Selama ini, kebanyakan kita memahami tasawuf hanya
sebagai sarana pendekatan diri manusia kepada Allah SWT melalui taubat, zikir,
iklhas, zuhud, dll. Tasawuf lebih dicari orang dan ditujukan untuk sekedar
mencari ketenangan, ketentraman dan kebahagian sejati manusia, di tengah
pergulatan kehidupan duniawi yang tak tentu arah ini.
Pendapat-pendapat di atas tidaklah salah, tapi mungkin
kurang tepat atau kurang komprehensif. Ada aspek lain yang sangat penting dari
tasawuf, yang menjadi fundasi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan
diri dan kehidupannya.
Aspek penting itu adalah tasawuf sebagai salah satu pilar
utama epistemology dalam Islam. Aspek epistemology Islam ini sangatlah penting
kita kaji sebagai sebuah modus alternatif di zaman moderen ini, di mana
kebanyakan manusia didominasi oleh hegemoni paradigma ilmu pengetahuan
positivistic-empirisme dan budaya Barat yang materialistik-sekularistik.
Dominasi ilmu pengetahuan dan budaya Barat
materialisme-sekularisme ini terbukti pada akhirnya lebih bersifat destruktif
tinimbang konstruktif bagi kemanusiaan – sebagaimana juga sudah sering
dikritisi oleh beberapa sarjana Barat sendiri akhir-akhir ini (misalnya Anthony
Giddens & Fritjof Capra). Tentu para cendikiawan Muslim lebih banyak yang
mengkritisi paradigma budaya Barat.
Sebelum lebih lanjut kita membahas hal ini lebih dalam,
marilah kita pahami dulu dua konsep penting dalam kajian kita kali ini, yaitu:
1). Tasawwuf, 2). Epistemology.
Pengertian Tasawwuf (Irfan)
Istilah Tashawwuf (Sufisme), berasal dari kata shuf (wol,
bulu domba) yang berarti memakai pakaian dari wol yang kasar, sebagai simbol
kehidupan yang keras (zuhud/ascetics) yang menjauh dari kenikmatan duniawi.
Jadi istilah tasawuf hanyalah symbol metaforis untuk sebuah konsep asketisme
(kepertapaan atau kerahiban) dan gnosis (irfan).
Konsep tasawuf mempunyai padanan istilah lain yang
maknanya sama yaitu ‘Irfan (gnosis). Istilah Irfan – sebagaimana istilah
ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara
literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan
tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman
(positivisme-empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau
cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan
batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi
yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain
melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah).
Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan
penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan ruhaniyah (riyadah)
khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang
terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf)..
Sufisme/tashawuf lebih tepat digunakan untuk penyebutan
irfan praktis (amali) sedangkan istilah ‘Irfan adalah untuk Irfan teoritis.
Sisi aspek tasawuf sebagai sarana mencapai ma’rifah (ilmu
pengetahuan sejati tentang segala hakikat kebenaran dan kesempurnaan: Allah)
atau sisi epistemology tawsawuf/Irfan inilah yang akan menjadi fokus kajian
kita kali ini.
Pengertian Epistemologi
Salah satu pilar dari 3 pilar utama filsafat adalah
epistemologi, selain ontologi dan aksiologi.
Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani:
‘Episteme dan Logos. Episteme artinya ‘ilmu pengetahuan’ atau ‘kebenaran dan
‘logos’ artinya berpikir’, ‘kata-kata’ atau ‘teori’. Epistemologi berbicara
tentang: watak/sifat-sifat/nature, asal-usul/sumber, kesahihan (validity), dan
cara memperoleh ilmu pengetahuan serta batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga dapat didefinisikan sebagai “teori ilmu
pengetahuan’, atau juga disebut filsafat ilmu pengetahuan (Philosophy of
Sciences). Paling tidak, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemology tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, karena filsafat sains mendasarkan diri pada epistemology,
khususnya pada validitas (kesahihan/keabsahan) ilmu pengetahuan (scientific
validity).
Keabsahan ilmu pengetahuan, berdasarkan paradigma ilmu
pengetahuan Barat, hanyalah mengandung 3 konsep teori kebenaran, yaitu:
korespondesi, keherensi dan pragmatisme. Korespondensi mensyaratkan kesesuaian
di antara ide dengan kenyataan (fakta) di alam semesta, kebenarannya bersifat
empiris-induktif; koherensi mensyaratkan kesesuaian di antara berbagai
penyataan logis, kebenarannya bersifat rasional formal-deduktif, sedangkan
pragmatisme mensyaratkan adanya kriteria instrumental atau kebermanfaatan,
kebenarannya bersifat fungsional.
Korespondensi menghasilkan ilmu-ilmu empiris seperti:
fisika, kimia, biologi & sosiologi; koherensi menghasilkan ilmu-ilmu
abstrak seperti matematika dan logika; sedang pragmatisme menghasilkan
ilmu-ilmu terapan seperti kedokteran.
Jadi epistemology sangatlah penting karena menjadi dasar
bagi filsafat ilmu pengetahuan, khususnya dalam membedakan mana ilmu
pengetahuan yang ilmiah (scientific-empiris) dan mana yang ‘tak ilmiah’
(pengetahuan sehari-hari).
Pentingnya Epistemologi Islami
Berdasarkan pendahuluan di atas, di sinilah kita
menemukan masalah akut, ketika filsafat pengetahuan Barat hanya menganggap
absah (valid) ilmu pengetahuan yang semata-mata bersifat induktif-empiris,
rational-deduktif dan pragmatis, serta menafikan atau menolak ilmu pengetahuan
non-empiris & non-positivisme, yaitu ilmu pengetahuan yang bersumber dari
wahyu ketuhanan (divine knowledge dan, atau Kitab Suci Allah SWT).
Paradigma materialistic-mekanistik yang berdasarkan
metode Cartesian dan Newtonian (hipotesis deduktif-eksperimental-induktif)
telah menyebabkan reduksi atas kenyataan hanya menjadi sekedar fakta-fakta
materialisme-reduksionistik. Paradigma ini menyebar dan mempengaruhi berbagai
cabang disiplin ilmu-ilmu lainnya, sehingga kehidupan, bahkan kesadaran
manusia, direduksi hanya menjadi gerak-gerak material belaka. Misalnya, Adam
Smith dalam bidang ekonomi berbicara tentang prinsip ‘mekanisme pasar’; Charles
Darwin dalam Biologi berbicara tentang ‘mekanisme evolusi’, dan Sigmund Freud
dalam psikologi berbicara tentang ‘mekanisme pertahanan diri/psikis’. Paradigma
mekanistik-materialistik telah mendepak Tuhan dari wacana keilmuan dan
mempromosikan sekularisme.
Armahedi Mahzar mengatakan bahwa, paradigma
Cartesian-Newtonian tersebut, walaupun telah sukses meningkatkan kesejahteraan
material umat manusia, namun akhirnya menggiring umat manusia ke dalam kubangan
krisis multidimensional dalam kehidupannya, seperti penghancuran masal oleh
militer akibat penggunaan senjata nuklir, kimia, biologi militer; kerusakan
lingkungan hidup oleh polusi, degradasi, exploitation-depletion (eksploitasi
sampai habis menipisnya Sumber Daya Alam); fragmentasi sosial yang disebabkan
oleh industrialisasi, urbanisasi, fragmentasi & konflik sosial akut,
keterasingan psikologis manusia dari hal yang alami, sosial dan tehnikal.
Namun demikian, dalam perkembangan terakhirnya, science
sendiri telah membuktikan kerapuhan paradigma materialistik-mekanistik tersebut
di awal abad 20 lalu. Terutama dalam perkembangan ilmu fisika, biologi,
astronomi, dll.
Di sinilah terlihat bertapa pentingnya epistemology
Islam, di mana konsep kebenaran ilmu pengetahuan tidak hanya berdasarkan 3 prinsip:
korespondensi, koherensi dan pragmatisme saja, tapi juga yang bersifat
spiritual-ilahiyah. Artinya sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat
melalui akal rasional, dan empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan
dan diperkuat melalui petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah,
latihan-latihan ruhani, penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata
Jalaludin Rumi, seorang sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu
yang rapuh untuk meraih ilmu pengetahuan dan kebenaran.
Dalam pandangan tasawuf (Irfan) , ilmu adalah salah satu
nama Allah (Asma al-Husna), Menurut Nabi SAW, Ilmu adalah cahaya (nur) Alllah.
Cahaya Ilahi tersebut hanya akan dapat diserap dan dipantulkan dengan
sebaik-baiknya, bila ‘lensa’ dan ‘cermin’ akal & qolbu manusia yang mencari
dan menerimanya cukup bening, bersih (suci) dari kotoran-kotoran dan penyakit
hati. Dalam al-Qur’an ada sebuah ayat yang bercerita bahwa bila manusia
hamba-hamba Tuhan sudah bertaqwa kepada-Nya, maka Dia (Tuhan) akan menjadi
tangannya ketika dia (hamba-Nya) bekerja, akan menjadi matanya ketika dia
melihat, dan menjadi telinganya ketika dia mendengar (QS. : ). Inilah ayat yang
menjadi landasan apa yang disebut dengan ilmu huduri (presensial knowledge)
atau ilmu yang dihadirkan secara langsung oleh Tuhan kepada qalbu (hati &
akal) manusia tanpa perantaraan konsep ataupun proposisi-prosisi inderawi. Ilmu
huduri adalah sejenis ilmu yang dicerap melalui intuisi dan kebeningan hati dan
kejernihan akal. Ilmu huduri inilah yang menjadi basis utama yang melengkapi
apa yang didapat melalui usaha manusiawi yaitu ilmu raihan (ilmu husuli/aquired
knowledge).
Dari sisi ontology, manusia yang mencintai dan dicintai
Tuhan akan bersatu, dalam artian manusia tersebut telah menyerap (men-down load)
sifat-sifat dan perbuatan Tuhan ke dalam kehidupan pribadinya. Ego pribadinya
telah lebur (fana) ke dalam ‘Samudra Ilahiyah’. Yang Ada (Existence) hanyalah
Dia Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa. Apa yang tampak dari perilaku dan ucapan
serta sikap-sikap hidupnya adalah Tajaliyat al-Ilahi (manifestasi Ketuhanan)
atau penampakan sifat-sifat dan kehendak Tuhan. Dia menjadi Khalifatullah fi
al-Ardh (wakil/mandataris Tuhan Allah di muka bumi). Inilah yang saya pahami
tentang faham Wahdah al-Wujud menurut Ibn Arabi, atau Al-Salat al-Wujud
(Principality of Existence) menurut Mulla Sadra, dalam kitabnya Al-Hikmah
al-Muta’aliyah fi Asyfar al Ar’baah al Aqliyah, atau ‘manungaling kawula-Gust’
dalam tradisi Suluk Islam Kejawen (ajaran Syeikh Siti Jenar dan atau Panembahan
Panggung, pada masa awal kerajaan Mataram Islam di Jawa ?)
Perlu ditegaskan di sini, dalam sudut pandang Filsafat
Islam yang saya pahami, kajian Ontology tidak dapat terpisah dan selalu
berjalin kelindan dengan epistemology dan aksiology secara intergratif-komprehensif-holistik.
Epistemology Islam terbangun dari basis ontologis Tauhidi dan memandu atau
mewarnai aksiologinya (ilmu terapan/practical sciences).
Eksistensi kemanusiaan manusia akan semakin menyempurna
bersamaan prosesnya dengan perkembangan dan pertambahan ilmu pengetahuan yang
dicerapnya dari Alam semesta dan dari Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Antara
terminology ‘alam’, ilmu, dan al-‘Alim (Tuhan Yang Maha Mengetahui segala
sesuatu), adalah satu akar kata, yang berunsur huruf ‘alif, lam dan mim. Alam
adalah ibarat laboratorium dan buku mega-super ensiklopedia yang mempertunjukan
tanda-tanda kebesaran Tuhan dan keluasan Ilmu-Nya (“Akan Aku tunjukkan kepadamu
tanda-tanda (kebesaran kekuasaan)-KU, pada ufuk/horizon semesta dan di dalam dirimu,
sehingga jelaslah bagimu bahwa Aku adalah kebenaran/ Al-Haq”, QS. : )
Tasawuf atau Irfan sebagai sarana pensucian jiwa dan akal
manusia, adalah salah satu pilar utama yang mendampingi rasionalitas untuk
meraih kejernihan ilmu pengetahuan, hakikat kebenaran dan
kesempurnaaan-kesejahteraaan hidup manusia. Antara aktifitas Fikir dan Zikir
harus berjalan seimbang, sinergis, holistic dan integral dalam kehidupan umat
manusia secara umum khususnya untuk kaum Muslim, kalau hendak mewujudkan missi
suci Ilahiyah menjadi Rahmatan lil ‘Alamin. Wallahu ‘Alam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar