A.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah firman Allah (Kalamullah) yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam dengan
menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode untuk
menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam lafazh-lafazh kitab suci
tersebut. Metode itu dikenal dalam tradisi Islam dengan tafsir, sebuah
metode kajian yang bertujuan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Bidang
kajian tafsir adalah makna lafazh Al-Qur’an, sementara Al-Qur’an
sendiri adalah kitab tasyrî’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir
tidak dapat dipisahkan dari sumber bahasa dan syari’at.
Di samping itu, lafazh Al-Qur'an terkadang diungkapkan
secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan
terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat[1], sehingga
maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat ditemukan
dengan menggunakan metode lain yaitu ta'wil, sebuah metode untuk
menemukan makna batin (esoteris)
dalam pengungkapan teks. Jadi, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification
of meaning) dari tafsir. Seperti firman Allah "Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (Al-An'am: 95), jika yang
dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah mengeluarkan burung dari telur, maka
itulah tafsir. Tetapi jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang
beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah
ta'wil.[2]
Dewasa ini, muncul anggapan bahwa ta'wil adalah
hermeneutika Islam,[3]
seiring dengan maraknya upaya-upaya untuk mengaplikasikan hermeneutika sebagai
metode baru dalam kajian Al-Qur'an menggantikan metode yang telah dirumuskan
oleh para ulama. Terbukti dengan banyaknya para pemikir muslim kontemporer yang
mengusung metode hermeneutika dalam kajian Al-Qur'an, seperti Nasr Hamid Abu
Zaid, Mohammed Arkoun, Mohammed Shahrour, Hassan Hanafi, Farid Esack, dan
Fazlur Rahman.
Salah satu contoh hasil dari metode penafsiran hermeneutika
ini adalah kesimpulan Shahrour tentang ayat hijab dalam QS. Al-Ahzab: 59.
Menurut Shahrour, ayat yang turun di Madinah ini harus dipahami dengan
pemahaman temporal, karena terkait dengan tujuan keamanan dari gangguan
terhadap para wanita ketika tengah bepergian untuk suatu keperluan. Gangguan
alam (thabi'i) maupun sosial (ijtima'i); gangguan alam terkait
dengan cuaca seperti suhu panas dan dingin, sedangkan gangguan sosial terkait
dengan kondisi dan adat istiadat suatu masyarakat. Namun, alasan keamanan ini
sekarang telah hilang semuanya. Maka, hendaknya wanita mukminah (dianjurkan
bukan diwajibkan) menutup bagian-bagian tubuhnya yang bila terlihat
menyebabkannya adanya gangguan, yaitu dengan berpakaian menurut kondisi cuaca
sehingga terhindar dari gangguan alam dan menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan sekitar sehingga tidak mengundang gangguan masyarakat.[4]
Ta'wil
berbeda dengan hermeneutika, karena ta'wil harus berdasarkan dengan
tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah Al-Qur'an. Perbedaan yang
lain, orientasi ta'wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi
hermeneutika adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan
manusianya.[5]
Selain itu, dari latar belakang historisnya, metode hermeneutika lahir dari
rahim tradisi Barat yang memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci
mereka.[6]
Dari pemaparan di atas, kiranya sangat urgen untuk mengkaji
lebih dalam tentang metode ta'wil yang merupakan warisan kekayaan
khazanah tradisi Islam yang dianggap identik dengan hermeneutika. Tulisan ini
akan membahas tentang konsep ta'wil; definisinya, kaitannya dengan
makna, ruang lingkup ta'wil, dan kaidah-kaidah dalam ta'wil.
B.
SETTING DEFINITIF
1.
Menurut Bahasa
Secara etimologi, ta'wil berasal dari kata آلَ يَؤُوْلُ
أَوْلٌ ((الأَوْلُ yang artinya الرجوع (kembali)[7]
dan العاقبة (akibat atau pahala),[8]
seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59[9]
dan hadith من صام الدهر فلا صام
ولا آل (Barangsiapa yang berpuasa sepanjang
masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya).[10]
Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, seperti dalam QS.
Al-Kahfi: 58.[11]
Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ
" yang berarti الرجوع
إليه و يعتمد عليه(kembali dan bersandar
kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam
firman Allah QS. At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163.[12]
Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan
bersandar kepadanya.[13]
2. Menurut Istilah
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan
dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab;
pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir.
Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada
makna lain karena ada dalil.[14]
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat,
menyatakan "Ta'wil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara
istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain
(batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan
Al-Qur'an dan As-Sunnah".[15]
Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin
Al-Istilah mengatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh
ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna
yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[16]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan
fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh
dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan
penta'wil".[17]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi
Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah)
tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan
didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan
oleh lafazh zhahir".[18]
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang
ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna zhahirnya
berdasarkan dalil yang menguatkannya".[19]
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa
At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat
bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat)
diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir
At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil
dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil
ayat ini. Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir.
Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari
kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang
kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil
yang menyertainya.[20]
Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu
Fatawa menegaskan bahwa istilah ta'wil memiliki tiga pengertian; pertama,
berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai dengan zhahir lafazh maupun
bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering digunakan dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A'raf: 53.[21]
Contoh lain, riwayat dari 'Aisyah Radhiyallah 'anhu bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak
membaca, سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي
(Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku)[22]
sebagai ta'wil dari firman Al-Qur'an QS. An-Nashr: 3.[23]
Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan
para ulama ahli tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin),
"Sesungguhnya orang-orang yang mendalam ilmunya (rasikhun)
mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat". Kata ta'wil
yang beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga,
berarti mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang
menunjukkan hal itu. Pengertian istilah ini belum ada pada zaman salaf,
baru dikenal pada zaman mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ahli
fiqih, kalam, dan tashawwuf.[24]
Jadi, ta'wil dalam istilah salaf adalah
sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami
perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
3. Ta'wil dalam Al-Qur'an
Kata ta'wil dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 17
kali. Dari penggunaan kata ta'wil dalam ayat-ayat tersebut, dapat
klasifikasikan menjadi tiga macam pengertian;
a.
Ta'wil li
al-qaul (ta'wil
perkataan) : Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam
bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar,
bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil
dalam hal ini memiliki dua pengertian; Ta'wil Amr yaitu dengan
mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadith riwayat Aisyah Radhiyallah
'anha seperti yang telah disebutkan di atas. Ta'wil Ikhbar yaitu
terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah
QS. Al-A'raf : 53.[25]
Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil
(terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
b.
Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan) : Seperti apa
yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah
melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan
kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.[26]
c.
Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi): Ta'wil li
ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadith (ta'wil mimpi), seperti perkatan
Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf 'Alaihimassalam dalam QS. Yusuf :
6,[27]
dan sebaliknya pada ayat: 100.[28]
C.
ANTARA TAFSIR DAN TA'WIL
Dari difinisi ta'wil di atas, dapat diambil persamaan
dan perbedaan serta keterkaitan antara keduanya. Tafsir dalam
terminologi Islam adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alahi wasallam, memahami maknanya,
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa,
nahwu, sharaf, ilmu bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira'at, asbab nuzul,
dan nasikh dan mansukh.[29]
Ibnu Faris menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak lepas dari tiga hal;
makna, tafsir, dan ta'wil. Meskipun berbeda dari segi istilah,
namun maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud
dan tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan tafsir, menyingkap maksud
yang tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun ta'wil, mengalihkan lafazh
dari suatu makna kepada makna lain yang dikandungnya. [30]
Ar-Raghib Al-Isfahani mengatakan, "Tafsir lebih
umum dari pada ta'wil. Tafsir lebih banyak digunakan kepada
lafazh-lafazh, sedangkan ta'wil lebih banyak digunakan kepada
makna-makna, seperti ta'wil mimpi. Ta'wil juga lebih banyak digunakan
dalam kitab-kitab suci, sedangkan tafsir banyak digunakan untuk
menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan".[31]
Az-Zarkasyi menambahkan bahwa, tafsir dalam istilah para ulama adalah
menyingkap atau menemukan makna-makna Al-Qur'an dan menjelaskan maksudnya, ia
lebih umum dari ta'wil yang hanya sekedar membahas lafazh-lafazh yang
ambigu atau makna yang zhahir atau permasalah lafazh lainnya. Tafsir
lebih banyak digunakan dalam kalimat-kalimat.
Selain itu, tafsir juga membahas lafazh-lafazh yang
asing, seperti البحيرة السائبة، dan الوصيلة
atau memberi penjelasan singkat tentang maksud sebuah ayat وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
baik perkataan yang mengandung sebuah kisah yang sulit digambarkan kecuali
orang yang mengetahui sebenarnya, seperti ayatإِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ atau وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ
ظُهُورِهَا. Sedangkan ta'wil, terkadang menggunakan lafazh umum dan
terkadang lafazh khusus. Seperti kata kufur yang terkadang diartikan ingkar
dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk pengingkaran terhadap
Allah Azza wa Jalla dalam arti yang khusus, dan kata iman yang terkadang
diartikan mempercayai (tashdiq) dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan
untuk membenarkan kebenaran, baik dalam lafazh ambigu yang memiliki beberapa
makna.
Al-Bajili mengatakan bahwa tafsir berkaitan
dengan riwayah (riwayat) sedangkan ta'wil berkaitan dengan dirayah
(ilmu pengetahuan).[32]
Hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr Al-Qushairy, "Tafsir terbatas
hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath
(kesimpulan) merupakan bagian dari ta'wil.[33]
Ini juga pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan bahwa tafsir
berlaku untuk para sahabat sedangkan ta'wil untuk para fuqaha'
(ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu
dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam serta
mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.[34]
Ta'wil adalah hakekat luar (haqiqah kharijiyah) dari sebuah ayat,
sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah mengetahui gambaran
sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza wa Jalla menurunkan
Al-Qur'an agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan dipikirkan baik ayat yang
muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui ta'wilnya.[35]
Ta'wil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir
menyingkap tabir makna dari sebuah lafazh, maka ta'wil menemukan makna
dari lafazh yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi, ta'wil dapat
berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.
Tafsir menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat (implisit)
sedangkan ta'wil menemukan makna batin (esoteris) dari lafazh
yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabih).[36]
Ada pula yang mengatakan bahwa ta'wil adalah
merajihkan suatu makna dari makna-makna yang terkandung dalam sebuah lafazh,
sedangkan tafsir adalah menjelaskan makna lafazh yang hanya mengandung satu
makna.[37]
Ada juga yang mengatakan bahwa tafsir hanya untuk mengetahui makna dan
kosa-kata sebuah ayat, sedangkan ta'wil mengetahui hakekat dari yang
dimaksudkan oleh ayat. Seperti tentang melihat Allah ta'ala pada
hari kiamat kelak, tafsirnya adalah mengetahui bahwa Allah dapat dilihat pada
hari kiamat kelak, sedangkan ta'wilnya adalah hakekat dari peristiwa itu
tatkala terjadi.[38]
Ringkasnya, ta'wil adalah pendalaman dari tafsir
dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk
mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka ta'wil
lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki
banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan riwayat dalam
mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan ta'wil menggunakan beberapa
disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir
biasanya hanya membahas lafazh-lafazh sedangkan ta'wil membahas
makna-makna.
Jika definisi ta'wil adalah mengungkap dan memilih makna
dari lafazh ambigu yang memiliki pluralitas makna, maka hermeneutika Paul
Ricour merupakan hermeneutika yang paling dekat dengan difinisi ta'wil ini.
Karena filsafat Ricour terarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi.[39]
Hal ini ditegaskan sendiri oleh Ricour bahwa pada dasarnya, filsafat adalah
hermeneutik yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang
kelihatan mengandung makna.[40]
Menurut Ricour, setiap kata merupakan sebuah simbol sehingga
kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Ia menambahkan,
setiap apa yang diucapkan atau dituliskan memiliki makna lebih dari satu jika
dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricour menyebut ini dengan istilah
polisemi, yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu bila digunakan pada
konteks yang berbeda.[41]
Dengan demikian, interpretasi sangat dibutuhkan ketika terjadi pluralitas
makna. Sedangkan interpretasi adalah sebuah usaha untuk mengungkap makna-makna
yang masih terselubung dari multi lapisan makna yang terkandung dalam suatu
kata.[42]
Oleh karena itulah, Ricour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan untuk
menyingkap misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka
selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol tersebut.[43]
Barangkali dari sisi inilah, sebagian orang mengidentikkan
hermeneutika dengan ta'wil. Karena ta'wil merupakan usaha untuk memilih dan
menetapkan makna dari lafazh yang ambigu, sedangkan hermeneutika juga merupakan
usaha mengungkap makna yang masih terselubung dari lapisan makna yang
terkandung dalam suatu kata. Padahal, hal ini berbeda dengan konsep ta'wil
dalam Islam. Ta'wil dilakukan jika ada dalil yang mengalihkan makna lafazh dari
yang eksoteris (zhahir) kepada makna esoteris (batin). Sedangkan hermeneutika
tidak memperhatikan makna eksoteris (zhahir) dan langsung kepada makna esoteris
(batin). Hal itu karena hermeneutika merupakan metode tafsir bible yang tidak
memperhatikan zhahir teks karena bible memiliki masalah dalam otentisitas
teksnya. Berbeda dengan ta'wil yang harus memperhatikan zhahir nash karena
Al-Qur'an tidak memiliki masalah otentisitas teks sebagaimana bible.
D.
DALIL-DALIL TA'WIL
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ta'wil adalah
mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna
esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Para ulama
menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil. Adanya
dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih,
sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.[44]
Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan
makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir.
1.
Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang
keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS.
Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai,
termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik
Maimunah Radhiyallah 'anha yang mati yang akan dibuang, "Kenapa
kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?",
para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab,
"Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya".[45]
Dalil dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
2.
Ijma'; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9,[46]
secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki,
perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma'
mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
3.
Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus
dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan
dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku.
4.
Hikmah Tasyri' dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat
dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي
كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ).[47]
Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir
lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj
al-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan qath'i. Sedangkan menurut
ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah)
karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan
orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan
mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari'at.[48]
E.
TA'WIL DAN MAKNA
Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid
ketika akan mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah
harus memperhatikan hal-hal berikut;
1.
Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang
berarti do'a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
2.
Istilah-istilah syar'i; kata yang memiliki pengertian khusus
dalam syar'i, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna
syar'i bukan kepada makna lughawi (bahasa).
3.
Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf
yang bersifat umum seperti kata الدابة
untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط
untuk kotoran, maupun urf yang bersifat khusus seperti
istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.[49]
Dalam hal pemilihan dan penetapan makna dari suatu kata yang
memiliki pluralitas makna, ta'wil berbeda dengan hermeneutika. Dalam ta'wil,
pemilihan dan penetapan makna harus mempertimbangkan tiga hal; makna bahasa,
makna adat dan kebiasaan (urf), dan makna syar'i. Sedangkan dalam
hermeneutika makna menjadi lepas (otonom) dan mengikuti kondisi tiga hal;
intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan
teks, dan kepada siapa teks ditujukan.[50]Dengan
demikian, makna dalam ta'wil menjadi baku dan tetap karena mengikuti kaidah
yang baku. Sedangkan makna dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif karena
mengikuti sesuatu yang selalu berubah-rubah. Jika hal ini terjadi pada
Al-Qur'an, maka ayat-ayat akan menjadi rancu dan rusak.
Selain memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan
lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan
kepada makna yang dekat atau berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga macam
pengalihan lafazh dari makna zhahirnya;
1.
Mengalihkan
kepada yang terdekat. Seperti lafazh إذا قمتم إلى
الصلاة dalam QS. Al-Maidah: 6,[51]
kata القيام dalam ayat ini dita'wilkan (diartikan)
ketika hendak dan ingin melaksanakan shalat.
2.
Mengalihkan
kepada yang jauh, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil shahih yang
menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh.
Seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ghailan
Ath-Thaqafi ketika masuk Islam dan masih memiliki sepuluh orang istri, "
"أمسك أربعًا و فارق سائرهن(Pilihlah empat dari
mereka dan ceraikanlah sisanya).[52]
Ulama Hanafiah menta'wilkan hadith ini dengan perintah untuk menikahi empat
orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan
kafir dan Islam. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat bahwa
tidak perlu mengulangi akad nikahnya dengan alasan Ghailan masih baru masuk
Islam dan belum mengetahui hukum-hukum Islam dan seandainya pendapat pertama
benar, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam akan menjelaskan
hal itu kepada Ghailan.
3.
Ta'wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung
dalam lafazh. Seperti ta'wil yang dilakukan oleh kelompok Rafidhah terhadap
firman Allah أَوْ آَخَرَانِ مِنْ
غَيْرِكُمْ (...atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu...).[53]
Mereka menta'wilkan lafazh ini dengan selain kabilah kalian, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.[54]
F.
BENTUK-BENTUK TA'WIL
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling
mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok
disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan
hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul
merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman
kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya
mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh
yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang
hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi
makna yang sunnah.[55]
1. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish
al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah: 228,[56]
yang menerangkan bahwa wanita yang dithalaq oleh suaminya harus menjalani iddah
(masa tunggu) selama tiga kali masa haidh atau masa suci (thalathah
quru'). Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum,
haidh, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish
dengan ayat yang lain dalam QS.Al-Ahzab:49,[57]
yang menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah
(masa tunggu).
2. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam
bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد
المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS.
Al-Maidah:3,[58]
menggunakan lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid)
dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu
QS.Al-An'am: 145,[59]
sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam QS.An-Nisa': 2[60]
yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak
yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini
bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6[61]
yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat
mereka telah baligh dan dewasa. Dengan ayat kedua ini, dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan lafazh yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak
yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi
yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.[62]
4. Mengalihkan lafazh dari maknanya
yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk
mencatat hutang piutang dalam QS. Al-Baqarah: 282 yang bermakna wajib, kemudian
ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi
sunnah yaitu pada ayat selanjutnya QS. Al-Baqarah: 283.
G.
RUANG LINGKUP TA'WIL
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua
macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat
adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan
arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau
ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat
merupakan objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam
Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, mantuq
memiliki lima macam; nash,[63]
zhahir,[64]
muawwal,[65]
dalalah iqtidha',[66]
dan dalalah isharah.[67]
Maka nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir,
sedangkan muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah
bagian dari pembahasan ta'wil.[68]
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul menjelaskan bahwa
ada dua ruang lingkup ta'wil (majaal al-ta'wil); Pertama,
kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang
berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Ta'wil dalam ruang lingkup ini
tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua,
dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan
masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla,
bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga
huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[69]
1.
Ta'wil dalam masalah furu'
Nash-nash hukum syariat (taklifi) merupakan lahan
yang subur bagi ta'wil, karena banyak mengandung lafazh ambigu (muhtamal)
yang juga menjadi lahan untuk berijtihad. Selain itu, keinginan untuk memahami
nash syar'i memicu para ulama untuk melakukan ta'wil. Kendati demikian, ta'wil
tidak berlaku pada nash-nash qath'i dan muhkam yang hanya
memiliki satu makna dan makna yang dimaksud oleh syari'ah sudah jelas.
Sebagaimana dalam kaidah disebutkan tidak ada ijtihad jika ada nash yang qath'i,
mufassar, dan muhkam. Seperti bagian-bagian dalam warisan dan
hukuman (had) yang disebutkan dalam nash-nash syar'i terhadap pelaku
perbuatan dosa-dosa besar.[70]
Menurut ulama Hanifiyah, yang menjadi objek ta'wil adalah an-nash
dan azh-zhahir.[71]
Meskipun jelas, namun tidak menutup adanya kemungkinan (ihtimal) makna
lain, sehingga menuntut adanya tarjih di antara makna-makna yang ada
oleh seorang mujtahid dengan berlandaskan pada dalil. Selain an-nash dan
azh-zhahir, termasuk juga lafazh yang mujmal (global) jika belum
diperjelas (ditafsir). Seperti hukum mengusap kepala yang
kadarnya masih mujmal, meskipun maknanya jelas akan tetapi hal ini
membuka ruang untuk ta'wil dalam hal kadarnya. Oleh karena itulah para
ulama berbeda pendapat tentang huruf ba' dalam firman Allah (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ).[72]
Jika nash ayat yang mujmal ini diperjelas (ditafsir) niscaya
tidak akan ada ta'wil di dalamnya.[73]
Ta'wil
tidak dapat dilakukan pada lafazh yang khafi karena meskipun tersembunyi
tapi maknanya jelas. Begitu juga pada lafazh musytarak, meskipun
memiliki banyak makna, namun maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah)
di luar lafazh dan bukan mengalihkan lafazh dari maknanya yang kuat (rajih)
kepada yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi
pendekatan bahasa.[74]
Jadi, nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang memiliki
derajat qath'i ad-dilalah tidak bisa dita'wil karena lafazhnya
jelas dan hanya memiliki satu makna, seperti nash tentang masalah ushul,
perkara-perkara yang merupakan aksioma keagamaan (ma'lum min ad-din bi
adh-dharurah), atau lafazh yang mujmal tapi diperjelas (ditafsir)
seperti shalat, zakat, shiyam, haji yang dijelaskan oleh As-Sunnah.[75]
Sedangkan dalam hermeneutika tidak ada klasifikasi teks,
semua teks sama dan semua teks dapat ditafsirkan dengan metode hermeneutika.
Jika hermeneutika diterapkan kepada Al-Qur'an, maka yang muhkamat
menjadi mutasyabihat, ushul menjadi furu', thawabit
menjadi mutaghayyirat, qath'i dilalah menjadi zhanniy dilalah,
dan yang ma'lum menjadi majhul.[76]
2. Takwil dalam masalah ushul
Objek kajian ta'wil (majaal al-ta'wil) dalam
masalah ushul kebanyakan dalam masalah asma' dan sifat Allah Ta'ala.
Dalam hal ini, Asy-Syaukani menyebutkan tiga madzhab; Madzhab Pertama,
berpendapat nash tidak boleh dita'wil dan harus dipahami secara zhahirnya.
Inilah pendapat Musyabbihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk). Madzhab Kedua, berpendapat nash aqidah ada ta'wilnya,
tetapi yang tahu ta'wilnya hanya Allah saja (QS Ali ’Imran :7).[77]
Jadi, nash tidak boleh dita'wilkan untuk tetap memurnikan aqidah dari tasybih
(menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta'thil (meniadakan
sifat-sifat Allah). Madzhab Ketiga, berpendapat nash aqidah boleh
dita'wilkan.[78]
Ibnu Burhan memandang bahwa madzhab pertama adalah batil,
sedang madzhab kedua dan ketiga diriwayatkan dari para shahabat. Madzhab kedua
adalah madzhab Salafush Shaleh. Sedang madzhab ketiga diriwayatkan dari
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah.[79]
Akar masalah dari perbedaan pendapat di atas adalah
pembacaan dan pemahaman terhadap firman Allah QS Ali ’Imran :7. Ada yang
berpendapat bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf) pada lafazh
Jalalah (وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ), Sehingga maknanya, tidak ada yang
mengetahui ta'wil ayat mutasyabihat kecuali Allah. Inilah
pendapat 'Aisyah, 'Urwah, Abu Asy-Sha'tsa, Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud, Malik
bin Anas, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Jarir Ath-Thabari, dan lain-lain. Sedangkan
pendapat yang lain mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut berhenti (waqaf)
pada kata ar-rasihkhun fi al-ilm (وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ
فِي الْعِلْمِ), sehingga maknanya tidak ada yang mengetahui ta'wil
ayat mutasyabihat kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasihkhun
fi al-ilm). Inilah pemahaman Ibnu Abbas, Mujahid, Rabi' bin Anas, Muhammad
bin Ja'far, dan diikuti mayoritas para mufassir dan ulama ushul.[80]
Dari dua pendapat di atas, Ibnu Taimiyah berusaha
mengkompromikan dengan menyatakan bahwa keduanya adalah pendapat ulama salaf.
Pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil
ayat-ayat mutasyabihat kecuali Allah, maka yang dimaksud adalah hakikat
dari ayat tersebut. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa yang mengetahui
ayat-ayat mutasyabihat Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya (ar-rasikhun
fi al-ilm), maka yang dimaksud adalah makna dari ayat tersebut.[81]
Pendapat Ibnu Taimiyah di atas dikuatkan oleh beberapa
dalil, diantaranya pernyataan Ibnu Abbas bahwa tafsir ada empat macam; tafsir
yang diketahui oleh orang-orang arab dengan bahasa mereka, tafsir yang
diketahui oleh semua orang, tafsir yang diketahui hanya oleh para ulama, dan
tafsir yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla.[82]
Di sisi lain, Ibnu Abbas juga menyatakan, "Saya termasuk ar-rasikhun fi
al-ilm yang mengetahui ta'wil Al-Qur'an (ayat-ayat
mutasyabihat)",[83]
hal itu berkat do'a Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Ibnu
Abbas, "Ya Allah pahamkanlah ia tentang agama dan ajarilah ia ta'wil".[84]
Kedua pernyataan Ibnu Abbas ini tidak akan kontradiksi jika dipahami dengan
pendapat Ibnu Taimiyah di atas.
Dalam masalah ta'wil ayat-ayat yang berkenaan dengan
asma' dan sifat Allah, para ulama salaf berbeda pandangan dengan ulama khalaf,
termasuk Asy-Syaukani. para ulama salaf menetapkan asma' dan sifat Allah
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri dalam al-Qur'an dan
sebagaimana yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dalam As-Sunnah tanpa ta'thil (meniadakan sifat), tasybih
(menyerupakan dengan makhluk), dan takyif (menanyakan bagaimana
hakikatnya), karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang serupa dengan Allah
Azza wa Jalla.[85]
Sebagaimana yang Allah tegaskan sendiri dalam QS. Asy-Syura: 11.[86]
Para ulama salaf juga tidak melakukan ta'wil terhadap asma' dan sifat
Allah, seperti jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang makna istiwa',
"Istiwa' dapat dipahami, bagaimana hakikatnya tidak dapat
diketahui, beriman dengan sifat tersebut hukumnya wajib, dan menanyakan tentang
hal itu adalah bid'ah".[87]
Begitu juga dengan pernyataan Abu Hanifah dalam bukunya Al-Fiqh Al-Akbar,
"Dia memiliki tangan, wajah, dan jiwa sebagaimana Allah Ta'ala
sendiri sebutkan dalam Al-Qur'an. Dia memiliki sifat tanpa boleh ditanya
bagaimana hakikatnya, dan tidak boleh dikatakan (dita'wil) bahwa
tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena itu adalah peniadaan (ta'thil)
sifat-Nya, perkataan itu adalah pendapat Qadariah dan Mu'tazilah, akan tetapi
tangan-Nya adalah sifat-Nya tanpa boleh ditanya bagaimana hakikatnya".[88]
Sedangkan tentang ta'wil pada huruf-huruf muqattha'ah di
permulaan surat-surat, para ulama juga berbeda pendapat dan terbagi menjadi
dua;
pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf terputus (al-huruf
al-muqattha'ah) pada permulaan-permulaan surat Al-Qur'an termasuk ayat-ayat
mutasyabihat, yang makna dan maksudnya hanya diketahui oleh Allah Azza
wa Jalla. Inilah pendapat Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Uthman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud Radhiyallah 'anhum,
Amir Ash-Sha'bi, Sufyan Ath-Thawri, Rabi' bin Khuthaim, Abu Hatim bin Hibban,
dan ulama-ulama salaf lainnya.[89]
Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa huruf-huruf muqattha'ah memiliki makna
dan ta'wil, baik ta'wil yang jauh maupun dekat. Pendapat kedua
ini memiliki dua puluh macam ta'wil, diantaranya adalah pendapat yang
berdasarkan pada riwayat Ibnu Abbas Radhiyallah 'anhuma yang menyatakan
bahwa setiap huruf dalam huruf-huruf muqattha'ah merupakan nama dari
asma' dan sifat Allah Azza wa Jalla; alif adalah Allah, lam adalah Al-Lathif
(Maha Lemah Lembut), mim adalah Al-Majid (Maha Agung), atau sifat lemah
lembut-Nya dan sifat agung-Nya. Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas Radhiyallah
'anhuma menyatakan bahwa alim laf mim berarti ana Allah a'lam
(Aku Allah mengetahui), alif lam mim shad adalah ana Allah afshil
(Aku Allah memberikan keputusan), dan alif lam ra' adalah ana Allah
ara (Aku Allah melihat).[90]
Fakhruddin Ar-Razi mendukung pendapat kedua dan menolak pendapat pertama dengan
alasan bahwa tidak boleh dalam Al-Qur'an ada satu ayat pun yang tidak
dimengerti maksud dan maknanya, karena Allah memerintahkan untuk metadabburi
firman-firman-Nya.[91]
Sedangkan menurut Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi yang mendukung pendapat pertama,
orang-orang Arab dahulu dengan ketinggian pemahaman mereka terhadap bahasanya
sendiri mengakui keunggulan bahasa (balaghah dan fashahah) Al-Qur'an.
Seandainya bahasa Al-Qur'an bertentangan dengan kaidah bahasa Arab niscaya
mereka orang yang pertama kali menentangnya.[92]
As-Suyuthi memandang bahwa pendapat pertama sebagai pendapat yang kuat (rajih).[93]
Selanjutnya, As-Suyuthi dalam Al-Itqan menyebutkan pendapat tentang
kegunaan huruf-huruf muqattha'ah yaitu untuk menarik perhatian (tanbih)
orang-orang yang mendengarnya, dan huruf-huruf muqattha'ah merupakan
ungkapan untuk menarik perhatian (tanbih) yang efektif bagi
orang-orang Arab terutama pada masa Islam di Makkah yang mengagungkan syair.[94]
Bahkan huruf-huruf muqattha'ah bisa menjadi mukjizat Al-Qur'an karena
belum ada syair Arab yang menggunakannya sebagai ungkapan untuk menarik
perhatian (tanbih).
H.
KAIDAH-KAIDAH DALAM TA'WIL
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa ta'wil
harus berdasarkan dengan dalil (qarinah) yang kuat, karena merupakan
syarat utama sebagai ta'wil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada
dalil yang shahih maka ta'wil tersebut adalah ta'wil batil dan
mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum melakukan ta'wil seorang muawwil
juga harus memperhatikan makna zhahir lafazh terlebih dahulu atau tafsir
terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Az-Zarkasyi bahwa "Lâ
mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir", tidak ada
harapan sampai kepada makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya.[95]
Dalam masalah ini, para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah
ta'wil selain yang disebutkan di atas, di antaranya sebagai berikut;
1.
Adanya
pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang
diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta'wil. Seperti antara QS.An-Nisa': 2
dan ayat 6. Pada ayat yang pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta
anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia
baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang
bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh.
Maka, kata yatim pada ayat pertama harus dita'wil dengan mengalihkan maknanya
dari makna hakiki kepada makna majazi.[96]
2.
Ta'wil tidak
boleh menggugurkan nash syar'i lainnya, karena ta'wil merupakan salah satu
metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni
tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath'iy. Seperti QS.
Al-Maidah: 6 (وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ)
kemudian dibaca kasrah (أَرْجُلِكُمْ)
oleh kalangan Syi'ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan alasan athaf.
Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap
kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada dua hal; pertama,
menggugurkan hadith-hadith shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki.
Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid)
pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah
mustahil terjadi.[97]
3.
Lafazh
yang ingin dita'wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita'wil.[98]
Menurut kalangan Hanafiyah, lafazh yang ingin dita'wil harus lafazh nash
dan zhahir. Misalkan, lafazhnya adalah lafazh umum yang dapat
dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan
(taqyid), atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna
metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta'wil dilakukan
pada nash khusus (bukan nash umum), tidak diterima.[99]
4.
Ta'wil
(mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan
pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dari pada makna
zhahir.[100] Misalkan mengkhususkan nash umum
berdasarkan dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan
(taqyid) pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan (mentaqyid).
Maka, ta'wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh),
atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita'wil, tidak
diterima.[101]
5.
Orang
yang hendak melakukan ta'wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang
memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar'i.[102] Orang yang tidak memiliki kualifikasi
tersebut dilarang melakukannya karena akan terjatuh pada perbuatan yang
dilarang yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.[103]
6.
Ta'wil yang
dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar'i, atau makna urf
(kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. Al-Baqarah:
228) dengan arti haid atau suci adalah ta'wil sahih, karena sesuai
dengan makna bahasa Arab untuk quru`. Ta'wil yang tidak sesuai
makna bahasa, syar'i, atau urf, tidak diterima.[104]
7.
Jika ta'wil dengan qiyas maka,
hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama Syafi'iyah.[105] Bagi mereka, dalam qiyas jaliy telah
diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan (i'tibar al-fariq)
antara far' dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki
(al-'abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum
perbudakan. Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam
hal tidak adanya sisi perbedaan (i'tibar al-fariq) antara far'
dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr ketika diminum dalam
jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan (lebih keras) bila
dibandingkan dengan anggur.[106]
Selain menetapkan aturan dalam menta'wil, para ulama juga
menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta'wil
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga
merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir.
1. Memiliki ilmu tentang Al-Qur'an;
mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur'an terutama ayat-ayat hukum dan tidak
disyaratkan harus menghafalnya.
2. Memiliki ilmu tentang As-Sunnah;
mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu menyebutkannya, serta
membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan
mansukh, mengetahui ijma', dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
3. Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai
modal ijtihad.
4. Mengusai bahasa Arab dengan baik dan
mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena ta'wil-ta'wil
batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa
Arab.
5. Mengetahui maqashid shari'ah
dengan baik.
6. Beraqidah yang lurus, terpercaya,
dan wara'.[107]
I.
KESIMPULAN
Beberapa poin yang perlu
diperhatikan dari uraian di atas adalah bahwa ta'wil pada masa salaf
merupakan sinonim dari tafsir, kemudian istilah ta'wil mengalami
perubahan definisi pada masa khalaf yaitu mengalihkan lafazh dari
maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada indikasi (qarinah)
kuat yang menunjukkan hal itu. Indikasi (qarinah) dalam pengalihan makna
lafazh tersebut berupa dalil-dalil syar'i dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma',
Qiyas, dan kaidah-kaidah dasar syari'ah.
Ta'wil memiliki
kaitan yang cukup erat dengan tafsir. Ta'wil merupakan pendalaman
makna (intensification of meaning) dari tafsir. Ruang lingkup ta'wil
lebih dalam dari pada tafsir; tafsir mengungkap makna suatu
lafazh yang tersembunyi dan hanya memiliki satu makna, sedangkan ta'wil
memilih makna dari sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki beberapa makna
berdasarkan qarinah. Terkadang ta'wil juga mengungkap makna yang
tidak bisa diungkap tafsir. Para ulama juga telah membagi ruang lingkup tafsir
dan ta'wil, ruang lingkup ta'wil lebih dalam dan lebih sulit dari
pada ruang lingkup tafsir. Dalam kajian ilmu tafsir, nash dan
zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan yang
terdalam; muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah
bagian dari pembahasan ta'wil. Sedangkan dalam kajian ushul fiqh, yang
menjadi objek ta'wil adalah an-nash dan azh-zhahir.
Sedangkan mufassar dan muhkam adalah bagian tafsir.
Dalam kaitannya dengan masalah makna, pengalihan makna suatu
lafazh dari yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan; makna lughawi,
makna istilah-istilah syar'i, dan makna istilah dalam urf tertentu
seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.
Setiap lafazh harus dikembalikan maknanya kepada tiga macam makna tersebut
sesuai dengan qarinah lafazhnya. Jika menunjukkan kepada makna lughawi
maka harus dikembalikan kepada makna lughawi, jika menunjukkan kepada makna
syar'i maka harus dikembalikan kepada makna syar'i, dan jika menunjukkan kepada
makna urf maka harus dikembalikan kepada makna ufr. Terkadang
dalam ketiga makna tersebut masih memiliki bagian, seperti makna syar'i
terkadang terbagi menjadi hakiki dan majazi.
Ta'wil
memiliki tiga macam; pertama, ta'wil yang dekat seperti lafazh idza
kuntum ila ash-shalah yang dita'wilkan dengan ketika hendak melaksanakan
shalat. Kedua, ta'wil yang jauh seperti hadith Ghailan Ath-Thaqafi yang
dita'wilkan oleh ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang wanita
tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga,
Ta'wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam
lafazh. Seperti firman Allah aw aakharaani min ghairikum (atau dua orang
yang berlainan agama dengan kamu) dita'wilkan oleh Rafidhah dengan selain
kabilah kalian.
Dalam masalah ta'wil, para ulama ushul
merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an untuk
kepentingan istimbath al-ahkam. Sehingga kajian para ulama ushul
merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman
kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya
mengkhususkan lafazh yang bersifat umum (takhshish al-umum), membatasi
lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya
yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi
makna yang sunnah. Para ulama ushul juga yang membuat kaidah-kaidah ta'wil
di antaranya; orang yang melakukan ta'wil harus memiliki kriteria seorang
mujtahid, harus berdasarkan pada dalil yang shahih, dan tidak bertentangan
dengan nash yang lain.
Kaidah-kaidah ta'wil yang dibuat oleh para ulama dan
konsep pengalihan makna dalam ta'wil ini merupakan perbedaan yang sangat
mendasar antara ta'wil dan hermeneutika. Dalam hermeneutika seseorang
tidak terikat dengan makna istilah-istilah syar'i, tidak perlu menggunakan
dalil-dalil syar'i, tidak memperhatikan apakah hasil penafsiran tersebut sesuai
dengan nash-nash syar'i yang lain atau bertentangan, dan tidak memperhatikan
orang yang melakukannya apakah memiliki kemampuan atau tidak. Dengan demikian,
hasil penafsiran dalam hermeneutika menjadi bias dan relatif tergantung kepada
orang yang melakukan penafsiran.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Amidi,
Abu Al-Hasan. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami,
tt).
2.
Al-Ghazali,
Abu Hamid. Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-'Ilmiah, 2008).
3.
Al-Ghunaimi,
Abdul Akhir Hammad. Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah,
(Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1995).
4.
Al-Haidari,
As-Sayyid Kamal Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil; Muqaranah Manhajiyah Baina
Ara' At-Thabathaba'i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid, 2006).
5.
Al-Isfahani,
Ar-Raghib. Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Maktabah Nizar Musthafa
Al-Baz, tt).
6.
Al-Jurjani,
Ali bin Muhammad. Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah,
1988).
7.
Al-Juwaini,
Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf. Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, tahqiq;
Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H).
8.
Al-Kattani,
Muhammad Al-Hasan bin Ali. At-Ta'wil 'Inda Ahl Al-Ilmi, dalam www.saaid.net/book/7/1253.doc.
9.
Al-Maturidi,
Abu Manshur. Ta'wilat Ahli As-Sunnah, (Baghdad: Al-Irshad, 1983).
10. Al-Qari, Ali bin Sulthan Muhammad. Minah
Ar-Raudh Al-Azhar fi Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, (Beirut: Dar Al-Basya'ir
Al-Islamiah, 1998).
11. Ash-Shuyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan
fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2008).
12. As-Sarkhasi, Ahmad bin Abu Sahl. Ushul
As-Sarkhasi, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993).
13. As-Subki, Abdul Wahhab bin Ali. Jam'u
Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003).
14. Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat,
(Khubar: Dar Ibnu Affan, 1997)
15. Asy-Syaukani, Muhammad 'Ali. Irsyadul
Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul, (Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000)
16. Azzam, Abdullah Yusuf Mushthafa. Dilalah
Al-Kitab wa As-Sunnah min Haith Al-Bayan wa Al-Ijmal Aw Azh-Zhuhur wa Al-Khafa',
Disertasi Doktoral, (Universitas Al-Azhar: Fakultas Syari'ah dan Hukum, Program
Pasca Sarjana, 1993)
17. Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan
fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadith, 2006)
18. Az-Zuhaili, Wahbah. Ushul
Al-Fiqih Al-Islami, (Dar Al-Fikr, 1986)
19. Bazmul, Muhammad bin Umar bin Salim.
Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah,
(Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H)
20. Fahmi Salim, "Beda Ta'wil
dengan Hermeneutika", dalam http://www.ikadi.or.id
21. Ibnu Al-Jawzi, Yusuf bin Abdurrahman.
Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995). cet 1
tahqiq Mahmud bin Muhammad As-Sayyid Ad-Dugim
22. Ibnu Hazm, Abu Muhammad Ali bin
Ahmad bin Sa'id. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar
Al-Afaq Al-Jadidah, tt)
23. Ibnu Kathir, Abu Al-Fida' Isma'il
bin Umar. Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah, 1999)
24. Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukrim. Lisan
al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt)
25. Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul
Halim. Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, (Iskandariyah: Dar Al-Iman,
tt)
26. ------------------------------------.
Majmu' Al-Fatawa, (Riyadh: Dar Al-Wafa', 2005)
27. Ma'rifah, Muhammad Hadi
(Muhaqqiq). At-Ta'wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara', (Teheran:
Majma' Al-'Alami li At-Taqrib Baina Madzahib Al-Islamiah, 2006)
28. Sharour, Muhammad. Nahwa Ushulin
Jadidatin li l-Fiqh Al-Islami: Fiqh al-Mar'ah (Al-Washiyah - Al-'Irdh -
Al-Qawamah - Al-Ta'addudiyah - Al- Libas), (Damaskus: Al-Ahali, 2000)
29. Shatat, Kan'an Musthafa Sa'id. At-Ta'wil
'Inda Al-Ushuliyin, Tesis Magister, (Palestina: Jami'ah An-Najah
Al-Wathaniyah, 2007)
30. Sumaryono, E. Hermeneutika;
sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993)
31. Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi
Ulum Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).
[3]
Pernyataan Nasr Hamid Abu Zaid dalam wawancara dengan wartawan tempo di Hotel
Grand Hyatt Jakarta yang dimuat dalam majalah tempo edisi edisi 42/XXXVI/10-16
Desember 2007, "Hermeneutik dalam bahasa Arab adalah ta'wil".
Begitu juga dengan pernyataan Aksin Wijaya mengutip Fakhruddin Faiz,
"Pendekatan itu (hermeneutika) sudah lama diteorikan di kalangan pemikir
Islam klasik, tetapi istilah dan penggunaannya saja yang berbeda", dalam
bukunya Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009). hlm.176.
[4] Lihat
Muhammad Sharour, Nahwa Ushulin Jadidatin li l-Fiqh Al-Islami: Fiqh
al-Mar'ah (Al-Washiyah - Al-'Irdh - Al-Qawamah - Al-Ta'addudiyah - Al- Libas),
(Damaskus: Al-Ahali, 2000). hlm. 372-373.
[5] Kebenaran
yang diperoleh dalam hermeneutika tergantung pada orang yang melakukan
interpretasi, dan "dogma" hermeneutika bersifat luwes sesuai dengan
perkembangan zaman dan sifat open-mindedness-nya. Lihat E.Sumaryono, Hermeneutika;
sebuah metode filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993). hlm.136.
[6] Lihat
Fahmi Salim, "Beda Ta'wil dengan Hermeneutika", dalam
http://www.ikadi.or.id
/index.php?option=com_content&view=article&id=58:beda-ta'wil-dan
hermenetika & catid=43: kajian & Itemid=68 /9.53 a.m /14.03.2010.
[8] Lihat
Ibnu Faris, Mu'jam Maqayis Al-Lughah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979). vol.I
hlm.162 dan Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an,
(Kairo: Dar Al-Hadith, 2006). hlm.416.
[9] ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. QS.An-Nisa'
:59
مَنْ صَامَ الْأَبَدَ فَلَا صَامَ
وَلَا أَفْطَرَ
"Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa,
maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada berbuka" (HR.Nasa'i, kitab Shiyam, bab larangan puasa sepanjang masa,
no.2374 dan Ibnu Majah, kitab Shiyam, bab tentang puasa sepanjang masa no.1705.
hadith ini dishahihkan oleh Al-Albani).
[11] Ibnu
Taimiyah, Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil, (Iskandariyah: Dar
Al-Iman, tt). hlm.30.
.....لَنْ يَجِدُوا مِنْ دُونِهِ
مَوْئِلًا
…yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat
berlindung dari padanya. (QS. Al-Kahfi: 58).
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid
Quba') sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (QS
At-Taubah: 108).
لَا شَرِيكَ لَهُ
وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).
(QS. Al-An'am: 163).
[13] Ar-Raghib
Al-Isfahani, Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Maktabah Nizar Musthafa
Al-Baz, tt). vol I hlm 40 dan Ibnu Taimiyah, Al-Iklil…..hlm.31 dan
[15] Ali bin
Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah,
1988). hlm. 50
[16] Ibnu
Al-Jawzi, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, tahqiq; Mahmud bin Muhammad
As-Sayyid Ad-Dugim (Kairo: Maktabah Matbuli, 1995). hlm 111, cet 1
[17] Abdul
Malik bin Abdullah bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh,
tahqiq; Abdul Azhim Diyb (Fakultas Syari'ah Universitas Qatar, 1399 H). vol I
hlm. 511
[18] Abu Hamid
Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-'Ilmiah, 2008). hlm. 312
[19] Abu
Al-Hasan Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Al-Maktab
Al-Islami, tt). vol.III hlm.53
[21] هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي
تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ
قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ
لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ قَدْ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ
.
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali terlaksananya
kebenaran berita (ta'wil) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran
pemberitaan Al-Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum
itu, "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq,
maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami,
atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang
lain dari yang pernah kami amalkan?." Sungguh mereka telah merugikan diri
mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka
ada-adakan. (QS. Al-A'raf: 53).
[22] HR.
Bukhari, kitab Adzan, bab tasbih dan do'a dalam sujud, no. 871 dan Muslim,
kitab shalat, bab bacaan dalam ruku' dan sujud, no.746
[23] فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ
وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (Maka bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Penerima taubat). QS. An-Nasr: 3
[25] هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي
تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ
قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ
لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ...
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya
kebenaran) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an
itu, berkatalah orang-orang yang melupakannyasebelum itu, "Sesungguhnya
telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami
pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami
dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah
kami amalkan?." (QS. Al-A'raf : 53).
Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.
Demikian itu adalah tujuan (ta'wil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak
dapat sabar terhadapnya.(QS. Al-Kahfi: 82).
[27] وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ
وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi)
dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu. (QS. Yusuf : 6).
Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu,
sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. (QS. Yusuf : 100).
Pembagian ini diambil dari Ibnu
Taimiyah, Al-Iklil…..hlm. 28-30, dan As-Sayyid
Kamal Al-Haidari, Ushul At-Tafsir wa At-Ta'wil; Muqaranah Manhajiyah Baina
Ara' At-Thabathaba'i wa Abraz Al-Mufassirin, (Iran: Dar Faraqid, 2006).
hlm.295.
[33]
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah
Ar-Risalah, 2008). hlm.759
[36] Muhammad
Hadi Ma'rifah (Muhaqqiq), At-Ta'wil fi Mukhtalaf Al-Madzahib wa Al-Ara',
(Teheran: Majma' Al-'Alami li At-Taqrib Baina Madzahib Al-Islamiah, 2006).
hlm.14
[37] Lihat
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan……..hlm.758 dan Abdullah Yusuf Mushthafa
Azzam, Dilalah Al-Kitab wa As-Sunnah min Haith Al-Bayan wa Al-Ijmal Aw
Azh-Zhuhur wa Al-Khafa', Disertasi Doktoral, (Universitas Al-Azhar:
Fakultas Syari'ah dan Hukum, Program Pasca Sarjana, 1993). hlm.447
[44] Lihat Abu
Hamid Al-Ghazali, Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul , (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-'Ilmiah, 2008). hlm. 312 dan Abdul Wahhab
bin Ali As-Subki, Jam'u Al-Jawami' fi Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiah, 2003). hlm.54
[45] عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا
حَرُمَ أَكْلُهَا
Dari Ibnu Abbas Radhiyallah 'anhuma, ia berkata:
seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati,
(hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam lewat lalu
bersabda, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak
dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?",
beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya".
(HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan
disamak, no.542).
[46] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(QS.Al-Jumu'ah: 9).
[47]
HR.Bukhari dalam Shahihnya, kitab zakat bab zakat kambing, no.1362 dan Abu
Dawud dalam sunannya, kitab kitab zakat bab zakat hewan gembala, no.1340,
lafazh hadith di atas milik Abu Dawud dengan matan yang panjang.
[48] Lihat
Kan'an Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil 'Inda Al-Ushuliyin, Tesis
Magister, (Palestina: Jami'ah An-Najah Al-Wathaniyah, 2007). hlm. 30-33 dan
Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm. 12-13
[49] Muhammad
Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil 'Inda Ahl Al-Ilmi, dalam
www.saaid.net/book/7/1253.doc. hlm.11-12
[51] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْن...ِ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki….(QS.Al-Maidah: 6).
عن ابن عمر قال : أسلم غيلان
الثقفي وعنده عشر نسوة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمسك أربعا ، وفارق
سائرهن
Dari Ibnu Umar Radhiyallah 'anhu berkata: Ghailan
Ath-Thaqafi masuk Islam dan ia masih memiliki sepuluh orang istri, kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya, "
pilihlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya". (HR. Ibnu Hibban,
dalam Shahihnya kitab haji bab hidayah, no.4231).
[53]
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُم ْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ.....
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu)
disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu….(QS.Al-Maidah: 106).
[54] Muhammad
Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm.11-12 dan Ibnu Hazm, Al-Ihkam
fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah,
tt). vol.3 hlm. 41
[55] Lihat
Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih Al-Islami, (Dar
Al-Fikr, 1986). vol.1 hlm. 314 dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil
……. hlm.10
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'…..(QS.Al-Baqarah: 228).
[57] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian
untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum digauli) dan lepaskanlah
mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (QS.Al-Ahzab: 49).
[58]حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ....
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala….(QS.Al-Maidah: 3), begitu juga dalam QS.Al-Baqaqrah:173 dan
An-Nahl:115.
[59] قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِير فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ...ٍ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah…(QS.Al-An'am:145).
[60] …..وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka…(QS.An-Nisa':2).
[61] وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُم...ْ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya….. (QS.An-Nisa':6).
[64] Zhahir
adalah adalah lafazh yang memiliki makna lain tapi lemah, seperti kata al-baghi
yang memiliki dua arti yaitu ungkapan untuk orang yang bodoh dan orang yang
zhalim, akan tetapi kata al-baghi kebanyakan diungkapkan untuk orang
yang zhalim.
[65] Muawwal
adalah lafazh yang dipalingkan dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah
karena ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan hal itu.
[66] Dalalah
iqtidha' adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tergantung kepada
sesuatu yang tidak disebutkan, seperti firman Allah QS.Al-Barah:184, "Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau musafir, maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain",
ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka
(…sakit atau musafir lalu ia berbuka, maka…). Karena kewajiban
qadha' hanya berlaku bagi musafir jika ia berbuka dalam perjalanan.
[67] Dalalah
isharah adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tidak tergantung
kepada sesuatu yang tidak disebutkan, tapi lafazh menunjukkan kepada suatu
makna yang tidak dimaksud pada mulanya, seperti firman Allah dalam
QS.Al-Baqarah: 187 yang menunjukkan sahnya puasa orang yang di waktu fajar
masih dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti
membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan jima' hingga fajar
berarti membolehkan junub pada waktu fajar.
[68] Muhammad
bin Umar bin Salim Bazmul, Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Syaikh Al-Islam
Ibnu Taimiyah, (Universitas Islam Madinah Munawwarah, 1424 H). hlm.88
[69] Muhammad
'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiq Al-Haq min Ilm Al-Ushul,
(Riyadh: Dar Al-Fadhilah, 2000). vol. II hlm. 756 dan Wahbah Az-Zuhaili, Ushul
Al-Fiqh........ vol.1 hlm. 314
[71] Definisi zhahir
dan nash menurut ulama ushul berbeda dengan ulama tafsir, begitu pula
dengan urutannya. Menurut ulama ushul, zhahir adalah lafazh yang
maknanya terkandung dalam susunan katanya tanpa ada indikasi makna dari luar,
dan maksud maknanya tidak terdapat di dalamnya. Seperti firman Allah, "Dan
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba", maksud dari makna
lafazh ini tidak terdapat di dalam maknanya yang menyatakan bahwa jual beli
hukumnya halal dan riba hukumnya haram, tetapi maksud ayat ini adalah untuk
membantah orang yang mengatakan bahwa riba itu sama dengan jual beli. Sedangkan
nash adalah lafazh yang maknanya dapat diketahui dengan jelas. Seperti
firman Allah, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya", ayat ini menunjukkan perintah untuk memotong
tangan pencuri. Lihat Ahmad bin Abu Sahl As-Sarkhasi, Ushul As-Sarkhasi,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1993). vol.I hlm. 164
[72]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَيْنِ.....
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki…..(QS.Al-Maidah: 6).
[76] Ugi
Suharto, "Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika", dalam Islamia,
vol. I no.1 Maret 2004. p.52
[77]
.....وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ
آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا
أُولُو الْأَلْبَابِ
Tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS.Ali
Imran: 7).
[84] HR. Ahmad
dalam musnadnya, musnad Ibnu Abbas, no.2274, diriwayatkan juga oleh al-Hakim
dalam Mustadraknya, kitab sahabat, bab Abdullah bin Abbas, no.6340, hadith ini
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.2589.
[85] Lihat
Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Al-Minhah Al-Ilahiyah fi Tahdzib Syarh
Ath-Thahawiyah, (Beirut: Dar Ash-Shahabah, 1995). hlm.78
[86] لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ…. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat (QS. Asy-Syura: 11)
[87] Peryataan
Imam Malik (الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفُ
مَجْهُولٌ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ).
Seperti pernyataan orang sebelumnya Ummu Salamah dan Rabi'ah bin Abu
Abdurrahman (الاستواء معلوم، و الكيف مجهول، و من الله
البيان، و على الرسول البلاغ، و علينا الإيمان). Lihat Ibnu
Taimiyah, Majmu' …….. vol. xxxiii hlm.178
[88] Ali bin
Sulthan Muhammad Al-Qari, Minah Ar-Raudh Al-Azhar fi Syarh Al-Fiqh Al-Akbar,
(Beirut: Dar Al-Basya'ir Al-Islamiah, 1998). hlm.121-123
[96] Muhammad
Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil ……. hlm.9 dan Kan'an
Musthafa Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm. 39
[99] Wahbah
Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqih.......vol.1 hlm. 314 dan Kan'an Musthafa
Sa'id Shatat, At-Ta'wil …….. hlm. 36
[100] Abu Ishaq
Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat.....vol.III hlm. 331, Abdul Malik bin Abdullah
bin Yusuf Al-Juwaini, Al-Burhan.......vol I hlm. 537, dan Muhammad 'Ali
Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul ……… vol II hlm. 759
[101] Ali bin
Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Riyadh: Dar Ash-Shami'i,
2003). vol.III hlm.67
[103] وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra': 36).
[107] Lihat
Muhammad 'Ali Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul .….. vol II hlm. 1027-1032
dan Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Kattani, At-Ta'wil…..hlm.11-12
[1] Dalam Al-Qur'an ada dua macam ayat; muhkamat
dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah
jelas maksud dan maknanya. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan dapat ditentukan arti yang
dimaksud dengan kajian yang mendalam (ta'wil) atau ayat-ayat yang
pengertiannya hanya diketahui oleh Allah, seperti ayat-ayat yang berhubungan
dengan perkara-perkara yang ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat,
surga, neraka dan lain-lain. Termasuk juga huruf -huruf yang terputus (huruf
muqattha'ah) dalam permulaan-permulaan surat Al-Qur'an. Lihat Jalaluddin
As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah,
2008). hlm.425
Tidak ada komentar:
Posting Komentar