Rabu, 26 Oktober 2011

STUDI TAFSIR SYI’AH


A. Pendahuluan
Al-Quran adalah adalah sebuah kitab suci yang kaya makna. Hal ini dibuktikan bahwa setiap orang bias memaknai al-Quran dengan berbeda, sesuai latar belakang social dan latar belakang pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1] Begitu juga al-Qur’an, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam, jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan (merujuk periodisasi madzhab-madzhab tafsir Abdul Mustaqim[2]. Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga ideologi yang berkembang di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi[3].
Di antara gemuruh corak penafsiran di atas, muncul sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena penafsiran ini sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Corak penafsiran ini hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah. Aliran yang merupakan rival utama dunia Sunni ini banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia Islam. Dari kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir
Dalam tulisan ini, akan dikaji banyak hal tentang tafsir Syi’ah. Mulai dari pengertian, latar belakang kemunculan, corak dan metodologi yang dipakai, tokoh-tokoh dan karya-karyanya, kelebihan dan kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran ulama Syi’ah terhadap al-Qur’an. Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata kita lebar-lebar, bahwa ternyata kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi yang berarti dalam tradisi penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi di kalangan Sunni.
  1. B. Pengertian Tafsir Syiah
Sebelum memberikan definisi mengenai tafsir Syiah, perlu kita perhatikan dulu dua term, yaitu tafsir dan Syiah. Dalam beberapa literature ilmu-ilmu Al-Quran, tafsir bisa disimpulkan sebagai upaya seorang mufassir dalam memaknai dan menjelaskan makna Al-Quran. Diantaranya Muhammad Husain Adz-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir yaitu ilmu yang membahas tentang maksud Allah SWT sesuai dengan kemampuan mufassir yang mencakup segala sesuatu tentang pemahaman terhadap makna dan penjelasan terhadap maksud ayat[4].
Sedangkan Syi’ah secara bahasa adalah pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Menurut istilah adalah kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw. atau yang disebut sebagai ahl al-bait. Dalam bahasa mudahnya, dan hal ini lazim dikenal di dunia Islam, Syi’ah adalah aliran dalam teologi Islam yang memihak dan sangat memuliakan Ali beserta keluarganya[5].Bahkan Muhammad Husain al-Dzahabi menyebut Syi’ah sebagai kelompok yang mengagungkan Ali beserta keluarganya. Sampai-sampai disebutkan bahwa Ali adalah imam setelah Rasulullah, dan orang yang berhak mewarisi kekhalifahan[6].
Selanjutnya, dalam tubuh kelompok Syi’ah sendiri ada dua aliran. Muhammad Ali al-Shabuni menyebutkan, ada kelompok Syi’ah yang terlalu fanatik, sehingga mereka sampai terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib sendiri membenci mereka. Tokoh utamanya adalah Ibnu Saba,’ keturunan Yahudi. Di samping itu, ada juga kelompok Syi’ah yang moderat. Mereka tidak sampai terjerumus pada kekufuran dan kesesatan, walaupun mereka tetap saja menentang kaum Sunni[7].
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari kalangan Syi’ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek batin al-Qur’an[8]. Lebih lanjut kalangan Syi’ah menyebutkan, bahwa aspek batin al-Qur’an bahkan dipandang lebih kaya daripada aspek lahirnya[9].
  1. C. Latar Belakang Kemunculan Tafsir Syi’ah
Untuk melihat kapan pastinya tafsir Syi’ah muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan faktor yang menyebabkan timbulnya tafsir di kalangan ini. Dalam bahasa Ignaz Goldziher, kita harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh penganut sekte Syi’ah dengan memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta prinsip-prinsip dasar mereka ke dalam penafsiran al-Qur’an?[10]. Selanjutnya Goldziher menyebutkan bahwa sebenarnya mereka mencari justifikasi dari al-Qur’an untuk melakukan penolakan terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah, dengan melakukan rongrongan atas kekhalifahan di bawah kekuasaan Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, kemudian melontarkan gagasan kesucian atas diri sahabat Ali serta para imam[11].
Dari sini penulis melihat, sebenarnya upaya penafsiran (baca: pencarian justifikasi) al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Ali. Dan momentumnya terjadi pada zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyyah. Pada masa tersebut golongan Syi’ah mendapat tekanan begitu besar dari penguasa waktu itu. Sehingga penafsiran mereka pun lebih banyak pada upaya-upaya apologetik dari kekuasaan dan pengaruh penguasa. Dimana, perseturuan antara golongan Syi’ah dengan pihak penguasa sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh permasalahan teologis dan politik.
Memperkuat argumentasi di atas, Rosihon Anwar bahkan berani menyebutkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul dengan tujuan memperkuat (melegitimasi) doktrin teologis mereka, terutama doktrin imamah[12]. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
Pertama, menurut Imam al-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi’ah) muncul pertama kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul sebelum Ja’far meninggal. Bahkan, ada yang mengatakan, doktrin imamah muncul semenjak Syi’ah Zaidiyyah, aliran Syi’ah yang muncul terlebih dahulu.
Kedua, menurut para teolog muslim, benih-benih doktrin teologis Syi’ah dimunculkan oleh Abdullah bin Saba.’ Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari ajaran Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu diketahui, Ibnu Saba’ hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali[13].
Selanjutnya Rosihon menyimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul setelah kemunculan doktrin imamah, dan kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi’ah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin imamah[14]. Lebih rigidnya, tafsir Syi’ah muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Ismailliyah (147 H). Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin imamah yang muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah[15].
Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi’ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan lebih jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh kepentingan teologis (atau bahkan politis?) untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah, terutama masalah imamah.
  1. D. Tokoh-tokoh Tafsir Syiah dan Karya-karyanya
Prof. Dr. Abubakar Aceh menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni[16]. Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama[17].
Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam Muhammad al-Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H), dan Suda al-Kabir (w. 127 H). Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah.
Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah (insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali al-Hariri (w. pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H), Abu Thalib bin Shalat (w. akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al-Balaghi (w. 1302 H), dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w. 1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasai (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi al-Syamsyathi (w. awal abad IV H) menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir (w. 206 H) menulis tentang majaz[18].
Sementara itu, Ignaz Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai ulama yang pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat itulah, menurut Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syi’ah. Salah satunya dalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (w. 460 H/1068 M)[19]
Kemudian, Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan beberapa karya tafsir Syi’ah secara lebih gamblang. Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyara di antaranya tafsir karya al-Hasan al-‘Askari (w. 254 H), tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin ‘Iyasy al-Silmi al-Kufi (w. abad III H), tafsir ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. awal abad IV H), al-Tibyan karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin ‘Ali al-Thusi (w. 460 H), Majma’ al-Bayan karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi (w. 538 H), al-Shafi karya Mala Muhsin al-Kasyi, Mir-at al-Anwar wa Misykat al-Asrar karya Abdul Lathif al-Kazirani, Tafsir al-Qur’an karya Abdullah bin Muhammad Ridla al’Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah karya Sulthan bin Muhammad bin Haidar al-Khurasani (w. abad XIV H), dan Ala-u al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352 H).
Dari kalangan Syi’ah Imamiyah, Isma’iliyah atau Bathiniyah, baik Mutaqadimin maupun Mutaakhirin, Imam al-Dzahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang muncul. Begitu juga dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah. Karena memang dari tiga aliran Syi’ah ini tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan diri mengarang kitab tafsir.
Selanjutnya, dari kalangan Syi’ah Zaidiyah ada beberapa karya tafsir. Di antaranya Gharib al-Qur’an karya Imam Zaid bin Ali, al-Tahdzib karya Muhsin bin Muhammad bin Karamah al-Zaidi (w. 464 H), al-Taisir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad al-Nahawi al-Zaidi (w. 791 H), tafsir Ibn al-Aqdlam, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Hasan bin Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Hasan bin al-Qasim, dan Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w. 1250 H).[20]
  1. E. Corak dan Metode Tafsir Syiah
Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar[21], secara umum, corak tafsir Syi’ah adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an)[22]. Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik[23]. Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan, aspek batin dianggap mereka sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.
Adapun metode yang dipakai kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap aliran dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum, seperti dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi’ah, yang banyak memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil[24].Dan perlu diketahui, dalam Syi’ah ada beberapa macam aliran. Imam al-Dzahabi membaginya ke dalam dua aliran, yaitu Zaidiyah dan Imamiyah. Aliran Imamiyah terdiri dari Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dan Imamiyah Isma’iliyah. Kemudian, Imamiyah Isma’iliyah memiliki tujuh sebutan, yaitu Isma’iliyah, Bathiniyah, Qaramithah, Haramiyah, Sab’iyah, Babikiyah atau Khurmiyah, dan Muhmirah[25]. Setiap aliran tersebut memiliki metode tafsir khasnya masing-masing.
Selanjutnya kita bahas metode tafsir al-Qur’an masing-masing aliran di atas. Setidaknya, pembahasan ini bias menggambarkan metode tafsir yang digunakan kalangan syiah secara umum.
  1. Metode Tafsir Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
Adalah sudah menjadi tradisi di kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dengan prinsip imamah. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil (justifikasi) bagi klaim-klaim mereka. Adapun metode yang mereka pakai adalah metode takwil[26]. Dan seperti dijelaskan Jalaluddin al-Suyuthi, takwil adalah memindahkan makna ayat dari makna yang dikehendaki oleh ayat tersebut[27]. Atau seperti yang disimpulkan Rosihon Anwar, takwil adalah mengartikan lafadz dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahirnya[28]
Salah satunya bisa kita lihat dalam kitab tafsir al-Tibyan al-Jami’ li kulli ‘Ulum al-Qur’an karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin Ali al-Thusi (selanjutnya disebut Syaikh al-Thusi). Di kalangan Syi’ah, kitab ini merupakan kitab al-Thabari-nya kalangan Sunni. Kitab tafsir ini sekaligus merupakan kitab tafsir lengkap pertama yang muncul di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Contohnya seperti ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah : 55
$uK¯RÎ) ãNä3ŠÏ9ur ª!$# ¼ã&è!qßuur tûïÏ%©!$#ur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# tbqßJÉ)ムno4qn=¢Á9$# tbqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# öNèdur tbqãèÏ.ºu
” Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah) “
Al-Thusi menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali kw. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi, adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali kw. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw[29].Sama halnya dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Tidak beda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga memaksudkan ayat ini kepada Ali kw[30].
Melihat contoh di atas, tampak bagaimana Syaikh al-Thusi dan al-Thabrisi menggunakan penakwilan untuk menakwilkan kata wali dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada Sayyidina Ali kw.
Selain dua mufassir Syi’ah di atas, ada satu lagi mufassir dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, yaitu Mala Muhsin al-Kasyi. Berbeda dengan metode yang dipakai al-Thusi dan al-Thabrisi, al-Kasyi, dalam tafsirnya al-Shafi fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, memakai metode tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini terbukti dengan banyaknya beliau menggunakan atsar-atsar. Hanya saja, karena bermaksud memperkukuh pandangan madzhabnya, atsar-atsar yang digunakan kebanyakan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Ahl al-Bait[31].
Contoh mengenai pendapat bahwa al-Qur’an diturunkan untuk memberikan pujian kepada Ahl al-Bait serta menyalahkan musuh-musuh mereka. Untuk menerangkan hal ini, al-Kasyi menggunakan riwayat Abu Ja’far: “Apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu kaum dari umat ini dengan sebutan baik, maka kitalah mereka itu. Dan apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu kaum dengan sebutan yang jelek daripada umat terdahulu, maka mereka itu adalah musuh-musuh kita”.[32]
  1. Metode Tafsir Syi’ah Imamiyah Isma’iliyah (Bathiniyah)
Tidak jauh berbeda dengan metode penafsiran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, Syi’ah Imamiyah Ismailiyah, atau dikenal dengan Syi’ah Bathiniyah, juga menggunakan metode takwil dalam upaya-upaya mereka menafsirkan al-Qur’an. Bedanya, mereka tidak menulis kitab-kitab tersendiri yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Mereka hanya melakukan penafsiran pada kitab-kitab secara terpisah.[33]. Dan perlu diperhatikan, penakwilan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an terlalu bebas, dalam arti tidak mengenal aturan-aturan takwil, seperti yang kita ketahui dalam ‘Ululum al-Qur’an[34].
Dalam hal penafsiran al-Qur’an, mereka berpendapat bahwa al-Qur’an itu memiliki dua makna, makna lahir dan makna batin. Dan yang dikehendaki oleh golongan Syi’ah ini adalah makna batin. Karena menurut mereka, orang yang mengambil makna lahir al-Qur’an akan mendapatkan siksaan dari hal-hal yang memberatkan dari kandungan kitab suci itu[35]. Karena pendapat mereka bahwa al-Qur’an itu memiliki makna batin, golongan Syi’ah ini biasa disebut kaum Bathiniyah[36].
Contohnya adalah ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99:
ôç6ôã$#ur y7­/u 4Ó®Lym y7uÏ?ùtƒ ÚúüÉ)uø9$# ÇÒÒÈ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) “
Mereka mengatakan bahwa maksud al-yaqin adalah ma’rifat takwil. Padahal, makna al-yaqin di sini adalah maut. Di lain tempat, kaum Bathiniyah menghalalkan perkawinan dengan saudara-saudara perempuan dan semua muhrim lainnya. Alasan mereka, saudara laki-laki lebih berhak atas saudara perempuan mereka.[37]
Menurut Abu Bakar Aceh, seperti dikutip Rosihon Anwar, penafsiran mereka merupakan cerminan dari keyakinan yang mirip Plato.[38] Mereka percaya bahwa hukuman ibadah seperti shalat, puasa, dan sebagainya hanya perlu buat lapisan rakyat yang bodoh dan awam. Akibatnya, setiap ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan taklif, mereka takwilkan dengan mengambil makna batinnya. Mereka menakwilkan wudlu dengan kepemimpinan imam, zakat dengan penyesuaian jiwa melalui pengetahuan  keagamaan, dan sebagainya.
Karena terlalu bebasnya mereka menggunakan takwil, Dr. Mahmud Basuni Faudah sampai berani menyebutkan, bahwa mereka bukanlah termasuk golongan orang Islam, walaupun mereka mengklaim sebagai pengikut Ahl al-Bait[39].
  1. H. Metode Tafsir Babiyah dan Bahaiyah
Kelompok ini termasuk pendahulu kaum Bathiniyah, sehingga masih termasuk ke dalam kelompok Syi’ah Ismailiyyah[40] Nama Babiyah dinisbatkan kepada Mirza ‘Ali Muhammad al-Syirazi. Sedangkan Bahaiyah dinisbatkan kepada Bahaullah, gelar Mirza Husain ‘Ali[41]
Tidak jauh berbeda dengan kaum Bathiniyah, kelompok ini juga menggunakan metode takwil. Contohnya bisa kita lihat ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 4.
øŒÎ) tA$s% ß#ßqムÏmÎ/L{ ÏMt/r¯»tƒ ÎoTÎ) àM÷ƒr&u ytnr& uŽ|³tã $Y6x.öqx. }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur öNåkçJ÷ƒr&u Í< šúïÏÉf»y ÇÍÈ
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku[742], Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Menurut kelompok Syi’ah Babiyah, yang dimaksud ‘Yusuf’ adalah Rasulullah dan Husain bin ‘Ali. Sedangkan yang dimaksud ‘matahari’ adalah Fatimah, dan ‘bulan’ adalah Muhammad. Adapun yang dimaksud ‘bintang’ adalah para Imam.
Dalam salah satu kitabnya yang terkenal, yaitu kitab al-Aqdas, kita akan mendapatkan sejumlah penakwilan mereka. Surga ditakwilkan sebagai kehidupan ruhaniah, dan neraka adalah kematian ruhaniah. Kehidupan ruhaniah adalah iman kepadanya, sedangkan kematian ruhaniah adalah dusta terhadap dakwahnya.[42]

  1. I. Metode Tafsir Syiah Zaidiyah
Kelompok Syi’ah Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok Syi’ah yang lain, kelompok Syi’ah ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dari segi pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu’tazilah, karena memang Imam Zaid pernah bertemu dengan Washil bin ‘Atha,’ pendiri aliran Mu’tazilah[43].
Karena lebih dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka metode penafsirannya pun banyak menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur. Demikian pula, karena banyak dipengaruhi pandangan Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah juga tidak lepas dari metode tafsir bi al-ra’yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fathu al-Qadir, Imam al-Syaukani sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai rujukan tafsirnya[44].
Contohnya adalah ketika Imam al-Syaukani menafsirkan surat Ali Imran ayat 169
Ÿwur ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏFè% Îû È@Î6y «!$# $O?ºuqøBr& 4 ö@t/ íä!$uŠômr& yYÏã óOÎgÎn/u tbqè%yöãƒ
” Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki “.
Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Syaukani mengemukakan, bahwa orang yang mati syahid hidup secara hakiki, bukan secara majazi, dan mereka diberi rizki di sisi Tuhan mereka. Pendapatnya ini, beliau dasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Bahkan, berdasarkan hadits Rasulullah saw. beliau mengatakan, bahwa ruh orang yang mati syahid ada dalam rongga perut burung-burung hijau, mereka mendapatkan rizki, dan mereka bersenang-senang[45].
Itulah gambaran metode tafsir beberapa kelompok Syi’ah, baik Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, Imamiyah Ismailiyyah (Bathiniyah), Babiyah dan Bahaiyah, maupun Syi’ah Zaidiyah. Ada beberapa perbedaan yang penulis lihat dari empat kelompok Syi’ah ini, dalam metode mereka menafsirkan al-Qur’an.
Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah lebih banyak memakai metode takwil. Di samping itu, mereka juga memakai metode tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini dapat dilihat dalam kitab tafsir al-Shafi karya Imam al-Kasyi. Adapun Syi’ah Imamiyah Ismailiyah, atau biasa disebut kaum Bathiniyah, walaupun sama memakai metode takwil, tetapi cenderung arogan dan mengabaikan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum al-Qur’an. Di samping itu, kelompok Syi’ah ini tidak pernah memiliki satu pun kitab tafsir. Penafsiran mereka tersebar di dalam kitab-kitab karangan ulama mereka, yang tidak mengkhususkan diri sebagai kitab tafsir.
Sementara itu, kaum Babiyah dan Bahaiyah tidak jauh berbeda dengan pendahulu mereka, yaitu Syi’ah Imamiyah Ismailiyah. Kelompok Syi’ah ini juga memakai metode takwil dalam penafsirannya. Takwil yang mereka pakai jauh lebih melenceng lagi dari kaum Bathiniyah. Sampai-sampai Dr. Mahmud Basuni Faudah menyebut mereka sebagai perkumpulan yang ingin menghancurkan Syari’at Islam[46] Sehingga wajar saja jika para ulama Mesir, Irak, dan Iran bersepakat mengkafirkan aliran Syi’ah ini.[47]
Adapun Syi’ah Zaidiyah cenderung lebih moderat. Dari segi ajaran, mereka lebih dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga dalam penafsiran terhadap al-Qur’an, mereka memakai metode tafsir bi al-ma’tsur, yang banyak dipakai kaum Sunni. Pandangan mereka juga tidak jauh berbeda dengan aliran Mu’tazilah. Dan tafsirnya pun banyak memakai metode tafsir bi al-ra’yi, yang banyak dipakai oleh kalangan Mu’tazilah, di samping memakai metode tafsir bi al-ma’tsur.[48]
J. Kekurangan dan Kelebihan Tafsir Syi’ah
Ada satu kelebihan yang bisa kita tiru dari metode tafsir yang digunakan kelompok Syi’ah. Dengan menggunakan metode takwil, kelompok Syi’ah lebih concern kepada makna batin al-Qur’an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur’an di dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung al-Qur’an dan aspek batin (esoteris) al-Qur’an, yang merupakan pesan al-Qur’an yang sebenarnya.[49]
Adapun kekurangan tafsir Syi’ah, seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum al-Qur’an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna al-Qur’an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhab mereka. Sehingga, alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur’an, malah makna al-Qur’an mereka selewengkan begitu jauh.[50]
K. Penutup
Realitas apapun yang terjadi dalam penafsiran al-Qur’an di kalangan Syi’ah, patut kita hargai, bahwa kelompok ini telah memberikan sumbangan yang begitu besar dalam khazanah tafsir al-Qur’an di dunia Islam. Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang baik dari mereka untuk kita kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai dalam menafsirkan al-Qur’an. Dan adapun ada metode mereka yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan cermin, supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah saw. telah mewasiatkan, khudz ma shafa wa da’ ma kadar, ambillah sesuatu yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk?.



DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar. Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Semarang: CV. Ramadhani, 1980
Anwar, Rosihon. Samudera al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001
Dzahabi, Muhammad Husain al-. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I dan Juz II. t.tp: t.p, 1976
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. . Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Shabuni, Muhammad Ali al-. Ikhtisar ‘Ulum al-Qur’an Praktis, terj. Muhammad Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 2001
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992
Suyuthi, Jalaluddin al-. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 1995

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 92 [2] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 81-87
[3] Ibid.
[4] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (t.tp: t.p, 1976), hlm. 15
[5] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag., Samudera al-Qur’an (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 222. Pendapat ini dikutip dari Hamid Dabashi, “Shi’i Islam, Modern Shi’i Thought,” dalam John L. Esposito (Ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Jilid IV (Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 55
[6] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II (t.tp: t.p, 1976), hlm. 3
[7] Muhammad Ali al-Shabuni, Ikhtisar ‘Ulum al-Qur’an Praktis, terj. Muhammad Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), hlm. 298-299
[8] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 218
[9] Ibid.
[10] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 314
[11] Ibid.
[12] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera al-Qur’an, hlm. 249
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hlm. 250
[16] Prof. Dr. Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam (Semarang: CV. Ramadhani, 1980), hlm. 155
[17] Ibid
[18] Ibid., hlm. 156-158
[19] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003) hlm. 335-336
[20] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 3-299
[21] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm. 218
[22] Tapi harus dibedakan antara tafsir Syi’ah dengan tafsir Sufi. Karena tafsir Sufi pun menekankan pada aspek batin al-Qur’an, seperti pada tafsir Syi’ah. Lihat Abdul Mustaqim, Madzahibut………, hlm. 85. Di sini, Abdul Mustaqim menyebutkan, bahwa kalangan Sufi memakai metode penakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya. Lihat juga Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera………, hlm. 208. Rosihon menyebutnya dengan istilah pendekatan tafsir esoterisme-sentris. Penulis memandang, yang membedakan penakwilan yang dilakukan kalangan Syi’ah dengan kalangan Sufi adalah pada adanya petunjuk khusus. Kalangan Sufi, dalam melakukan takwil, selalu melihat petunjuk khusus atau ilham. Beda dengan kalangan Syi’ah, yang cenderung arogan dan serampangan dalam menggunakan metode takwil.
[23] Ibid., hlm. 222
[24] Ibid., hlm. 210
[25] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Fufassirun, Juz II, hlm. 5-10
[26] Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 135-136. Lihat juga Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 23
[27] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1951), hlm. 173
[28] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm. 242
[29] Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 155-160
[30] Ibid. , hlm. 180-182
[31] Ibid., hlm. 207
[32] Ibid., hlm. 211
[33] Ibid., hlm. 220. Lihat Juga Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm. 204
[34] Ibid. , hlm. 205
[35] Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 221
[36] Ibid., hlm. 216
[37] Ibid., hlm. 222
[38] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm. 205
[39] Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 224
[40] Rosihon Anwar membagi kelompok Syi’ah Ismailiyyah ke dalam dua kelompok, yaitu periode awal (kelompok Bathiniyyah) dan periode akhir (kelompok Babiyah dan Bahaiyah). Lihat Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera………, hlm. 204-206
[41] Dr. Mahmud Basuni Faudah, Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 224
[42] Ibid., hlm. 229-230
[43] Ibid., hlm. 234-238
[44] Ibid., hlm. 240
[45] Ibid., hlm.241
[46] Ibid., hlm. 241
[47] Ibid., hlm. 228
[48] Ibid, hlm. 234
[49] Drs. Rosihon Anwar, M. Ag. , Samudera Al-Qur’an, hlm.209
[50] Ibid, hlm. 210

Tidak ada komentar:

Posting Komentar