ilmu-Ilmu Tafsir
Istilah
ini tergabung dalam dua kalimat yang berbeda dan menyatu membentuk satu
pengertian yang spesifik. Untuk mengetahui makna utuh dari istilah ini kami
akan melakuakn analisis dari dua kata tersebut, dikarnakan adanya perbedaan
ontologism orientattif antara ilmu sebagai perangkat tafsir dan tafsir sebagai
ilmu dalam arti pengertian tafsir yang sudah tergabung dengan ilmu itu sendiri.
Kata
ilmu itu sendiri yang kemudian kita pakai dengan satu isitilah disiplin ilmu
menjadi “ilmu ilmu tafsir” saya sendiri lebih mengartikannya sebagai
perangkat-perangkat yang dipakai dalam penafsiran. Dalam hal ini kita kenla
dengan ilmu asbabunnuzul, Ilmu Munasabah, Ilmu Qiraat, Ilmu Fawatihus Suwar
dll. Kesemuanya ini dijadikan sebagai perangkat atau rumus dalam melaksanakan
aktifitas penafsiran. Inilah yang coba kita bahas selanjutnya nanti, bagaimana
bentuk reformulasi ilmu ilmu tafsir sehingga dapat menghasilkan satu tafsiran
yang soluftif dan objektif sehingga tidak lagi terkesan dengan tafsir
otoritatif dari masing masing orang sebagai individu maupun kelompok dalam
kulturnya.
Secara
etimologi, tafsir berarti al-Idhah[20],
at-Tibyan/at-Tabyin[21],
al-Kasyfu[22], al-Izhar[23],
al-Bayan[24],
dan at-Tafshil. Juga bisa berarti al-Ibanah[25].
Dan masih banyak lagi bberapa kata yang dijadikan sandaran Ulama dalam
menggambarkan arti dan hakikat tafsir itu sendiri. Tafsir sebagaimana dalam
pengertiannya adalah penjelasan maksud yang sukar dari lafaz[26].
Istilah ini juga diungkapkan umumnya para mufassirin dengan sebutan “al-Idhah
wa at-Tabyin”[27].
Dari sini kemudian berkembang menjadi alat untuk memahami al-Quran untuk
menjelaskan makna makna serta istikhraj hukum hukum serta hikmah hikmahnya[28].
Sedangkan az-Zarqani lebih memberi pengertian dengan objek pembahasan al-Quran
ari segi segi yang ada padanya[29]
Dari
uraian dua kalimat tersebut, sederhananya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan ilmu tafsir adalah sekumpulan perangkat-perangkat teori
yang digunakan dalam menjelaskan, ayat ayat atau serta kandungan al-Quran itu
sendiri. Jadi ilmu tafsir membahas tentang teori yang dipakai menafsirkan ayat,
sednagkan penafsiran adalah aktifitas penafsiran itu sendiri.
2. Hakikat
Tafsir
Pembicaraan
tentang hakikat, dalam hal ini terdapat beberapa paradigma semisal paradigm
teknis(dalam bahasanya Hamim Ilyas_yang dikutip Mustaqim), juga ada paradigm
pungsional. “Paradigma teknis” itu sendiri lebih memandang tafsir sebagai
satuan unit teknis serta metodologi baik dalam konteks pengucapan lafaz,
istimbat hukum, mengungkap dalil madlul, dan hal hal pendukung semisal ilmu
fawatih, ilmu nuzul dan lain lain. Sedangkan dalam pandangan “paradigma
pungsional”, tafsir itu sendiri lebih dilihat sebagai pungsional dalam arti
ilmu yang digunakan dalam memahami al-Quran itu sendiri serta hal hal yang
terkait dengannya. Dan “Paradigm Akomodatif”, lebih melihat tafsir sebagai ilmu
yang membahas tentang al-Quran dari segi dilalah dalam konteks memahami maksud
firman Allah sesuai kemampuan manusia. Namun demikian, intinya
adalah_sebagaimana tulis Mustaqim bahwa hakikat tafsir itu adalah uapaya
meninjau kembali secara elaboratif-ontologis terhadap sifat dan realitas
penafsiran dengan refleksi rasional serta analisis sintesis logik.[30]
Dengan demikian_lanjut Mustaqim, mufassir sebenarnya hanya mencari “kebenaran”
melalui interpretasi teks, bukan penentu “kebenaran” itu sendiri secara mutlak.
Dan
memang benar bahwa hakikat tafsir pada dasarnya tafsir itu terbentuk atas dasar
interaksi antara berbagai aspek dengan makan makan yang dikonsumsi atau
diproduksi dari pembacaan atas al-Quran. Dengan demikian kebenarannya tidaklah
mutlak sebagaimana kebenaran al-Quran. Dan secara sadar ia merupakan ijtihad
manusia yang masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan sosial yang belum terjawab,
sehingga tafsir selalu terbuka untuk direkonstruksi. Dan dalam rekonstruksi
tersebut, maka hal yang mendasar adalah reformulasi ilmu ilmu yang dijadikan
sebagai perangkat dalam aktifitas penafsiran.
Pada
saat yang sama, kita yang memiliki jarak cukup jauh dengan tafsir zaman Nabi,
tafsir zaman, sahabat, tafsr zaman tabiin, begitu juga tafsir abad pertengahan,
tafsir masa kebangkitan, tentu sedikit berbeda tingkat kebutuhan dari
masyarakat tersebut. Dan barang kali yang lebih dekat dengan kita adalah tafsir
modern dan tafsir kontemporer sekarang ini. Namun saya tegaskan tidak berarti
bahwa kita meninggalkan gaya tafsir masa lalu, akan tetapi kita lebih
melihatnya sebagai tafsir representatif sebagai reprensi ketika kita menemukan
suatu kesulitan walau secara bersamaan kita melakukan kritik terhadapnya. Hal
ini dikarnakan, bahwa tidak mutlak semuanya tafsir terdahulu tidak relevan
dengan kondisi zaman kita sekarang ini, dengan demikain mengambil yang relevan
dan menimbang yang tidak relevan. Dengan memandang bahwa tafsir sebagai proses
dan tafsir sebagai produk, niscaya benturan benturan subyektif paling tidak
akan berkurang seiring dengan tekat bersama yang kita lakukan dlaam konteks
penafsiran tersebut. Untuk itu tafsir dan ilmu ilmu tafsir masih terbuka
memberi ruangan baru bagi para penelitinya dan ia selalu ramah dengan kritik
dan saran serta tawaran tawaran metode baru sarat tidak melanggar
prinsip-prinsip pokok esensi ajaran Islam itu sendiri.
3. Karakter
Paradigma tafsir Tafsir Mainstream
Dalam
bab ini, saya akan menggambarkan garis besar beberapa metodologi tafsir yang
sudah lama berkembang, kemudian akan dianalisis kelebihan dna kelemahan masing
masing berdasarkan fakta dan relaita. Dengan demikian, pembahasan ini tidak
terlallu panjang, mengingat beberapa pembahasan yang masih belum terjawab. Paradigma merupakan sistem keyakinan
dasar atau pandangan yang membimbing seseorang –termasuk penafsir– dalam
memilih metode dan cara-cara yang, secara ontologis dan epistemologis, sangat
fundamental. Sebuah paradigma akan mampu membentuk dan mempengaruhi keyakinan
teologis, teori maupun cara analisis seseorang. Paradigma merupakan tempat
berpijak seseorang –termasuk mufassir– untuk melihat suatu realitas,
yang dalam hal ini adalah realitas tekstual.
Kalau kita lakukan tinjauan ulang
secara global terhadap khazanah teks-teks tafsir al-Qur’an sejak Al Farra’(w.207
H) yang dianggap sebagai orang pertama yang mendiktekan tafsirnya, Ma’ani
al-Qur’an, sampai sekarang, maka paradigma yang dipakai oleh para mufassir
dalam memandang al-Qur’an bisa dideskripsikan sebagai berikut :
a. Paradigma yang memandang bahwa
al-Qur’an adalah kalam Allah, yang oleh karenanya, yang mengetahui kebenaran
maknanya hanya Allah semata. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui maknanya
diperlukan otoritas-otoritas tertentu yang telah diakui dekat dengan Allah,
yakni al-Qur’an sendiri, Nabi, Sahabat dan Tabi’in. Dari pandangan seperti
inilah nantinya dikenal corak penafsiran bi-al ma’tsur. Metode yang
dipakai adalah metode periwayatan (manqul). Apabila tidak menemukan
penjelasan dari otoritas-otoritas tersebut --setelah memeriksanya secara berjenjang
dari pertama sampai terakhir-- maka mereka akan menafsirkan berdasarkan makna
langsung (mantuq=literal) nya. Peranan akal disini sangat kecil, dalam
hubungannya dengan dinamika masyarakat audiens. Sekedar contoh kitab-kitab
tafsir (exegetes) yang mengikuti corak ini adalah : a). Kitab Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Tabari (w.310 H.). Kitab ini penuh
dengan qaul sahabat dan tabi’in, dengan menyebutkan sanadnya secara
lengkap, termasuk juga uraian tentang kebahasaan. b). Kitab Tafsir al-Qur’an
al-Azim karya Ibnu Katsir (w.744 H.). Keistimewaan kitab ini, sangat detail
dalam sanadnya, sederhana ungkapannya dan jelas dalam pemikirannya. c). Kitab al-Dur
al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur karya al-Sayuti (w. 911 H.); dan
sebagainya.
b. Paradigma yang memandang bahwa
al-Qur’an adalah kalam Allah, tetapi meskipun demikian, yang mengetahui
kebenaran maksudnya bukan hanya Allah, melainkan juga orang-orang yang memiliki
pengetahuan yang mendalam (al-rasikhun fi al-‘ilmi). Dalam literatur
klasik, yang termasuk dalam term rasikhun ini adalah para filosuf, imam
(Syi’ah) dan ‘arifin; sedangkan dalam zaman modern, rasikhun lebih
berkonotasi pada orang-orang yang mempunyai pengetahuan mendalam, baik pada
bidang al-ulum al-syar’iyyah maupun al-ulum al-kauniyyah (Iptek).
Metode penafsiran yang mereka pakai adalah penafsiran rasional dan ta’wil. Pro
dan kontra dalam hal ini sempat menghiasi kitab-kitab ilmu tafsir. Paradigma
kedua ini sering dikenal dengan tafsir bi al-ra’yi, misalnya kitab Mafatih
al-Ghaib karya al-Razi (w. 606 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya
al-Baidlawi (w. 791 H.), Madarik al-Tanzil wa Haqiq al-Ta’wil karya
al-Nasafi (w. 710 H.), dan sebagainya. Tafsir dari kelompok-kelompok sempalan
dalam Islam, pada hakekatnya, termasuk dalam kategori tafsir bi al-ra’yi
ini, hanya saja ia terlalu jauh keluar dari maksud syari’at yang benar, demi
menuruti emosi dan membela hegemoni sektenya.
c. Paradigma ketiga, yang memandang
bahwa al-Qur’an sebagai kalam Allah, dan dalam pengertian biasa juga bersifat
manusiawi. Pandangan ini sejalan dengan menguatnya historisme dan empirisme
dalam keilmuan Islam kontemporer. Tentang Allah mengetahui makna al-Qur’an,
sudah tidak menjadi persoalan dalam paradigma ini. Yang mendapatkan penekanan
adalah pluralitas makna al-Qur’an dan kebermaknaannya bagi kehidupan manusia
kontemporer secara lebih fungsional. Metode yang dipakai adalah penafsiran
kontekstual atau historis-kritis. Paradigma semacam ini hanya mendasari
hermeneutika neo-modernis al-Qur’an Fazlur Rahman, hermeneutika feminis
al-Qur’an Riffat Hasan dan Amina Wadud Muhsin, hermeneutika al-Qur’an untuk
pembebasan Asghar Ali Engineer serta hermeneutika populis al-Qur’an Hassan
Hanafi dan sebagainya.
Inilah
beberapa paradigma yang ada, dan keniscayaannya sudah mengalami perubahan
perubahan paradigma yang erat kaitannya dengan tingkat dan pola pemikiran
masyarakat di era mana mereka berada.
4. Langkah-Langkah
Paradigma Tafsir Integratif
Sebagaimana
pada pembahasan lalu, tafsir integrative ini menggunakan pendekatan “Sintetik
Analitik” yang dimaksudkan untuk menemukan kembali hakikat dan esnensi paradigm
tersebut yang relevan dan lebih objektif dalam konteks al-Quran sholihun
likulli zaman. Untuk itu, akan dilakukan dua langkah yakni Integralisasi
yang merupakan pengintegrasisan keilmuan
manusia dengan wahyu beserta pelaksanaanya dalam Sunnah Nab, dan Objektifikasi
ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai Rahmat untuk semua orang.
a) Pengilmuan
Islam Melalui Integralisasi
Dalam
perkembangannya, ada titik perbedaan antara ilmu ilmu sekuler dengan ilmu ilmu
integralistik. Dan itu ditemukan dengan pengertian paradigma sebagaimana
dimaksud Thomas Khun The Structure of Scientific Revolution dimana ilmu
ilmu sekuler sebagai normal Sciences dan ilmu ilmu integralistik yang
dirintis sebagai revolution. Namun demikian kita bisa memetakan bahwa
ilmu ilmu sekuler adalah produk seluruh manusia, sedangkan ilmu ilmu
integralistik adalah produk seluruh manusia beriman.
Sedikit
kami urutkan system kerja ilmu Sekuler dan Integralistik. Kalau Ilmu Sekular
sebagaimana tulis Kunto, alur pertumbuhannya adalah Filsafat[31]
→Antroposentrisme[32]
menuju →Diprensiiasi[33]→Ilmu
Sekular[34].
Sedangkan Ilmu Integralistik, alur pertumbuhannya adalah Agama[35]→Teoantroposentrisme[36]→Dedeprensisiasi[37]→Ilmju
Integralistik[38].
Sebagaiman
kita ketahui bahwa, dalam ilmu ilmu secular terdapat terdapat secular subyektif
dan secular obyejtif. Sekualr subyektif itu terjadi bila tingkat sosiokultural
itu masuk ke dalam tingkat kesadarn berupa sekularisasi. Bila modernisme
melahirkan diffrentiation dan autonomization, naka
pascamodernisme melahirkan dediffrentation dan deautonomization.
Dan di sinilah kita pun berhak menjadi manusia merdeka dengan menyelenggarakan
proses kearah dediffrentation dan deautonomization dan
desecularization. Inilah yang kemudian alasan kita untuk membangin kembali
paradigma baru dalam ilmu paradigma Islam dan dalam hal ini adalah paradigma
tafsir.
b) Pengilmuan
Islam Melalui Objektifikasi
Selanjutnya
adalah pengilmuan Islam melalui proses objektifikasi dengan melakukan
penerjemahan nilai nilai internal ke dalam kategori objektif.
Prose
Objektifikasi ini misalnya bila kita lihat dalam al-Quran yang menekankan pada
keharusan sesorang untuk melakukan proses hukum sesuai dengan hukum al-Quran
seperti hukuam hukuman potong tangan, rajam dan lain lain. Dalam konteks ini,
banyak dipakai di beberapa Negara Islam yang kemudian menerapkan hukum tersebut
dengan menjadikan al-Quran secara tekstual sebagai rujukan hukum. Dan sebagai
konsekuensinya bila ada yang melanggarnya, maka akan dibebani label label teologis seperti kafirun, fasiqun,
dzolimun dll. Nah dalam proses objektifikasi ini, tidak menghilangkan
hakikat, melainkan melakukan proses dengan menjadikan al-Quran terlebih dahulu
sebagai hukum positif kemudian pembentukannya dilakukan berdasarkan kesepakatan
masyarakat. Dengan demikian, tidak semua hukum syariat menjadi sumber hukum
Negara, melainkan dilakukan proses objektifikasi
C. RELEVANSI TAFSIR INTEGRATIF BAGI SELURUH ALAM
Tidak dapat dipungkiri bahwa era sekarang adalah Era Amerika
Serikat (al-Ashr al-Amriki). Seluruh dunia memiliki ketergantungan yang sangat
besar terhadap AS, Israel dan sekutunya. AS dan Eropa yang beragama Nashrani
dan Israel yang Yahudi sangat kuat mencengkeram dunia Islam. Bahkan sebagiannya
dibawah kendali langsung mereka seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Irak dan
lain-lain. Dari segi kehidupan sosial, sebagian besar umat Islam hampir
sama dengan mereka. Hiburan yang disukai, mode pakaian yang dipakai, makanan
yang dinikmati, film-film yang ditonton, bebasnya hubungan lawan jenis dan
lain-lain. Pola hidup sosial Yahudi dan Nashrani melanda kehidupan umat Islam
dengan dipandu media massa khususnya televisi. Dalam kehidupan ekonomi, sistem
bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi dunia dimana dunia Islam secara
terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba' yang sangat zhalim dan merusak
telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam. Lembaga-lembaga
ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, WTO dll mendikte semua laju perekonomian
di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan
korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam.
Begitu juga pengekoran umat Islam terhadap Yahudi dan
Nashrani terjadi dalam kehidupan politik. Politik dibangun atas dasar nilai-nilai
sekuler, mencampakkan agama dan moral dalam dunia politik, bahkan siapa yang
membawa agama dalam politik dianggap mempolitisasi agama. Begitu buruknya
kehidupan politik umat Islam, sampai departemen yang mestinya mencerminkan
nilai-nilai Islam, yaitu departemen agama, menjadi departemen yang paling buruk
dan sarang korupsi. Dan masih banyak lainnya.
Sebagai
manusia modern, sudah barang tentu memiliki cirri dan khas yang mewaranai
kehidupannya sebagai masyarakat sosial. Tidak hanya kelompok sosial tersebut,
melainkan sudha mengarah pada kehidupan individual masyarakat secara
perorangan. Kita lihat saja misalnya, dimana umunya orang orang kota, kadang
sesame warganya yng hamper tembok rumahnya berdekatan terkadang jumpanya Cuma
satu kalii, atau bahkan tidak pernah saling mengenal sama sekali. Ini kemudian
memicu pada tingkat kerenggangan dan ketidak kompakan ummat Islam di perkotaan
tersebut. Dan hal semacam ini sudah barang tentu dimaklumi, karna masing masing
memiliki kepentingan dan kesibukan yang berbeda.
Namun
demikian, mereka juga bagian dari ummat Islam yang sama sama memndapat hak
untuk hidup bersama al-Qurannya, sama sama memilik hak untuk merengguk ajaran
agamannya. Namun kemudian ternyata kebanyakan masyarakat perkotaan yang super
sibuk tidak pernah sempat untuk menjalankan tugas kewajibannya sebagai seorang
muslim. Di satu sisi juga mereka ditimpa dengan wacana wacana perebutan dan
hegemoni kebenaran kontruksi ajaran agama itu sendiri. Dan tidak mustahil
pemikiran pemikiran kontradiktif tafsir masuk diruang fikiran mereka yang
akhirany mereka memberikan satu kesimpulan bahwa “semua tafsir tidak ada yang
benar”. Dan sayangnya sikap ini diwujudkan dengan tidak atau enggan
melaksanakan kewajiban itu sendiri, yang berbeda dengan cendikiawan walaupun
mereka dihadapi dengan persoalan persoalan keagamaan, namun mereka tidak
membuat serta merta enggan untuk melaksanakan kewajiban, namun membuat mereka
semakin terpompa dengan semangat ijtihadnya sendiri.
Dengan
demikian, benar adanya diperlukan satu paradigma baru dalam dunia tafsir
sehingga muatan muatan tafsir itu bener bener menyeluruh dari tingkat dan
strata sosial di mana saja. Dan inilah sebenarnya cita cita Islam ingin
mewujudkan Ummatan Wahida dalam pengertian adanya penekanan terhadap kekompakan,
kesatuan dan persaudaraan pada sesame muslim dan non muslim lainnya. Untuk
persaudaraan sama non mjuslim tentu dalam engertian sebagai saudara setanah
air, maupun saudara semakhluk sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Islam
sendiri bila ditelaaah lebih jauh, tidak ada satupun anjran untuk mewujudkan
pertikaian, pertentangan secara sengaja, namun hal itu menjadi bagian yang akan
dihadapi oleh sekelompok manusia dalam mempertahankan kehidupan beragamanya.
Tafsir yang merupakan harapan ummat harapan manusia secara
keseluruhan, tentulah dapat bergaul secara ramah tampa adanya diskriminasi dan
hegemoni satu dengan yang lainnya. Maka tidak berlebihan bila kita mengatakan
lahirnya sejumlah karya karya yang diatasnamakan dengan sebuah keadilan seperti
bintu Syati dengan tafsirnya, Amina Wadud dengan tafsirnya, dan lain lain,
walaupun masih banyak menuai kritik. Dengan demikian diperlukan adanya
paradigma baru dalam merumuskan kembali baik ilmu ilmu tafsir itu sedniri dan
visi serta misinya yang dapa dianggap mampu mengakomodir semua jenis
permasalahan ummat belakangan ini. Dan apa yang sednag kami rumuskan ini
merupakan salah satu bentuk tawaran dalam konteks tersebut.
Selain
itu, dengan melakukan konstruksi paradigma Tafsir Integralistik melalui kedua
cara tersebut, akan terjamin kesamaan hukum di antara agama agama. Dengan
demikian, hilanglah ancaman stabilitas nasional. Dengan demikian, ungkapan
menghukumi dengan “hukum Allah”, itu juga harus diobjektifkasikan dalam bentuk
perundang undangan, peraturan pemerintah, instruksi, juklak dan juknis. Dan
dari sinilah terletak usaha usaha ke jalan Tuhan dan jalan orang yang
teraniyaya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas, kita bisa menarik beberapa kesimpulan yang kami urutkan
berdasarkan urutan masalah di atas sebagai berikut :
Pertama,
bahwa kompleksitas Paradigma Tafsir itu pada hakikatnya juga mencerminkan
adanya proses perubahan paradigma. Dimana kalu kita lihat corak paradigma
tafsir mulai dari Era Nubuwwah, Era Shohabah, Era Tabiin, dan Era Perkembangan,
menunjukkan selalu membutuhkan proses perubahan paradigma itu sendiri. Kemudian
diadakannya formulasi teori-teori Qurani Sebagai Paradigma Al-Quran, menjadi
suatu keniscayaan dalam tradisi paradigma itu sendiri.
Kedua,
Paradigma Tafsir Integratif ini, dilakukan melalui dua cara yakni : Pengilmuan
Islam Melalui Integralisasi dan Pengilmuan Islam Melalui Objektifikasi. Pengilmuan
Islam Melalui Integralisasi itu sendiri dilakuakn dengan cara melakukan
langkah-langkah integralis itu sendiri seperti mulai dari Agama menuju tingkat
Teoantroposentrisme menuju tingkat Dedeprensisiasi menuju tingkat Ilmu
Integralistik. Sedangkan Pengilmuan Islam Melalui Objektifikasi. Sedangkan Pengilmuan
Islam Melalui Objektifikasi dilakukan dengan cara pengilmuan Islam melalui
proses objektifikasi dengan melakukan penerjemahan nilai nilai internal ke
dalam kategori objektif.
Ketiga,
Relevansi Paradigma Tafsir Integratif Di
Era Modern melalui kedua cara tersebut, akan terjamin kesamaan hukum di antara
agama agama. Dengan demikian, hilanglah ancaman stabilitas nasional. Dengan
demikian, ungkapan menghukumi dengan “hukum Allah”, itu juga harus
diobjektifkasikan dalam bentuk perundang undangan, peraturan pemerintah,
instruksi, juklak dan juknis. Dan dari sinilah terletak usaha usaha ke jalan
Tuhan dan jalan orang yang teraniyaya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abdurrahman
Syaikh Khalid Usulut Tafsir wa Qawaiduha (Beirut:Daru
an-Nafais,cet. II,1986)
2.
al-Hamad, Qaduri
Rasmu al-Mushaf(Bagdad:Jami al-Huquq, cet.I,1982)
3.
al-Harabiy
Husain Qawaidut Tarjih ‘Indal Mufassirin(Riyadh:Darul
Qashim,cet.I,19996)
4.
al-Muhtasib
Abdul Majid Abdussalam Ittijahatut Tafsir fi Ashrir Rahin.terj.
(Jatim:al-Izzah,1997)
5.
al-Qadir, Thahir
Bin Abd Tarikh al-Quran wa Garaib Rasmihi wa Hukmihi(Jiddah:
ttp,1465 H)
6.
al-Qaththan Manna
Mabahits Fi ‘Ulumi al-Quran(Qahirah:Maktabah Wahbah,ttp)
7.
ar-Rahman,
Syaikh Shofiyyu ar-Rohiqu al-Makhtum.terj. (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar,cet. Ke-30,2009)
8.
Arief, Arnai
Pengantar Ilmu dan Metodelogi Pendidikan Islam, (Jakarta :
Ciputat Press, cet I. 2002)
9.
Ar-Rumi Buhutsun
fi Ushulittafsir wa Manahijuhu (ttp: Maktabah Taubah,tt)
10.
ash-Shobuni
Syaikh ‘Ali at-Tibyan fi ‘Ulumi al-Quran(Jakarta:Darul Kutub
al-Islamiyah,cet.I, 2003)
11.
az-Dzahabi Tafsir
al-Mufassirun(Qahirah:Darul Hadits,2005)
12.
_________
Kitabuka ‘Ilmu at-Tafsir(ttp:Darul Ma’arif,ttp)
13.
az-Zarkasyi
Badruddin al-Burhan Fi ‘Ulumi al-Quran(Beirut:Dar
al-Ma’rifah,1972)
14.
Az-Zarqani Mabahitsun
fi ‘Ulumi al-Quran(t.tp:al-Babi al-Halabi,t.th)
15.
Buhindiy
Musthafa at-Ta’tsirul Masihi fi Tafsiril Quran(Libanun:Daru
at-Toliah,cet.I,2004)
16.
Husaini Adian
Wajah Peradaban Barat(Jakarta:Gema Insani,cet.I,2005)
17.
Isma’il, Fatah
Rasmu al-Mushaf al-Utsmani(Qahirah:Maktabah Wahbah,cet.IV,1999)
18.
Isma’il, Tsu’ban
Rasmu al-Mushaf wa Dhobtuhu;Baina at-Tauqufy wa al-Istilahat al-Haditsi(Mesir:Dar
as-Salam,ttp.)
19.
Kuntowijoyo Islam
Sebagai Ilmu(Yogyakarta:Tiara Wacana,cet.II,2007)
20.
Lasyin Musa
Syahin al-Alai’ al-Hasan Fi ‘Ulumi al-Quran(Qahirah:Daru
asy-Syuruq,cet.I,2002)
21.
Maulana, Achmad
dkk, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap. (Yogyakarta : Absolut, cet
II. 2004)
22.
Mustaqim Abdul Pergeseran
Epistemologi Tafsir(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,cet.I, 2008)
23.
Susanto Pengantar
Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat(Bandung:Bina Cipta,cet. II,1979)
24.
Syukir, Asmuni
“Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islamiyah (Surabaya : Bina Ilmu.
1979)
25.
Utsman Khalid
Qawaidu at-Tafsir(ttp:Daru Ibn Affan,cet.I,ttp)
[1] Perbincangan tentang ini banyak
dibicarakan di beberapa kitab manhaj. Baca az-DZahabi Tafsir
al-Mufassirun(Qahirah:Darul Hadits,2005),III:417 dst. Baca Manna
al-Qaththan Mabahits Fi ‘Ulumi al-Quran(Qahirah:Maktabah
Wahbah,ttp),hlm.365-369. Ar-Rumi Buhutsun fi Ushulittafsir wa Manahijuhu
(ttp: Maktabah Taubah,tt),hlm.91 dst.
[2]. Arnai Arief, Pengantar
Ilmu dan Metodelogi Pendidikan Islam, (Jakarta
: Ciputat Press, cet
I. 2002), hal. 87-88
[Mengutip Pendapat Asmuni Syukir, “Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islamiyah
(Surabaya :
Bina Ilmu. 1979), hal. 65]
[3]. Achmad
Maulana, dkk, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap. (Yogyakarta
: Absolut, cet II. 2004), hal. 87
[4] Pembahasan lengkap mengenai ras
al-Utsmani dan Mushaf Utsmani baca Qaduri al-Hamad, Rasmu al-Mushaf(Bagdad:Jami
al-Huquq, cet.I,1982), Tsu’ban Isma’il, Rasmu al-Mushaf wa Dhobtuhu;Baina
at-Tauqufy wa al-Istilahat al-Haditsi(Mesir:Dar as-Salam,ttp.). Fatah
Isma’il, Rasmu al-Mushaf al-Utsmani(Qahirah:Maktabah
Wahbah,cet.IV,1999). Thahir Bin Abd al-Qadir, Tarikh al-Quran wa Garaib
Rasmihi wa Hukmihi(Jiddah: ttp,1465 H)
[5] Ibid…..Penjelasan mengenai ini
juga dijelaskan Musa Syahin Lasyin al-Alai’ al-Hasan Fi ‘Ulumi al-Quran(Qahirah:Daru
asy-Syuruq,cet.I,2002),7-10
[6] Ibid… Manna
al-Qaththan Mabahits…hlm.7. Baca juga ar-Rumi Dirasat fi
‘Ulumi al-Quran.Terj. (Yogyakarta:Titian Ilahi Press,
cet.II,1999),hlm.59
[7] Ibid….ar-Rumi.hlm.59
[9] Kuntowijoyo Islam Sebagai
Ilmu(Yogyakarta:Tiara Wacana,cet.II,2007)hlm.11
[10] Paradigma sebagaimana Thomas
Khun fahami bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of
thought atau mode of inquiry tertentu.
[11] Menurut beberapa ahli pendekatan
Sintetik Analitik ini umumnya berpendapat bahwa pada dasarnya kandungan
al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian yakni pertama berisi tentang
konsep-konsep dan kedua berisi tentang kisah kisah dan amtsal.
[12] Susanto Pengantar
Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat(Bandung:Bina Cipta,cet.II,1979),hlm,
188-191
[13] Perubahan sosial juga dibedakan
menjadi dua tipologi yaitu tipe Inventasi yang merupakan proses penemuan baru
di dalam masyarakat baik bersifat idealitis maupun teoritis serta teknis yang
kemudian dapat merubah norma-norma sosial system nilainya. Kedua tipe diffuse
yang merupakan konsepsi dan penemuan tehnologi dari luar yang kemudian dibawa
ke dalam masyarakat tersebut dengan
durasi waktu yang sistenik sehingga menyatu dalam fikiran mereka yang
akhirnya membentuk satu perubahan mandiri diluar kesadaran
[14] Abdul Majid Abdussalam
al-Muhtasib Ittijahatut Tafsir fi Ashrir Rahin.terj.
(Jatim:al-Izzah,1997), hlm.31
[15] Sebagian perbinacangan yang
selektif telah diuraikan oleh beberapa cendikian muslim. MIsalnya baca Adian
Husaini Wajah Peradaban Barat(Jakarta:Gema
Insani,cet.I,2005),hlm.1 dan setrusnya
[16] Sikap
sebagian kaum muslimin yang menolak mentah-mentah terhadap nilai-nilai Barat
beserta konsekuensi-konsekuensinya, sehingga mereka mengisolasi diri dari
dinamika modernisasi sama sekali. Dampaknya adalah mereka mengalami kemunduran
& kejumudan serta keterasingan dalam kehidupan. Sikap ini tidak sesuai
dengan Al-Qur’an & As-Sunnah (lih. QS Ali-Imran 190-191),
[17] Ini merupakan sikap yang dominan di masyarakat, sikap
menyerah kalah, tunduk patuh & silau, sehingga menjiplak habis-habisan
tanpa proses penyaringan lagi. Sikap ini diikuti dengan sikap memandang rendah
terhadap semua yang berasal dan berbau Islam.
[18] Menerima & melaksanakan proses filterisasi kebudayaan
Barat dengan paradigma berfikir Islami, mana yang sesuai dengan hukum dan nilai
Islam diambil & mana yg bertentangan ditolak & dijauhi. Ini merupakan
pemahaman yang benar dan dianut oleh para cendekia dan pemikir muslim mutakhir,
sejak era kebangkitan Islam akhir-akhir ini, yg dipelopori oleh Rasyid Ridha
(Mesir), Muhammad Iqbal (Palestina), Muhammad Abduh (Mesir), Abul A’la Maududi
(Pakistan) & Hasan al-Banna (Mesir).
[19] Baca Syaikh Shofiyyu ar-Rahman, ar-Rohiqu
al-Makhtum.terj. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,cet. Ke-30,2009),hlm.31
[20] Khalid Utsman Qawaidu
at-Tafsir(ttp:Daru Ibn Affan,cet.I,ttp),hlm.25
[21] Syaikh ‘Ali ash-Shobuni at-Tibyan
fi ‘Ulumi al-Quran(Jakarta:Darul Kutub al-Islamiyah,cet.I, 2003),hlm.65
[22] Husain az-Zahabi Kitabuka
‘Ilmu at-Tafsir(ttp:Darul Ma’arif,ttp), hlm.5-6
[23] Syaikh Khalid Abdurrahman Usulut
Tafsir wa Qawaiduha (Beirut:Daru an-Nafais,cet.II,1986), hlm.30
[24] Husain al-Harabiy Qawaidut
Tarjih ‘Indal Mufassirin(Riyadh:Darul Qashim,cet.I,19996),hlm.29
[27] az-DZahabi Tafsir
al-Mufassirun…hlm.17
[28] Badruddin az-Zarkasyi al-Burhan
Fi ‘Ulumi al-Quran(Beirut:Dar al-Ma’rifah,1972),hlm.13
[29] Az-Zarqani Mabahitsun fi
‘Ulumi al-Quran(t.tp:al-Babi al-Halabi,t.th),hlm.3. Lihat Musthafa
Buhindiy at-Ta’tsirul Masihi fi Tafsiril Quran(Libanun:Daru
at-Toliah,cet.I,2004),hlm.10.
[30] Abdul Mustaqim Pergeseran
Epistemologi Tafsir(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,cet.I,2008),hlm.1
[31] Tempat berangkatnya ilmu secular
adalah modernism dalam filsafat. Filsafat rasionalisme abad 15/16 menolak
teosentrisme abad tengah. Rasio diagungkan dan wahyu dinistakan. Sumber
kebenaran adalah fikiran bukan wahyu. Tuhan masih diakui keberadaannya, akan
tetapi Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum
[32] Dalam rasionlaisme manusia
memiliki kedudukan yang tinggi, ia menajdi pusat kebenaran, etika,
kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen
priduk produk manusia sendiri
[33] Sebagai konsekuensi
Antroposentrisme, maka diadakannya proses diprensiasi dengan memisahkan unsure
unsure dari agama seperti , etika, ekonomi, politik, hukum dan ilmu-ilmu yang
dianggap harus dipisahkan dari agama.
[34] Pengakuan pada tingkat objektif
yang sebenarnya ilmu ilmu telah melampau dirinya. Ilmu yang semula ciptaan
manusia telah menjadi penguasa atas manusia itu sendiri. Ilmu menggantikan
kedudukan wahyu sebagai petunjuk kehidupan mansusia.
[35] Al-Quran merupakan wahyu Tuhan
yang mengatur hubungan mausia dengan Tuhannya, diri sendiri, serta lingkuang
dalam segala aspek, yang sekaligus menjadi petunjuk etika dan kebijaksanaan.
Dan al-Quran tidak pernah mengklaim sebagai ilmu Qua ilmu.
[36] Sebagai sumber kebenaran ,
al-Quran juga mengakui adanya kebenaran yang bisa diproleh dari manusia itu
sendiri melalui proses perenungan, dan akal fikiran.
[37] Bila modernism dalam diprensiasi
menghendaki adanya pemisahan, maka dalam dediprensiasi menghedaki adanya
penyatuan kembali ilmu ilmu tersebut.
[38] Ilmu ilmu yang disatukan bukan
hanya sekedar penyatuan saja, namum diharapkan ia sebagai solusi dalam
menyelesaikan problematika masyarakat modern itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar