Jumat, 21 Oktober 2011


Kata pengantar

Bismillahi wa bihamdihi
            Maha Suci Allah dengan segala KebesaranNya, Maha Mengajarkan dengan keluasan ‘ilmuNya, Maha Menuntun dengan kesempurnaan TeladanNya dan Maha Menentukan dengan mutlak izinNya. Salam kemuliaan atas kehadiran RosulNya Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta orang-oarang yang mengikutinya dengan penuh kecintaan terhadap pengajaran aneka corak ilmu sebagai lambang peradaban yang progresif.
            Makalah ‘Teori Munasabah” ini, disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “Studi ‘Ulumul Quran” bimbingan Dr.’Abdul Mustaqim, MA.g Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus kontribusi kami pribadi dalam rangka ikut mengembangkan khazanah keilmuan dalam dunia Islam. Disamping itu, juga menjadi postulat dalam konteks penelitian lanjutan refetitif progresif pada hari-hari berikutnya sehingga khazanah tersebut tidak mengalami stagnasi pemikiran dalam ilmu keislaman.
            Dalam pada itu, sifat manusiawi yang melekat dalam fitrah saya pribadi, tentu makalah ini masih banyak terdapat ruangan kosong untuk sama-sama kita sempurnakan sehingga makalah ini menjadi makalah yang persfeksionis.
            Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Dosen Pembimbing serta kawan-kawan senior saya yang akan ikut andil dalam rangka verifikasi materi dan hal-hal yang menyangkut pembahasan teori tersebut sekaligus do’a semoga menjadi nilai tambah bagi kita semua di sisiNya Amin..ya Robbal ‘alamin.
Munawir Husni




BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
            Secara lugah al-Quran merupakan tashrifan dari kata dasar qoraa[1] yang berarti membaca[2].  Sedangkan menurut Istilah Al-Quran berarti kalam Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW dengan berkelompok-kelompok sejak tanggal 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran beliau[3]sebagai dusturan wal huda[4]sekaligus mukjizat melalui malaikat Jibril mutawattiran dan menjadi ibadah bagi yang membaca, diawali dengan surat Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas[5]sebagai rohmatan lil-‘alamin[6] dan menjadi kitab penutup dari kitab sebelumnya[7]yang  terpelihara dari segi keautentikan bahasa tanpa tagyir, tazyid, maupun taqsir[8].
Al-Quran merupakan Hujjah (dalil) bagi golongan atheis dan tabyiinan bagi para pentauhid[9]serta ad-Da’watun Nas lil khair. Konskuensinya supaya pesan-pesan yang terdapat padanya diterima secara utuh dan menyeluruh. Adapun kalimat yang kita temukan seolah tidak beraturan adalah untuk untuk mengingatkan manusia bahwa ajaran yang ada di dalam al-Qur’an adalah satu kesatuan yang terpadu yang tidak dapat di pisah-pisahkan. Dan bagi mereka yang tekun mempelajarinya justru akan menemukan keserasian hubungan yang mengagumkan, sehingga kesan yang tadinya terlihat kacau, berubah menjadi kesan yang terangkai indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung dan pangkalnya.
Dalam konteks sistematika penafsiran Al-Quran kita sering berbenturan dengan  intepretasi al-Quran yang dilakukan para orientalis yang sama sekali tidak memiliki ikatan bathin  dengan al-Quran. Bahkan yang lebih mengerikan lagi oreentasi mereka hanyalah menghujat al-Quran seprti yang dilakukan oleh para konsoli Kristen Yahudi Narsani[10]. Mereka hanya melakukan penafsiran secara ilmiah yang  merupakan kebiasaan yang bertolak dari roib dan menyangsingkan sesuatu untuk menemukan kebenara ilmiah. Inilah yang membedakan antara penafsir muslim dengan bukan muslim pada adanya imani yang terpancar di hati sanubari.
Hal yang tidak mengherankan lagi bagi para orientallis barat apabila mereka menganggap penafsiran yang dilakukan serjana Muslim masih bersipat apologetik yang sukar mereka terima. Bahkan para orientalis sama sekali tidak  merasa rikuh bila menyetarakan proses keluarnya dan tersusunya al-Quran dengan kreatif. Mereka beasumsmsi bahwa Nabi Muhammad hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbudaya khusunya budaya Arab yang ia sudah kenal dan ia hayati, sehingga-menurutnya budaya itulah yang mewarnai al-Quran. Sebagai seorang Muslim kita memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai imani al-Quran. Dalam pada itu, tidak mudah begitu saja memisahkan diri dengan nilai tersebut. Memplajari al-Quran bagi seorang muslim tidak hanya semata-mata mencari kebenaran ilmiah, namun lebih dari itu yakni mencari isi kandungan dari rahasia al-Quran.
            Kaitanya dengan ilmu munasabah yang merupakan bagian dari telaah tentang al-Quran,  memiliki peranan penting dalam usaha pencarian makna kebenaran yang tidak lepas dari usah pembuktian keagungan al-Quran sebagai Syaiun ‘Ajaaibun Khowariqun lil ‘adah. Teori munasabah ini asal muassalnya  diperknalkan oleh seorang ulama terkenal pada zamanya al-Imam Abu Bakar an-Naisaburi atau ada yang mengatakan Abu Bakar Abdullah ibn Muhammad Ziyad an-Naisaburi seperti yang diungkapkan az-Zarkasyi dalam al-Burhanya[11].        Namun pada itu, kita tidak bisa pungkiri bahwa teori munasabah ini merupakan ranah ijtihad bersifat ijtihadi. Hingga kita akan menemukan beberapa bagian yang saling berkaitan sama lainya. Seperti yang di ungkapkan Prof. Dr. H. Rahmat Syafii, bahwa teori munasabah ijtihadi ini memiliki gejala gejala yang terdapat dalam munasabah itu sendiri seperti: hubungan logis yang dapat diterima dan hubungan logis bagi masing-masing ahli[12]. Beliau menambahkan “…yang pada akhirnya timbul dua aliran antara yang mengatakan semua surat memiliki hubungan dan tidak semua surat memiliki hubungan..”[13]
            Berdasrkan esai di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih dalam munasabah lintas surat atau ayat dan kami kemukakan beberapa contoh sebagai perwakilan dari contoh yang lain yang terdapat dalam al-Quran
2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat kami tautkan sesuai dengan esai di atas adalah
1.      Apa pengertian Munasabah ?
2.      Asumsi dasar mengenai munasabah
3.      Bagaiman cara mengetahui kolerasi (munasabah) yang ada antar masing-masing sektor ?
4.      Menyebutkan macam-macam serta kategori munasabah
5.      Bagaimana aplkasinya terhadap penafsiran Al-Quran ?

3.      Tjuan Penulisan
            Merujuk problematika penafsiran al-Quran dan memandang penting untuk kaji, maka penulisan ini semata-mata ingin tahu lebih dalam lagi mengenai rahasia-rahasia yang terdapat dalam al-Quran beserta epistemologinya wabil kuhusus ‘anil Munasabatil Quran wa ma fiha, serta aplikasinya dengan penafsiran al-Quran.

 
BAB II
Pembahasan
A.    TA’RIF DAN PERMASALAHANYA
Secara etimologi Munasabah berarti kesingkronan[14], Musyabahah[15], kecocokan dan keselarasan[16], serta kedekatan[17]atau muqorrobah(mendekati)[18],bahkan juga bisa berarti musyakalat(kemiripan)[19]. Sedangkan dalam pengertian terminologinya terdapat keragaman kalimat dalam maksud yang sama.
Dibawah ini kami paparkan beberapa pendapat para ‘ulama, terminologis dari munasabah tersebut.
1.      az-Zarkasyi: Munasabah adalah sesuatu yang menyangkut interpretasi aqli,dan akan diterima oleh akal tersebut apabila disampaikan berdasarkan akal pula[20]
2.      Manna’ Alqattan; Munasabah adalah segi hubungan antar kalimat dalam satu ayat, antar ayat dalam beberapa ayat dan antar surat[21]
3.      As-Suyuthin: munasabah adalah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun antar surat.[22]
4.      Ibnu al-‘Arabi: Munasabah adalah keterikantan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi[23]
5.      Al-Biqa’I; munasabah adalah ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik formasi atau tartib bagian-bagian ayat atau surat yang terdapat dalam Al-Qur’an.[24]
6.      Muhammad  Quraisy Shihab: munasabah sebagai kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an[25]

             Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa munasabah merupakan sebuah teori dalam konteks penafsiran untuk menemukan sisi relevansi serta kemut’alakan yang merupakan  satu kesatuan yang utuh baik antara ayat dengan ayat[26] yang lain, surat dengan surat[27] yang lain dalam rangka mewujudkan keterpaduan pesan-pesan al-Quran secara integral sehingga tidak lagi ditemukanya paradoks antar dan interma’na kalimat, ayat maupun surat. Dan itulah sebaik-baik perkataan(bagian satu berkaitan dengan bagian yang lain)sebagiaman ditegaskan az-Zarkasyi[28]
B.     Asumsi Dasar
            Hal yang menjadi postulat dalam konteks munasabatul Qur’an adalah
1.       Tartibut Taufiqiy.
             yakni formasi dan tartib ayat dalam satu surat merupakan keputusan Rosul berdasarkan petunjuk wahyu. Inilah yang diakui ‘ulama’ Salaf maupun Khalaf[29], bahawasanya La Majala lirro’yi wal Ijtihadi fih[30]. Ketauqifiayan tartib ayat ini terbukti kuat dengan adanya beberapa hadits pun hadits yang menunjukkan fadilah beberapa ayat dari surat tertentu, baik yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhariy, Muslim,[31]. Disamping itu praktik Nabi dalam keseharianya membaca sejumlah surat secara tartibil ayah dalam sholat, pengulangan dan pemeriksaan Jibril sekali setiap tahun pada bulan Romadhan dan diakhir kehidupan beliau sebanyak dua kali, serta sikap dan komentar para sahabat yang menyikapi ayat nasikh mansukh[32], dan qiroaatnya Nabi di hadapan sahabat, seperti yang dikatakn as-Sayuti “…menjadi bukti atas ketartiban ayat secara taufiqi…”[33]. Adapun tartib surat dalam pandangan‘ulama’terdapat ikhtilaf sehingga terbagi menjadi dua; sebagian mengatakan taufiqi dan sebagian yang lain ijtihadi[34].






2.      I’jazul Quran.
            yakni al-Quran sebagai mu’jizat ‘Ammah[35]. I’jaz yang bearti ad-Do’fu[36], Itsbatul-‘ajzi anil ityan[37], dan amrun Khoriqun lil ‘adah[38], merupakan mu’jizat Ruhiyatun Aqliyatun bagi Muhammad SAW[39] serta memiliki kandungan nilai dalam satu kesatuan yang saling terkait secara utuh dan integral hingga tidak terdapat pardoksal dari segala aspeks dalam konteks penguraian makna. ‘Ijazul Quran ini terbukti dari beberapa asppek kemu’jizatan itu baik bil balaghah, bil badi’, bil mughayyibat, bitanwi’I ‘Ilmi wal Hikamah fih atu bish Shirfah[40]serta ketidak mampuan seluruh makhluk untuk membuatnya walau satu ayat[41]. Kerelevansian retorika semantik al-Quran sistemik ini, menjadi barometer kuat eksistensi munasabatul Quran. Namun demikian, sifat taufiqy yang ada pada tartib,’Ijaz ini, tidak mengisyaratkan bahwa munasabah itu juga tauqifi, akan tetapi Ijtihadi. Dan sebagai konsekuensi logisnya adalah ada dan kadang tidak ada ditemukanya munasabah dari masing-masing sub, dikarnakan Annal qurana Unzila ‘alan Nabi Mufarriqon la fi Lailatin Wahidatin[42] 

C.    CARA MENGETAHUI MUNASABAH
            Mencari munasabah al-Quran, merujuk pada sifat kemunasabahan itu sendiri yakni sifat Jaliy baik dalam bentuk tafsir, tasydid, I’tirod dan Khaffiy baik ada tidaknya Ma’thufiyah[43]. Contoh Jaliy dapat kita lihat pada surat al-Isro' antara ayat 1 dan 2. Ayat pertama membahas Isro’nya Nabi Muhammad, sedangkan yang kedua diturunkanya kitab Taurat pada Nabi Musa. Korelasi Jaliynya adalah diutusnya 2 orang Rosul.
             Sedangkan contoh khofi hubunganya dengan Ma’thufiyah yang dapat diteliti melalui susunan Mudhodah, Istithrod, Takhollush, atau Tamtsil[44] bias kita lihat dalam surat an-Nur;35. Surat ini adalah contoh yang ‘athfiyah melalui Takhollush(melepaskan satu kata ke kata yang lain, tapi kolerasinya masih ada). Dalam ayat ini terdapat 5 Takhollush yaitu;1.[النور] (dengan perumpamaanya)di takhollush ke[الزجاجة]  dengan menyebut sifatnya. 2.Menyebut [النور] dan [الزجاجة] ditakhollush dengan menyebut [الشجارة]3.Dari [الشجارة] ditakhollush dengan menyebut sifat zaitun.4.Sifat[زيتونة]ditakhollush ke sifat[النور].5.Dari sifat [النور]ditakhollush ke ni’mat Allah berupa hidayah liman Yasya’ahu.[45]
            Diantara hal-hal yang perlu kita perhatikan dalam konteks mencari tau munasabah adalah:
1.      Mengetahui susunan kalimat dan ma’nanya
            Terlebih dahulu mencari tahu ada tidaknya atfiyyah yang mengaitkannya dan adakah satu bagian merupakan taqwiyyah, tabyin, atau sebagai tabdil bagi ayat yang lain. Ini sesuai dengan penjelasan as-Sayuti dalam al-Itqonya. Seperti yang terlihat dalam surat[ al-Hadid.57:2,3,4] dll.
uqèd ãA¨rF{$# ãÅzFy$#ur ãÎg»©à9$#ur ß`ÏÛ$t7ø9$#ur ( uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÌÈ  
            Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
            Disini terdapat harful athfiyya sebanyak 4 kali sebagai taqwiyyah eksistensi Allah.
2.      Mengetahui asbabun nuzul.
            Dalam arti mengetahui sebab-sebab turunya satu tema pristiwa dalam sebuah surat dengan tema yang sama pada surat yang lainnya. Dan kesamaan teme peeristiwa bisa kita ketahui dari latar belakang turunya suatu ayat.
3.      Mengetahui tema yang dibicarakan
            Ukuran wajar tidaknya korelasi antar ayat dan antar surat dapat diketahui dari tingkat kemiripan atu kesamaan maudu’itu sendiri. Jika antar ayat atau surat dengan ayat atau surat lainya terdapat persesuaian serta memiliki keterkaitan sama lainya, maka persesuaian itu masuk akal dan dapat diterima. Tetapi, kalau demikian itu berbeda, maka sudah tentu tidak ada munasabah antara ayat-ayat dan surat-surat itu. Demikian yang ditegaskan Subhi as-Sholeh
 
D.    MACAM-MACAM MUNASABAH
            Merujuk pada esai di atas, munasabatul Quran terklasifikasi menjadi dua bagian utama yaitu munasabtul Quran bainal ayah wa baina as-Surah yaitu:
1.      Munasabah antar ayat terdiri dari
a.       Hubungan antar kalimat dalam satu ayat
b.      Hubungan antar ayat dalam satu surat
c.       Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayat tersebut
2.      Munasabah antar surat yang meliputi
a.       Hubungan awal uraian surat dengan dengan akhir uraian surat dalam satu surat
b.      Hubungan nama surat dengan tujuan turunya
c.       Hubungan suatu surat dengan surat sebelumnya
d.      Hubungan  penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya  
e.       Hubungan Fawatih surat dengan Khawatim surat
Berikut contoh dari masing-masing munasabah.
1.      Kolerasi antar ayat
a.       Antar kalimat dalam ayat
            Dalam uraian ini kami akan menampilkan bagian dari contoh munasabah khoffiy dengan beberapa metodenya baik yang ma’thufiyah maupun goiru ma’thufiyyah.
1)      Ma’thufiyyah
Ayat-ayat ma’thufiyah dapat diteliti dengan metode sbb:
a)      Metode mudhodah :melihat kata dalam konteks antonym.seperti الحق dan الباطل.[al-Baqoroh.2:42]. الدنيا dan الاخرة [an-Nisa’.4:74]. الجنة  dan النارز.[al-Maidah.5:72] dll.
b)      Metode Istithrod : pindah kekata yang lain yang ada hubunganya atau sebagai penjelasan lebih lanjut. Seperti لباس التقوى yang muta’allaqohnya dari pakaian hissiyah pada kalimat sebelumnya[al-A’rof.7:26]
c)      Metode Takhollush:melepaskan kata satu ke kata yang lain tetapi masih berkaitan. Ini bisa kita lihat dalam[al-Balad.90:8-10] atau [an-Nur.24:35],dll. Atau sebagai pembangkit semangat dan perasaan bagi pembaca atau pendengar yang dipisah oleh lafal “hadza”[46].seperti surat [Shod.38:49]..هذا ذكر وان للمتقين لحسن ماب..
d)     Methode Tamtsil dari keadaan:Seperti kasus kaum Anshor memiliki kebiasaan memasuki rumah lewat belakang. Ini perumpamaan mereka yang suka membolak balikkan pertanyaan padahal itu tidak baik.[al-Baqoroh.2:189] atau [al-Isro’.17:1dengan 2dan3].
2)      Ghoirul Ma’thuf. Dengan mencari hubungan ma’nawiyyahnya melalui beberapa metode sbb:
a)      Metodo Tandzir. Melihat kata yang berdampingan serupa. seperti surat[al-anfal:4 dan 5]
7Í´¯»s9'ré& ãNèd tbqãZÏB÷sßJø9$# $y)ym 4 öNçl°; ìM»y_uyŠ yYÏã óOÎgÎn/u ×otÏÿøótBur ×-øÍur ÒOƒÌŸ2 ÇÍÈ   !$yJx. y7y_t÷zr& y7/u .`ÏB y7ÏG÷t/ Èd,ysø9$$Î/ ¨bÎ)ur $Z)ƒÌsù z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# tbqèd̍»s3s9 ÇÎÈ  
"Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia[4]”sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, Padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya[5]

Munasabah ini terlihat dari jiwa kalimat itu. Yang ma’nanya..perintah Allah atas harta rampasan seperti yang telah mereka lakukan pada perang Badar walau diantara mereka ada yang tidak senang terhadap cara itu. Motif penurunan ayat ini agar kaum Nabi Muhammad mengingat nikmat yang telah diberikan Allah. Hal ini dapat dilihat dari pungsiك sebagai sifat fiil mudmar

b)      Metode Istithrod : pindah kekata yang lain yang ada hubunganya atau sebagai penjelasan lebih lanjut.
c)      Metode mudhodah (perlawanan).dapat kita lihat dalam[al-Baqoroh.2:5dan6]
y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ   ¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. íä!#uqy óOÎgøŠn=tæ öNßgs?öxRr&uä ÷Pr& öNs9 öNèdöÉZè? Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÏÈ  
"mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung[5] Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman[6]”

Munasabah mudhodahnya terletak pada dua uraian ayat yang berbeda. Ayat 5 mengenai orang-orang yang memperoleh pentunjuk dan kemenangan dan ayat 6 sebaliknya.[47]




b.      Antar ayat dalam satu surat
            Seperti yang kita lihat dalam [al-Fathihah.1:1-7], keseluruhan ayat mengandung Ilahiyyah, Nubuwwat,Qodar,Itsbatul-qodo’,dan Mi’ad yang dapat dipetik dari masing-masing ayat.
c.       Hubungan antara penutup ayat dengan kandungan
Ya’ni munasabah pada pokok pembicaraan dengan penutup surat yang meliputi;
a.      Al-Ighal:kalimat yang menjadi keterangan tambahan terhadap kandungan ayat yang suda ada sebelum fashilah [48].seperti surat [an-Naml.27:80]. Kandungan ayat di atas sudah sempurna sampai kata “ad-Du’a”.Kemudia ditambahkan kalimat berikutnya sebagai penyempurna dengan fashilah sebelumnya.

b.      Tausikh: Tersiratnya kandungan Fashilah ayat pada rangkaian kalimat sebelumnya dalam satu ayat.  Dan jiwa kalimat itu menunjukkan fashilah ayat. Fashilah tersebut dapat diketahui sebelum kata itu disebut. Misalnya [Ali Imron.3:33][49]
 ¨bÎ) ©!$# #s"sÜô¹$# tPyŠ#uä %[nqçRur tA#uäur zOŠÏdºtö/Î) tA#uäur tbºtôJÏã n?tã tûüÏJn=»yèø9$# ÇÌÌÈ  
"Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)"[33]

Penyebutan Nama-nama Nabi dan keluarganya sebagai isyarat atas plihan Allah sebagai Nabi yang berasal dari dunia juga bukan dari luar dunia. Juga bisa kita lihat dalam [al-Baqoroh.2:109, 115] dll.

2.      Munasabah antar surat
1.      Hubungan antara uraian awal dengan uraian akhir surat dalam satu surat.
Hal ini dapat kita lihat dalam keterangan surat [al-Mukminu.23:1-11 dengan 115-118]. Munasabah ini terdapat pada dua uraian yang bertolak belakang. Uraian pertama mengandung keberuntungan bagi kaum mukminin yang ditandai dengan pernyataan “hipotetik”[50] [قد أفلح المومنون  ]sedangkan uraian kedua kemalangan orang kafir dengan pernyataan [الكافرون لايفاح].

2.      Hubungan nama surat dengan tujuan turunya.
Selain munasabahnya dengan motif turunya surat, juga terdapat kolerasi ma’na antar nama surat itu sendiri baik sesudah maupun sebelumnya[51]. Kaitanya dengan tujuan turunya surat dapat kita ketahui melaui dua pendekatan; pendekatan riwayah dan pendekatan ro’yu[52]. Diantaranya surat[an-Nahl.16]. Berdasarkan riwayat dari ibn Mas’ud, Abi Hurairoh, dan ibn ‘Abbas. Ibn ‘abbas meriwayatkan bahwa orang kafir itu sejelek-jelek makhluk melata. Abu Hurairoh meriwayatkan bahwa perbuatan orang zalim itu tidak memudaratkan kecuali kepada dirinya sendiri. Lalu Allah menurunkan surat[an-Nahl.16:67-69] sebagai ibrah bagi manusia untuk menjadi orang yang berguna seperti lebah serta tidak jatuh kelembah kehinaan[53]. Adapun munasabah melalui ro’yu.Mitsalnya[al-Kahfi.18]. Penamaan surat ini karna terdapat kisah Ashabul Kahfi. Cerita ini turun setelah ada pernyataan orang musyrik tentang keterlambatan turunya wahyu, selama 15 malam[54]. Ibrah kisah ini menjelaskan kebesaran Allah dan Allah tidak memutuskan ni’matNya kepaa Muhammad dan kaum Muslimin bahkan Allah melengkapinya dengan ni’mat al-Quran. Sedangkan antar nama surat itu sendiri bisa kita lihat pada[al-mukminun.23.an-Nur.24 dan al-Furqon.25]. Analoginya seperti ini, pada hakikatnya orang yang beriman[al-Mukminun] hidup di bawah naungan cahaya[an-Nur] untuk menerangi lahir bathiinnya. Dengan demikian, ia dapat membedakan[al-Furqon] antara yang haq dan yang bathil atau huda dan dholal.{untuk yang ini, bisa benar dan bisa salah}

3.       Hubungan antara surat dengan surat sebelumnya dan sesudahnya.
Sebagian ‘Ulama meyakini bahwa antar surat memiliki kaitan pasti dengan surat sebelumnya. Demikian yang dikatakan as-Sayuti[55]. Misalnya hubungan kausalitas antara[al-Quraisy.106]dengan[al-Fil.105]. Karna kebinasaan “tentara gajah”, maka orang Quraisyi dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan panas[56]. Atau kesamaan konteks surat, sepert [an-Naba.78]dengan[an-Nazia’at.79], sama-sama menerangkan huru-hara yang akan terjadi pada hari kiamat dan hari kebangkitan[57]
4.      Hubungan penutup surat dengan awal surat berikutnya
Seperti penutup surat [yunus.10:109] والتبع ما يوحى أليك..... mengenai perintah ittiba’ terhadap kitab yang Allah wahyukan. Berkaitan dengan awal surat [hud.11:109]آلر.كتاب أَحكمت اياته ثم فصلت mengenai pernyataan Allah bahwa alKitab itu tersusun rapi dan terperinci.


E.     APLIKASINYA DALAM PENAFSSIRAN AL-QURAN
            Kalaulah Asbabun Nuzul memiliki influintik fi fahmil Quran sekaligus merupakan teori utama dalam konteks pemahaman[58], maka Munsabatul Quran juga membantu dalam menginterpretasi dan mena’wilkan ayat dengan baik dan cermat[59]. Dalam hal ini, kita bisa melihat fenomena interpretasi kalangan ‘ulama memiiki keragaman dalam konteks menguraikan terlebih dahulu asbabun nuzul baru penafsiran atau penafsira dulu dengan mengemukakan munasabatul ayah baru asbabun nuzul bahkan ada yang bertanya-tanya. Hal ini menunjukkan keserasian yang erat antara ayat yang satu dengan yang lain[60]. Ditambah lagi dengan ungkapan Syeikh az-Zarkasyi bahwa: إن لم يتوقف على ذالك {سبب النزول}فالاولى تقديم وجه المناسبة"kalau sebab turun tidak bisa dijadikan pedoman,maka lebih utama adalah mengemukakan sisi munasabahnya”[61]
1.      Tafsir [والفجر وليال عشر].(al-Fajr.84:1-2).
Dalam konteks interpretasi, sebagian ‘Ulama mengartikan[ وليال عشر ]adalah malam yang sepuluh pada malam-malam tertentu sebagaimana [والفج] fajar tertentu seperti awa tahun hijriyah atau tanggal 10 zulhijjah dsb. Namun, fenomena  yang ada tidak mendukung realita tersebut, bahwa fajar itu mengusik malamnya  setiap hari, pun malam yang 10 terjadi pada tiap bulan mengusik malam dengan cahaya bulanya. Muhammad Abduh menambahkan, bila ayat tersebut terikat dengan waktu tertentu, pasti kata tersebut digandeng denan sifat yang mentakhsis maushuf itu sendiri seperti kata Yaumul Qiyamah, Yaumul hisab, Yaumul Akhir, Yaumud Din, Lailatul Qodr dsb,[62]tapi, bila hari atau waktu tidak ditentukan sifat atau cirri-cirinya maka kalimat tersebut bima’na ‘amm. Melalui pendekatan munasabah,tafsiran ayat tersebut kita akan temukan keserasian antara ayat satu dengan yang keduanya dan singkron dengan realita. Bahwa[والفج] bima’na ‘amm yang hadir setiap hari, pun dengan [ وليال عشر ] pada tiap bulanya memiliki keserasian yakni sama-sama mengusik gelapnya malam walau berbeda kafasitas, sehingga keserasian ayat itu utuh dan integral.[63]

2.      Tafsirul Iblis[al-Baqoroh.2:34], [al-Isro’.17:61-62], [al-Kahfi.18:50-51]
Sepintas kita baca [QS.2:34] yang hanya menuturkan satu-satunya makhluk yang arogan, angkuh tidak mau bersujud ketika hamba yang lainya tunduk fatuh yakni Iblis itu sendiri, melahirkan beberapa pertanyaan sebagai eksistensi rasa ingin tahu. Kenapa tidak mau bersujud, iblis itu sejenis apa, malaikat atau sebangsa Jin dan konsekuensi logisnya terhada status abadinya dll. Ini karna tidak dijelaskan pada ayat berikutnya. Dengan demikian, melalui pendekatan munasabah,jawaban-jawaban itu kita akan temukan secara serasi sesuai pungsi munasabah itu sendiri.
[QS.2:34] memiliki kolerasai yang erat dengan[QS.17:61-62] yang disebut dengan munasabatul ayah baina surartil akhar. Dan pada saat yang sama, sebagai jawaban sekaligus tabyin dari pertanyaan tadi dengan kalimat[قال ءأسجد لمن خلقت طينا  ].Kemudian sebagai konsekuensinya Iblis membuat pernyataan atas izinNya untuk menyesatkan sebagian besar keturunan Adam [لإن أخر تن إلى يوم القيامة لأحتنكنَّ ذرّيَّته إلا قليلا ].   
Kemudian [QS.2:34], [QS.17:61-62], juga memilki hubungan yang tidak bisa dipisahkan, karna ia akan mempertemukan tafsirul iblis tadi sekaligus tabyinul itsbat Allah untuk tidak menjadikannya sebagai pemimpin selain Allah, karna iblis adalah sejelek-jelek pemimipin, yakni [QS.18:50-51]yang menuturtkan bahwa iblis itu sebangsa Jin sebagai jawaban dari pertanyaan tadi,sesuai dengan ayat lanjutanya[كان من الجنِّ ففسق عن أمر ربِّه أفتتخذونه وزرَّته أوليآء من دوني وهم لكم عدُوٌّ بئس للظالمين بدلا] Dengan demikian terjadilah keserasian antar ayat lintas surat tadi yang menjadi satu kesatuan yang utuh dan integral.


BAB III.

A.    KESIMPULAN
            Dari esai-easai di atas, kami dapat menyimpulkan beberapa pernyataan penting beserta mamfaatnya sekaligus sebagai epilog yang dapat kami jadikan postulat untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi serta siginifikansinya dalam konteks interpretasi baik secara diakronik maupun singkronik sebagai berikut :
a.       Al-Quran sebagai Masodirul ‘Ulum wad Daros wal mu’ashshoroh sekaligus mitra dialog dalam mengungkap ma’na merupakan bukti terkuat terhadap eksistensi autentisitas yang aksiomatik bagi para pembacanya termasuk kita
b.      Dalam al-Quran, terdapat dua macam yang signifikan dan halus yaitu tartibul ayah dan kolerasi antar ayat itu sendiri dan dari kehalusanya itulah ditemukanya semantik terindah dari bahasa yang ada.
c.       Eksistensi munasabah dalam konteks interpretasi serta sifatnya yang ijtihadi ma’quliy telah melahirkan aneka komentar yang bersebrangan namun berakhir pada sebuah kesepakatan “peringatan” untuk berhati-hati dalam menghubungkan ayat atau surat.
d.      Terlepas dari aneka ragam komentar ulama, munasabah telah menawarkan sejuta jawaban sebagai alternatif dari pendekatan-pendekatan yang ada semisal Asbabun Nuzul.
e.       Secara defenitif, munasbah tidak hanya diartikan dalam arti yang sejajar atau parallel, namun kontradiksipun menjadi bagian dari kosentrasi munasabah. Disamping itu,  munasabah memuat antara ‘amm dan khos, abstark dan kongkrit, hubungan kausalitas, rasional dengan irrasional, serta illat dan ma’lulnya.
f.       Munasabah adalah ilmu terapan yang bisa diaplikasikan dalam segala apsek dengan ketentuan serta syarat yang mendukungnya.
g.      Karna keijtihadiannya itu, munasabah sebagai produk manusia dalam konteks teori memiliki keterbatasan pada ayat-ayat tertentu, kenyataanya ada beberapa ayat yang tidak memiliki kolerasi erat tanfa harus memaksakan diri untuk mempertemukanya.
h.      Munasabah tidak hanya terikat antar maupun interayat dalam satu atau lintas surat, juga antar maupun intersurat, antar kandungan baik permulaan ataupun penutupan dengan sebelum maupun sesudahnya, tetapai, kolerasinya juga terdapat antar nama surat itu sendiri.(namun ini bisa benar juga bisa salah seiring ada tidaknya pendekatan-pendekatan sebagai pendukung dalam konteks munasabah)
i.        Munasabah al-Quran dapat membantu bagi pembacanya untuk menafsirkan, serta memahami keindahan ma’na karna kerapian ayat-ayatnya. Dengan demikian, dapat memudahkan kita dalam konteks istimbatul hukmi atau ma’na-ma’na terselubung yang terkandung di dalamnya. Selain itu, manusia dalam konteks komunikasi bisa menjadi rujukan untuk dijadikan sebagai lingua franca

 
B.     SARAN-SARAN
            Munasabah sebagai ilmu terapan yang bersifat ijitihadiy merupakan produk manusia yang tidak lepas dari kekeliruan, karna menyangkut epistemology. Namun demikian, eksistensinya patut kita posisikan sebagai salah satu instrumen pendukung dalam konteks iterpretasi. Peringatan para Ulama cukup menjadi postulat untuk kita tindak lanjuti sejauhmana signifikansinya dalam mempertemukan maksud-maksud dari ayat atau surat baik inter maupun lintas. Dengan demikian, kita tidak semudah dan segampang yang kita kira dapat menemukan kolerasi senaknya saja tanfa menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai pendukung baik dengan metodo riwayah maupun ro’yu.
            Esai-esai ini dapat kita jadikan bahan pelengkap untuk pengkajian lebih lajut, melihat keterbatasan akal manusia yang bisa saja mengalami kesalahan dalam berbagai hal apalagi dalam hal pemikiran.

 
Daftar Pustaka

1.         Abduh, Syekh Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma,(Kairo:al-Manar,1329.H)
2.         Abdurrahman, Muhammad, Mu’jizatun wa ‘Ajibun (Bairut Libanon:Darul Fikri,1995)
3.         al-‘Azmi,Muhammad,The Histori of the Quranic Teks from relevation to compilation,terj.sejarah teks al-Qu (digital book)
4.         Al-Baqilani, aI-I’jazul Quran (t.tp:tnp)
5.         al-Husain, Syeikh Khalaf Muhammad, al-Quran Yuqowwimul ‘Aqla wan Nafsa wal Lisan,terj. Luruskanalah Akal,Jiwa dan Lisan anda dengan al-Quran, (Jakarta:Mustaqim,cet.I.2002)
6.         al-Kholaf, Abdul Wahhab, Ilmul Usulil Fiqhiyyah,(Kuwait:Darul Qolam,1977)
7.         al-Qottan, Manaa Kholil, mabahatsun fi ‘Ulumil Quran,(Riyadh:Mansyurat al-Ansharul Hadits.t.th),ter.Studi Ilmu-ilmu al-Quran,(Bogor:PT.Pustaka Litera Antarnusa,cet.13.2009)
8.         an-Najdi, Al-‘Ashimi, Usulut Tafsir,(ttp:tnt,t.tp)
9.         as-Shobuni, Ali, at-Tibyan fi ‘Ulumil Quran, (Jakarta:Darul Ihya’,cet.I 2003)
10.     as-Sholeh, Subhi, Mabahitsun fi ‘ulumil Quran,(Beurut:Darul Amni lil malayin,1972)
11.     Arobi, Abi Bakar ibn, al-‘tqon,(Maktabah Syamilah)
12.     ‘Arobi, ibn, Sirojul Muridin,(maktabah Syamilah)
13.     Arif, Syamsudin dkk, al-Insan Jurnal Kajian Islam,(Jakarta: LKPA.2005)
14.     as-Suyuti, Jalaluddin, al-Asroru Tartibil Quran,(al-Qahirah:Darul I’tishom,1978)
15.     ________________, al-‘Itqon fi ‘Ulumil Quran,(Beirut:a’lamul Kitab,t.th)
16.     ________________, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul,(Maktabah Syamilah)
17.     az-Zarkasyi, Badruddin Ibn ‘abdullah, al-Burhan fi ‘Ulumil Quran,(Beirut:Darul Ma’rifah lit Tibaah wan Nasyr.1972)
18.     Az-Zarqoni, Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Quran,(Bairut Libanon:Darul Kutub ‘ilmiyyah,cet 1.2003)
19.     Bik, Hudari, Tarikh Tasyri’ al-Islam, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri, sejarah pembinaan hukum Islam, (Semarang:Darul Ihya’)
20.     Kajian, Lembaga, Tafsirul ‘Usyril akhir,(t.tp:Maktabah Da’wah,cet.I.1429.H)
21.     Khirzin, Muhammad, al-Quran dan ‘Ulumul Quran,(Yogyakarta:Dana Bakti Prima Yasa,1998)
22.     Sa’ad, Mahmud Taufiq Muhammad, aI-I’jazul Quranul Karim bish-shorfati Dirosati Naqidah,(t.tp:t.np)
23.     Syafii, Rahmat, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia,cet 1.2006)
24.     Syarqowi, Ahmad, Mauqifusy Syaukani fi Tafsirihi minal-Munasabat,(Maktabah Syamilah)
25.      Shihab, Muhammda Qurais, Sejarah dan ‘Ulumul Quran,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2001)
26.     Sholeh dkk, Asbabun Nuzul.latar belakang historis turunya ayat-ayat al-Quran,(Bandung:CV.Penerbit Diponogoro,cet.10.2009)
27.     Usman, ‘Ulumul Quran,(Yogyakarta:Sukses Offset,cet.I.2009)
28.     Utsmaini, Syaikh Muhammad ibn Sholeh,Tafsirul Quranil Karim, (ttp:tnp)  


[1] .Qoroa merupakan fiil madi yang berarti membaca yang selanjutnya menjadi tasrifan Quran yang berarti bacaan.lihat kitab al-I’rab bab Fiil.
[2]. Syaikh Muhammad ibn Sholeh Utsmaini, Tafsirul Quranil Karim, (ttp:tp) juz 1.
[3]. Hudari Bik, Tarikh Tsyri’ al-Islam, diterjemahkan oleh Muhammad Zuhri, sejarah pembinaan hukum Islam, (Semarang:Darul Ihya’)hlm. 5
[4]. Abdul Wahhab al-Kholaf, ‘Ilmul Usulil Fiqhiyyah(Kuwait:Darul Qolam,1977),hlm.17
[5]. Ali as-Shobuni, at-Tibyan fi ‘Ulumil Quran, (Jakarta:Darul Ihya’,cet.I 2003),hlm.8
[6]. Muhammad Abdurrahman, Mu’jizatun wa ‘Ajibun’ (Bairut Libanon:Darul Fikri,1995),hlm.13
[7]. Muhammad Abdul Adzim az-Zarqoni,Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Quran, (Bairut Libanon:Darul Kutub ‘ilmiyyah,cet 1.2003)hlm.5   
[8].  M.M.al-;Azmi,The History of the  Qura’nic Text,from relevation to compilation,terj.sejarah teks al-Quran(digital book)
[9]. Syeikh Khalaf Muhammad al-Husain, al-Quran Yuqowwimul ‘Aqla wan Nafsa wal Lisan,terj. Luruskanalah Akal,Jiwa dan Lisan anda dengan al-Quran, (Jakarta:Mustaqim,cet.I.2002),hlm.69
[10]. Syamsudin ‘arif dkk,  al-Insan Jurnal Kajian Islam,(Jakarta: LKPA.2005),hlm.9
[11].  Ibn ‘abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumil Quran.(al-Qohirah:Isa al-Bab al-Halaby1957),hlm 36
[12]. Rahmat Syafii, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia,cet 1.2006),lm.36
[13].  Ibid,hlm.36
[14]. Muhammad Khirzin,al-Quran dan ‘Ulumul Quran,(Yogyakarta:Dana Bakti Prima Yasa,1998),hlm.50
[15]. Ahmad Syarqowi, Mauqifusy Syaukani fi Tafsirihi minal-Munasabat,(Maktabah Syamilah)
[16]. Abi Bakar ibn Arobi,al-‘tqon(Maktabah Syamilah),II:108
[17] .Manaa al-Qottan,mabahatsun fi ‘Ulumil Quran,(Riyadh:Mansyurat al-Ansharul Hadits.t.th),ter.Studi Ilmu-ilmu al-Quran(Bogor:PT.Pustaka Litera Antarnusa,cet.13.2009),hlm.137
[18].  Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumil Quran,(Beirut;Darul Ma’rifah lit Tibaah wan Nasyr.1972),hlm.35-36
[19].  Jalaluddin as-Suyuti, al-‘Itqon fi ‘ulumil Quran,(Beirut:a’lamul Kitab,t.th)
[20]. Az-Zarkasyi,Ibid, hlm.138
[21].  Al-Qottan,ibid,hlm.138
[22]. as-Sayuti, Ibid, hlm.
[23]. Ibnu ‘Arobi,Sirojul Muridin(maktabah Syamilah)
[24]. Burhanuddin al-Biqoi,Nadzmud Duror fi Tanasubil Ayah was Shuar,(Maktabah Syamilah)
[25].Muhammad Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan ‘Ulumul Quran,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2001)
[26]. yang meliputi kalimat dengan kalimat inter ayat, ayat dengan ayat dalam satu surat, hubungan penutup ayat dengan kandunganya .
[27].baik awal uraian surat dengan akhir uraian surat, nama surat dengan tujuan turunya, surat dengan surat sebelumnya atau penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya.
[28]. Az-Zarkasyi,Ibid,hlm.36
[29]. Manna khalil al-Qottan,Mabahitsun fi ‘Ulumil Quran, (Riyad:al-Mansyurat,cet3.1973.terj.Studi ‘ilmu-ilmu al-Quran,Jakarta:PT.Pustaka Lentera Nusa,cet 13.2009).hlm.205-206
[30]. Az-Zarqoni,Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Quran ,hlm.192
[31]. Ibid,hlm.206
[32]. Ibid,hlm.206-207
[33]. As-Sayuti,al-‘Itqon fi ‘Ulumil Quran,hlm.61
[34]. Ibid,hlm.209-2012
 [35]. Al-Baqilani,aI-I’jazul Quran (t.tp:tnp),hlm.1
[36]. Mahmud Taufiq Muhammad Sa’ad,aI-jazul Quranul Karim bish-shorfati Dirosati Naqidah(t.tp:t.np),hlm.3
[37]. Az-Zarqoni,Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Quran,hlm.459
[38]. Al-‘Ashimi an-Najdi,Usulut Tafsir,(ttp:tnt,t.tp),hlm.5
[39]. As-Shobuni,Ibid ,hlm.90
[40]. Manna’ al-Qottan, Ibid,.terj.hlm.374-377
[41]. Az-Zarqoni, Ibid, ,hlm.460
[42]. Ibid,hlm.31
[43]. H.Rahmat,Ibid,hlm.39
[44].Ibid,hlm.39-41
      [45].Ibid,hlm.40-41
      [46]. Usman, ‘Ulumul Quran,(Yogyakarta:Sukses Offset,cet.I.2009),hlm.185
      [47]. Ibid,hlm.183
      [48].az-Zarkasyi,Ibid,hlm.96-97
      [49]. Ibid,hlm.95-96
      [50]. Rachmat Syafi’i,ibid,hlm.48
      [51]. Usman,ibid ,hlm.188
      [52]. Rachmat Syafi’i,ibid,hlm.49
      [53].Ibid,hlm.49-50
      [54]. Q.Sholeh dkk,Asbabun Nuzul.latar belakang historis turunya ayat-ayat al-Quran,(Bandung:CV.Penerbit Diponogoro,cet.10.2009),hlm.338-339
      [55]. As-Sayuti,al-Asroru Tartibil Quran,(al-Qahirah:Darul I’tishom,1978),hlm.71
      [56]. Manna’ al-Qottan,ibid,hlm.141-142
      [57]. Lembaga kajian,Tafsirul ‘Usyril akhir,(t.tp:Maktabah Da’wah,cet.I.1429.H),hlm.46-47
       [58]. As-Sayuti,Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul,(Maktabah Syamilah),hlm.1
      [59]. Usman,Ibid,hlm.171
      [60]. Subhi as-Sholeh,Mabahitsun fi ‘ulumil Quran,(Beurut:Darul Amni lil malayin,1972),hlm.168
      [61]. Az-Zarkasyi,ibid,hlm.34
      [62]. Syekh Muhammad Abduh,Tafsir Juz ‘Amma,(Kairo:al-Manar,1329.H),hlm77
      [63]. Muhammda Qurais Shihab,Studi Kritis Tafsir al-Mannar,(Bandung:Pustaka Hidayah,1994),hlm.22-27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar